Baru saja hendak keluar dari mall tiba-tiba saja ponsel Ratih berdering. "Halo, iya Bu. Ya Allah ... Kok bisa? Ya ... ya. Kami segera pulang." Ratih menutup telpon dengan wajah pucat dan sangat ketakutan. Semoga saja tidak ada masalah yang mengkhawatirkan menimpa Ratih maupun ibunya."Gawat, Ris. Raka datang ke rumah dan dia ingin membawa Kalila!" adu Ratih setelah dia memasukkan ponselnya kedalam saku celananya."Apa? Ratih, jangan bercanda!" Teriak aku ketakutan. Hanya Kalila satu-satunya hartaku yang paling berharga di dunia ini mau direbut sama mas Raka. Pontang panting mencari makan untuk buah hatiku, enak saja dia tinggal mengambil. Selama ini mantan suamiku tidak pernah peduli dengan anaknya. Kenapa sekarang jadi terbalik? Menjadi ayah yang sok peduli? Atau dia sengaja memanfaatkan kelemahanku? Dia pikir jika berhasil mengambil Kalila dengan mudahnya dia bisa menyetir aku. Tidak kan semudah itu."Buat apa aku bercanda, Ris? Apa untungnya?" tanya Ratih. Kami berdua berlari kec
"Pak Aslan?" ucapku bersamaan dengan Ratih. "Bagaimana, apa anakmu sudah ketemu?" tanya pak Aslan seraya melangkahkan kaki mendekati kami dan mendudukkan diri dikursi bersebelahan denganku. Saat ini kami masih bertahan di teras rumah ibu mertuaku berharap mas Raka akan singgah disini dan membawa serta bayi empat bulan itu. Entah dari mana pak Aslan bisa mengetahui rumah orang tua dari mas Raka. Selama aku tinggal di rumah mas Raka belum pernah sekalipun aku melihat beliau datang ke rumah calon mantan suamiku itu. "Belum ketemu, Pak. Pria itu hilang entah kemana rimbanya! Rumahnya sudah sebulan yang lalu dijual!" jelas Ratih panjang lebar. "Tapi tadi ada ibu-ibu yang mengatakan rumah ini dibeli sama anak pak RT. Mungkin beliau tau dimana rumah mas Raka yang sekarang!" beberku. "Kenapa kalian masih disini? Kenapa gak ke rumah pak RT aja menanyakannya?" Lelaki itu langsung bangkit dari duduknya. "Bukan langsung bergerak. Udah tau orangnya gak ada, malah leha-leha disini." Pak Aslan
"Kamu jangan berbohong. Kamu akan saya pidanakan karena menyembunyikan pelaku kejahatan!" ancam pak Aslan. Lelaki berkaos hitam polos itu menerobos masuk ke kamar Rita tanpa minta persetujuan sama yang punya rumah terlebih dahulu. Rumah kos-kosan milik Rita ini berukuran sempit, hanya muat untuk dua orang saja. "Apa maksud Bapak? Siapa yang saya sembunyikan? Bapak jangan asal menuduh deh!" Rita menyusul pak Aslan kedalam rumah. Begitu juga aku dan Ratih. Dan betul seperti kata Rita, tidak ada satu orangpun dikamarnya. Berarti memang mas Raka tidak membawa Kalila kemari.Jadi kemana dia membawanya? "Kamu tau? Raka menculik anaknya! Bayi masih merah dari pagi belum menyusui. Ayah macam apa dia itu!" Rita spontan kaget mendengar oenuturan pak Aslan. Dan dia benar-benar tidak mengetahui keberadaan mas Raka."Sejahat-jahatnya saya, tapi saya tidak mau memisahkan anak dengan ibunya, Pak. Jadi kalau Bapak menuduh saya kerja sama dengan mas Raka, Bapak salah besar." Nampaknya Rita sangat ke
Mas Raka menelponku setelah tadi dia menonaktifkan ponselnya. Segera aku mengangkat telpon dengan tangan gemetar."Halo, Risma!" Suara itu, aku masih sangat hafal suara mas Raka. Lelaki yang pernah tergila-gila padaku, dan aku juga sangat mencintainya. Namun, sekarang rasa itu sudah luntur karena ulahnya sendiri."Mas, mana Kalila. Tolong kembalikan anakku sekarang juga. Kasihan dia sudah dua puluh empat jam tidak menyusui.""Iya. Sabar Risma!""Sabar? Kamu masih waras gak sih? Kenapa tega banget sama darah dagingmu sendiri? Dimana akal sehatmu?" Aku memohon semoga mas Raka terketuk pintu hatinya untuk mengembalikan putri semata wayang kami."Dia masih bayi. Masih menyusui, biar saja Aku yang merawatnya, Mas. Kalau Mas mau mengurusnya, sabarlah sampai usia dia genap dua tahun." Aku terus memohon tapi diseberang sana tidak ada jawaban lagi, sampai-sampai aku melihat ponselku masih aktif apa sudah mati. Ternyata mas Raka masih on tetapi kenapa dia tidak menjawab permohonanmu?"Mas kamu
"Apa kamu bilang? Tenang? Ibu mana akan tenang bila melihat anaknya ditusuk jarum segini rupa diaekujur tubuhnya? Ibu mana yang tega melihat anaknya dehidrasi karena ulah ayahnya sendiri?" Aku memaki mas Raka dengan penuh emosi. Lelaki yang tidak mempunyai hati nurani. Tega menyiksa anaknya sendiri."Maafkan aku, Ris. Aku tidak menyangka akan begini ceritanya." ujar mas Raka penuh penyesalan."Aku tidak butuh penyesalanmu, Mas. Simpan saja, tidak akan mengubah segalanya. Kalau penyesalanmu bisa membuat anakku menjadi sembuh, mungkin aku akan bahagia. Tapi semua itu tidak bisa. Jadi percuma kamu menyesal!" "Ris, aku minta maaf," Kali ini suara mas Raka melunak. Tidak seperti saat dia mengusir aku. Tidak sama seperti saat aku meminta uang belanja."Maaf ... maaf. Apa maksud kamu menculik Kalila? Emang kau bisa mengurusnya sendiri? Selama ini bukannya rajin sekali kau membantu aku untuk mengurus anak kita. Sekarang kok tumben! Kamu ingin menunjukkan pada orang-orang bahwa kamu itu ayah
Bayiku menangis tiada henti. Nampaknya dia kehausan. Segera aku meraih bayi kecil itu dengan pelan. Aku merindukan momen seperti ini. Biarpun kesusahan memberikan dia asi karena terbelit tali infus tapi aku sangat bahagia.Setelah memberikan susu, aku meletakkan kembali bayiku kedalam box bayi. "Kamu istirahat dulu, Ris. Semalaman kamu belum tidur. Biar kami yang jaga Kalila!" titah bik Arum."Gak apa-apa, Bik. Biar Risma jaga Kalila," ujarku."Dengar kata Bibik, Nak. Bibik khawatir nanti malah kamu yang sakit. Kasian bayimu!" nasehat bik Arum ada benarnya juga. Namun, aku takut saat mata ini terpejam, Kalila akan diambil lagi sama ayahnya."Nanti mas Raka akan mengambil Kalila lagi, Bik. Biarlah saya menjaga bayi saya." jawabku. Kepala ini memang tetasa sangat sakit, semenjak tadi malam mata ini belum terpejam semenitpun."Tidak akan berani dia kemari, lagi pula Raka sudah masuk sel tahanan. Apa bisa dia keluar untuk mengambil bayimu? Penjagaan disana lumayan ketat loh!" jelas bik A
"Risma! Keluar kamu!" teriak mantan ibu mertua dari luar rumah. Beliau menggedor-gedor pintu bagaikan orang yang sedang kesurupan. Aku tidak mau anakku terbangun, gegas berjalan ke arah pintu dan membukanya untuk wanita bertubuh gempal itu."Ada apa teriak-teriak? Kayak tarzan aja! Rumah Risma bukan dihutan, Bu. Tolong jaga sopan santun!" Kesal juga melihat mertua tidak ada pengertiannya sedikitpun. Kalila baru saja sembuh dari sakitnya, dia perlu beristirahat. Begitu juga aku sebagai ibunya juga butuh ketenangan, ini malah teriak-teriak tidak jelas."Mana cucuku. Mau aku bawa pulang!" Enak saja mau membawa Kalila. Selama ini dia peduli pun tidak terhadap anakku. Selama cucunya dirumah sakit juga, dia tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Sekarang malah seenak hati mau membawa Kalila, dengan alasan dia ingin merawatnya. Dan aku tidak yakin dia bisa merawat anakku dengan baik. Bisa-bisa anakku dicekokin nasi sebelum waktunya makan."Untuk apa Kalila, Bu? Kalau mau menjenguk saja s
"Saya sadar diri, Pak. Saya ini hanya seorang janda dan tidak akan mungkin ada pria baik-baik yang akan mau menikahi Saya." ujarku seraya memilin ujung gamis yang aku pakai."Saya tidak akan menikah lagi. Sampai kapanpun. Dimata Saya, lelaki itu sama saja, Pak. Hanya mau enaknya saja. Apalagi mertua dan ipar. Gak ah ... saya kapok!" lanjutku lagi.Masih trauma dengan perlakuan mertua dan adik ipar. Sebelum menikah mereka sangat baik padaku, tapi setelah setahun pernikahan semua terbongkar. Mereka bagaikan musuh bebuyutan selalu saja mencari masalah denganku.Baju yang aku beli dari hasil jerih payah bekerja dulu, diambil oleh ibu mertua untuk dipakai anak gadisnya. Begitu juga dengan sandal dan skincare. Semua diambil tanpa minta izin terlebih dahulu."Gak semua lelaki begitu, Ris. Dan juga tidak semua mertua dan ipar jahat!"Aku kok jadi curiga dengan pernyataan pak Aslan. Apa maksud dia ngomong begitu? Apa dia menginginkan aku untuk menjadi istrinya? Ah ... tidak mungkin. Dia lelaki