"Risma! Keluar kamu!" teriak mantan ibu mertua dari luar rumah. Beliau menggedor-gedor pintu bagaikan orang yang sedang kesurupan. Aku tidak mau anakku terbangun, gegas berjalan ke arah pintu dan membukanya untuk wanita bertubuh gempal itu."Ada apa teriak-teriak? Kayak tarzan aja! Rumah Risma bukan dihutan, Bu. Tolong jaga sopan santun!" Kesal juga melihat mertua tidak ada pengertiannya sedikitpun. Kalila baru saja sembuh dari sakitnya, dia perlu beristirahat. Begitu juga aku sebagai ibunya juga butuh ketenangan, ini malah teriak-teriak tidak jelas."Mana cucuku. Mau aku bawa pulang!" Enak saja mau membawa Kalila. Selama ini dia peduli pun tidak terhadap anakku. Selama cucunya dirumah sakit juga, dia tidak pernah menunjukkan batang hidungnya. Sekarang malah seenak hati mau membawa Kalila, dengan alasan dia ingin merawatnya. Dan aku tidak yakin dia bisa merawat anakku dengan baik. Bisa-bisa anakku dicekokin nasi sebelum waktunya makan."Untuk apa Kalila, Bu? Kalau mau menjenguk saja s
"Saya sadar diri, Pak. Saya ini hanya seorang janda dan tidak akan mungkin ada pria baik-baik yang akan mau menikahi Saya." ujarku seraya memilin ujung gamis yang aku pakai."Saya tidak akan menikah lagi. Sampai kapanpun. Dimata Saya, lelaki itu sama saja, Pak. Hanya mau enaknya saja. Apalagi mertua dan ipar. Gak ah ... saya kapok!" lanjutku lagi.Masih trauma dengan perlakuan mertua dan adik ipar. Sebelum menikah mereka sangat baik padaku, tapi setelah setahun pernikahan semua terbongkar. Mereka bagaikan musuh bebuyutan selalu saja mencari masalah denganku.Baju yang aku beli dari hasil jerih payah bekerja dulu, diambil oleh ibu mertua untuk dipakai anak gadisnya. Begitu juga dengan sandal dan skincare. Semua diambil tanpa minta izin terlebih dahulu."Gak semua lelaki begitu, Ris. Dan juga tidak semua mertua dan ipar jahat!"Aku kok jadi curiga dengan pernyataan pak Aslan. Apa maksud dia ngomong begitu? Apa dia menginginkan aku untuk menjadi istrinya? Ah ... tidak mungkin. Dia lelaki
Disinilah aku sekarang. Setelah dua tahun bercerai dengan mas Raka, aku masih setia dengan keputusanku untuk tidak menikah lagi. Aku fokus mengurus Kalila dan pekerjaanku. Selama dalam masa tahanan mas Raka hilang kontak dengan kami. Entah bagaimana kabarnya sekarang, apakah sudah bebas atau masih mendekam di dalam jeruji besi. Dia tidak pernah menafkahi anakku sampai usia Kalila saat ini sudah menginjak diangka dua tahun empat bulan. Mengenai pak Aslan, setelah penolakan malam itu, beliau sudah mulai banyak berubah. Tidak lagi banyak berbicara, juga sering menghindar setiap kali kami berpapasan. Begitu juga jika ada pekerjaan dikantor yang memaksakan kami harus mengerjakan bersama, pak Aslan lebih memilih menghubungiku melalui telpon seluler atau melalui asisten pribadinya. Bagiku itu lebih baik, aku juga merasa tidak enak jika pak Aslan terlalu dekat dan mencampuri urusanku. Bukan sok cantik, tapi seperti yang aku katakan tadi. Aku ini seorang janda, yang selalu dipandang sebelah
"Papa, jangan pergi!" Kalila menarik tangan pak Aslan ketika lelaki berhidung mancung hendak keluar rumah."Gak boleh gitu, Nak. Pak Aslan harus pulang." ujarku menenangkan Kalila."Papa, Ma! Bukan pak Aslan!" Teriak anakku histeris. Belum selesai aku berbicara dia sudah duluan memotong pembicaraanku. Mungkin efek dari kecapaian sehingga membuat dia menjadi tantrum."Besok Papa kemari lagi ya, Nak. Papa harus ke kantor dulu. Cari duit biar kita bisa jalan-jalan lagi kayak tadi!" Janji pria dua puluh sembilan tahun itu seraya mengelus pucuk kepala anakku. Gara-gara Kalila menabrak pak Aslan jadinya semakin ribet dan susah untuk menjauhkan lelaki itu dari hidupku."Janji ya? Gak boleh bohong." Kalila menautkan jari kelingkingnya ke jari kelingking pak Aslan. Beliau tersenyum melihat kecerdasan anakku. Usianya masih dua tahun empat bulan tapi cara berbicara bagaikan anak usia lima tahun."Iya. Papa janji!" Pak Aslan terpaksa menyebut dirinya sebagai papa karena Kalila menganggap lelaki b
"Kalila demam?" tanya Ratih dengan suara serak khas orang bangun tidur. Aku mengangguk merespon pertanyaan sepupuku itu. Dengan tergesa-gesa Ratih melangkahkan kakinya menuju ke kamar kami. "Pa ..." Kalila masih saja memanggil-manggil papanya. Aku dan Ratih saling pandang, beberapa detik kemudian Ratih mengangkat Kalila dan menggendongnya. "Kita bawa ke rumah sakit, sekarang!" titahnya. Tanpa berfikir dua kali aku langsung meraih jilbab instan dan memakainya. "Demamnya tinggi banget, Ris! Cepat dikit. Aku takut anakmu step!" Benar sekali apa yang diucapkan Ratih. Pernah aku baca disebuah artikel, jika anak belum genap lima tahun akan rawan kejang-kejang jika panas tinggi. Gegas aku menuju ke garasi dan mengeluarkan mobil. Jam di dinding menunjujkan diangka tiga dini hari. Sengan keberanian yang aku punya, akhirnya kami keluar membawa Kalila ke rumah sakit. Sampai dirumah sakit, Ratih segera membawa Kalila ke ruang Unit Gawat Darurat. Aku ikut menyusul dari belakang. "Suster, to
Saat ini Kalila sudah bisa dibawa pulang. Anakku tidak demam lagi dan sudaha mulai ceria lagi. Kata dokter demamnya bukan karena ada penyakit tertentu. Namun, ada keinginan dia yang belum terpenuhi. Aku jadi berfikir sendiri, keinginan apa yang belum aku penuhi? Lagi pula Kalila tidak pernah meminta apa-apa padaku. "Kamu kerja hari ini, Ris?" tanya ibu tatkala melihat aku bersiap-siap mau ke kantor. "Iya, Bu. Risma sudah lama libur kerja. Kerjaan pasti sudah semakin menumpuk!" ujarku seraya membenahi bentuk jilbab segi empat yang aku pakai. "Tidak bisa kah kamu libur sehari lagi, Nak?" tanya ibu dengan nada memohon. "Kenapa, Bu. Kalila kan sudah sembuh? Lagipula ada mbok Sri yamg menemaninya!" tanyaku pada wanita lima puluh tahun itu. "Bukan itu masalahnya, Nak. Ibu masih kangen sama kamu. Kita belum selesai berbicara masalah yang ibu bilang tadi malam kan?" jawab dan tanya ibu seraya memasangkan bros dijilbabku. Sejak kecil ibu yang selalu memperhatikan penampilanku. Jika tid
Setelah perjumpaan dengan mas Raka tadi pagi, aku berharap tidak akan berjumpa lagi dengan manusia tak berhati itu.Padahal anaknya baru saja keluar dati rumah sakit dan sangat merindukan sosok ayahnya. Tetapi ayahnya jangan menjenguk anaknya, bertanya kabar saja tidak pernah.Heran, bukannya nanya bagaimana perkembangan Kalila malah bertanya apa aku sudah menikah atau belum. Memang kalau aku belum menikah, apa akan merugikan dia? Enggak 'kan?Meeting hari ini dibatalkan karena ada sesuatu hal yang tidak bisa dijelaskan. Aku juga tidak menanyakan apa sebabnya sama pak Aslan. Untuk berjumpa dengannya saja aku sudah sangat malu. Bagaimana tidak. Dia mengatakan punya mas Raka sebesar kelingking bayi makanya tidak enak saat berhubungan denganku. Tuhan ... kalau mengingat itu, aku sangat malu. Apalagi aku janda dan pak Aslan duda.Selama seminggu tidak masuk kerja, pekerjaanku dikantor jadi menumpuk. Aku mengerjakan tanpa mengenal lelah. Hingga tak terasa waktu sudah menunjukan diangka ti
"Hama?" tanyaku penasaran. Pak Aslan menyebutkan mantan suamiku dan keluarganya sebagai hama. Betul juga sih. Mereka selalu saja suka mengganggu kemana saja aku pergi."Iyalah. Kalau bukan hama apalagi yang pantas dijuluki untuk keluarga mantan kamu?" Aku tersenyum mendengar pak Aslan berbicara. Lelaki berlesung pipi itu sekali-kali menatap kearahku.Sesampai dihalaman rumah aku dikejutkan dengan pemandangan yang menurutku aneh.Dirumahku ada acara apa ya? Kok ramai sekali? Apa ini berkaitan dengan Ratih pulang cepat tadi siang ya?"Ada acara apa rame-rame dirumahmu, Ris!" tanya pak Aslan dengan wajah penasaran tatkala melihat banyak mobil pribadi berjejer dihalaman rumahku. Ada sekitar empat mobil terparkir disana."Gak tau, Pak!" jawabku seraya melepaskan seatbelt."Masak kamu gak tau?" tanyanya heran. Aku juga heran, mengapa sebagai anggota keluarga tidak diberitahu jika dirumah ada acara."Coba Saya lihat dulu! Bapak mau masuk atau langsung pulang?" tanyaku pada lelaki berhidung m