Ga bisa dihapus Mae :( BOnusss satu bab lagi :))
Carol duduk di depan cafe tempatnya bertemu Mae kemarin. Kebetulan ada kursi panjang tempat beristirahat yang nyaman dengan naungan kanopi. Tapi memang lawannya udara dingin. Carol harus memaki beberapa kali saat yang ditunggunya belum juga datang.Ia berangkat pagi, tapi sepertinya terlalu pagi, karena tidak ada siapapun familiar terlihat memasuki cafe itu. Carol sudah sedikit menyesal tidak mencari informasi lebih jelas terlebih dulu sebelum datang. Setelah sekian jam duduk menanti, ia merasa punggungnya tidak lagi hanya sakit pura-pura karena amat pegal.“Ah… itu dia.” Carol tersenyum saat melihat sasarannya. Poppy yang berapi-api tampak berjalan mendekati cafe bersama dua wanita lain, dan lebih sempurna lagi karena tidak bersama Mae.Kalau bersama Mae, Carol harus menyiapkan skenario berbeda. Carol bahkan sudah bersiap seandainya Poppy tidak datang. Ia akan datang lagi besok. Tapi ia percaya Poppy akan datang. Cafe di belakangnya itu sudah jelas menjadi pusat tongkrongan nyaman tem
“AMELIA COOPER!”Begitu nama Amy dipanggil, Mae tersentak dari lamunannya. Bukan karena suara keras panggilan itu, tapi oleh sorakan yang mengikutinya.Mae menatap sekitar dengan takjub, karena hampir semua penonton bertepuk tangan dan memandang ke arah Amy yang bersiap di pinggir rink bersama pelatihnya.“Hampir semua orang mengenal Amy, bukan hanya karena anak dari perdana menteri tapi karena ia atlet yang hebat. Statusnya sebagai anak dari perdana menteri membantunya lebih mudah dikenali memang, tapi kebanyakan mereka adalah fans yang memang mengagumi Amy.” Ash menjelaskan dengan cepat dalam bisikan sebelum akhirnya suasana kembali sunyi. Tapi Mae sudah tidak terlalu mendengar kalaupun Ash melanjutkan penjelasan, karena terpesona. Bocah yang saat ini meluncur pelan ke tengah rink es itu tidak tampak seperti bocah yang kemarin membentak dan menunjuk Ash. Ia tampak amat nyaris magis—karena terlalu cantik. Mata Amy mirip Ash, tapi rambutnya mirip warna rambut Rowena sebelum beruban s
“Jangan panik, Mae.” Ash menenangkan begitu mereka masuk ke dalam mobil. Ash bahkan tidak bisa melarikan diri.Selain mengingat Amy yang akan mengamuk, sudah ada dua mobil RaSP yang mengawal di di depan dan belakang mobilnya. Mereka pasti akan mengejar kalau ia nekat membelokkan mobil ke jalur yang lain.“Aku sudah membuat kesalahan bodoh pada ibu—maksudku dia.” Mae bingung harus menyebut Rowena apa.“Itu hanya kesalahan kecil. Rowena tidak akan mengingat—”“Dia mengingat namaku, Ash! Setelah beberapa bulan lebih, dia masih ingat namaku! Orang yang ditemuinya dengan random, pada bazar yang ramai!” Ash tidak bisa menyanggah, karena orang sesibuk Rowena—bertemu dengan banyak orang setiap harinya—seharusnya tidak akan mengingat Mae secara spesifik, kecuali karena memang masih ingat kejadiannya.“Begini saja. Kau fokus saja pada Amy. Tidak perlu amat memperhatikan apa yang diucapkan ayahku atau Rowena. Kau ajak bicara saja Amy. Bagaimana?” Ash mengusulkan cara darurat.Amy anak yang sulit
“Oh? It’s you! Kau wanita yang itu.” Amy menunjuk Mae dengan sangat jelas begitu melihatnya, dan tentu saja otaknya seperti Rowena, yang mengingat detail yang tidak diinginkan Mae.“Kau pernah bertemu dengannya?” Rowena yang baru saja melepas mantel Amy, tampak heran. Bahkan Dean yang sibuk menjawab telepon melirik dengan tertarik.“Kau masih bersama Ash? Ash membuatmu menangis dan kau masih mau bersamanya?” Amy mengabaikan pertanyaan ibunya, dan menyebut Mae bodoh meski tidak langsung. Ia mengkritik keputusannya masih bersama Ash, meski sudah menangis begitu rupa. Amy hanya tahu Ash menyakitinya.“Aku tidak membuatnya menangis!” Ash menarik telinga Amy dengan main-main.“Tapi memang begitu. Ash hanya menang di wajah saja.”“Amy!” Ash mendesis sambil melotot, sementara Amy hanya meleletkan lidah, tapi kemudian menghambur memeluk Ash.“Kau datang!” serunya, dengan girang. Meski sempat mencela, Amy tentu menanti kedatangan Ash sebenarnya.“You’re really great. Congratulations.” (Kau heb
Tapi Dean tidak tampak terganggu, ia masih terus mengunyah makanannya—burung puyuh panggang berisi nasi. Malah Rowena yang tampak mendongak menatap Mae.“Bakewell? Di utara?” tanya Rowena.“Benar, My Lady.” Mae mengangguk. Rowena tampak mengernyit, tapi kemudian melanjutkan makannya. Mungkin hanya mengingat dimana Bakewell berada.Ash yang tidak mampu bernapas. Ia menunggu ayahnya bereaksi, tapi masih sama. Dean makan dan minum seperti normal adanya. Beberapa lama Ash menunggu, tidak ada pertanyaan apapun darinya.Ash sampai gatal ingin bertanya apakah ia sedang berpura-pura, atau memang benar-benar tidak mengenali nama kota itu. Seharusnya ayahnya tahu kemana Mary pergi setelah kebakaran itu. Dean akan mengawasi seharusnya. Ash jelas mendengarnya membahas kebakaran itu dengan Brad. Ia bersyukur rumah Mama Carol terbakar.Atau mungkin lupa? Setelah sepuluh tahun bisa jadi ayahnya lupa, tapi Ash tidak ingin mempercayai alasan itu. Ayahnya bukan pelupa. Ia tidak akan menjadi perdana men
“Kau memanfaatkannya.” Ash mendongak lagi. Sikap tenang ayahnya bukan kebetulan. Dean tidak banyak bertanya tentang Mae—mengesampingkan ia mengenali Bakewell atau tidak—karena ingin memanfaatkan Mae untuk menekannya. Dean tidak merencanakan pertemuan mereka di podium dan makan malam itu dengan percuma—atau hanya sekedar ingin mengenal wanita yang dekat dengan anaknya. Ia hanya mencari cara untuk menekan Ash, dan mengikuti keinginannya.“Memang, dan apa salah? Tujuanku benar. Kau boleh mengingkarinya ribuan kali, tapi kau tetap anakku. Kau mungkin tidak percaya, tapi aku memang peduli padamu, dan ingin kau hidup.” Dean mengaku dengan mudah, sampai membuat Ash membisu. Tidak akan menanggapi karena memang sudah lama menolak bentuk kasih sayang apapun yang diberikan Dean. Menyebutnya merepotkan, mengganggu, mengekang dan lain sebagainya. Tapi pada akhirnya semua itu adalah bentuk kasih sayang.“Aku tidak ingin kau berpura-pura berbahagia, atau terlibat dengan kehidupan politik. Aku hany
Ash keluar dari lift dan bertabrakan dengan Poppy yang terburu-buru masuk.“HEI! Oh? Kau rupanya.” Poppy tentu saja terpental, tapi ada tangan yang menahan punggungnya. Ia tidak jatuh terjengkang, masih bisa menunjuk Ash dengan wajah terkejut.“Kenapa kau di sini?” tanya Poppy.“Apartemenku di sini.” Ash menyebut hal yang seharusnya jelas.Kemarin ia hanya bertemu Poppy dan Cale sekilas, tapi ia tahu Poppy pemenang dari pernikahan mereka. Cale—dari belakang Poppy—kini tampak memandangnya dengan penuh sesal. Meminta maaf tanpa suara.“Aku ingin bertemu Mae.” Poppy mencoba untuk menerobos di samping Ash untuk masuk ke dalam lift.Tentu saja Ash bergeser menghalangi, terutama karena Cale menggeleng lagi di belakangnya. Melihat sikap itu, Ash yakin kalau panggilan tergesa yang tadi diterimanya tidak berizin. Cale melakukannya dengan diam-diam untuk mencegah Poppy menemui Mae.“Minggir!” Poppy mulai kesal.“Tidak. Untuk apa—”“Minggir pokoknya!” Poppy berusaha mendorong Ash ke samping, tap
Cale tampak membuka mulut untuk membalas—ingin memilih pergi mungkin, tapi Poppy mendahului.“Tidak semudah itu! Aku ke sini karena menurutku hal itu sulit dipercaya! Lalu ternyata benar—aku…” Poppy mengeluh sambil menggaruk rambut, lalu menghempaskan punggung ke sofa. Jawaban Ash yang membenarkan itu sepertinya jauh dari dugaan.“Aku tidak putih bersih. Kau boleh bertanya pada Cale apa saja daftar dosaku—”“Untuk—” Protes Cale dibungkam oleh Poppy lagi memakai tangan.“Tapi aku juga punya toleransi batas perbuatan buruk. Aku tahu kau tidak bodoh, Ash. Tapi apa harus memilih jalan-–”“Tidak usah fokus padaku. Kau datang karena tidak percaya bukan? Apa yang membuatmu tidak percaya?” Ash menyela. Menurutnya titik tidak percaya itu adalah awal yang bagus. Setidaknya Poppy memberi ruang keraguan.“Karena tidak cocok. Aku tidak ingin percaya Mae bisa melakukannya.” Poppy menggeleng lagi, semakin kuat karena ingin menolak kenyataan itu.“Mungkin kau tidak tahu, tapi aku belum pernah salah me