"Habis shalat shubuh itu berzikir sampai terbit matahari biar rejeki lancar," kata Umi sambil duduk bersandar di tempat tidur menonton acara televisi. "Abi malah minta begituan."
Abi duduk bersandar di sampingnya. Dia baru pulang dari masjid. "Aku tidak tahu lagi mau diapakan hartaku. Setiap tahun kita keliling Eropa. Bolak-balik ke Timur Tengah. Sedekah setiap hari. Anak sudah dikasih uang jajan melimpah. Hartaku malah semakin bertumpuk. Aku takut harta itu mendakwa aku di akhirat."
"Nah, itu lagi dibahas sama ustadzah di televisi," kata Umi sambil membesarkan volume dengan remote. "Semakin banyak sedekah semakin bertambah harta kita."
"Maka itu aku jadi bingung. Tidak bersedekah aku tidak dapat pahala. Bersedekah hartaku semakin bertumpuk. Aku tidak tahu bagaimana menghabiskannya. Apa aku ambil istri lagi biar kamu tidak cape melayani?"
"Mendingan aku cape," sergah Umi geram. Dia singkapkan sarung suaminya dan duduk mengangkang di pangkuannya. "Jangan bicarakan perempuan lain di depanku, kecuali aku tidak sanggup lagi melayani."
Abi memeluk tubuh istrinya yang seksi dan masih kencang itu. "Nonton televisi sambil begini kan enak."
"Anak sulung kita ternyata pintar ngaji ya, Abi," puji Umi sambil pinggulnya bergerak naik turun. "Alunan suaranya merdu, menyejukkan hati, tajwid dan makhraj pas, padahal cuma berguru sama ustadz kampung semasa kecil."
"Wisnu bagaimana?"
"Dia persis ayahnya di masa muda. Kerjanya tiap hari main perempuan. Makanya aku benci sama kamu."
"Benci sampai keluar anak dua."
"Sebelum nikah."
"Setelah nikah?"
"Ini jawabannya." Umi bergerak turun sampai kandas lalu pinggulnya bergoyang memutar untuk menambah kenikmatan. "Enak tidak?"
"Enak sekali. Tapi aku tidak tahu apa maksudnya."
"Maksudnya ini." Pinggul Umi bergoyang lebih heboh. "Sudah paham sekarang jawaban aku?"
"Belum."
"Bodo amat."
"Sekali lagi, aku pasti paham maksudnya."
Umi bergerak memilin dari atas ke bawah secara perlahan, kemudian kembali ke atas. "Bagaimana?"
"Nikmat sekali."
"Paham tidak?!"
"Jelas paham."
"Apa?"
"Aku sayang kamu sampai memutih rambutku."
"Aku juga."
"Umi belajar di mana?"
"Aku ikut senam zumba di kampung sebelah sebelum instrukturnya diganti sama Kartika." Umi semakin bersemangat bergerak naik turun. "Aku bangga Gilang tidak seperti anak tetangga. Bisa ngaji sedikit saja update status supaya dibilang pandai mengaji dan dapat pujian dari orang-orang."
"Riya itu namanya. Tidak dapat pahala. Anak kita tidak pernah posting seperti itu kan, Umi?"
"Makanya follow dong mereka. Biar Abi tahu apa yang mereka lakukan di medsos, sekalian mengawasi. Jangan sampai kejadian kayak tetangga kita itu, tahu-tahu rumah didatangi polisi tanpa mereka tahu duduk perkaranya. Eh, tidak tahunya anak sulung terjerat kasus ujaran kebencian. Memangnya Abi malu atau bagaimana jadi followers anak sendiri?"
"Ngomong panjang lebar tapi tidak menjawab pertanyaan.,"
"Oh iya, apa pertanyaannya? Saking nikmatnya aku sampai lupa."
"Saking banyaknya menjelekkan tetangga."
Gilang tidak pernah posting kegiatan ibadah di medsos. Banyaknya update kegiatan di perkebunan sekalian promosi. Tidak sedikit mahasiswa yang memiliki orang tua pedagang besar minta dikirim dengan omset yang lumayan. Semua itu dia lakukan untuk menyenangkan hati orang tua.
Untuk menyenangkan hati orang tua pula Gilang mengaji keras-keras di mushalla rumah. Dia tidak butuh pujian orang lain. Tak ada untungnya. Kepercayaan orang tua sangat penting untuk memuluskan rencananya. Hari ini dia ada acara tahun baru dengan anak kampung. Tentu tidak mudah mendapatkan ijin setelah apa yang terjadi kemarin.
"Mau ke mana pagi-pagi sudah rapi?" Kecurigaan ibunya menyambut Gilang di ruang keluarga. "Pergi sama si Rarasapi ya?"
"Ikut tour sama anak kampung ini."
"Bawa mobil sendiri?"
"Kalau bawa mobil sendiri bukan ikut tour namanya, karnaval."
"Pacarmu yang brengsek itu ikut juga?"
"Katanya suruh melupakan. Umi sebut-sebut terus, jadi susah aku lupanya."
Abi mendinginkan situasi yang mulai memanas. "Aku tahu acara itu. Kegiatan tahunan karang taruna. Tujuannya untuk menjalin kebersamaan di antara pemuda kampung. Bagus itu. Kamu perlu berbaur dengan mereka."
"Jangan main kasih ijin saja. Abi sudah lupa kejadian kemarin? Alasannya menghadiri tabligh akbar. Nyatanya pacaran di kafe."
Gilang membela diri. "Sehabis tabligh akbar, Umi. Perut aku lapar, ya cari tempat makan."
"Memangnya di tempat tabligh akbar tidak ada yang jualan?"
"Katanya suruh jaga nama baik keluarga. Masa sultan jajan di gerobak dorong?"
"Siapa ketua panitianya?"
"Karlina. Anak kepala desa.
"Minta nomornya."
"Tidak punya. Abi pasti punya."
Ayahnya tentu punya nomor kontak Karlina. Gadis itu adalah ketua karang taruna desa ini dan beliau donatur tetap. Sejak dipegang olehnya, kegiatan anak muda jadi maju. Gilang bersyukur ada Abi di ruangan itu. Jadi ijin tidak dipersulit. Dia bisa mengantongi paspor untuk keluar rumah secara resmi.
Gilang bertemu dengan Wisnu di ruang depan. Adiknya lagi mondar-mandir dengan gelisah.
"Selamat berjuang, dek," ledek Gilang. "Nanti siang ada janji kan sama pacar?"
Wisnu menatap tak percaya. "Kakak dapat ijin keluar?"
"Kalau tidak dapat ijin, mana berani aku pergi? Nanti ada apa-apa di perjalanan. Kualat. Maka itu pintar mengaji."
Kakaknya ini pandai sekali memanfaatkan kelemahan orang tua. Bila perlu menangis tersedu-sedu membaca ayat suci supaya mendapat aplaus. Agama jadi alat kepentingan pribadi.
Tinggal Wisnu pusing tujuh keliling. Pacar di kota menunggu jawaban tentang week end ke Anyer. Dia tahu kendaraan Wisnu disita oleh ibunya. Dia akan pergi bersama temannya kalau acara itu batal. Dasar tidak setia. Bukan berdoa agar Umi mendapat hidayah, malah mengeluarkan ancaman.Pada saat tertimpa musibah begini Wisnu baru ingat betapa pentingnya bergaul dengan anak tetangga. Gampang pinjam kendaraan kalau mereka akrab. Toh mobil itu tidak dipakai karena berangkat tour.
Sebenarnya Wisnu bukan tidak ingin kumpul sama anak kampung, entah hidupnya terlalu metropolis atau mereka lambat mengikuti perkembangan, setiap kali mencoba berbaur seolah ada jarak membentang. Dibilang kampungan, mereka kenal sabu-sabu, putau, minuman keras. Barangkali jarak itu muncul karena mereka baru bisa meniru sisi hitam kota sementara pola pikir tertinggal di kampung.
Wisnu tahu di mana ibunya menyimpan kunci kendaraan. Dia tak berani mengambil. Urusan bisa runyam. Ayahnya pasti turun tangan. Beliau paling benci sama pencuri.
Satu-satunya cara Wisnu berusaha mengambil hati Umi. Dia membersihkan benda-benda kesayangan ibunya yang terpajang di ruang koleksi. Kebanyakan suvenir dari Eropa, hanya sedikit dari Timur Tengah. Pegawai yang khusus merawat barang antik itu sampai bengong dibuatnya.
"Jangan kira aku akan berubah pendirian," kata Umi melihat anak bungsunya yang mendadak rajin itu. "Biar kamu cuci genteng sekalipun, tidak bisa mencuci kesalahanmu."
"Aku tulus kok ingin bantu Pak Erling. Kasihan sudah tua disuruh mengurus benda antik sebanyak ini."
"Tulus apa akal bulus?"
Wisnu menjawab dengan santai. "Kapan Umi berhenti mencurigai niat baik anak?"
"Ada syaratnya kalau ingin motor dan mobil kembali."
Wisnu berlagak tidak berminat, padahal semangat hidupnya muncul kembali. "Apa itu?"
"Jawab dengan jujur pertanyaan Umi."
"Okay."
"Pacar kakakmu ikut tour tidak?"
"Rara maksudnya?"
"Ada yang lain?"
"Umi kan sudah menyuruh si kakak melupakan? Umi gaje."
"Jawab saja pertanyaan Umi!"
"Aku bukan panitia."
"Jawab yang benar!"
Wisnu memandang bingung. "Umi bagaimana sih? Aku sudah menjawab jujur bukan panitia."
"Kamu kan punya kuping!"
"Kupingku cuma untuk mendengar suara kebenaran."
"Gaya!"
Ibunya pergi dengan kesal. Wisnu membiarkan saja karena sebentar lagi pasti kembali untuk menginterogasi. Dia penasaran kalau belum mendapatkan informasi. Abi muncul dan heran melihat Wisnu membersihkan barang antik.
"Erling cuti?"
"Ada di lemari belakang."
"Tumben-tumbenan rajin."
"Bosan jalan-jalan terus. Sesekali tukar nasib jadi pegawai rumah. Ternyata repot juga."
"Biarkan saja Erling yang kerjakan. Kamu antarkan faktur tagihan ke swalayan dan minimarket di kota kabupaten. Orang yang biasa bertugas sakit."
"Sultan masa jadi kurir?"
"Aku suruh manajer rumah kalau kamu tidak bersedia. Tidak sembarang orang boleh mengantar faktur."
"Pakai mobil Abi?"
Ayahnya memandang tak berkedip. "Motor tiga mobil empat, apa belum cukup?"
"Disita Umi gara-gara skandal kemarin."
"Kuncinya ada di lemari kamar."
Mata Wisnu bersinar. "Boleh diambil, Abi?"
"Kamu jalan kaki ke kota kabupaten?"
Wisnu segera pergi meninggalkan ruang koleksi. Cairan khusus dan kain pembersih ditinggal begitu saja di meja.
Sekali lagi Rara melayangkan pandang ke jalan yang membentang lurus itu. Hatinya kian gelisah. Gilang belum kelihatan dalam jarak yang jauh sekalipun. Dibel berkali-kali ponselnya tidak aktif. Mungkin takut ketahuan ibunya. Rara melihat jam tangan mungilnya. Hampir pukul tujuh pagi. Sebentar lagi bis berangkat. Hari ini mereka ikut acara tahun baruan bersama anak-anak kampung. Ke mana Gilang? Mengapa begitu lama? Apa tidak jadi pergi? Begini susahnya kalau pacaran backstreet. Setiap kali mau pergi mesti banyak akal, pintar cari alasan. Muda-mudi lain sudah tertawa-tawa di dalam bis, dia masih berdiri di sisi jalan seperti tawanan. Tinggal beberapa orang saja yang belum naik menunggu panggilan panitia lewat mikrofon. Bis satunya lagi sudah siap berangkat. Gilang baru muncul ketika kedua bis sudah mulai merayap pergi. Rara yang masih mengharap kedatangannya berteriak ke sopir, "Stop, Pir!" "Ada apa, Neng?" tanya sopir separuh menggerutu. "
Jantung Umi serasa mau lepas ketika motor ojek yang ditumpanginya berguncang keras. Pria separuh baya itu mencengkram setang kuat-kuat menjaga keseimbangan. Bukan pekerjaan mudah mengendarai motor di jalan berbatu sebesar kepala dan naik turun itu. Umi yang tahunya duduk saja merasa pegal-pegal seluruh tubuhnya, kepala pusing, perut mual. Nah, bisa dibayangkan bagaimana kuatnya laki-laki itu. "Dana desa dipakai apa saja, Pak?" gerutu Umi keki. "Kok jalannya masih begini-begini juga?" Tukang ojek cuma tersenyum. Dia tak peduli dengan segala macam urusan itu. Urusan perut anak istri saja sudah bikin pusing tujuh keliling. Diam-diam kejengkelan yang bersemayam di hati Umi sejak berangkat dari rumah kembali merebak. Kalau suaminya sedikit peduli, tak perlu repot begini. Mereka bisa lewat jalan tol dan keluarnya tak seberapa jauh dari kampung yang dituju. "Mau apa ke sana?" selidik suaminya sebelum pergi tadi. "Adikmu kan sudah pindah tugas? Minggu
Umi sebenarnya lelah habis melakukan perjalanan jauh. Tapi dia tidak menolak dan rela melayani karena tahu jika suaminya marah dan pergi malam, maka banyak gadis dan janda menunggu. Dia beruntung suaminya tidak pernah marah dan bertahan dengan satu istri, padahal banyak godaan di luar. "Abi tidak malu sama usia minta gaya spooning?" tanya Umi. "Kita tidak muda lagi." Abi tersenyum menggoda. "Kita baru menginjak kepala empat, masa tidak muda lagi? Lagi pula kita biasa kan?" "Malam ini posisi misionaris saja. Aku cape." "Jangan paksakan kalau cape, sakit nanti." Umi menahan suaminya yang hendak bangkit dari sisinya. "Mau ke mana?" "Pakai kimono." Umi tersenyum mesra. "Aku bercanda." Wanita itu berbaring miring memunggungi. Dia angkat kaki sebelah ke atas pinggang suaminya. Kemudian meraih bazoka dan mengarahkan. Dia mendesah nikmat saat bazoka bergerak masuk secara perlahan memenuhi terowongan gelap. A
Mata Gilang mencari Rara di antara hiruk-pikuk mahasiswa yang pulang kuliah. Dia melihat gadis itu berlari meninggalkan teman-temannya. Dia menyeka peluh yang mengalir di wajahnya dengan tissue. Panas sekali udara hari ini. Jakarta sungguh tidak ramah. Siang ini adalah yang ketiga kalinya Gilang menjemput Rara ke kampusnya. Kebetulan menjelang akhir pekan tak ada kuliah. Dia bisa menunggu dengan tenang tanpa dikejar waktu. Tempat ini aman dari jangkauan mata-mata ibunya. Dia tak perlu khawatir ada yang melaporkan. Hanya kadang tidak aman dari gangguan teman-teman Rara. Tapi itu bukan persoalan. "Sudah lama?" tanya Rara dengan sebaris senyum di bibirnya. "Baru kaki pegal-pegal." "Langsung dari Bandung?" "Kalau pulang dulu, sama saja buronan cari polisi." "Mobilnya mana?" "Service rutin." Rara menatap dengan selidik. "Service rutin apa disita Umi?" "Memangnya ketemu kamu harus bawa mobil ya?" "Yang
Abah membanting vas bunga ke lantai dengan jengkel. Kebiasaan pulang pagi dan kebutuhan batin jadi pemicu pertengkaran itu. "Aku tidak minta banyak darimu," geram Abah. "Aku cuma minta dilayani." "Setiap hari kamu minta dilayani," kata Ambu tak kalah sengitnya. "Jangan samakan aku dengan janda langgananmu yang bisa dipakai kapan kamu butuh." "Tugasmu selaku istri untuk memenuhi kebutuhanku." "Lalu tugasmu selaku suami untuk berjudi dan mabuk-mabukan?" "Kurang ajar!" Abah menampar wajah istrinya dengan marah. "Berani kamu melawan suami!" Ambu memandang pria yang berdiri di hadapannya dengan berurai air mata. "Sering sekali kamu berbuat kasar pada istrimu. Bodohnya aku selalu memaafkan. Aku cuma minta jangan minggu ini, aku lagi datang bulan. Apa itu sebuah kesalahan besar sehingga kamu pantas berbuat begitu?" Kartika yang sudah terlanjur membuka pintu kamar hanya diam terpaku dengan air mata menggenang. Dia tidak sampai hati mel
Gilang memandang dengan sengit. "Apa maksud Umi menjodohkan aku dengan anak kepala desa itu? Karlina masih SMA, Umi. Dia cocoknya dengan Wisnu." Gilang baru pulang dari mesjid selesai shalat Dhuhur. Dia belum sempat ganti pakaian ketika Umi memintanya duduk untuk mendengarkan keputusan itu. Tentu saja dia kalang kabut. "Jadi kamu ingin perempuan yang lebih tua?" sambar Umi tak kalah kerasnya. "Baik! Kamu akan Umi jodohkan dengan janda beranak satu tetangga kita! Dia jauh lebih baik buat kamu!" Gilang menatap bingung. "Ada apa sebenarnya? Mengapa Umi tiba-tiba saja ingin mencarikan calon istri buat aku?" "Tanya pada dirimu sendiri! Kamu pikir Umi tidak tahu kamu masih pacaran dengan gadis benalu itu? Bilangnya sudah putus! Nyatanya kamu masih jalan bareng!" Ibunya sudah kehabisan akal untuk melarang hubungan mereka. Ancaman saja tidak cukup. Tidak mempan. Dia harus mengambil keputusan tegas. "Aku tidak bisa menikah dengan Karlina.
Pertunangan itu tidak menjadi beban bagi Gilang. Dia bahkan sudah berniat minta uang tambahan untuk mengajak Karlina jalan-jalan dengan alasan ingin mengenal lebih jauh. Padahal uang itu akan ditabung untuk bekal masa depan. Dia sudah merencanakan pemberontakan setelah lulus kuliah nanti. Jika orang tuanya tidak menerima Rara sebagai menantu, maka dia akan pergi. Gilang berencana menghubungi beberapa teman dekatnya untuk mencari kerja sambilan. Barangkali di perusahaan orang tua mereka ada lowongan kerja part time. Hal ini untuk berjaga-jaga seandainya Abi dan Umi mengetahui bahwa perjodohan ini ternyata dijadikan modus untuk memberontak disaat yang tepat. Jadi Gilang sudah punya pegangan kalau diusir dari rumah. Dia tidak mau mengandalkan Rara. Di mana harga dirinya sebagai kepala rumah tangga kalau mencari nafkah saja tidak mampu? Lebih baik hidup sendiri daripada jadi beban istri. Betapapun cintanya dia kepada Rara. Justru Abah yang jadi beban pikirannya.
Bradley bukan pemuda biasa. Di usia yang semuda itu dia sudah menggenggam kehidupan yang gemilang. Mungkin mesti dicapai puluhan tahun oleh orang kebanyakan. Itupun masih tergantung faktor keberuntungan. Semua itu tak lepas dari andil orang tua. Mereka menyuguhkan semua fasilitas yang dibutuhkan, puteranya tinggal menjalankan tanpa perlu susah payah berjuang, atau keliling kantor menjual diploma Oxford. Tapi apa bedanya? Wajahnya sangat tampan. Putih bercahaya. Perpaduan Birmingham dan Solo. Wajah yang tak pernah tahu arti debu. Tubuhnya ideal. Bukan peminum, atau pemakai narkoba. Pemuda idaman setiap orang tua untuk berlomba mengambil sebagai menantu. Yang biasa hanya sifatnya. Tidak beda dengan pemuda kebanyakan. Kalau sudah tergila-gila pada seorang gadis, moncong senjata pun diterjang! Dia sudah jatuh cinta pada Rara sejak pertama kali melihat fotonya di rumah istri muda Om Sastro. Lalu timbul niat untuk meminangnya. Kebetulan dia sedang mencari c