Siang itu, rumah tampak sepi ketika Haira menyambar tas berisi perlengkapan Ibu Mia yang tertinggal dari meja dapur. Yoga yang duduk di lantai sambil memandang ibunya dengan bingung.“Kita mau ke rumah Uti?”“Ya, Nak. Uti lupa obatnya,” jawab Haira singkat, suaranya menyiratkan kekecewaan besar.Aziz muncul dari belakang, menggenggam handuk kecil, pelipisnya terlihat berkeringat.“Kamu mau ke sana?” tanya Aziz dengan penuh kecurigaan.Haira tidak menoleh. “Ibu butuh obatnya.”Aziz bersandar di ambang pintu. “kenapa kamu repot-repot, ada Restu yang bisa jemput ke sini, atau jangan-jangan kamu yang mau ketemu dia?”Haira berhenti sejenak, lalu berbalik. “Itu ibu kamu, Mas dan Haira nggak akan diam lihat Ibu kesakitan. Soal Restu, Haira nggak serendah kamu jadi manusia, Mas, yang nggak bisa jaga ikatan pernikahan.”Aziz menghela napas, setengah tertawa sinis. “Nanti kamu pasti cari alasan untuk bolak-balik ke sana, ingat kamu lagi hamil anak Mas, jadi dijaga kandungannya, kalau ada apa-
Ibu Mia masuk ke dalam kamar dan duduk di ujung ranjang. Tangannya terasa dingin dan saling menggenggam. Ia sayang pada Aziz, tapi tak bisa juga membiarkan anaknya semakin menjadi-jadi perangainya.Restu masuk ke kamar ibunya perlahan, matanya segera menangkap raut wajah Ibu Mia yang tampak lelah bukan karena fisik, melainkan oleh rasa yang tak tersampaikan.“Ibu,” ucap Restu, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan terlalu diambil hati, pikirkan saja kesehatan Ibu sendiri.”“Aziz.” Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu Mia yang berkerut.“Kenapa dengan Mas Aziz?”“Ibu kecewa, Restu. Dia tak mau belajar jadi lebih dewasa.” Suara Ibu Mia lirih, tapi setiap kata mengandung beban berat yang dipendam selama bertahun-tahun.“Dia selalu bersembunyi di balik kesibukan, seperti yang ibu minta dari dia semua terlalu memberatkan. Padahal ibu cuma minta dia mengerti istrinya sendiri, kalau ibu kan sebentar lagi meninggal, jadi tidak apa-apa tidak diperhatikan.”“Ibu jangan bicara seperti ini, Insya Al
Restu mengenakan kaus polos dan celana jeans, wajahnya terlihat segar meski kantung mata belum sepenuhnya hilang. Cuti panjangnya dari kapal pesiar bukan sekadar libur, tapi niat untuk menebus waktu yang hilang bersama orang-orang terdekat.Ia memasukkan botol minum ke dalam tas selempang, lalu melangkah menuju ruang tamu di mana Ibu Mia duduk dengan baju gamis biru yang ia berikan. Wajah ibu angkatnya terlihat tenang, tetapi tubuhnya sedikit gemetar ketika berdiri.“Sudah siap, Bu?” tanya Restu lembut, sembari menggenggam lengan ibunya.Ibu Mia ingin tersenyum tapi jantungnya terasa nyeri. “Iya, Nak. Tapi rasanya aneh, terutama setiap dengar suara Haira jantung jadi berdegup lebih kencang.”Restu hanya tertawa. “Tenang, hari ini kita semua kontrol. Biar dokter yang menilai apa yang sebenarnya terjadi.”Sementara itu, di sisi lain rumah, Haira tengah mengenakan gamis longgar dan menata jilabnya dengan manis. Yoga, dibawa serta karena hanya kontrol saja bukan menginap.“Mama, nanti ded
Di sebuah restoran mewah dan di dalam ruangan VVIP, Reza membuka laptopnya. Rusyana duduk di seberangnya, wajah wanita itu tenang tapi menyimpan banyak gejolak. Reza membaca data lengkap yang telah ia peroleh dengan segala cara.“Saya mau tahu semuanya. Orang tuanya, latar belakang, keluarganya, aibnya kalau ada,” kata Rusyana dingin. “Suamiku terlalu dermawan pada wanita itu. Darmadi pikir saya akan diam saja.”Reza mengetik cepat di sebuah platform sosial media. Dalam hitungan menit, layar menampilkan semua akun yang ditengarai sebagai milik Anita. Termasuk akun jualan yang sering digunakan untuk live pada salah satu sosial media.“Anita. Anak pertama dari dua bersaudara,” jelas Reza. “Ayahnya tukang servis elektronik, doyan selingkuh dan cerai dari ibunya. Ibunya sekarang tinggal di desa sama adiknya yang bernama Anggita.” Reza menjelaskan semua kesimpulan yang ia rangkum.Reza menggeser layar, menampilkan foto dari akun media sosial lama Anita yang sudah tak aktif.“Adik perempuan
Restu membuka mata perlahan. Sinar mentari pagi menyelinap lewat tirai jendela hotel yang sedikit terbuka. Udara sejuk AC masih menyelimuti kamar, tapi pikirannya sudah melayang ke rumah yang akan ia datangi hari ini.Ia duduk di tepi ranjang, meraih ponsel lalu memeriksa jam. Waktu masih tersisa cukup untuk sarapan dan bersiap. Di meja kecil samping ranjang, sebuah kantong kertas berisi gamis berwarna biru untuk Ibu Mia sudah ia siapkan sejak semalam.Di lantai bawah hotel, Restu menyendiri di sudut ruang makan. Ia memilih bubur ayam dan teh hangat, rasa makanan Indonesia yang sangat melekat sekali di lidahnya. Ia mengaduk makanan itu lalu duduk menghadap jendela dan memandang ke arah jalanan yang mulai ramai.Tangan Restu terlipat di atas meja, dan sesekali ia menatap kosong ke arah cangkir teh. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya, seolah sedang mencoba menata ulang isi hati sebelum kembali ke tempat yang tidak semua orang di dalamnya ia sukai.Dalam benaknya, ia mengulang-u
Langit sore terlihat mendung. Di depan rumah di mana suasana sedaang sepi, taksi berhenti di depan pagar. Restu turun dengan wajah cerah, membawa kantong oleh-oleh dan ransel di punggung. Ia menurunkan tas sambil tersenyum.Haira yang baru keluar dari dalam rumah, terlihat menyipitkan mata. Rasanya lupa tapi kenal atau kenal tapi tak terlalu yakin, hingga lelaki itu mengucapkan salam dan suaranya tidak asing didengar.“Restu?” kata Haira lirih.Restu tersenyum, lalu memberikan robot ke tangan Haira. “Ini buat Yoga. Aku baru pulang, Mbak dan kangen semuanya.”Haira tak berkata-kata. Namun, Restu bisa melihat mata yang kelelahan, serta senyum yang dipaksakan. Haira mempersilakan Restu masuk.Mereka duduk di ruang tamu. Ibu Mia tak tahu Restu sudah tiba. Suasana hening, Haira menyuguhkan teh, dan tangannya masih gemetar.“Ibu lagi tidur, Yoga juga, apa perlu Mbak bangunkan?” tanya Haira yang takut kalau Aziz pulang malah salah paham dengannya.“Jangan, Mbak, aku ke sini sebenarnya justru