Restu mengenakan kaus polos dan celana jeans, wajahnya terlihat segar meski kantung mata belum sepenuhnya hilang. Cuti panjangnya dari kapal pesiar bukan sekadar libur, tapi niat untuk menebus waktu yang hilang bersama orang-orang terdekat.Ia memasukkan botol minum ke dalam tas selempang, lalu melangkah menuju ruang tamu di mana Ibu Mia duduk dengan baju gamis biru yang ia berikan. Wajah ibu angkatnya terlihat tenang, tetapi tubuhnya sedikit gemetar ketika berdiri.“Sudah siap, Bu?” tanya Restu lembut, sembari menggenggam lengan ibunya.Ibu Mia ingin tersenyum tapi jantungnya terasa nyeri. “Iya, Nak. Tapi rasanya aneh, terutama setiap dengar suara Haira jantung jadi berdegup lebih kencang.”Restu hanya tertawa. “Tenang, hari ini kita semua kontrol. Biar dokter yang menilai apa yang sebenarnya terjadi.”Sementara itu, di sisi lain rumah, Haira tengah mengenakan gamis longgar dan menata jilabnya dengan manis. Yoga, dibawa serta karena hanya kontrol saja bukan menginap.“Mama, nanti ded
Di sebuah restoran mewah dan di dalam ruangan VVIP, Reza membuka laptopnya. Rusyana duduk di seberangnya, wajah wanita itu tenang tapi menyimpan banyak gejolak. Reza membaca data lengkap yang telah ia peroleh dengan segala cara.“Saya mau tahu semuanya. Orang tuanya, latar belakang, keluarganya, aibnya kalau ada,” kata Rusyana dingin. “Suamiku terlalu dermawan pada wanita itu. Darmadi pikir saya akan diam saja.”Reza mengetik cepat di sebuah platform sosial media. Dalam hitungan menit, layar menampilkan semua akun yang ditengarai sebagai milik Anita. Termasuk akun jualan yang sering digunakan untuk live pada salah satu sosial media.“Anita. Anak pertama dari dua bersaudara,” jelas Reza. “Ayahnya tukang servis elektronik, doyan selingkuh dan cerai dari ibunya. Ibunya sekarang tinggal di desa sama adiknya yang bernama Anggita.” Reza menjelaskan semua kesimpulan yang ia rangkum.Reza menggeser layar, menampilkan foto dari akun media sosial lama Anita yang sudah tak aktif.“Adik perempuan
Restu membuka mata perlahan. Sinar mentari pagi menyelinap lewat tirai jendela hotel yang sedikit terbuka. Udara sejuk AC masih menyelimuti kamar, tapi pikirannya sudah melayang ke rumah yang akan ia datangi hari ini.Ia duduk di tepi ranjang, meraih ponsel lalu memeriksa jam. Waktu masih tersisa cukup untuk sarapan dan bersiap. Di meja kecil samping ranjang, sebuah kantong kertas berisi gamis berwarna biru untuk Ibu Mia sudah ia siapkan sejak semalam.Di lantai bawah hotel, Restu menyendiri di sudut ruang makan. Ia memilih bubur ayam dan teh hangat, rasa makanan Indonesia yang sangat melekat sekali di lidahnya. Ia mengaduk makanan itu lalu duduk menghadap jendela dan memandang ke arah jalanan yang mulai ramai.Tangan Restu terlipat di atas meja, dan sesekali ia menatap kosong ke arah cangkir teh. Wajahnya tanpa ekspresi, tapi sorot matanya, seolah sedang mencoba menata ulang isi hati sebelum kembali ke tempat yang tidak semua orang di dalamnya ia sukai.Dalam benaknya, ia mengulang-u
Langit sore terlihat mendung. Di depan rumah di mana suasana sedaang sepi, taksi berhenti di depan pagar. Restu turun dengan wajah cerah, membawa kantong oleh-oleh dan ransel di punggung. Ia menurunkan tas sambil tersenyum.Haira yang baru keluar dari dalam rumah, terlihat menyipitkan mata. Rasanya lupa tapi kenal atau kenal tapi tak terlalu yakin, hingga lelaki itu mengucapkan salam dan suaranya tidak asing didengar.“Restu?” kata Haira lirih.Restu tersenyum, lalu memberikan robot ke tangan Haira. “Ini buat Yoga. Aku baru pulang, Mbak dan kangen semuanya.”Haira tak berkata-kata. Namun, Restu bisa melihat mata yang kelelahan, serta senyum yang dipaksakan. Haira mempersilakan Restu masuk.Mereka duduk di ruang tamu. Ibu Mia tak tahu Restu sudah tiba. Suasana hening, Haira menyuguhkan teh, dan tangannya masih gemetar.“Ibu lagi tidur, Yoga juga, apa perlu Mbak bangunkan?” tanya Haira yang takut kalau Aziz pulang malah salah paham dengannya.“Jangan, Mbak, aku ke sini sebenarnya justru
Pagi itu, Haira terbangun dengan jantung berdebar. Ia masih berbaring di sebelah Yoga, yang tidur pulas memeluk boneka dinosaurus. Ponselnya di atas meja bergetar. Nomor tidak dikenal. Tidak ada nama, hanya satu pesan:[Selamat pagi, istri sok suci. Sudah sarapan dengan rasa jijik? Hari ini ada menu spesial. Jangan lupa klik lampiran.]Tangan Haira gemetar saat membuka file video. Durasi satu menit dua puluh detik. Suara tawa lelaki yang ia kenal. Wajah Anita, serta tubuh Aziz terlalu jelas, terlalu brutal dan vulgar serta sangat nyata.Haira membeku. Matanya memerah tapi tangis tidak keluar. Dunia seolah membeku. Yoga menggeliat pelan di pelukannya. Haira langsung mematikan layar dan bangkit menuju kamar mandi.Di ruang tamu, Aziz bersenandung pelan sambil menyeduh kopi. Ia tidak tahu apa-apa juga tidak merasa bersalah. Ia tidak sadar bahwa kebusukan itu sudah keluar dari persembunyiannya.Siang hari, Haira mendapat pesan kedua masih dari nomor yang sama.[Video ini baru pembuka. Mas
Malam itu, meja makan di rumah terasa dingin. Tiga piring tersaji, tapi hanya dua yang disentuh.Haira menyuapi Yoga yang duduk di sebelahnya, lalu sesekali melirik ke arah Ibu Mia yang makan perlahan. Aziz duduk di ujung meja. Ia sibuk menatap layar ponselnya sambil tersenyum tipis yang bukan ditujukan untuk orang-orang di sekitarnya.Tak ada percakapan. Tak ada sapaan. Suara sendok dan garpu yang berdenting jadi satu-satunya bunyi di ruang makan.Ponsel Aziz bergetar. Ia membuka pesan dengan cepat yang berasal dari Anita.[Aku masih ingat tadi malam di hotel. Masih bisa ngerasain detak jantungmu waktu tanganku di dada kamu. Kangen lagi. Malam ini kita ulang, Mas?][Jangan goda Mas, Nita. Mas nggak bisa berhenti mikirin kamu. Yang kemarin itu luar biasa. Lumayan untuk penghilang lelah, seharian lihat wajah Haira yang ditekuk, rasanya ingin sekali Mas menamparnya.] balas Aziz tanpa sadar diri. Haira diam-diam memperhatikan ekspresi suaminya. Mata yang berbinar, jari yang sibuk menget