"Gimana, Tih penampilanku?" tanyaku pada Ratih. Jujur aku sangat deg-degan karena hari ini merupakan hari pertama aku bekerja diperusahaan keluarga Hadiningrat.
"Kamu sangat cantik memakai baju itu, Ris. Aku gak bohong!" jawab Ratih jujur. "Duh ... nervous. Sudah lama tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak." Ternyata aku katrok juga ya. Dari tadi mondar mandir saja didepan cermin demi memastikan penampilan."Tenang. Jalani saja! Semua akan baik-baik saja!" Ratih terus memberikan semangat untukku."Aku mundur saja, Tih." ujarku minder."Kok mundur sih? Emang mau balikan sama suamimu?" tanya Ratih dan aku menjawab dengan menggeleng."Buktikan pada dia kamu bisa hidup tanpa dia. Emang kamu mau diremehkan terus?" Ucapan Ratih membuat aku bersemangat untuk menjadi wanita sukses. Aku tidak mau diremehkan lagi.Setelah berpamitan pada bik Arum dan Kalila, aku langsung mengikuti langkah kaki Ratih menuju ke perusahaan tempat dimana aku akan bekerja.Barisan mobil mewah para karyawan yang bekerja disitu berjejer rapi di area parkiran. Sebenarnya aku sedikit minder karena belum berpengalaman mengurus perusahaan sebesar ini."Tih, penampilanku sudah oke belum?" tanyaku pada wanita dua puluh empat tahun itu. Kami dilahirkan ditahun yang sama, hanya bulan saja yang berbeda."Kamu keren kok. Minggu besok kita ke salon, kita perawatan ya? Aku udah lama juga gak perawatan! Sekalian belanja baju branded!""Pemborosan!" ujarku dengan nada ketus."Untuk penampilan bukan pemborosan namanya. Emang kamu mau diremehkan saat jadi pembicara jika ada meeting? Kamu itu bukan ibu rumah tangga lagi, yang jika memakai daster bolong tidak ada yang peduli," ujar Ratih seraya melangkahkan kaki menuju ke ruangan presiden direktur."Iyalah, bu Ratih!" "Semoga aku tidak mengecewakan kamu dan om Hidayat ya?" ujarku pelan."Tentu. Terutama misi pembalasan kita harus tetap jalan. Aku akan membantu kamu dalam melaksanakan misi itu!" Aku hanya mengangguk saja, kaki ini sudah berada dilantai tiga perusahaan terbesar dinegara ini.Ratih mengajakku untuk masuk kesalah satu ruangan yang aku tidak tahu ruangan apa. Diruangan itu terdapat meja-meja dengan pembatas setinggi dada tertata rapi."Selamat pag!" Suara lantang Ratih berteriak saat sudah berada diambang pintu.Nampaknya dia sangat akrab dengan karyawan disini. "Pagi!" sahut mereka serentak."Perkenalkan bos baru kalian. Jangan malas-malas kerja. Dia ini seram kalau marah!" Aku menepuk pundak Ratih dan dia hanya meringis dengan wajah dibuat-buat sedih."Siapa namanya, Bu!" tanya salah seorang karyawan berparas tampan. "Namanya Risma. Cantik kan? Tapi hati-hati kalau dia marah kayak harimau siap menerkam mangsanya!" Ratih bagaikan demonstran yang sedang beorasi meminta turun harga."Ayo kita masuk ruang meeting. Ada hal yang mendadak yamg harus dibahas!" Ujar Ratih seraya mengibaskan tangannya mengajak aku dan yang lainnya untuk segera menuju ke ruang yang dia maksud tadi.Baru saja keluar dari ruangan, tubuh ini bergetar hebat tatkala mataku bersirobok dengan lelaki yang telah menjadi imamku selama tiga tahun belakangan ini. Yang lebih menyayat hati, dia berjalan berpegangan tangan dengan seorang wanita yang berpakaian seksi."Pagi pak Raka! Bu Rita!" sapa salah satu karyawan dan disusul dengan yang lainnya. Nampaknya suamiku orang yang mempunyai jabatan tinggi disini, itu terlihat saat mereka menyapa mas Raka dengan sopan.Mas Raka hanya mengangkat tangannya tanpa mengeluarkan sepatah kata pun.Setelah semuanya bubar dan sepi kemudian Raka mendekatiku.
"Ngapain kamu kemari? Mau minta maaf?" Makanya jadi istri jangan melawan, akhirnya sadar juga kamu kan?" tanya mas Raka dengan nada sombong."Kelaparan kamu gak aku kasih uang belanja? Kasian sekali!" ejek mas Raka seraya berlalu ke ruangnya. "Siapa pria itu, Ris?" Aku tersenyum sinis menatap punggung mas Raka hingga menghilang dibalik pintu."Hei ... kamu kok diam. Ngomong apa pak Raka? Dia suka sama kamu? Jangan tergoda dia itu mata keranjang!""Tih, kamu kenal suami aku?" tanyaku berbisik ditelinga sepupu yang masih menatap kamar kerja mas Raka penuh kebencian. Setahu aku Ratih belum pernah berjumpa dengan mas Raka karena waktu pernikahan kami, Ratih masih kuliah di luar negri."Jangan bilang Raka ini suami kamu, ya?" Aku mengangguk pasti membuat mata Ratih hampir keluar dari sarangnya."Bajingan dia! Tidak salah lagi jika kita harus melakukan balas dendam dan aku pastikan aku akan berdiri paling depan dalam melawan pak Raka!" Tangan Ratih menggepal kuat ke udara."Ayok kita ke ruang meeting!" Ratih menarik lembut tangan ini. Aku melangkah canggung dibawah tatapan banyak orang. Namun, aku berusaha tampil percaya diri."Kamu duduk disini, tunggu yang lain masuk semua!" titah Ratih. Entah apa jabatan Ratih disini, semua orang segan sama dia dan juga semua keputusan berada ditangannya. Aku bagaikan kerbau yang dicucuk hidung menurut aja semua perintahnya."Duduk, Ris. Jangan bengong aja kamu. Kayak ayam sakit!" bisik Ratih sambil menarik kursi untuk aku duduki. Setahuku, kursi yang aku duduki ini merupakan kursi pemimpin, tapi kenapa Ratih menyuruh duduk disini? Entahlah!Sambil menunggu semua berkumpul, aku membuka-buka laporan dan mempelajarinya.
"Sudah kumpul semua ya?" Ratih memulai membuka acara. Dikursi paling belakang terlihat mas Raka masih bercakap-cakap dengan wanita yang bernama Rita tadi."Oke sekarang kita mulai rapatnya. Sebelumnya saya perkenalkan manager baru perusahaan kita. Bu Risma silahkan perkenalkan diri!" Aku melotot menatap Ratih. Kenapa dia tidak memberitahu dari tadi jika aku merupakan salah satu pejabat perusahaan Hadiningrat? Setidaknya aku sudah membuat persiapan berbicara didepan umum.Kakiku rasanya tidak sanggup lagi menopang tubuh ini. Sekujur tubuhmu bergetar hebat. Perlu beberapa detik untuk mengumpulkan rasa percaya diriku."Selamat pagi semuanya. Perkenalkan saya Risma yang akan menjabat sebagai manager diperusahaan ini. Saya harap kita bisa kerja sama dengan baik sebagai sebuah tim. Terima kasih!" pidato singkat. Untungnya pernah belajar berbicara didepan umum sewaktu zaman kuliah dulu.Sekilas aku lihat mas Raka tertunduk. Selama ini dia merasa lebih berkuasa ternyata sekarang jabatan dia diperusahaan ini dibawah naunganku. Kalau macam-macam, tidak segan-segan aku akan memecatnya. Apalagi dia sudah berani selingkuh dikantor dengan sekretaris yang bernama Rita.
"Oke. Nanti bu Risma akan meminta berkas dan dokumen masing-masing staff. Semua boleh kembali keruangannya masing-masing!" Ratih menutup rapat.Sebelum keluar, semua orang mengangguk kepala tanda hormat kecuali pria yang masih berstatus suamiku itu.***"Meta, tolong panggil pak Raka untuk menghadap saya," perintahku pada sekretaris, yang bernama Meta."Baik, Bu!" Tidak berapa lama mas Raka maasuk ke ruanganku dengan wajah merah padam ... mungkin dia sakit hati karena jabatankublebih tinggi dari dia."Silahkan duduk!" Aku mempersilahkan mas Raka duduk, disini kami bagaikan tidak pernah saling kenal."Pak Raka, kenapa laporan bagian keuangan berantakan begini? Tolonng jelaskan, kenapa perusaahaan bisa merugi begini?" tanyaku penuh penekanan seraya membuka dan menbaca laporan yang diberikan bagian keuangan."Apa maksudmu bekerja diperusahaan Alpadri corporation, Ris? Mau menunjukkan kalau kamu lebih hebat dari aku? Tidak akan bisa Risma! Kau tetap wanita lemah yang butuh belaian seorang Raka!" Mas Raka bangkit dari duduknya, tangannya membelai kepalaku tetapi langsung saja aku tepis."Jangan kurang ajar kamu!" Teriakku disambut tawa menggema dari seorang lelaki yang ernah merajai hati ini."Sudah lama kamu tidak mendapat belaian laki-laki. Pasti kamu kesepian, Ris." Mas Raka hendak membelai pipi, belum sempat tangannya mendarat dipipi ini. Tiba-tiba dia meringis kesakitan karena kepalanya aku pukul dengan tapak high heels milikku."Keluar kau!" usirku seraya menunjuk kearah pintu ruanganku."Istri durhaka!" Mas Raka hendak melayangkan tangannya kewajahku tapi segera aku tangkap."Saat ini aku bukan istri Anda lagi, pak Raka. Ingat aku ini atasan Anda! Jika Anda masih kurang ajar juga, aku tidak akan segan-segan untuk memecat Anda!"Matahari Bali menyambut hangat saat aku dan Mas Aslan tiba di bandara. Angin tropis yang lembut menyapu wajahku, membuatku langsung merasa rileks. Mas Aslan menggenggam tanganku erat, senyum lebar terukir di wajahnya. Dia tampak sangat bahagia, dan itu membuatku merasa tenang."Selamat datang di Bali, sayang," ujarnya dengan suara lembut.Aku mengangguk, senyumku tak pernah lepas. "Aku sudah tak sabar menjelajah tempat ini denganmu."Kami naik mobil menuju vila pribadi di Ubud, tempat yang dikelilingi hutan dan sawah hijau. Vila itu tampak begitu tenang, dengan kolam renang pribadi dan pemandangan alam yang menakjubkan. Sesampainya di sana, kami disambut oleh staf vila yang ramah. Vila ini terasa seperti surga tersembunyi, jauh dari hiruk pikuk kota.Mas Aslan segera menarikku ke teras, di mana pemandangan hamparan sawah membentang di depan kami. Langit cerah dengan awan putih yang menggantung di kejauhan. "Ini indah sekali," gumamku sambil menyandarkan kepala di pundaknya."Iya, tap
Sinar matahari pagi masuk dari celah tirai kamar, membangunkan aku dari tidur. Di sebelahku, Mas Aslan masih tertidur lelap. Aku tersenyum memandang wajahnya yang tampak damai. Tapi, pikiranku sudah melayang pada sesuatu yang harus segera aku lakukan, meminta izin kepada Kalila, putri kecil aku sama mas Raka, untuk pergi berlibur hanya bersama Mas Aslan selama tiga hari.Dengan hati-hati, aku bangun dari tempat tidur dan berjalan keluar kamar menuju kamar Kalila. Dia pasti sudah bangun. Setiap pagi, Kalila selalu bangun lebih awal untuk bermain dengan mainannya di ruang tamu atau menonton kartun kesukaannya. Benar saja, begitu aku membuka pintu kamar, aku melihat Kalila duduk di sofa dengan boneka beruang di tangannya, matanya terpaku pada layar TV yang menampilkan kartun favoritnya.“Pagi, Sayang,” sapaku sambil berjalan mendekat dan duduk di sampingnya.Kalila menoleh dan tersenyum lebar. “Pagi, Mama!”Aku memeluknya erat, lalu mencium pipinya. "Lagi nonton apa nih?"“Nonton kartun!
Sinar matahari menerobos tirai kamarku, membangunkanku dengan lembut. Di sampingku, mas Aslan masih terlelap, wajahnya terlihat tenang. Aku tersenyum tipis, teringat kejadian kemarin saat kami resmi menikah. Rasanya seperti mimpi, bisa bersama pria yang dulu hanya aku lihat sebagai atasan. Tapi, hidup memang penuh kejutan, bukan?Setelah mandi dan bersiap, aku melirik ke arah jam dinding. "Waktunya bangunin suami gantrngku," gumamku. Dengan hati-hati, aku mendekati mas Aslan, lalu menyenggol bahunya pelan."Sayang, bangun, Say. Kita harus berangkat ke kantor," bisikku ditelinganya.Ia bergumam pelan, matanya masih terpejam. "Lima menit lagi, ya? Mas masih mengabtuk sekali ni! ..."Aku menggeleng, lalu sedikit menggelitik perutnya. "Nggak ada lima menit lagi. Ayo bangun!"Ia tertawa kecil, akhirnya membuka mata dan menatapku. "Baiklah, baiklah. Kamu memang nggak bisa ditolak."Pagi itu kami berdua berangkat ke kantor seperti biasa. Meskipun kami sekarang sudah resmi menikah, rutinitas
“Aku ingin Kalila tinggal bersamaku, Risma.”Kalimat itu langsung menghantam hatiku seperti petir di siang bolong. Aku menelan ludah, berusaha mengendalikan diri.“Mas, Kalila adalah hidupku. Dia nyawaku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa dia,” jawabku tegas namun tetap menjaga nada suaraku agar tidak terdengar terlalu emosional.Mas Raka menghela napas berat. “Aku tahu kamu sayang sama dia, Risma. Aku juga sayang sama Kalila. Tapi aku pikir, sudah waktunya dia tinggal denganku. Aku ingin lebih terlibat dalam hidupnya. Selama ini, aku merasa jauh dari dia, dan aku tahu itu salahku. Tapi aku mau memperbaikinya.”Aku bisa melihat kejujuran di matanya, tapi itu tidak membuat permintaannya lebih mudah kuterima. Aku menggenggam tanganku erat-erat, berusaha menahan emosi yang mulai membuncah.“Mas, selama ini aku yang membesarkan Kalila sendirian. Aku tahu kamu ayahnya, dan aku tidak pernah melarang Kalila bertemu denganmu. Tapi Kaluka butuh stabilitas, dia butuh merasa aman. Selama
Di tengah kabut duka itu, berita lain yang tak kalah menyakitkan datang. Mantan ibu mertuaku, ditemukan meninggal setelah melompat dari jembatan. Ia diketahui mengalami depresi berat sejak putri satu-satunya meninggal secara tragis."Mas, mantan ibu mertua Risma meninggal!" Aku memberitahukan berita duka ini pada mas Aslan."Innalillahiwainnailaihi rojiun! Sakit apa?" Mas Aslan juga kaget mendengar berita duka bertubi-tubi seperti ini. Baru saja tadi pagi berita kematian Rani, sekarang ibunya menyusul"Bvnvh diri nampaknya. Beliau lompat dari jembatan, Mas!""Apa?""Beliau malu Rani hamil diluar nikah! Jadinya stres dan depresi. Akhirnya gak sanggup, ya lompat dari jembatan!" jawabku lagi."Kasihan, ya!""Hmmm! Boleh Risma melayat, Mas?" tanyaku. Aku sih tidak memaksa jika mas Aslan melarangnya, cuma sekedar mengucapkan belasungkawa saja pada mantan suamiku."Boleh-boleh aja, sih! Apa perlu Mas antar?" "Gak usah, Mas. Sebentar lagi Mas mau meeting, kan? Kalau Risma pergi sendiri, apa
"Aku hamil," tiba-tiba Rani berkata dengan suara bergetar, tapi jelas. Matanya mulai basah dengan air mata."Mas ... kamu harus bertanggung jawab."Kalimat itu membuat suasana di meja mereka mendadak hening. Wajah istri Bayu tampak kaget, sementara Bayu hanya bisa menunduk. Aku menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya."Rani, jangan begitu..." kata Bayu akhirnya, suaranya rendah dan penuh rasa bersalah. "Aku nggak bisa bertanggung jawab. Ini... ini semua terlalu rumit.""Terus apa maksud kamu, Bayu?" Rani tidak bisa menahan emosinya lagi. "Aku ini mengandung anak kamu! Apa kamu mau lepas tangan begitu saja?"Bayu tampak semakin terpojok. Dia berusaha menghindari tatapan Rani, sementara istrinya berdiri di sana dengan mata terbuka lebar, seolah-olah tidak percaya apa yang baru saja dia dengar. Wajahnya mulai memerah, dan aku tahu, badai yang lebih besar akan segera datang."Bayu!" teriak istrinya. "Apa maksudnya ini? Dia hamil anak kamu? Kamu pikir aku bisa terima in