Share

[2] Theatre

Hari Jumat. Gedung Firma Hukum milik keluarga Lehnserr tengah memberlakukan protokol baru. Perubahan ruangan-ruangan pegawai yang menjabat, serta transfer berkas lama ke kantor arsip Kejaksaan Agung akan dilakukan hari itu.

Tanpa mengetuk, salah satu pintu ruangan dibuka pelan, "Hei."

Lorna melirik tajam, "Mau apa?"

Aneh. Lorna mengira jarak pertemuannya dengan Alex akan berkisar dua minggu, atau bahkan lebih. Bisa jadi mereka tak akan bertemu lagi, mengingat sama-sama dirundung kesibukan.

Namun– tak sampai 48 jam berlalu, iris gelap kembali menatap netra terang. Lorna mengucap sumpah serapah dalam hati karena terlalu mabuk semalam, berakibat dirinya harus berurusan dengan orang ini lagi.

"Galak." Alex tersenyum miring, bibir manisnya didekatkan pada telinga si gadis.

 "Kemarin malam saja sampai memohon-mohon minta disentuh."

"Berisik sekali kau." Perempuan itu makin memasang wajah garang.

Atensi gadis itu terbagi, tak pernah berfokus pada satu objek sama sekali. Matanya mengelilingi ruangan, sesekali mulut tajamnya bergumam.

"Aku serius, hari ini sedang sibuk. Butuh apa?"

Alex menautkan alis, ditiliknya atmosfir yang menyelemuti diri. Tempat ia dan Lorna berdiri, berantakan sekali. Banyak kotak-kotak penyimpanan berkas yang berserakan, tak terhitung tumpukan kertas memenuhi ruangan.

"Kau sibuk apa?" Tanya si pemuda, penasaran.

"Alexander, astaga." Lorna menghela nafas merasa dongkol.

"Kenapa sayang?"

Sang pengacara memijit pelipis seraya berjalan menuju meja kerja, tahu bahwa berkas-berkas bekas yang berceceran ini akan menghabiskan banyak waktu untuk dibereskan. Ditambah presensi Alex, lelaki yang baru ia temui malam tadi. Semalam keduanya tak terlalu sadar, lebih-lebih terbawa suasana.

Lorna mengira Alex akan berperilaku lebih baik pada kesempatan lain, rekata keduanya pada seratus persen taraf kesadaran. Tak disangka ternyata sifatnya semerepotkan ini.

"Kau mau pindahan atau apa?"

Suara berat si penyanyi menggema seisi ruangan, tak ada suara apapun yang memasuki gendang. Lorna selalu butuh tempat tenang, tak terganggu apapun agar pekerjaannya bisa berjalan.

"Tumben benar." Lorna menarik laci meja, diraihnya sebuah ikat rambut yang selalu ia simpan di manapun perempuan itu akan menghabiskan banyak waktu. 

"Bisa tolong aku?"

"Apa?" Alex mengulum senyum.

Sorot jengah kembali dilayangkan, "Tolong, Al."

"... dan kenapa aku harus menolongmu?"

"Kalau begitu pergi saja, bodoh. Kau hanya membuang waktuku."

Alex tertawa keras, mengganggu ego Lorna mungkin menjadi hobi barunya untuk saat ini. Cowok 27 tahun itu membuka jaket denim yang ia kenakan, dikait ke tempat yang sama dengan blazer milik Lorna. Tersisa kaus abu polos dengan jeans hitam, perpaduan outfit yang lebih cocok dikenakan remaja– membuat Alex terlihat jauh dari kata dewasa.

"Oke kubantu, tapi setelahnya kau harus menemani aku."

Alex mendapati tatapan yang Lorna pada badannya yang sedikit berkeringat.

"You should take a picture, it'll last longer."

Perempuan itu malah memasang tampang geli, "Aku hanya berpikir– kau sering sekali memakai kaus dan jeans ya? Sudah tua, tak pantas."

"Lalu harusnya memakai pakaian seperti apa?"

"Tidak usah."

"Oh?"

Dengusan geli itu tertangkap telinga Alex. Mengutuk dirinya sendiri karena menatap si perempuan dengan cara yang sama, terlalu lama. Mungkin sifat Lorna memang tak seburuk itu, Alex sedikit merasa bersalah karena memanggilnya b– semalam.

"Ke mana?"

"Hm?"

Lorna mulai berjalan ke ujung ruangan, menarik lengan blouse yang ia kenakan sampai siku. Memilih satu persatu berkas untuk dipisahkan, lirikannya sama sekali tidak menyapa figur Alex yang masih berdiri di dekat pintu.

"Menemanimu ke mana?"

"Oh," Pemuda itu ikut membantu. Dengan rasa penasaran, Alex berjalan ke tumpukan berkas terdekat. Membuka helai demi helai, membaca apa saja yang pernah menyapa kepala bebal milik Lorna.

"Bioskop di seberang jalan, ada film sutradara kesukaanku. Pemutaran khusus."

Konversasi itu, secara mengejutkan, berjalan lancar. Tak dibumbui canggung semacam orang-orang yang habis melakukan one night stand lalu bertemu di lain kesempatan, meskipun diselangi hening yang cukup lama.

Lorna menghentikan aktivitasnya sejenak, "Eyes Wide Shut?"

Kedua alis si pemuda terangkat cepat, "Kau tahu?"

"Siapa yang tak tahu film-film buatan Stanley Kubrick, pertanyaanmu aneh."

Setelah berkata demikian– Lorna pun sadar satu hal. Band yang ditekuni Alex memiliki nama orang itu, pasti ia dan rekan-rekannya penggemar berat.

"Jadi mau nih?" Suara Alex sedikit teredam lengannya sendiri, debu yang berterbangan membuat pernapasannya sedikit terganggu.

"Boleh deh, tapi selesaikan ini dulu."

"Alright, babe." 

"Can you shut the fuck up."

Tawa Alex kembali terdengar menggema, Lorna berusaha keras menyembunyikan senyum yang terpatri pada bibir manisnya. Laki-laki itu memang tengil, tapi si perempuan sudah lama tak memiliki kontak dengan jenis manusia sepertinya.

Hampir semua klien yang meminta bantuannya memiliki pribadi suram, wajah orang-orang depresi, serta cara berkomunikasi yang tak pernah dibumbui basa basi. Alex is a fresh addition, Lorna masih menyesuaikan.

Dari balik ruangan, beberapa staff menempelkan telinga ke pintu yang kini Alex sandari. banyak yang mulai melempar pandang serta berbisik pelan, suatu keajaiban bos mereka menerima tamu seorang laki-laki yang seumuran. Bukan untuk urusan penting pula, ada apa gerangan?

"Kau ...." Ucapan Alex kembali terpotong, ditatapnya sebuah berkas yang terlihat ditandai stempel tiga tahun ke belakang.

"Kasus penculikan Candice Dune?" 

"Hm?" Lorna menengok pelan, "Oh, itu kasus pertama yang aku tangani. Sangat sulit. Pelakunya bukan amatir."

"Kasus pertama?"

Alex memendam kagum dalam dada. Diam-diam semakin menaruh rasa pada si pengacara muda, ia ingat betul kasus ini sempat beberapa kali masuk media nasional. Tiga tahun yang lalu, Lorna memulai karirnya sebagai pengacara. Itu berarti dia sudah lulus sekolah hukum pada usia 19 tahun. Damn.

"I was obsessed, you know?" Lorna memasang tatapan melas. Helaan nafas yang khas mulai familiar di pendengaran Alex, padahal gadis itu terkenal ulet dan jarang sekali mengeluh.

"Aku tidur 3 jam sehari di hari Senin sampai Jumat. 13 jam pada weekend, malah terbiasa sampai sekarang."

Tidur antara 3 dan 13 bukanlah kebiasaan baik. Hell bahkan anak kecil saja pasti tahu akan hal ini. Pola hidup yang berpengaruh pada personaliti, semuanya mulai terhubung.

"Ayahmu tak marah?" Pemuda itu mulai bertanya secara langsung.

Dirinya di masa lalu sering berbisik dalam mimpi; bahwa segala sesuatu yang dipendam dalam kepala tak akan pernah jadi realita kalau kau tak mengatakannya.

Alex tak mungkin bisa dekat dengan Lorna kalau segala pertanyaan tentang gadis itu hanya ia pikirkan saja.

"Tidak," Lorna mengendikan bahu. "Aku lebih bebal darinya, jika kau penasaran."

"Aku bisa melihatnya sih." Seru Alex dengan air muka serius.

"Ya ya terserah."

Saat berkas-berkas itu selesai dimuat ke dalam mobil yang disediakan khusus, Alex mengambil jaketnya di dalam ruangan Lorna. Bersiap pergi ke bioskop sebrang, cowok itu mendapat tatapan penasaran dari setiap staff yang ia temui. Tak lupa melempar sapaan hangat serta senyum manis yang selalu berhasil memikat, Alex kembali ke luar gedung.

Saat si perempuan merasakan tepukan pada bahu, Alex lanjut menariknya dalam ciuman singkat, terang-terangan di depan umum. Paparazzi mengintai mereka dari kejauhan, tindakan itu sengaja. Alex mencemooh para pemburu skandal itu, dengan membuat skandal melibatkan orang yang tak mau mereka campuri urusannya.

"You're such a fucker." Lorna terkekeh, mengalungkan lengan pada leher si pemuda. Melanjutkan sesi make out panas terakhir sebelum keduanya meninggalkan bangunan tempat Lorna bekerja.

***

Film Eyes Wide Shut, yang pernah dan masih kontroversial sampai sekarang, baru saja selesai ditayangkan di bioskop. Seperti yang Alex ucapkan, penayangan khusus. Hanya malam ini saja.

Lorna merasa risi sebenarnya, tetiba diajak menghabiskan waktu bersama laki-laki yang tidak terlalu ia kenal. Namun Alex adalah satu dari sedikit manusia yang berani mendekati gadis itu tanpa takut dengan omongan pedasnya. Kebanyakan orang selalu mundur duluan.

"Damn." Gadis itu mengeratkan blaser yang ia kenakan, musim gugur masih setengah jalan tapi udara sudah sedingin itu.

"Aku masih merasa merinding setiap kali menonton ulang film itu, what an experience."

Alex tersenyum tipis pada waitress yang menyodorkan buku menu, susana restoran cepat saji yang mereka kunjungi terhitung sepi.

"Kau tahu film itu durasinya dipotong?"

"Hm?" Lorna menunjukan antusias, "Dipotong bagaimana? Sudah 2 jam 30 menit 'kan?"

"Iya." Seru Alex, pemuda itu menatap serius. Senang karena akhirnya ada hal yang ia ketahui namun Lorna tidak, ada bahan pembicaraan yang bisa berbuntut panjang.

"Beberapa hari sebelum penayangan, Stanley Kubrick meninggal. Katanya ia sempat bertengkar dengat para eksekutif dari rumah produksi. Kubrick ingin menanyangkan seluruh durasi yang telah melalui proses produksi, namun para eksekutif itu meminta pemotongan adegan."

"Berapa lama adegan yang dipotong?"

"27 menit."

"Well that's something," Lorna memberikan kembali buku menu serta catatan pesanan makanan keduanya pada waitress yang kembali menghampiri.

"Kukira adegan dewasanya akan dipotong juga." Seru perempuan itu dengan tatapan penasaran.

Si pemuda mendengus geli, "Tadi 'kan penayangan khusu umur 21 keatas. Memangnya umurmu berapa? 17?"

"Yaaaa bukan begitu." Mencebik kesal, Lorna memutar bola mata.

Surprisingly, acara menonton bersama mereka berlanjut mengunjungi tempat-tempat lain. Setelah makan, giliran Lorna yang meminta Alex menemaninya ke sebuah toko buku. Pemuda itu mengiyakan, mobil Chevrolet milik Lorna itu ia kemudikan ke tempat yang agak jauh. Katanya Alex kenal seseorang yang memiliki toko buku cukup besar, Lorna tak banyak menolak.

"Apa."

Alex bertanya dengan nada kecut saat Lorna memeluk lututnya sendiri di dalam mobil, perempuan itu juga duduk dengan posisi menyamping. Seluruh atensi fokus pada figur si penyanyi. Garis-garis yang membentuk rahang sempurna, bola mata yang menyorot tajam ke jalanan, hidung mancung, rambut agak berantakan.

 Semuanya satu persatu Lorna perhatikan. Seperti tak akan ada waktu lain untuk melakukannya, kesekian kali mengucap kagum atas pemberian dewa pada ciptaan kesayangan-nya.  

Alex menengok sebentar, sorot tajamnya tak berhenti menguar. "Apa sih?"

Lorna masih tak menjawab.

"You like me, do you?"

Laki-laki itu dengan percaya diri melempar pertanyaan mematikan, senyum miring terpatri pada bibir tipis yang biasa bernyanyi.

Lorna menahan nafas, damn. Senyum pemuda itu memiliki efek membahayakan. Bukannya baru sadar sekarang, hanya saja sejak awal bertemu Lorna tak mau memperhatikan Alex dengan serius. Setiap pujian spontan dalam hati selalu ia sangkal, segala yang tampak pada diri Leon Alexander ia coba abaikan.

"You're hard."

Lorna ikutan mengulum senyum, Alex tertangkap basah. Pemuda itu menghela nafas– berkedip lama tampak pasrah. Kali ini ia tak bisa mengelak, distraksi satu-satunya adalah jalan di depan mata.

"Al, menepi dulu."

"Tak mau."

"Matahari lagi terbenam, kau tak merasa silau?"

"Tidak."

Lorna tertawa kencang.

Pipi Alex kelihatan tambah merah, akibat rasa malu yang membuncah ditambah sinar matahari yang mengguyur bumi. Lorna benar, apa lagi jalan yang mereka lalui sudah masuk tepian kota. Tak banyak gedung pencakar langit yang menghalangi mata menatap cakrawala, bahkan Lorna sesekali melihat peternakan sapi menghampar di pinggir jalan utama.

"Aaaaaal masih jauh?" Tanya gadis itu dengan nada menggoda.

"Dekat."

Lorna mendengus, "Menyebalkan."

Sang pengacara menurunkan kaki, badannya menggeliat akibat berada di posisi yang sama dalam waktu lama. Ikat rambut ditarik lepas, tangan kecilnya ikut bergerak pelan memijit pelipis.

"Tsk." Alex mendecak kesal, lirikan matanya mendapati blouse coklat dan rok pendek yang dilempar ke backseat. Lorna lagi-lagi hanya mengenakan tanktop hitam– kali ini bagian bawah tubuhnya hanya ditutupi celana dalam tipis.

"Kau ngapain sih?"

"Gerah."

Bullshit.

Alex menginjak pedal rem, mobil itu berhenti di tepi jalan. Sepi, cahaya matahari masih menyusup masuk. Pemuda itu meremas kemudi mobil agak keras, sabuk pengaman dibuka cepat.

Lorna menatap geli.

"Kemari." Alex menepuk pahanya tanpa bergerak lebih banyak. Lorna bisa melihat dengan jelas tonjolan besar yang berada di bawah pinggangnya, malah gadis itu tak sengaja menggigit bibir bawah akibat tak sabar dengan apa yang akan terjadi.

"Mau apa." Masih dengan keras kepala yang sama, Lorna seakan mengejek Alex.

Tatapan tajamnya kian mengkilat, badan Alex mendekat cepat, meraih leher perempuan itu dan mencium kasar. Lorna menyambutnya tak kalah beringas, tangan kecil bergerak ke depan– meremas tonjolan penis yang mengeras. Alex memutus ciuman karena mengeluarkan geraman.

Tangan kekarnya bergerak menarik lengan sang pengacara, Lorna kali ini menurut. Badan kecilnya berpindah duduk di pangkuan Alex, mendesah pelan saat cowok itu merobek celana dalamnya dalam sekali tarika. Mengakibatkan lipatan basah milik Lorna bergesekan dengan jeans kasar yang dikenakan Alex.

Kemudian Lorna mengeraskan rahangnya kuat-kuat, nafas berat ditarik untuk kali kesekian. Kedua telapak meremas rambut laki-laki di hadapan, "Mmmghhh–"

Tangan Alex membagi fokus, yang satu menempel pada leher yang satu mengacaukan titik lemah. Sejak tadi ia menahan diri, tak mau terkesan mendatangi Lorna dengan alasan ini saja. Karena dirinya ingin dipuaskan saja. Tapi malah gadis itu yang menggoda duluan, Lorna sendiri yang ingin dipuaskan.

Tapi netra terang itu sudah tak mengenal canggung, ia malah sengaja mengeluarkan desahan serta cicitan nikmat saat jemari besar milik Alex menyelam lebih dalam.

"Ahn. Sialan kau!"

Alex melembatkan permainan tangannya, mulut ikut terkekeh seksi, "Kau dari tadi sengaja menggodaku ya?"

"Kau saja yang mudah terangsang. Lemah."

"Hm." Alex menenggelamkan hidung mancungnya di ceruk leher si perempuan.

"Tak mengenakan bra, celana dalam yang kurobek barusan pun sudah basah sebelum kita bersentuhan." 

Tangan yang sedari tadi bergerak pelan mulai menghentikan gerakan, sengaja ingin mendengar suara memohon dari gadis yang tampak sama angkuhnya dengan dirinya. Alex menjilat buah dada Lorna yang masih terbungkus tanktop, tak akan berhenti sebelum egonya terpenuhi.

"Please."

Seyuman miring makin melebar, Alex kembali menggigit gemas leher mulus yang sedari tadi ia hirup aroma manisnya.  "Jadi benar."

Lengan kiri dilepas pelan, meninggalkan cairan gairah yang menempel pada sela-sela jari. Laki-laki itu menjilati semuanya di hadapan netra coklat, Lorna menggesek kedua paha merasa resah dengan pemandangan yang ada di depan mata.

'Sial.' Dalam hati merutuki diri sendiri akibat jatuh lagi dalam pesona si laki-laki, 

Tangan Lorna bergerak maju, dengan tak sabaran membuka sabuk serta kancing celana jeans yang Alex kenakan. Menariknya cepat, meraih batang yang mengeras bersembunyi dibalik boxer bermerk mahal. Kini giliran Alex yang menggeram, perlahan menyingkirkan tangan si perempuan karena tak mau dirinya merasa puas sendirian.

Lorna berakhir melingkarkan tangan di leher sang penyanyi. Alex meraih pinggang ramping di depan mata, "Kau yang bergerak." 

Lorna menurut– badan melingkar sempurna pada badan kekar si pemuda. Nafas terasa berat, saat-saat seperti inilah pertahanan keduanya melemah.

Alex membisikan kalimat-kalimat yang membawa tenang serta candu bagi si perempuan, sementara Lorna kehilangan ego yang selama ini mengendalikan. 

Ia tak mau, entah sampai kapan, tak akan sudi mengakui ada pesona Leon Alexander telah menyentuh bagian dati hatinya yang selama ini telah dibuang jauh-jauh. Hati kecil perempuan itu masih sering memperingati, bahwa si pemuda hanya ingin mengendalikannya tanpa ada niat baik yang mengikuti. Lorna harus berhenti.

"Jalang."

Satu kata dari mulut laki-laki itu sekali lagi meruntuhkan dunia sang pengacara.

***

"Sejujurnya," Kata Alex pelan-pelan.

"Apa."

Lihat? Saat pelepasan sudah selesai, perempuan itu kembali ke sikap asal. Alex hanya mendengus kesal karena harus membiasakan diri lagi.

Keduanya berakhir tak pernah sampai ke toko buku yang Alex bicarakan, malah berdiam di dalam mobil dengan posisi yang sama saat pertama berhenti tadi.

Sama seperti sebelumnya, Lorna masih diam di atas Alex. Diselimuti jaket denim, memeluk renggang, kening menempel dada telanjang. Dagu lancip Alex beberapa kali menyenggol puncak kepala.

"I just come to say goodbye."

Hembusan nafas bernada kecewa itu terdengar oleh telinga Alex sendiri, ia sudah berniat ingin langsung menggoda namun lebih baik lihat respon gadis ini terlebih dahulu.

"What you're going back to London?"

Lorna menanggah, iris coklatnya mencari pantulan diri di tengah kegelapan. Terakhir mengecek ponsel sekitar lima menit yang lalu, jam menunjukan pukul tujuh malam.

Alex meraba jaket yang menyelimuti si perempuan, menemukan sebatang rokok serta korek yang sengaja ia simpan.

"No, i have a vacation plan to Maldives. Berangkat hari minggu." Jawabnya pelan.

"Kau tak keberatan aku merokok? Mau aku keluar dulu?"

Aneh.

Darimana pertanyaan-pertanyaan penuh afeksi ini datang?

"It's okay." Lorna menggeleng pelan. Pelukannya kali dilepas, gadis itu bersender pada kemudi mobil.

Saat Alex menyalakan ujung rokoknya, lalu asap pertama dihembus ke luar jendela, tangan Lorna bergerak mengapit rokok yang sama.

Laki-laki itu menahan reaksi kaget, berusaha sebisa mungkin tak melayangkan tatapan menghakimi pada si pengacara muda. Lorna menghembus asap kedua ke luar jendela, menatap Alex dengan sorot yang tak bisa diartikan kata-kata.

"Damn, girl. Aku kira kau benar-benar bersih." Kekehan Alex berada antara mengejek atau ungkapan kagum, Lorna memilih abai dengan niat asli perkataan itu sendiri.

Gadis itu mengeratkan jaket denim yang menyelimuti. "Ah, nobody's perfect."

'You are perfect.' Alex membatin.

'Pemabuk. Binal. Perokok. Tapi memiliki sebutan anak kesayangan dewan.'

Keduanya beradu tatap di dalam gelap. Hanya ada lampu temaram di dekat jalan serta puntung rokok yang masih menyala sebagai penerangan. Entah Lorna sadar atau tidak, netra Alex tak pernah lepas dari figurnya. Setiap kali mengisap ataupun membuang abu ke luar jendela, Alex tak mengalihkan pandangan.

"Alright, then. Gak penting banget kau sampai mendatangiku gara-gara itu." Lorna memecah hening, risi ada yang berkata dalam diri bahwa dirinya tengah diperhatikan lekat-lekat.

Topik itu diangkat kembali, Alasan si pemuda tetiba mendatanginya siang tadi. Lorna sebenarnya ingin sekali bersikap tak peduli dan sepenuhnya menghindari, namun tak ada bahasan lain lagi.

"Nanti kau repot mencariku, teman-teman yang lain tidak tahu."

"Yakin sekali aku akan mencarimu. Teman-temanmu siapa saja pun aku tak tahu."

"Meh. Tak usah jual mahal. Yang tadi menggoda siapa hah?"

"Salahmu sendiri keras duluan!"

"So you're aroused by sight of my cock?"

"Yes."

Alex membuang puntung yang tak tersisa, lagi-lagi hanya tangan yang bergerak. Badan serta pandangan tetap berfokus pada si perempuan. Tawa geli terdengar menggema di tengah sepi, pemuda itu memajukan badan– mencium singkat pipi Lorna sebelum tangannya memutar kunci mobil.

"Sudah malam."

"Yeah, ayo pulang saja."

Perjalanan pulang tak terasa lama, tahu-tahu mereka sudah sampai di mansion keluarga Lehnserr. Si putri menawarkan Alex agar mampir terlebih dahulu, namun cowok itu menolak. Katanya sudah terlalu malam, mungkin lain kali.

Alex juga menolak saat Lorna meminta supir pribadinya untuk mengantarkan si pemuda sampai ke rumahnya, namun kali ini Lorna memaksa. Dengan alasan yang sama, sudah terlalu malam makanya bahaya. Alex menyinggung pemutarbalikan kalimat yang gadis itu gunakan untuk membuat dirinya kalah argumen, Lorna hanya balik mengejek..

"Kau bodoh sekali mengajak debat seorang pengacara."

Akhirnya Alex mengiyakan, seorang supir bernama Thomas mengemudikan mobil yang mengantar Alex sampai ke rumah. Pemuda itu sempat mengacak rambut Lorna agak keras, gemas dan dendam menjadi satu. Lorna mencebik lagi, memukul bahu Alex agak kencang. Berakhir cowok itu yang merintih– ekspresinya jelas dilebih-lebihkan.

Keduanya kemudian berpisah, dua pasang netra coklat tak akan saling menatap untuk beberapa waktu kedepan.

Satu hal yang tidak Alex ketahui, Lorna banyak berbohong padanya hari ini. Gadis itu berbohong saat ia berkata tak tahu menahu tentang pemotongan durasi film yang baru mereka tonto. Lorna adalah sinefil, hal yang banyak ia lakukan sebelum masuk kuliah ialah menonton belasan film dalam satu minggu.

Ada juga yang tak Lorna ketahui, alasan Alex mengajaknya ke toko buku yang terletak di ujung Los Angeles, msskipun akhirnya tak pernah sampai ke sana. Pemilik toko itu bukan teman dekat Alex, ia hanya pernah bertukar pikiran sekali dua kali. Alex sedang tidak dan tak akan pernah sudi mengakui bahwa dirinya– tak merasakan emosi negatif saat bersama dengan Lorna.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status