Share

Bab 4. Berjumpa sepupu

"Ya sudah. Kalau Mas mau mencari istri lain. Silahkan. Adek tidak bisa melarangnya!" ujarku seraya melangkah masuk kamar, meninggalkan mereka bertiga yang masih melongo diruang makan.

Jadi perempuan itu dituntut menjadi makhluk yang sempurna. Wanita dituntut harus bisa memasak, mencuci, mengurus anak dan suami. Harus pandai merawat diri. Harus mengurus mertua dan juga harus pandai mengatur keuangan dalam rumah tangganya. Jika tidak suami akan mencari istri kedua, ketiga dan seterusnya. Haruskah begitu? Istri saja yang dituntut sempurna sementara lelaki tidak perlu!  Tidak adil bukan?

"Nanti kamu menyesal! Kamu pikir, enak menjadi janda? Ibu yakin seribu persen tidak ada pria yang mau menikahimu! Jangankan menikahi, mendekat aja, ogah!" hina ibu mertua dengan tatapan sinis.

"Risma malah bahagia bisa lepas dari mas Rama, Bu. Apa yang bisa dibanggakan lelaki pelit seperti dia? Bukan kebahagiaan yang saya dapat selama menikah dengannya tetapi penderitaan yang tidak kunjung usai." hinaku. Entah dari mana datang keberaniaan ini sehingga aku hisa melawan mertua yang hanya bisa menghina saja. Hidup bagai babu untuk apa dipertahankan.

"Kurang ajar kamu, Dek! Pergi kau dari rumah ini, Risma! Aku sudah muak melihat kamu!" Mas Raka menyeret tubuh ini keluar rumah.

Bruk

Tubuhku jatuh tersungkur, untung tidak mengenai sudut teras rumah kalau tidak, aku pastikan kepalaku berdarah.

"Aku akan pergi dari rumah ini, Mas. Tapi jangan pisahkan aku dengan Kalila," aku tidak lagi menyebutkan diri ini panggilan kesayangan pria itu. Saat ini hanya Kalila saja dalam isi tempurung kepalaku. Tidak ada yang lain. Aku sudah siap lahir batin berpisah dengan mas Raka.

"Bawa anakmu sekalian. Jangan menampakkan lagi wajahmu didepanku!" Ibu mertua menyerahkan bayi merah itu yang masih terlelap. Dengan mata berkaca-kaca aku meraih bayi mungil itu dan menggendongnya.

"Terima kasih ...."

Bruk

Belum selesai aku berbicara, tiba-tiba adik ipar melemparkan tas berisi bajuku dan juga Kalila. Entah sejak kapan dia mengemasinya. Sekarang tas itu berada dilantai.

"Pergi kau!" Iparku menunjuk wajahku dengan tangan kirinya. Sementara mas Raka hanya diam seakan tidak ada lagi rasa sayangnya terhadap kami berdua.

Tanpa berpamitan aku melangkahkan kaki keluar dari pintu gerbang rumah yang telah setia mengisi hari-hari dalam suka dan duka selama tiga tahun belakangan ini.

Pikiranku tak menentu saat ini. Kemana tubuh ini akan kubawa pergi, sementara uang satu rupiah pun tidak berada dikantongku saat ini. Kaki ini terus berayun tidak tahu kemana arah yang akan kutuju. Matahari bersinar sangat menusuk ketulang sehingga bayiku menangis tiada henti dan menjadi pusat perhatian para pengguna jalan.

"Jangan nangis sayang! Syuh ... syuh ... syuh!" Ku ayun-ayun bayiku sembari mengusap air mata yang sudah terlanjur jatuh disudut mataku.

Tuhan ... berat sekali cobaan hidupku. Berilah aku kekuatan. 

Ciit. 

Aku tersentak saat mendengar suara decitan mobil hampir saja menabrak tubuh ini. Segera aku memutar tubuh ini dan melihat mobil berwarna silver berhenti tepat dibelakangku.

"Risma ... kamu ngapain disitu!" Terdengar suara cempreng yang sangat familiar digendang telingaku. Ya dia adalah Ratih. Sepupuku,  sekarang sedang mengenyam pendidikan di luar negeri. Tapi kenapa dia bisa berada disini ya? Bukankan dia masih kuliah? Atau jangan-jangan dia kena Drup Out? 

"Ratih? Apa kabarmu?" Aku memeluk kuat wanita berambut golden brown sebahu itu seakan sedang melepas segala kegundahan hati ini.

"Baik. Hei ... ini bayi kamu? Cantik sekali! Siapa namanya? Aku kangen berat sama kamu." Cerocos Ratih panjang lebar. Anak itu masih saja cerewet sampai sekarang. Kalau berbicara, kayak gerbong kerete api musim lebaran. Panjang dan entah kapan akan selesainya. Sampai lawan bicaranya hanya terdiam seribu bahasa.

"Kalila!" jawabku lemah.

"Kapan pulang, Tih? Kenapa gak kasih kabar?"

"Sudah sebulan. Kan kuliahku sudah selesai, Ris, dan sekarang melanjutkan bisnis kakek!" Ratih mencium lembut anakku. Walaupun bar-bar tetapi wanita itu berhati lembut. Dia snagat menyukai anak kecil makanya jangan heran kalau rumah dia banyak didatangi anak-anak tetangga.

"Ngomong-ngomong, kamu sama siapa? Mau kemana?" Ratih melirik tas besar yang tergeletak dipinggir jalan. Aku semakin tergugu mendengar pertanyaan sepupuku itu.

"Ris, kamu kenapa?" Ratih menangkupkan kedua tangannya diwajahku. Air mataku semakin deras bergulir membasahi pipi.

"Ris ... ada apa? Sini sini. Ayo masuk!" Ratih menyeret tubuh ini untuk masuk kedalam mobilnya. Tas lusuhku ditaruhnya dijok belakang.

"Kamu harus jelaskan sama aku, Ris. Kamu kenapa? Apa diusir suamimu?" tanya Ratih. Aku mengangguk pelan saat Ratih menoleh sekilas kearahku dengan tangan masih setia diatas kemudi. 

Kemudian, aku menceritakan bagaimana perlakuan mertua dan suami terhadap diri ini, tanpa aku tutupi sedikitpun.

"Kurang ajar, Raka. Berani dia main-main dengan keluargaku? Aku tidak terima, Ris. Harus kita balas semua perbuatan dia!" tutur Ratih dengan emosi menggebu-gebu. Tangannya menggepal kuat roda kemudi seakan ingin diremukkannya.

"Balas?" gumamku pelan. Air masih membanjiri kedua pelupuk mata ini. Sekali-kali aku cium dan peluk bocah kecilku itu. Hanya dia yang membuat aku bertahan saat ini. Mungkin kalau Kalila tidak ada aku sudah menceburkan diri kesungai.

Aku tidak menyangka usia pernikahan kami akan segera berakhir, aku tidak menyangka jodoh kami hanya bertahan sampai disini.

Dulu, aku merasa aku ini wanita paling bahagia dimuka bumi ini. Disayang dan dimanja oleh mas Raka. Tapi itu hanya sebentar saja. Semua itu ulah mertua dan adik ipark yang selalu menghasut sehingga mas Raka lama-lama terpengaruh juga.

"Kamu jangan lemah. Nangislah sepuas-puasnya hari ini. Tapi, jangan sampai besok aku lihat lagi air matamu menangisi lelaki berhati sampah itu!" bentak Ratih membuatku tersentak dalam lamunan.

"Apa yang harus aku lakukan? Kasian anakku masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ayahnya!" ujarku tersedu saat menatap bayi yang masih terlelap dalam gendonganku.

"Ayo pulang kerumahku dulu. Ibu juga kangen sama kamu, Ris. Selama menikah dengan bajingan itu kamu semakin jauh dengan keluarga. Jadi babu keluarga Raka!" sindir Ratih kesal.

Selama dalam perjalanan, banyak hal yang kami bicarakan. Sepupu aku sangat marah terhadap keluarga Raka dan bersumpah akan membalas perbuatan dia.

"Makanya kamu kerja aja di perusahaan kakek. Jangan sok jual mahal. Percuma sarjana akutansi dengan lulusan caumlaude kalau tidak dipergunakan ilmunya!"

"Tapi aku sudah lama tidak bekerja. Ilmuku sudah hilang entah kemana!"

"Jangan merendah, Ris. Ayo semangat! Besok aku tunggu kamu dikantor. Kebetulan kepala divisi keuangan sudah memasuki usia pensiun! Aku harap kamu bisa menggantikannya!" Semangat adik sepupuku sangat tinggi dan rasa percaya dirinya juga diatas rata-rata.

"Kalo aku bekerja, anakku sama siapa? Aku gak percaya sama orang lain!"

"Kamu tenang ajalah. Kan ada ibu. Ibu aku sangat senang melihat anak-anak. Ayo, Ris. Tunjukkan sama Raka kalau kamu bisa hidup tanpa dia. Jangan mau diremehkan!" Ratih terus memberi semangat untukku. 

"Aku tidak mau menyusahkan siapa-siapa! Kasian bibik sudah tua malah mengurus anakku!" 

"Heleh. Dan kamu pikir aku akan senang melihat kamu seperti ini? Ayolah Ris. Kamu gak usah khawatir. Dirumah ibu ada pembantu nanti yang bantu-bantu menjaga anakmu. Udah, tenang aja!" Ratih nampak kesal melihat aku yang begitu lemah. Memang aku akan lemah jika menyangkut Kalila. 

Sesampai dirumah bik Arum aku disambut bahagia. Bik Arum merupakan istri om Hidayat, adik kandung ayah. 

"Ris, besok kamu masuk kerja. Om tidak mau dengar apapun alasan kamu!" perintah om Hidayat tidak ada yang berani membantah. Ternyata Ratih sudah mengadu semuanya kejadian yang menimpaku pada om Hidayat.

"Tapi, Om."

"Gak ada tapi-tapi. Jadi wanita kok lemah sekali!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status