Mae tersedak teh yang baru saja diminumnya, saat tiba-tiba Ash muncul dari pintu belakang dan masuk ke dapur.“Aku pikir kau beruang atau sebangsanya!” seru Mae sambil mengusap wajah dan lehernya yang basah. Penampakan Ash mirip beruang memang.Ash memakai hoodie coklat menutupi kepala—juga celana dengan warna yang sama. Tubuhnya juga cukup besar. Mae yang baru saja terbangun kurang dari setengah jam lalu, hanya mampu mencerna sosok itu sebagai beruang yang menerobos masuk.“Rumah ini mungkin di desa, tapi kita ada di Reading. Tidak ada beruang di sini,” kata Ash, sambil menurunkan hoodie. Mereka cukup dekat dengan kota dan hutan di sekitar situ tipis. Ash bahkan tidak yakin apakah ada beruang liar di seluruh negara.“Apa kau berlari mengelilingi Inggris?” Mae sedang mengomentari keringat Ash.Dari penampilan, jelas Ash baru saja berjogging. Tapi sedikit berlebihan. Rambutnya bukan hanya basah, tapi seperti ada orang yang menyiram seember air padanya. Hoodie yang dipakainya sama, basa
Ash menjelaskan beberapa hal yang akan dilakukannya nanti, termasuk mengganti sofa dan memperbaiki beberapa jendela yang memang sudah lapuk. “Akan sedikit lama, tapi…” Mae menghentikan penjelasan itu, dengan menempelkan telunjuk ke bibir Ash. “Berhenti dulu, bernapas dulu.” Mae lalu mencubit pipi Ash. “Aw?” Ash tidak merasa amat sakit, hanya heran, dan mengelus pipinya yang tidak bersalah tapi mendapat serangan. “Untuk apa itu?” tanya Ash. “Memastikan bukan mimpi,” kata Mae lalu kembali menopang kepalanya. “Kau memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit pipiku? Biasanya memastikan mimpi atau bukan dengan mencubit diri sendiri, bukan orang lain.” Ash masih mengusap pipinya dengan heran. “Apa rasanya sakit?” tanya Mae. “Tentu.” “Well, kalau begitu ini bukan mimpi. Kau bisa merasakan sakit. Sama saja bukan? Tidak perlu aku yang sakit.” “Logika macam apa itu?” Ash antara ingin jengkel, tapi ingin tertawa juga, tapi memutuskan kalau membahas logika Mae akan menjadi panjang. Ia
“Ini! Aku menemukannya di sini! Terlihat jelas!”Dex dengan tergesa membawa laptopnya kepada Evelyn. Menunjukkan foto yang ditemukannya. Evelyn juga melakukan hal yang sama tapi Dex yang lebih dulu menemukannya. Foto pria yang menyerang Dex.Mereka sudah melapor ke polisi, tapi tentu sulit untuk membuat tuntutan karena tidak tahu identitas dari siapa yang melukai Dex.“Ini yang paling jelas.” Evelyn setuju. Iya tadi menemukan beberapa foto, tapi hanya tampak samping dan belakang. Foto yang ditemukan Dex itu lebih jelas. Pria itu berdiri sambil menatap ke depan, berjajar bersama tamu lain.“Dia bukan sedang menatap Dad, tapi jalang itu!” desis Evelyn dengan jijik, saat menyadari arah pandangan mata dalam foto itu. Mae masih ada di dekat peti mati ayahnya.“Sepertinya dia pria Mae.” Dex kini yakin.“Memang akan jalang sampai kapanpun. Berani sekali betina itu membawa pria saat pemakaman suaminya?! Lebih dari menjijikan!” Evelyn mencela sambil menggelengkan kepala. Tidak habis pikir.“La
“Kami sudah mencoba apapun, tapi tanpa transplantasi itu, tidak ada yang bisa dilakukan lagi. Komplikasinya sudah terlalu buruk.” Dokter Faraday menggeleng dengan murung.Mae bukan belum pernah mendengar hal itu, tapi rasanya sama saja. Seperti ada yang mengikat lehernya—sesak. Putus ada yang menghimpit sampai membuatnya sulit bernapas. Apalagi ditambah pembicaraan kalau keadaan ginjal Daisy yang memburuk, rasa mencekik itu semakin nyata.“Apa tidak ada yang bisa dilakukan untuk mempercepat perolehan donornya? Saya tidak bisa melihat Daisy terus seperti itu.” Mae hanya melihat, tapi Daisy yang menjalaninya, pasti lebih buruk. Hati Mae terasa tertusuk setiap kali harus membayangkan Daisy menanggung rasa sakit dengan tubuhnya yang kurus itu.Dokter Faraday tampak mengusap dagu, berpikir keras. “Ada tapi mungkin tidak akan murah.”Dokter Faraday menunduk dan berbisik di telinga Mae, berhati-hati agar tidak ada yang mendengar. “Aku biasanya tidak akan menyarankan hal ini karena bisa dikat
“Did you miss her? Kita baru pergi empat hari. Kau terlihat terlalu suram.” Ian menggoda saat melihat Ash memeriksa ponselnya. “Aku sedang memeriksa apakah ada sinyal atau tidak. jadi diamlah!” desis Ash. “Sama saja. Kau membutuhkan sinyal karena berharap ada pesan masuk atau panggilan bukan? Apa itu namanya kalau bukan rindu?” Ian menyenggol bahu Ash.“Apa kau ingin mati?!” desis Ash. “Oh, maaf…maaf.” Ian menyadari kesalahannya. Ash bukan sedang terlalu sensitif dan marah hanya karena godaan itu. Tapi senggolan bahu Ian itu baru saja menggeser moncong senapan laras panjang yang telah disiapkan Ash. “Maaf.” Ian sekali lagi meminta maaf, saat Ash menghela napas dan harus memperbaiki posisi senapan itu, agar terarah pada sasaran. Untuk menghindari pandangan mata Ash yang tajam, Ian dengan sukarela memperbaiki alat kamuflase yang menutupi mereka berdua saat ini. Terpal jaring berwarna kecoklatan dengan aneka dedaunan berwarna cokelat yang menyaru dengan bebatuan tandus di sekitar
“Kenapa polisi…” Dean berhenti bertanya, karena sudah membaca isi surat itu. Tertulis jelas.Surat itu panggilan untuk Ash, dan terancam menjadi tersangka penganiayaan. Buktinya tidak kuat, karena itu Ash tidak langsung menjadi tersangka, tapi ia tetap akan diinterogasi. Kalau Ash tidak memenuhi panggilan itu, maka mereka akan membawanya dengan paksa.“Omong kosong apa ini?!” Dean mendesis sambil meremas surat itu dengan wajah memerah.“Bagaimana mungkin masalah seperti ini malah muncul pada saat krusial seperti ini?!”Brad tidak berani berkomentar, hanya menunduk saat Dean menahan umpatannya sambil menggertakkan rahang.“Kau urus ini. Jangan sampai ada yang tahu,” kata Dean, setelah bisa sedikit menenangkan diri.Brad mengangguk. “Tentu, Sir.”“Dan panggil Ash. Aku ingin tahu apa alasannya berbuat kebodohan semacam ini!” Dean tentu tidak akan melepaskan begitu saja. Masalah ini akan menjadi buruk kalau dibiarkan.“Maaf, Sir. Tapi Mr. Cooper Jr. sedang tidak ada di Inggris. Ia sedang
“Aku tidak akan menjawab pertanyaan apapun.” Mae duduk dan menurut sejak tadi, tapi tidak akan menjawab pertanyaan polisi dengan sembarangan. Ia tidak sangat bodoh dalam urusan hukum.“Kau harus menjawab!” Polisi yang bernama Darwin itu menggebrak meja—jengkel karena sejak tadi tidak mengalami kemajuan.Sudah hampir dua jam Mae dibawa ke ruang interogasi yang suram abu-abu itu, tapi belum sedikitpun memberikan info.“Sejak kapan menjadi wajib? Aku tidak merasa ingin menjawab, dan itu hak bukan?” Mae membalas dengan tenang. Hal yang memperlihatkan perasaan Mae saat ini adalah tangan.Wajahnya terlihat datar, tapi tangannya amat merah, karena sejak tadi ia meremas keduanya tanpa henti. Mae sebenarnya panik tentu. Ia tidak mengira kedua anak setan itu bisa mewujudkan ancamannya secepat ini. Baru hampir seminggu ia meninggalkan Bakewell.“Kau akan disini lama kalau kau terus seperti ini!” sergah Darwin.“Apa kau akan membebaskanku kalau aku menjawab?” Mae bertanya dengan sinis.“Ya, itu
“Mr. Cooper, saya tahu Anda sudah melihat saya!” Brad berseru. Berusaha mengejar karena tentu langkah kaki Ash jauh lebih cepat.Ash masih berpura-pura tidak mendengar, dan terus maju.“Kau tidak akan bisa menghindar selamanya. Dia akan terus mengejar meski kau kabur ke ujung dunia.” Ian yang menyusul di sampingnya, mengingatkan keahlian Brad yang utama. Menemukan Ash.“Ck!” Ash akhirnya berhenti berjalan. “Terima kasih.” Brad ikut berhenti dengan napas terengah. Berterima kasih karena Ash tidak membuatnya berlari jauh. Tentu ia akan tetap kalah kalau Ash berlari sekuat tenaga.“Ada apa?” tanya Ash, dengan ketus.“Sir Cooper ingin bertemu Anda,” kata Brad.“Aku tahu itu! Tapi ada apa?” Kehadiran Brad untuk menjemput sudah pasti atau suruhan ayahnya, Ash tidak perlu keterangan semacam itu.“Akan lebih baik Kalau anda bicara sendiri pada beliau.” Brad tersenyum pahit saat mengatakannya.Ian menyambar bahu Ash dan berbisik. “Jangan mengindikasikan aku tahu tentang apa yang kau lakukan,