Efendi menyelesaikan pemesanan lewat aplikasi hotel dengan cepat dan tenang. Ia memilih sebuah kamar di lantai tiga sebuah hotel kecil di pinggiran kota.Bukan tempat yang biasa digunakan untuk pertemuan bisnis, tapi cukup bersih dan jauh dari pantauan Rusyana maupun pengintai lainnya. Tidak ada nama Anita atau Darmadi dalam reservasi. Ia gunakan identitas palsu, dan membayar tunai.“Kamar 308. Sudah aman,” ucap Efendi singkat saat kembali ke mobil tempat Anita dan Darmadi menunggu.Darmadi mengangguk. “Bagus. Kita makan di sana. Saya tak mau ada gangguan malam ini.”Setelah memastikan koper-koper dan uang telah disimpan di tempat aman tadi pagi, mereka bertiga menuju hotel. Anita duduk di kursi belakang, tapi ia tak menunjukkan ekspresi apa pun. Di pikirannya hanya ingin malam berlalu tanpa insiden atau ancaman baru.Hotel itu tampak biasa saja. Bangunan tua dengan gang sempit dan lampu remang-remang. Resepsionis tak banyak bicara, hanya menyerahkan kunci kamar setelah Efendi menunju
Anita menatap layar ponselnya yang kini gelap, jantungnya masih berdegup cepat. Di meja kerjanya, berkas-berkas strategi pemasaran untuk produk serum baru tampak tak lagi penting.Peringatan dari nomor tak dikenal masih terngiang jelas, “Jauhi Darmadi sebelum kau ikut tenggelam.” Suara itu dingin, dan penuh ancaman. Ia tak perlu menebak lama.Sudah pasti orang dari Rusyana istrinya Darmadi yang kini jadi musuh dalam bayang-bayang perjalanan bisnisnya. Belum sempat ia menjernihkan pikirannya, panggilan lain masuk. Darmadi di sana.“Aku butuh tempat bersih untuk transaksi lima belas milyar,” kata serigala putih itu tanpa basa-basi. “Uang itu akan masuk lewat perusahaan skincare-mu secara aman. Setelah itu, kamu bisa ekspansi besar-besaran.”Anita terdiam. Lima belas milyar. Jumlah yang bisa mengubah segalanya. Pabrik baru, distribusi nasional, bahkan masuk pasar Asia Tenggara. Namun, harga dari semua itu?“Ini bukan sekadar bisnis, Omku sayang,” ucapnya pelan. “Ini bisa menghancurkan se
Siang itu, rumah tampak sepi ketika Haira menyambar tas berisi perlengkapan Ibu Mia yang tertinggal dari meja dapur. Yoga yang duduk di lantai sambil memandang ibunya dengan bingung.“Kita mau ke rumah Uti?”“Ya, Nak. Uti lupa obatnya,” jawab Haira singkat, suaranya menyiratkan kekecewaan besar.Aziz muncul dari belakang, menggenggam handuk kecil, pelipisnya terlihat berkeringat.“Kamu mau ke sana?” tanya Aziz dengan penuh kecurigaan.Haira tidak menoleh. “Ibu butuh obatnya.”Aziz bersandar di ambang pintu. “kenapa kamu repot-repot, ada Restu yang bisa jemput ke sini, atau jangan-jangan kamu yang mau ketemu dia?”Haira berhenti sejenak, lalu berbalik. “Itu ibu kamu, Mas dan Haira nggak akan diam lihat Ibu kesakitan. Soal Restu, Haira nggak serendah kamu jadi manusia, Mas, yang nggak bisa jaga ikatan pernikahan.”Aziz menghela napas, setengah tertawa sinis. “Nanti kamu pasti cari alasan untuk bolak-balik ke sana, ingat kamu lagi hamil anak Mas, jadi dijaga kandungannya, kalau ada apa-
Ibu Mia masuk ke dalam kamar dan duduk di ujung ranjang. Tangannya terasa dingin dan saling menggenggam. Ia sayang pada Aziz, tapi tak bisa juga membiarkan anaknya semakin menjadi-jadi perangainya.Restu masuk ke kamar ibunya perlahan, matanya segera menangkap raut wajah Ibu Mia yang tampak lelah bukan karena fisik, melainkan oleh rasa yang tak tersampaikan.“Ibu,” ucap Restu, lalu duduk di sebelahnya. “Jangan terlalu diambil hati, pikirkan saja kesehatan Ibu sendiri.”“Aziz.” Hanya itu yang keluar dari bibir Ibu Mia yang berkerut.“Kenapa dengan Mas Aziz?”“Ibu kecewa, Restu. Dia tak mau belajar jadi lebih dewasa.” Suara Ibu Mia lirih, tapi setiap kata mengandung beban berat yang dipendam selama bertahun-tahun.“Dia selalu bersembunyi di balik kesibukan, seperti yang ibu minta dari dia semua terlalu memberatkan. Padahal ibu cuma minta dia mengerti istrinya sendiri, kalau ibu kan sebentar lagi meninggal, jadi tidak apa-apa tidak diperhatikan.”“Ibu jangan bicara seperti ini, Insya Al
Restu mengenakan kaus polos dan celana jeans, wajahnya terlihat segar meski kantung mata belum sepenuhnya hilang. Cuti panjangnya dari kapal pesiar bukan sekadar libur, tapi niat untuk menebus waktu yang hilang bersama orang-orang terdekat.Ia memasukkan botol minum ke dalam tas selempang, lalu melangkah menuju ruang tamu di mana Ibu Mia duduk dengan baju gamis biru yang ia berikan. Wajah ibu angkatnya terlihat tenang, tetapi tubuhnya sedikit gemetar ketika berdiri.“Sudah siap, Bu?” tanya Restu lembut, sembari menggenggam lengan ibunya.Ibu Mia ingin tersenyum tapi jantungnya terasa nyeri. “Iya, Nak. Tapi rasanya aneh, terutama setiap dengar suara Haira jantung jadi berdegup lebih kencang.”Restu hanya tertawa. “Tenang, hari ini kita semua kontrol. Biar dokter yang menilai apa yang sebenarnya terjadi.”Sementara itu, di sisi lain rumah, Haira tengah mengenakan gamis longgar dan menata jilabnya dengan manis. Yoga, dibawa serta karena hanya kontrol saja bukan menginap.“Mama, nanti ded
Di sebuah restoran mewah dan di dalam ruangan VVIP, Reza membuka laptopnya. Rusyana duduk di seberangnya, wajah wanita itu tenang tapi menyimpan banyak gejolak. Reza membaca data lengkap yang telah ia peroleh dengan segala cara.“Saya mau tahu semuanya. Orang tuanya, latar belakang, keluarganya, aibnya kalau ada,” kata Rusyana dingin. “Suamiku terlalu dermawan pada wanita itu. Darmadi pikir saya akan diam saja.”Reza mengetik cepat di sebuah platform sosial media. Dalam hitungan menit, layar menampilkan semua akun yang ditengarai sebagai milik Anita. Termasuk akun jualan yang sering digunakan untuk live pada salah satu sosial media.“Anita. Anak pertama dari dua bersaudara,” jelas Reza. “Ayahnya tukang servis elektronik, doyan selingkuh dan cerai dari ibunya. Ibunya sekarang tinggal di desa sama adiknya yang bernama Anggita.” Reza menjelaskan semua kesimpulan yang ia rangkum.Reza menggeser layar, menampilkan foto dari akun media sosial lama Anita yang sudah tak aktif.“Adik perempuan