"Keluar dari ruangan Saya sekarang!" Aku berdiri dan menunjuk dengan telunjuk kiri kearah pintu dengan amarah yang meledak-ledak. Enak saja dia mengatakan aku wanita kesepian yang sedang butuh belaiannya. Dasar lelaki tidak tahu malu.
"Risma, ayolah. Mas juga rindu sama kamu. Lupakan pertengkaran kita kemarin. Lupakan juga pengusiran itu. Mari kita perbaiki kembali rumah tangga kita yang sudah hampir hancur ini." Mas Raka bangkit dan berusaha memeluk tubuh ini, segera aku dorong kuat sehingga membuat dia hampir saja terjerembat jatuh."Rindu kau bilang, hah. Lalu pelacur yang kau gandeng tadi pagi itu siapa? Apa dia gak bisa melayani kamu lagi? Sedang datang bulan atau jangan-jangan dia sudah kena penyakit kelamin?" ejekku sinis."Rita itu hanya sekretaris Mas. Jadi wajarlah kemana-kemana kami selalu bersama!" bela mas Raka, dia berusaha meraih tangan ini tetapi aku menepisnya."Wow, wajar kamu bilang? Bergandengan tangan dengan lawan jenis itu wajar? Apakah seorang sekretaris wajar memegang paha atasannya? Enak juga ya ... jadi sekretaris begitu. Melayani dalam segala hal. Sekretaris apa namanya kalau begitu, hah? Sekretaris plus-plus!" ejekku sinis."Risma, semua itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Mas tidak ada hubungan apa-apa dengan Rita!" Mas Raka berusaha membela diri. Dikiranya berpengaruh dalam hidupku."Belum ketok palu kamu sudah menjalin hubungan dengan wanita lain! Mungkin pun selama ini kamu sudah tidur bareng sama dia kan? Pantes saja kamu irit uang belanja untuk aku, ternyata kamu membiayai wanita lain?" sinisku."Mas gak ada hubungan apa-apa dengan Rita. Dia hanya selingan saja!" Dengan lancarnya dia mengatakan hanya selingan dengan wanita itu. Sebagai sesama wanita jelas aku sangat sakit hati mendengarnya."Aku tidak peduli kamu ada hubungan atau enggak sama perempuan jalang itu! Sekarang kamu keluar! Aku bukan istrimu lagi. Ingat sekali lagi pak Raka. Aku ini atasanmu!" Kemarahanku sudah sampai ke ubun-ubun melihat mas Raka sudah mulai kurang ajar. Dia tidak menghargai aku ini sebagai atasannya."Jadi kamu cemburu sama Rita? Mas pecat saja dia, ya?" Pertanyaan yang tidak perlu untuk dijawab. Jadi atasan sok berkuasa begitu, main pecat saja tanpa memikirkan kelanjutan hidup orang yang dipecatnya."Bukan urusanku. Kita bukan suami istri lagi. Aku sudah mengajukan cerai, dan kamu tunggu saja surat panggilannya dari pengadilan agama!" Aku sudah memutuskan untuk menggugat cerai lelaki yang sudah menemaniku selama dua tahun belakangan ini. Cintaku untuknya sudah luntur seiring dengan perbuatannya yang selalu saja menyakiti perasaan."Kamu itu loh. Sedikit-dikit bercerai. Coba pikirkan lagi matang-matang sebelum mengambil kepututusan. Apa kamu gak kasihan sama Kalila?" tanya mas Raka. Sekarang baru dia memikirkan perkembangan mental anaknya. Selama ini kemana?"Kalila masih bayi dan dia tidak butuh Ayah seperti Anda!" sergahku seraya melangkahkan kaki dan membuka pintu. Kayaknya mas Raka harus dikasari supaya dia mau keluar dari ruang kerjaku."Selesaikan tugasmu. Aku tunggu laporan keuangan dan sekarang kamu keluar!" mas Raka malah tersenyum menatap kearea sensitifku. Dia semakin kurang ajar dan mulai mendekati sehingga mengikis jarak antara kami berdua."Meta, tolong panggil keamanan ke ruangan saya!" perintahku melalui telepon genggam. "Baik, Bu," jawab Meta diseberang sana. Sekarang aku mulai berfikir untuk memindahkan saja ruangan Meta keruanganku. Jadi kalau pun mas Raka ada keperluan apa-apa dia tidak akan berani lagi menggoda karena ada Meta disini."Buat apa susah-susah memanggil satpam segala, Risma? Aku bisa keluar sendiri tanpa kamu usir! Kamu sudah sombong sekarang ya? Sudah lupa semua kebaikan suamimu selama ini? Mentang-mentang sudah bisa menghasilkn uang sendiri? Biasanya, mas minta uang Adek mau belanja. Mas minta uang, Kalila mau berobat!" ejek mas Raka seakan aku wanita yang lupa akan kulitnya."Ingat ya pak Raka terhormat. Kebaikan apa yang engkau lakukan terhadap aku? Meminta uang seratus ribu saja susah! Itu kebaikan yang Anda maksud?" sinisku."Selain sombong, kamu arogan, Risma!""Keluar kau. Jangan banyak bacot!" Aku berdiri diambang pintu sambil memegang daun pintu, berharap mas Raka segera keluar dan aku bisa segera menutup pintunya."Ada apa ini. Kenapa ribut-ribut? Ini kantor, bukan pasar malam!" Terdengar seseorang bersuara bariton mengejutkan kami berdua."Tolong jelaskan, ada apa ini?" Pria itu mengulang pertanyaan. Mas Raka tidak berani menjawab, dia hanya menunduk sedari tadi.Melihat reaksi mas Raka aku pastikan bahwa lelaki jangkung itu bukanlah pria sembarangan, aku yakin dia mempunyai jabatan tinggi diperusahaan ini. Sebagai cucu Hadiningrat, aku tidak pernah mengetahui siapa saja pejabat diperusahaan kakek karena itu bukan urusanku. Dulu ... aku sibuk mengurus rumah tangga seratus persen sehingga tidak sempat memikirkan hal yang bagiku tidak terlalu penting. Tatapan lelaki itu tiba-tiba berhenti padaku, seolah-olah dia meminta penjelasan padaku."Sebelumnya saya minta maaf, Pak. Perkenalkan saya Risma, manager baru!" Aku memperkenalkan diri pada pria bernama Aslan itu."Pak Raka itu mantan suami Saya. Dan hendak melakukan perbuatan tidak senonoh terhadap Saya! Apakah saya harus diam saja saat dia sudah mulai kurang ajar?" tanyaku pada pak Aslan."Pak Raka, Saya mohon penjelasannya!" Pria berkemeja putih itu mengalihkan pandangannya pada mantan suamiku."Ti ... tidak benar, itu semua tidak benar, pak Aslan!" Wajah mas Raka terlihat pucat pasi saat berhadapan dengan lelaki bernama Aslan itu."Tolong jelaskan bu Risma!""Saya hanya meminta pria ini untuk menjelaskan laporan keuangan, disitu tertera pemasukan dan pengeluaran sangat merugikan perusahaan!" beberku panjang lebar berharap pak Aslan mengambil tindakan atas perbuatan mas Raka."Tetapi dia malah berbuat kurang ajar terhadap saya. Maaf jika membuat keributan dikantor!" Aku menangkupkan kedua tangan didada sebagai simbol minta maaf."Jangan main fitnah saja kamu, Risma!" cicit mas Raka.Laki-laki yang bernama Aslan itu nampak kebingungan menghadapi situasi pelik yang berada dihadapannya."Saya tidak mau tau kalian itu suami istri atau mantan suami istri. Saya mohon masalah pribadi jangan kalian bawa-bawa ke kantor. Selain kurang etis itu juga sangat mengganggu kinerja kalian dan juga karyawan yang lain!" nasehat pak Aslan. Dia menatap kami berdua secara bergantian. "Lalu apa hukuman jika karyawan berselingkuh dengan sekretarisnya? Apa itu mendapat pembenaran?" tanyaku sambil menatap tajam pak Aslan, sang CEO."Apa maksud kamu, Risma? Kamu gak malu membuka aib dirimu sendiri? Seharusnya kamu intropeksi diri kenapa suamimu sampai berbuat seperti itu! Bukan malah menyalahkan orang lain," mas Raka bersuara, seakan kejahatan yang dia perbuat itu semua karena kesalahan istri. Dasar lelaki egois dan tidak pantas ada di muka bumi ini."Enak banget jadi lelaki ya! Dia yang berbuat kesalahan istri yang disalahkan!" ujarku dengan menatap sinis."Udah ... udah. Pak Raka, tolong keruangan Saya sekarang! Saya minta Bapak jelaskan apa yang terjadi dengan keuangan perusahaan.""Jadi Ibu cemburu Aku berdekatan dengan Mas Raka?" tanya wanita bernama Rita saat bertemu di area parkir perusahaan. Saat ini aku sedang menunggu Ratih. Sudah sepuluh menit lebih anak itu belum turun juga. Tiba-tiba saja dihampiri sama mak Lampir yang konon katanya aku cemburu karena dia lebih cantik dariku. Kalau dia merasa cantik tidak akan mau mengambil suami orang. Seharusnya dia mendapat pria mapan dan masih lajang tentunya. Bukan mas Raka yamg pelitnya melebihi pak Raden di serial si Unyil."Cemburu? Apa yang aku cemburui dari kamu? Cantik pun enggak, pinter apalagi," sinisku membuat wajahnya memerah menahan emosi."Halah jangan bohong, Bu. Aku bisa melihat dari cara Ibu menatap mas Raka. Ibu masih begitu mencintainya 'kan?" tebakan Rita sangat jauh berbeda dengan isi hatiku yang sebenarnya terhadap mas Raka. Biarkan saja dia berandai-andai. Nanti kan capek sendiri."Kamu mau sama bekas aku? Ambil saja! Aku gak suka barang rongsokan seperti Raka!" ujarku seraya mengedarkan pand
"Rat, aku mau kerumah ibu sebentar. Boleh aku minta tolong antar aku kesana?" pintaku pada Ratih. Hari ini merupakan hari sabtu dan aku berencana akan menginap di rumah ibu nanti malam. Sekedar melepaskan rindu karena kami sudah lama tidak bertemu."Bisa lah. Apa yang gak bisa untuk sepupuku yang cantik ini." jawab Ratih sambil menepuk pelan pundak ini."Gak merepotkan kamu kan?" tanyaku memastikan. Aku takut Ratih ada acara yangbakan terganggu karena mengantar aku kerumah ibu."Tidak ada acara apa-apa. Paling nanti sore aku ada acara dengan pak Arkan membahas proyek," ucapnya dengan tatapan berbinar-binar."Proyek apa, Rat? Buat bayi?" candaku. Ratih jadi salah tingkah mendengar candaanku. Baru bercanda aja sudah kegeeran. Bagaimana kalau dia betulan menikah dengan pak Arkan ya? Bisa berputar bumi ini kurasa."Mau diantar gak? Tak tinggalin nanti!" ancam Rasti seraya tersenyum. Halah ... dicandain aja sudah bahagia setengah mati. Ratih ... Ratih."Aku siap-siap dulu ya?" pamitku sera
"Jadi pulang hari ini, Ris?" tanya Ratih saat sudah sampai ke rumahku. Saat ini ibu sedang pergi dengan Kalila kerumah sepupu ibu yang berada sekitar sepuluh kilometer dari rumah kami. "Jadi, Rat." jawabku. Saat ini, aku bukan tidak mau tinggal di rumah ibu, tapi mengingat jarak kantor tempatku bekerja dengan rumah ibu sangat jauh.Jadi terpaksa aku harus tinggal bersama bibik Arum. Beruntung aku memiliki saudara yang sangat baik hati itu. Coba kalau seandainya di kisah sinetron ikan terbang, tidak dapat aku bayangkan deh."Kalila mana?" tanya Ratih lagi. "Dibawa ibu jalan-jalan." jawabku."Hmmm ..." sepertinya Ratih ingin mengatakan sesuatu tetapi dia segan sama ibu atau ayahku."Ris, kamu tau gak!" Ratih mengedarkan pandangannya seluruh ruangan. Setelah dia lihat tidak ada satu orangpun, dia mendekatiku dan berbisik."Kayaknya Raka bakal dipecat sama pak Aslan!" Aku terkejut mendengarkan berita yang dibawa oleh Ratih."Tapi nampaknya Pak Aslan masih menelusuri kemana uang perusah
"Mas, singgah di toko perhiasan itu yuk? Katanya ada model terbaru dan dikota ini belum ada yang memilikinya. Adek mau!?" rayu wanita berpenampilan menor itu dengan tangan bergelayut manja dilengan lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Ternyata kesini rupanya uang hasil korupsi mas Raka berlabuh! Hmmm ... wanita yang hebat? Baru saja berpacaran sudah minta perhiasan mewah, dan lebih hebat lagi pria itu mau saja menuruti kemauannya."Ris, kita masuk kesitu juga. Aku mau beli perhiasan!" Tidak ada angin dan tidak ada hujan, tiba-tiba saja Ratih mau membeli perhiasan. Padahal setahu aku, dia tidak suka memakai perhiasan terlalu wah seperti itu."Tumben!" Aku berbisik ditelinga wanita berkulit putih susu itu."Lihat saja apa yang aku lakukan!" ujar sepupuku emosi."Ayo!" Ratih menarik tanganku. Setelah sampai dia toko perhiasan, Ratih berdiri bersebelahan dengan wanita menor itu. Entah sengaja atau memang kebetulan saja.Saat Rita menatap Ratih dan hendak menegurnya, Ratih langsung mem
"Pak Aslan?" Aku kaget melihat lelaki berwajah tampan itu, tiba-tiba saja berada didepan mata. "Ngapain kalian disini? Makan enak gak ngajak-ngajak!" tanya lelaki bermata hazel itu. Dia menarik kursi bersebelahan denganku, membuat diri ini salah tingkah. Ternyata lelaki itu bisa juga bercanda. Dikantor nampak begitu pendiam dan juga berwibawa, berbeda dengan diluar. "Pak ... Pak. Makanan begini dibilang enak! Padahal Makanan yang Bapak makan lebih mewah dan lezat dibandingkan makanan kami!" seloroh Ratih. Dia tidak canggung sedikitpun berbicara dengan pak Aslan. Nampaknya mereka sudah sangat dekat. "Beda dong kalau makan ditemani dua wanita cantik seperti kalian, hmmm pasti makan Saya jadi makin bertambah berselera," ucap pak Aslan terkekeh. Ternyata pak Aslan bukan kaleng-kaleng dalam menggombali wanita. Kupikir cupu ternyata suhu. "Iyalah, Pak. Makan aja sepuasnya. Mau Bapak makan piring-piringnya juga, boleh! Gak ada yang larang!" seloroh Ratih disambut tawa renyah lelaki dua p
"Saya tidak segan-segan melaporkan Ibu ke kantor polisi atas pencemaran nama baik. Jangan main-main dengan saya!" ancam pak Aslan berang. "Loh kenyataannya kan?" Wanita bertubuh gempal itu tidak merasa bersalah dan dia tidak menyadari sedang berhadapan dengan siapa."Kenyataan apa yang ibu maksud? Jangan buat emosi saya makin menjadi. Pergi dari sini. Atau apa perlu saya seret?" pak Aslan mengusir ibu mertuaku dengan penuh emosi. Wajarlah beliau emosi. Ibu mertua menuduh dia melakukan zina sementara dia tidak melakukannya. Menuduh tanpa bukti, Itu fitnah namanya. "Anda melindungi seorang istri yang sudah durhaka sama suaminya? Lelaki macam Anda?" Aku sangat emosi mendengar ibu mertua yang menuduhku sebagai istri durhaka. Sementara dia tidak pernah menasehati anaknya yang tidak bertanggung jawab itu. Sibuk dengan wanita lain sementara anak dan istrinya ini tidak pernah dinafkahi.Apa salah jika aku mencari uang sendiri untuk memenuhi kebutuhan kami? Bukannya aku berbuat maksiat dilu
Baru saja hendak keluar dari mall tiba-tiba saja ponsel Ratih berdering. "Halo, iya Bu. Ya Allah ... Kok bisa? Ya ... ya. Kami segera pulang." Ratih menutup telpon dengan wajah pucat dan sangat ketakutan. Semoga saja tidak ada masalah yang mengkhawatirkan menimpa Ratih maupun ibunya."Gawat, Ris. Raka datang ke rumah dan dia ingin membawa Kalila!" adu Ratih setelah dia memasukkan ponselnya kedalam saku celananya."Apa? Ratih, jangan bercanda!" Teriak aku ketakutan. Hanya Kalila satu-satunya hartaku yang paling berharga di dunia ini mau direbut sama mas Raka. Pontang panting mencari makan untuk buah hatiku, enak saja dia tinggal mengambil. Selama ini mantan suamiku tidak pernah peduli dengan anaknya. Kenapa sekarang jadi terbalik? Menjadi ayah yang sok peduli? Atau dia sengaja memanfaatkan kelemahanku? Dia pikir jika berhasil mengambil Kalila dengan mudahnya dia bisa menyetir aku. Tidak kan semudah itu."Buat apa aku bercanda, Ris? Apa untungnya?" tanya Ratih. Kami berdua berlari kec
"Pak Aslan?" ucapku bersamaan dengan Ratih. "Bagaimana, apa anakmu sudah ketemu?" tanya pak Aslan seraya melangkahkan kaki mendekati kami dan mendudukkan diri dikursi bersebelahan denganku. Saat ini kami masih bertahan di teras rumah ibu mertuaku berharap mas Raka akan singgah disini dan membawa serta bayi empat bulan itu. Entah dari mana pak Aslan bisa mengetahui rumah orang tua dari mas Raka. Selama aku tinggal di rumah mas Raka belum pernah sekalipun aku melihat beliau datang ke rumah calon mantan suamiku itu. "Belum ketemu, Pak. Pria itu hilang entah kemana rimbanya! Rumahnya sudah sebulan yang lalu dijual!" jelas Ratih panjang lebar. "Tapi tadi ada ibu-ibu yang mengatakan rumah ini dibeli sama anak pak RT. Mungkin beliau tau dimana rumah mas Raka yang sekarang!" beberku. "Kenapa kalian masih disini? Kenapa gak ke rumah pak RT aja menanyakannya?" Lelaki itu langsung bangkit dari duduknya. "Bukan langsung bergerak. Udah tau orangnya gak ada, malah leha-leha disini." Pak Aslan