Share

Bab 3. Ancaman Mas Raka

"Jam segini kamu belum masak, Risma? Apa saja kerja kamu seharian? Bagaimana mau betah suamimu dirumah?" tanya mertua saat membuka tutup saji dan melihat isinya kosong disana. 

Enak saja beliau kalau berbicara, tidak melihat bagaimana kondisi menantunya yang kerepotan mengurus bayi. Sementara dia itu, bukannya membantu malah bertandang ke rumah-rumah tetangga. Bergosip ria. 

"Belum, Bu. Kalila tidak mau ditinggal sendirian." Anakku masih bayi, entah kenapa kalau ditinggal selalu saja rewel. Minta digendong bahkan kalau dia tidur harus ada orang yang menemaninya. 

"Makanya anak kamu jangan terlalu dimanjai. Sedikit-sedikit gendong. Jadinya bau tangan kan?" Protes mertua. Wajarlah aku menggendong Kalila jika menangis, masak aku lihatin aja. Aneh. 

Tiba-tiba saja mertua membanting pintu kamar, spontan saja bayi empat bulan itu tersentak kaget sehingga dia menangis histeris. 

"Ibu, pelan-pelan dong tutup pintunya. Kalila kaget! Jadi menangis!" teriakku kesal. Jangankan membantu. Kehadirannya disini malah membuat pekerjaanku semakin bertambah dan berat. 

"Kamu siapa rupanya ngatur-ngatur Ibu? Ini rumah anakku! Kamu cuma numpang disini!" bentak ibu mertua. Beliau berjalan mendekatiku yang sedang menidurkan Kalila. Aku bangun seraya mengangkat bayiku dan mendekapnya kedada.

"Bukan membentak! Maunya Ibu itu sebagai orang tua dan neneknya Kalila mengerti kondisi cucunya. Bukan malah membuat keributan!" Sudah tidak sanggup lagi rasanya melihat tingkah ibu mertua yang tidak ada pengertiannya sedikitpun. 

"Mengerti bagaimana. Jadi Ibu biarkan saja anakku kelaparan nanti pulang kerja! Dimana otakmu!" Telunjuk mertua menoyor keningku.

"Ibu kan tau kalau Kalila gak bisa ditinggal? Dia rewel terus dari tadi! Kan Ibu lihat sendiri bagaimana dia rewel tadi?" jawab dan tanyaku pada wanita paruh baya tersebut. 

Kehadirannya hanya membuat aku semakin stres saja. Kata mas Raka, ibu mertuaku akan membantu selama tinggal menemaniku dirumah ini. Nyatanya? Semua aku kerjakan sendiri, kedatangan beliau malah menambah beban pikiranku saja. 

"Ah ... itu saja tidak bisa kamu kerjakan? Manja sekali kamu, Ris!" Mertua bisanya nyerocos saja dari tadi. Aku juga bosan mendengarnya. Badan sudah capek ditambah mendengar ocehannya tidak henti-henti menyalahkan aku, membuat raga ini semakin bertambah lelah rasanya. 

"Kenapa tidak Ibu saja yang kerjakan. Maunya Ibu lihat saya kerepotan dengan anak, bukannya membantu malah menambah beban pikiran saja!" Aku sudah tidak tahan lagi mendengar ucapan mertua yang terus saja menyalahkanku. 

"Hebat kau ya? Sudah pandai memerintah Ibu? Emang kamu siapa?" tanya mertua dengan berkacak pinggang serta mata melotot. 

"Ibu itu mertua saya dan sudah saya anggap seperti ibu kandung saya sendiri," ujarku setelah kutaroh Kalila diatas tempat tidur.

"Tolong jangan ribut. Saya mau masak." Segera aku beranjak dan menuju ke dapur untuk memasak. Jam juga sudah menunjukkan diangka 11.00 wib. 

Mas Raka biasanya pulang jam 13.00. Masih lah sempat memasak, lagi pula masakannya gak terlalu ribet. Sambal telur sama tumis labu siam saja. Itupun sudah mewah mengingat uang yang diberikan mas Raka tidak seberapa. Jadi aku harus berhemat sampai gajian berikutnya. 

Saat kaki ini hendak melangkah ke dapur, mertuaku berteriak,

"Hei, kamu mau kemana? Kamu acuh tidak acuh sama Ibu. Kamu tidak menghargai Ibu ini sebagai mertuamu! Main perintah saja. Apa kamu tidak diajari sopan santun?" tanyanya. Beliau mengejar diri ini dan menarik lengan sehingga tubuhku memutar balik kearahnya. 

"Bukan memerintah, Bu. Kita disini saling membantu. Maunya Ibu lihat saya kerepotan begini, mbokya Ibu bantu memasak atau menyapu. Ini malah ibu merepet saja! Saya capek juga, Bu. Mendengar ocehan Ibu yang tidak selesai-selesai! Saya ini menantu ibu bukan pembantu. Apa salahnya Ibu membantu?" ujarku dengan suara serak menahan air mata yang ingin keluar kelopak mata ini. 

"Sudah berani kau, ya?" Mertua mengangkat tangan hendak menampar pipi ini, sekejap aku menangkap tangannya. 

"Kau!" teriak wanita berdaster bunga-bunga itu dengan geram. 

"Udah, Bu. Saya mau memasak. Kalau tidak mau bantu jangan mengganggu. Sebentar lagi mas Raka pulang. Kasihan tidak ada makanan di rumah!" protesku seraya membuka kulkas dan mengeluarkan bahan-bahan mentah yang akan dimasak. 

"Mulutmu!" Tangan ibu mertua mengepal kuat hendak meninju bahu ini, secepat kilat aku menghindar sehingga dia sempoyongan karena tangannya meninju angin. 

"Udah, Bu? Kalau sudah, silahkan keluar. Tolong jangan diganggu, biar saya masak dulu!" Kutunjuk pintu keluar dengan jari kanan. Bukan maksud kurang aja, tetapi ibu harus diberi pelajaran sekali-kali. 

Tuhan ... maafkan aku sudah berlaku tidak sopan terhadap mertua. 

"Siapa yang mengganggu kamu, Hah. Cepat masak. Aku sudah lapar!" 

Tak ku gubris lagi ibu mertua yang sedari tadi keluar masuk dapur dengan tatapan yang susah untuk dijelaskan. 

Belum pun masakan selesai, tiba-tiba mas Raka sudah pulang bekerja. 

"Assalamualaikum!" sapa mas Raka. Ternyata lelaki datang bersama Rani adiknya. 

"Wa alaikum salam!" jawab ibu mertua dengan penuh semangat. 

"Rani! Ayo masuk, Nak. Apa kabar kamu? Ibu kangen loh!" Mertua melangkah lebar saat melihat anak perempuannya datang bersama mas Raka. 

"Baik, Bu. Ibu sendiri sehat kan?" 

"Sehat, Sayang, kamu sudah makan, Nak?" tanya bu Retno seakan sengaja mau mengatakan pada mas Raka bahwa istrinya belum selesai masak padahal sudah jam setengah dua belas. 

"Belum, Bu. Rani laper sekali. Ibu masak apa hari ini?" tanya wanita dua puluh dua tahun itu seraya mengelus perutnya karena lapar. 

"Jam segini kakak iparmu belum selesai masak. Dia ngarepin Ibu terus. Jadi kek mana lagi. Tadi ibu gak bisa masak karena sakit perut!" ujar bu Retno berbohong. Wanita paruh baya tersebut sungguh pandai bersilat lidah. Dengan menjelek-jelekkan aku, dia mengharap mas Raka membeli nasi padang dan tidak capek-capek masak. 

"Betul begitu, Risma?" tanya mas Raka dengan mata memerah menahan amarahnya. 

Aku menggeleng tetapi mertua tidak menerima. 

"Loh, kamu dari tadi di kamar saja kan? Kalau bukan karena tiduran, ngapain lagi?" 

Kalau ingin makan nasi bungkus janganlah begini caranya. Mencari keuntungan sendiri dengan menjelekkan orang lain. 

"Kalila menangis saja sedari pagi. Adek tidak sempat masak. Jangankan masak, sarapan saja Adek tidak sempat!" jawabku membela diri. Memang iya kan. Jam segini nasi satu suap pun belum masuk ke dalam perut ini, karena Kalila rewel. 

Sementara mertua tidak mau menggendongnya sebentar saja. Katanya bayiku berat jadi dia tidak sanggup untuk menggendong. 

"Alasan saja! Kau sengaja menyuruh Ibu memasak ya? Sementara kamu asyik rebahan di kamar bermain ponsel? Kamu pikir Ibu aku babumu?" sarkas lelaki tampan berkemeja putih tersebut. 

"Sejak kapan Adek memperlakukan Ibu seperti pembantu? Selama ini dari masak sampai menyuci semua Adek kerjakan sendiri. Mau percaya atau tidak terserah Mas! Adek capek berdebat." ujarku.

Aku melanjutkan aktivitasku yaitu memasak makan siang untuk seluruh anggota keluarga ini.

"Kamu semakin hari semakin kurang ajar sama ibu, Dek. Adek harus tau ya, Ibu itu darah dagingnya melekat ditubuhku sementara kamu,  hanya debu dimataku. Jangan macam-macam!" bentak mas Raka. Dia sangat marah, apalagi melihat ibunya menangis tersedu-sedu, bagaikan orang paling teraniaya dimuka bumi ini.

"Kalau kamu tidak bisa berlaku sopan terhadap ibuku, jangan salahkan jika Mas mencari wanita yang lain!" 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status