Hayooo lho...
Pintu kamar mandi itu tertutup bersamaan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Ash langsung kembali berbaring sambil menahan keluhan dengan menggigit lidah. Lukanya terasa berdenyut menyakitkan. Tidak seharusnya ia menerima tingkat stress semacam itu saat lukanya masih cukup segar. “ASH!” Amy berteriak dan berlari masuk. Ia langsung melompat naik ke atas ranjang dan memeluk Ash juga. Lehernya kembali mendapat tekanan, seperti saat Mae datang tadi. Dan seperti Mae tadi, Ash hanya mengelus kepala Amy yang berkepang itu. Tidak mengeluhkan rasa sakitnya, karena pelukan itu adalah kasih sayang. “Katanya kau terluka, Ash. Dimana… Oh, itu.” Ash kini yakin Amy dan Mae kemungkinan berbagi sel otak yang sama, karena mirip sekali reaksinya. Begitu melihat perban di leher Ash, ia menjauh dengan wajah menyesal. “Turun, Amy.” Dean yang menyusul masuk, tentu menegur Amy. Ia lalu menatap Ash, dan dibalas dengan berani. Ash tidak merasa salah. Ayahnya tahu ia tidak mau memakai fasilitas dari Rowen
“Bisakah kita tidak membahas masa lalu? Aku ingin memperbaiki—” “Tidak bisa! Tidak semua hal bisa kau perbaiki! Ada hal yang rusak parah sampai tidak bisa kau perbaiki!” Suara Ash semakin habis. Bisikannya sudah nyaris tidak bersuara, tapi Ash akan terus menjawab kalau ayahnya masih terus merasa tidak bersalah. “Hal apa—” “Sepuluh tahun lalu! Aku meminta bantuan padamu dengan sungguh-sungguh—Aku memohon—tapi apa balasannya?! Kau malah—” Ash tidak mampu lagi. Ia memejamkan mata dan perlahan membaringkan tubuh. Lehernya terasa seperti kering dan terbakar sekarang. “Kau itu bicara apa?” Dean tampak mengernyit berpikir. “Sepuluh tahun lalu? Apa anak yang bernama Mary itu? Kenapa—” “BERANI KAU MENYEBUT NAMANYA SETELAH APA YANG KAU LAKUKAN?!” Ash berteriak meski mengerahkan tenaga dari otot yang seharusnya tidak boleh bergerak. Ayahnya tidak boleh menyebut nama Mary, karena Mae bisa jadi mendengar. Ash tidak akan mampu menjelaskan kalau Mae sampai curiga. Ash terbatuk hebat setelah i
Mae hampir saja berteriak saat merasakan pintu membentur keningnya. Ia ada persis di belakang pintu. Tentu saja dengan reflek panik, Mae mendorong balik saat merasakan pintu itu terbuka. Setelah itu, ia dengan gugup menguncinya. Karena memang tergesa, Mae tidak menguncinya tadi. Ia tadi samar mendengar percakapan lalu sunyi. Mae sedikit tidak waspada setelah itu—merasa keadaan tenang, tapi rupanya tenang sebelum badai. Mae kini menatap dengan horor bagaimana handle bulat pintu kamar mandi itu berputar kasar—dipaksa untuk terbuka. “Kau menyembunyikan apa?” Mae mendengar pertanyaan tegas, dan mendengar jawaban dari suara Ash yang menderita. “Tidak ada.” “Kau pikir aku bodoh? Kau berulang kali melirik ke sini!” Mae mendesah. Ia bisa membayangkan usaha Ash untuk tidak panik, tapi gagal. “Lepaskan! Tidak—” Mae mendengar suara berdebum yang lebih keras—dan tidak tahan lagi. Ia meraih selot dan memutarnya sampai terbuka. Mae tidak mau membuat luka Ash semakin buruk karena terus menye
“Dokter akan memberimu obat tidur yang lebih kuat kalau kau mencoba bicara lagi.” Mae memberi peringatan pertama saat melihat Ash membuka mata. Ini karena ia juga setuju dengan dokter. Ash tersenyum lalu mengangguk. Asalkan hanya Mae—tidak ada makhluk lain yang membuatnya harus melampiaskan emosi—Ash merasa sangat mudah melakukannya. “Perlahan.” Mae melihat air dalam gelas yang ada di tangannya berkurang dengan sangat cepat. Ash menyedot terlalu kuat karena memang tenggorokannya amat kering. Tapi Mae khawatir Ash akan batuk lagi kalau sampai tersedak. “Kau ingin apa?” Mae bertanya karena melihat tangan Ash terangkat dan terulur. Ash menunjuk Mae tentunya. Apalagi yang akan diinginkannya? Mae tersenyum, lalu mendekatkan wajahnya ke tangan Ash. Tangan yang tentu saja langsung mengelus, dengan puas. Menyusuri lekuk dan ceruk yang dirindukannya. Hangat yang memang diinginkannya. “Aku juga merindukanmu.” Mae berbisik sambil memejamkan mata, dan mengecup telapak tangan yang menghampir
“Mungkin tidak akan mengganggu kemampuan bicara, tapi akan memperlambat penyembuhan karena otot yang selalu bergerak.” Dokter yang baru saja memeriksa keadaan Ash menjelaskan Mae tentang apa akibat dari luka yang saat ini diderita oleh Ash. Ma emang tadi bertanya apa yang terjadi kalau Ash selalu memaksakan diri untuk bicara. “Lukanya cukup lebar. Saya harap Anda bisa sedikit lagi menahan diri. Perkembangan penyembuhan yang sudah cukup bagus.” Meski Mae tidak menyebut kalau Ash dengan sengaja bicara, tapi dokter itu tetap menegur. “Seandainya tidak ada keluhan saat menelan, Anda sebenarnya sudah bisa pulang.” Dokter itu memberi gambaran kerugian lebih nyata akibat Ash yang melanggar nasehatnya, Mae sudah tersenyum di belakangnya, sementara Ash mendecak. “Tapi kabar baiknya, saya rasa otot di sekitar leher Anda sudah cukup kuat. Lukanya sudah hampir kering. Asalkan Anda tidak berteriak, membentak ataupun melakukan kegiatan yang berhubungan dengan leher bergerak aktif, sudah tidak
“Mary…” Ash berbisik nyaris seperti memohon. Entah memohon agar Mae berhenti menjadi begitu menggiurkan, atau memohon agar Mae memberikan apa yang saat ini diinginkannya.Mae memilih yang kedua tapi, dengan kembali mengunci bibir Ash, memancing geraman puas yang membawa dekapan erat, tanda akal sehat Ash sudah meninggalkannya.Tapi memang salah—alasan kenapa mereka seharusnya tidak saling menggoda terdengar tidak sampai dua detik kemudian.“Ash? Apa kau didalam?” Pertanyaan, dan ketukan di pintu. Ketukan itu sudah benar, tapi terlalu cepat. Tanpa menunggu jawaban—maupun memberi kesempatan Mae untuk turun dari atas tubuh Ash, pintu itu terbuka.“Oh?” Parker tampak terperanjat melihat pose tidak normal itu.“Aku bilang juga apa. Masih terlalu cepat. Seharusnya besok saja kita berkunjung.” Di sampingnya, tampak Gina yang terkekeh—menikmati rasa malu yang sudah menggantikan nafsu, terutama dari Mae yang tampak beringsut turun dengan wajah amat merah.Ash sudah memejamkan mata—seperti tid
“Terima kasih atas semuanya.” Mae bersungguh-sungguh. Tanpa Gina—dan Poppy, mungkin saat ini dirinya tidak mampu berdiri. Ia belum pernah mendapat pertemanan yang setulus itu sebelum ini—tidak punya kesempatan dan tidak ingin mencoba. Hidupnya sudah cukup rumit meski tanpa teman.“Ah, jangan seperti itu. Itu sudah tugasku—well, tidak diwajibkan, tapi aku menjadikannya tugasku.” Gina tersenyum manis sambil menggenggam tangan Mae.“Ini karena aku paham bagaimana rasanya. Poppy juga. Kami mungkin terlihat seperti rombongan berisik yang mencari kesibukan tidak penting, tapi inti berkumpul itu adalah ini. Membantu saat dibutuhkan—terutama dukungan moral.” Mae tersenyum masam, merasa bersalah, karena memang itulah anggapan pertama Mae saat melihat Gina dan yang lain. Rombongan berisik yang mencari kesibukan tidak penting—sekadar agar tidak bosan.“Aku punya nasehat untukmu.” Gina tiba-tiba mengangkat tangan Mae, dan meremasnya. Sangat serius.“Ya?” Mae belum pernah melihatnya seserius itu
“Sudah dikirim, jumlahnya kecil seperti yang dikatakannya.” Carol menjawab dalam bisikan. Daisy belum tidur, jadi harus berhati-hati agar tidak terdengar olehnya. “Ck.” Meski hanya dari ujung telepon, rasa kecewa Faraday terdengar amat jelas. “Apa aku harus mengatakan kalau donor itu sudah ada sekarang? Itu uang besar. Operasi—”“Jangan.” Carol tidak setuju. “Begitu operasi itu selesai, kita tidak punya alasan lagi untuk meminta uang. Jumlahnya besar, tapi sudah selesai jadinya.” Carol belum ingin mengakhiri alasan uang untuk dialisis itu. Uang mudah karena alasannya paten. Transplantasi itu jumlah uangnya lebih besar, tapi akan mengakhiri dana dialisis yang rutin. Karena itu mereka menunda-nunda rencana operasi, karena lebih menguntungkan. “Lalu apa? Kau tidak akan bisa membeli apapun dengan jumlah uang itu.” Faraday juga tidak punya ide rupanya. “Ini saatnnya.” Bisikan Carol semakin lirih karena melihat Daisy menggeser kursi rodanya mendekati pintu, mengambil ponselnya yang ada d