Share

[3] Conversation

Hari Minggu, pukul 6 pagi. Alex dan Regina sudah sampai di Bandara. Mengejar penerbangan menuju Maldives, tercetak pukul 8 pagi pada tiket mereka. Liburan yang telah lama direncanakan ini akhirnya terlaksana, butuh waktu lama untuk keduanya bisa menemui jadwal kosong yang sama. 

"Minggu depan aku ada pemotretan untuk majalah Vogue." Kata Regina saat keduanya telah duduk santai di kursi penumpang, Alex merespon dengan senyum manis. 

"Begitu?" 

Regina mengangguk, "Aku yakin beberapa pertanyaan dalam wawancara itu akan menyinggung kau." 

"Kau tak harus menjawabnya, sayang." Alex mengusap pipi sang kekasih, "Bilang saja melalui manajermu kau tak nyaman." 

Perempuan dengan mahkota blonde itu mendengus kesal, tangan kasar si pemuda ditepis. "Tidak mempan." 

Netra coklat menatap khawatir, "Apa ada yang bisa kulakukan untuk membuatmu merasa lebih baik?" 

Bersebrangan, iris biru mengerling tajam. "Mhm, coba kupikir." 

Alex tersenyum tipis. Tangannya kini bergerak menuju helaian rambut yang jatuh di atas dahi, membentuk poni gemas pada si perempuan kesayangan. 

Sudah bukan rahasia bahwa terlepas daru image womanizer yang melekat sejak awal debut, pemuda itu selalu memperlakukan para perempuan yang telah ia klaim bak seorang Ratu. Mantan-mantan terdahulu pun memiliki kesan tersendiri di mata para penggemar, meskipun hampir semua hubungannya berakhir karena alasan yang sama. Perselingkuhan. 

Alex juga yang menjadi tersangka. 

"Al, bagaimana kalau ...." 

"Kalau ...?" 

Regina memangu dagu, "Kalau aku mengumumkan bahwa kita telah bertunangan?" 

Alex menaikan kedua alis, "Tapi kita ...?" 

"Makannya kau cepat-cepat lamar aku dong."  

Laki-laki itu terdiam, merutuk diri sendiri atas ketidakbecusan memilih perempuan. Tuntutan komitmen itu lagi-lagi datang, mengapa Alex selalu terjebak dengan masalah yang sama? 

James bahkan pernah bilang, butuh seorang perempuan sekelas Cleopatra untuk meyakinkan Alex bahwa dirinya ingin memulai sebuah keluarga– mengikat janji suci di atas altar. 

'Tidak.' Kata laki-laki itu dalam hati. 

'Sampai kapanpun aku tidak mau menikah.' 

"Al? Kau tak suka ya?" Regina mendapati sang kekasih yang terus melamun. "Apa aku membuat kesalahan?" 

Suara yang dibuat-dibuat itu tertangkap indra pendengar Alex, gelengan pelan serta tawa kecil ikut terdengar. "Tidak kok. Lakukan saja." 

"Ah, terima kasih." Regina bergerak maju, memaut bibir laki-laki beraroma Gatsby itu dalam kecupan lama. Alex balas melumat, tangannya berpetualang mengusap belakang leher.  

Sesi make out mereka hanya berjalan sebentar, suara peringatan lepas landas menggema di seluruh kabin. Regina memeluk badan Alex, gestur takut yang selalu ia perlihatkan kalau keduanya hendak mengunjungi tempat baru.

**** 

Penerbangan yang memakan waktu 20 jam itu menguras energi Alex dan Regina walau keduanya hanya duduk-duduk saja. Buru-buru check in di hotel yang telah dipesan, saat keduanya membaringkan diri di kasur empuk, jam di ponsel menunjukan pukul 4.30 pagi. 

Regina tertidur pulas, tak banyak berbicara karena tak terbiasa beraktivitas berat– ia kelelahan. Sementara Alex, terdiam menatap langit-lagit. Meskipun badannya pegal dan kepalanya tak bisa berpikir apa-apa, cowok itu belum bisa tidur. Ia malah melamun, sedikit melakukan refleksi pada hidup sebagaimana orang-orang yang sering terjaga di malam hari. 

Berbalik ke kanan dan kiri, mencoba tengkurap, menutup mata dengan lipatan siku, segala posisi Alex coba. Namun nihil, pemuda itu belum bisa mengikuti Regina ke alam mimpi. 

Pikirannya kembali disapa hal yang ingin ia lupa. Perkataan sang kekasih di pesawat tadi sangat mengganggunya, tentang pertunangan dan segala komitmen yang melibatkan. 

Sebenarnya, sejujurnya, Alex juga ingin memiliki seseorang pendamping. Punya seseorang yang bersedia ia buat pusing, punya pasangan yang bisa bareng-bareng melakukan hal sinting. 

Alex berharap bisa punya seseorang yang bisa ia tunjukan semua sisi lemah. Kasih yang jadi tempat tumpah ketika dirinya pasrah. Perempuan yang setiap saat bisa diajak melarikan diri— karena terkadang asing lebih baik daripada membusuk di tempat yang selama ini membesarkan. Dia yang tak masalah bergaul dengan teman-teman si pemuda. Dia yang tak segan mengenalkan Alex pada saudara serta orang tua, terlepas dari signatur bad boy yang pemuda itu miliki. 

Semua itu Alex kubur dalam-dalam pada pikiran sehari-hari, seringkali muncul kembali saat pemuda itu diterpa sepi. Orang tuanya baik-baik saja, tak pernah bermasalah serius sampai menyentuh pengadilan negeri. Alex pun dibesarkan oleh kasih sayang, masih menjadi rahasia mengapa ia sangat takut dengan ikatan pernikahan. 

Nafas dihembus keras rekata iris coklat menangkap figur mahkota blonde, Regina pun sepertinya bukan the one yang Alex dambakan. Lalu untuk apa hubungan yang selama ini ia jalani? Akan berakhir jadi bagaimana?

From: Leon 

Hai? 

Jemari besarnya tak mau berhenti mengetuk ponsel di hadapan, pesan singkat itu adalah kali pertama ia kirimkan semenjak David memberikan nomor ponsel Lorna kepadanya tempo hari. 

  

From: Lehnserr 

basi.

Alex mendengus geli, terbayang wajah ketus sang pengacara muda dalam kepala. Berkali-kali Lorna menjelaskan tentang raut muka alaminya –yang biasa disebut Resting Bitch Face– berkali-kali juga orang sekitar mengenalnya dengan image orang yang angkuh.  

Maka dari itu, Lorna memilih acuh. Persetan signatur dirinya adalah villain berkedok penegak birokrasi, selama gadis itu tidak mengganggu orang lain maka semua yang dilakukannya adalah hak sendiri. 

  

From: Leon 

Kenapa kau menyimpan nomorku dengan nama Leon?

Pemuda itu memulai dengan topik tak penting, jarak yang membentang diantara keduanya menyebabkan zona waktu terpaut jauh. Beruntung, tepat 24 jam beda mereka melihat cakrawala. Beda hari saja, Lorna masih menjalani hari Minggu. Sementara Alex telah ditemui hari Senin. 

From: Lehnserr 

kau juga hanya menulis lehnserr

  

From: Leon 

... nanti Regina curiga 

Anyway, kapan jadwalmu kosong? 

  

Ada ragu sewaktu pemuda itu mengetik nama kekasihnya—melalui pesan yang ditujukan oleh teman barunya. Dipikir-pikir, posisi Lorna di hidup Alex juga tak jelas apa. Tak bisa disebut selingkuhan karena keduanya hanya kebetulan bertemu, kebetulan mabuk pada waktu yang sama, kebetulan melakukan seks di bar yang mengundang keduanya. Kebetulan melakukan seks lagi.

Alex menghindar tiap kali dirinya yang lain bertanya perihal presensi Lorna, buru-buru pikirannya mencari hal lain sebagai bentuk eskapisme.

From: Lehnserr  

oh 

tak tahu  

  

Kedua alis itu terpaut simetris, si pemuda menegakan punggung dengan atensi masih pada ponsel pintar. Lirikan matanya menyapu ruangan, mencari-cari susunan kata yang cocok dijadikan balasan; bisa membuat konversasi bertahan lebih panjang.

From: Leon 

Tak usah cemburu

Bocah

From: Lehnserr 

????? 

you're nothiiiinggggggggg for fuck's sake 

also kita hanya selisih 5 tahun 

kau masih bocah saat aku juga bocah  

  

“Oh, shes’ upset.” Celetuk Alex, menggantung senyum dari bibir ranum. 

Kebiasaan bermonolog itu ia miliki sejak kecil. Asal mula dari kesukaan menulis lirik serta sajak yang kelak menjadi bagian dari kehidupan utamanya.

From: Leon 

Tahu darimana kita selisih 5 tahun? 

Were you googling me? :) 

You know, you could've just ask hun 

  

From: Lehnserr 

no 

no 

and no  

  

From: Leon 

Awww that's hurt 

Aku sudah di Maldives

Kamar hotel ini terasa sepi jam segini 

Oh, Mau dibelikan sesuatu? 

Niat menggoda itu agak tergeser dengan pertanyaan yang sebenarnya tulus, Alex merasa harus bersikap baik pada perempuan itu. Setidaknya, bersikap baik. Karena bertutur kata baik pada seorang Lorna Lehnserr adalah sulit.   

From: Lehnserr 

mau 

  

“... pesanku yang lain diabaikan.” Alex menghela nafas, saat percakapan itu mulai melantur si pemuda ikut diserang kantuk. 

Mungkin berteman dengan Lorna ada gunanya juga. Tak aneh banyak laki-laki tak berani mendekatinya, selain karena pengacara itu galak—personaliti yang dimiliki juga sepintas terlihat membosankan. 

“Maybe she is a bitch.”

From: Leon 

Mau apa? 

From: Lehnserr 

mau kau tak menghubungiku lagi 

you have a gf already right 

so fuck off

Tawa ringan tak bisa disembunyikan, Alex buru-buru melirik ke sisi ranjangnya. Regina masih tertidur pulas, dengan hanya mengenakan pakaian dalam tipis. Damn, Alex tak pernah merasa se-biasa saja ini menatap seorang perempuan. 

From: Leon 

:) 

Did i really break your heart? :) 

I thought you didn't have any 

Lorna tak menjawab. 

Alarm yang muncul di layar cepat-cepat Alex matikan, takut ringtone ponselnya mengganggu tidur sang kekasih. Jam di ujung layar menunjukan pukul 5 pagi, Alex semakin sulit menahan berat kelopak. Namun ia juga tak mau mengabaikan Lorna—padahal ia sendiri yang diabaikan— dengan berhenti mengirim pesan. Ini terakhir, Alex berbatin dalam hati. Kali ini serius.

From: Leon 

Okay, since you seems to be mad (again) 

Aku cuma mau mengingatkan 

Your cunt feels amazing 

“No shit.”

Alex menyuarakan salah satu isi hatinya tentang Lorna yang paling krusial, selama mereka saling mengenal. Selama tiga hari diisi percakapan tak penting.

From: Lehnserr 

don't go sexting on me while having regina in your arms 

i'll block you

“... God.” Alex memasang ekspresi serius. 

Kantuk kembali menyerang dalam lain bentuk, cowok itu menguap lama. Sampai air matanya sedikit menetes tanda mata harus segera diistirahatkan.

From: Leon 

You won't :) 

Aku mau tidur tapi nanti kabari lagi ya?

Aku tak tahu kau suka barang apa 

Atau makanan apa 

Might as well tell me about urself more 

... also shiiiiit i'll miss your tits  

Segera setelah pesan itu dibaca, tulisan kecil dibawah buble chat menyita perhatian Alex. Pemuda itu tersenyum lebar, membayangkan rona merah yang pasti menyelimuti pipi si gadis. Tak lupa raut murka serta sumpah serapah yang jadi pelengkap, Lorna pasti tak bisa berkata apa-apa.

! YOU CAN NOT SEND ANY MASSAGE TO THIS NUMBER ANYMORE !

"Bajingan." 

"Siapa lagi?" Andrew Doyle Lehnserr– sang Senator California sekaligus ayah kandung Lorna– datang dari pintu ruang tamu. Lorna menggeram, melemparkan ponselnya pelan ke atas sofa empuk di depan.  

"Alex." 

Kedua alis Andrew terangkat singkat, "Laki-laki?" 

"Menurutmu?" Lorna melempar pertanyaan retoris. 

Thank God, Andrew bukan tipe orang tua yang dibesarkan dengan parenting orang Asia, kalau tidak Lorna sudah diusir dari rumah karena dianggap durhaka. In fact, sifat dominan perempuan itu datang dari gen ayahnya. 

Mendengus pelan, Andrew memasang tatap telisik. "Sudah lama sejak kau menyebut laki-laki yang bukan rekan kerja– atau seorang tersangka pidana." 

Gadis itu membaringkan diri di atas sofa yang ia duduki, rambut dibiarkan menghampar sampai beberapa helai jatuh ke lantai. Netra coklat menatap langit-langit, Andrew diam tak banyak bertanya lagi. Hubungan keduanya sangat terhitung baik, apalagi termasuk sang Ibunda, keluarga Lehnserr bekerja pada area yang sama. 

Beberapa pertanyaan personal pernah dilontarkan saat salah satu menjadi tamu acara televisi. Apakah saat di rumah Lorna diharuskan menuruti semua perintah sang Ayah? Apakah sejak kecil perempuan itu memang disiapkan untuk jabatan penting di masa depan? 

Andrew tertawa, Elija memasang ekspresi yang sulit dibaca. Lorna? Hanya menjawab tidak.

"Ayah tahu band Kubrick's Perspective?" Sang anak tunggal memecah hening, berpikir siapa tahu Ayahnya punya saran atau sekedar ucap penenang yang bisa ia dengar saat ini. 

Andrew, kini ikut terduduk di sofa seberang, menatap kaget. "... kau? Leon Alexander!?" 

"Nah," Perempuan itu sedikit mengangkat badan untuk menatap sang ayah lebih jelas. 

"Bukan tipe-tipe yang cocok untuk aku kan?" 

"... cocok sih." 

"Ah, kau sama saja." 

Lorna mendesah jengah, terdengar keras sampai salah satu asisten rumah tangga menatapnya bingung. Andrew berterima kasih setelah dibawakan kopi panas yang biasa ia minum di pagi hari. 

"Bukannya ia punya kekasih?" 

Sekejap setelah pertanyaan itu terucap, air muka Lorna semakin kaku. Bingung menjelma jadi lingung, perlu usaha keras untuk perempuan itu mengingat hal apa yang membuatnya tak memutus kontak dengan Alex sejak kemarin lusa.

"... memang." Lirihnya rekata masih melamun

Andrew tak tahu pesan apa yang dikirimkan Alex kepada putri kesayangannya, atau lebih tepatnya si penyanyi yang harus berterima kasih pada semesta karena Andrew tak mengetahuinya. Namun laki-laki paruh baya itu menyadari satu hal, Lorna sudah menempatkan Alex di salah satu ruang hidupnya. 

Ini bukan hal yang mudah, mengingat pekerjaan gadis itu mengharuskan bertemu banyak orang. Mereka datang dan pergi, banyak yang hanya singgah dan sedikit memilih tinggal. Lorna sulit sekali membuka hati walau konteksnya hanya dalam pertemanan.

Saat membicarakan Alex, stress berat tampak pada pahatan wajahnya. Andrew hanya melihat hal ini kalau si anak tengah serius mencari solusi pada kasus yang ia tangangi. Maka dari itu, tanpa sadar, Lorna mengakui presensi Alex di hidupnya sebagai bukan yang sekedar singgah.

Sang Ayah berakhir menatap geli, "Putriku tak akan kalah dalam hal apapun. Ayah mendukungmu." 

"Moralmu bagus sekali."

Lorna tersenyum miris kala mendengar tawa keras keluar dari mulut laki-laki yang membesarkannya. 

****

“... siapa?”

Alex mengerjap, hanya bagian akhir dari pertanyaan Regina yang berhasil ia tangkap.

“Tadi pagi, kau bertukar pesan dengan siapa?”

Perempuan bertubuh seksi itu melempar raut penasaran, menghiraukan tatapan dari orang sekitar yang sedari tadi tertangkap pandangan. Keduanya tengah berjemur di salah satu bagian pantai, tak sendiri karena banyak turis yang ikut berlibur dan menginap di resort yang sama.

“Hm? Itu temannya James.”

‘Shit.’ Alex merutuk dalam hati. Padahal James adalah paling menentang hubungannya dengan Lorna, kini ia harus mengabari sang teman agar urusannya tak ketahuan.

“Ada urusan apa pagi-pagi begitu?”

Desas-desus mulai terdengar dari sisi lain pantai, semakin banyak mata yang curi pandang ke arah mereka. Alex dan Regina memang sering mendapat sebutan dream couple, selain karena keduanya berparas terlalu sempurna, karir yang dimiliki juga sama-sama sukses. Rock star dan model VS. Hal-hal kecil yang dilakukan saja sering jadi sorotan.

“Ia bertanya apa James sedang bersamaku atau tidak, sepertinya ia tidak tahu aku sedang berlibur. Kujawab saja tidak.”

Alex membalikan badan, kini poisinya menyamping agar bisa menatap langsung Regina. Pemuda itu juga sengaja menghalangi para penggemar—orang-orang yang mulai menatap lama, agar tidak mengganggu kekasihnya.

“Begitu.”

Tahu-tahu Regina mendekat, menarik leher si penyanyi agar posisi mereka semakin rapat. Ciuman itu bertahan lama, tangan Alex mengusap kulit yang tak dibalut bikini seksi terus-menerus. Ada urgensi untuk berhenti, mengingat banyak orang yang mengacungkan ponsel pintar mereka. Sebentar lagi sesuatu akan beredar di internet, pasti. Namun Regina tak henti menarik pemuda itu dalam rengkuhannya.

*** 

“Lorna?”

“Ya?”

Kedua manusia itu bertatapan sekejap, “Oh. Temannya Leo—maksudku Alex ya.”

Maverick tersenyum tipis. “Betul, kau memanggilnya Leon?”

Lorna menggeleng, “Aku terbiasa menyimpan kontak klien dengan nama depannya saja. Jadi ... begitu deh. Ada yang bisa kubantu?”

‘Memangnya Alex klien?’

‘Bukan lah.’

Tanpa diketahui kesadaran masing-masing, pertanyaan serta jawaban itu terlontar dari batin yang tak diucap. Suasana tetiba canggung, ditambah suasana sepi khas supermarket di malam hari. 

“Er ... aku Maverick.” Pemuda 26 tahun itu mengulurkan tangan kanan, sementara bagian kiri sibuk bersembunyi di balik saku hoodie. Maverick bukan tipe yang mudah bersosialisasi, namun dirinya dikenal sopan serta ramah pada siapa saja yang ditemui.

Lorna tersenyum tipis, membalas jabatan dengan tangan kurus. Beginilah interaksi yang gadis itu harapkan—dari semua orang. Lorna pun tak punya alasan memperlakukan manusia dengan gestur kecil ini secara tidak sopan. Sifat galaknya disembunyikan dulu. 

“Lorna, Lehnserr.” 

“Iya ....” Maverick menangkap senyum singkat yang segera terganti ekspresi datar.

“Jadi?”

Lorna menjatuhkan ramen instan yang sebelumnya ia baca komposisinya dengan waktu lama, keranjang belanjaan mulai terisi setengahnya. Tangan mendorong pelan, sinkron dengan kaki yang berjalan perlahan.

Si Drummer tampan yang diam-diam memiliki seorang Putri ini melangkah mengikuti, saat Lorna berhenti di depan rak obat-obatan barulah Maverick memberanikan diri.

“Alex tak sengaja ... berkata pada Regina bahwa kau temannya James.”

“Hah?” Lorna menatap jengah. 

Dentingan jam tua di ujung jejeran rak menandai sampainya belahan bumi ini di waktu tengah malam. Maverick tampak gugup, memang intinya seperti itu. Tapi—seharusnya ia menjelaskan lebih baik lagi.

Lorna sebenarnya sedikit mengerti, pemuda itu mengacau lagi. Ingin menyusun informasi itu dalam kepala namun hatinya melarang— ingat Maverick juga menyebut nama Regina. Lorna keburu malas.

“Iya, sepertinya Regina penasaran dengan siapa Alex bertukar pesan saat dirinya sedang tidur. Mungkin Alex banyak bergumam, kau tahu, ia terbiasa menyuarakan isi pikirannya tanpa sadar.”

“Tanpa sadar? Pantas saja ucapannya sulit dipahami naluri manusia.”

Mata Maverick menyipit lucu, sekilas pemuda itu tertawa keras dengan ucapan Lorna yang terhitung sarkas. Mau tak mau si perempuan ikut terseyum geli, mungkin ucapannya barusan agak keterlaluan.

“Lalu?”

Maverick meraih alkohol pembersih yang terletak di rak atas, sebelum sempat Lorna berjinjit untuk meraihnya. Perempuan itu menggumamkan terima kasih, meskipun dirinya mampu menjangkau karena tinggi badan tak terlalu jauh.

Pemuda itu mengendikan bahu, “Mungkin Alex tak sengaja menjawab kau temannya James saat Regina bertanya mengenai hal itu.”

“Tak sengaja?” Lorna menaikan kedua alis, dalam hatinya mengatai si cowok dengan sebutan aneh.

“Iya, er ... aku seharusnya tak mengatakan hal ini. Tapi kalau bisa membuatmu merasa lebih baik— lebih mengerti agar tak salah paham. Alex tak pernah bisa berkata tidak, atau mengatakan sesuatu yang berpotensi membuat tak nyaman Regina. Jadi ... ia selalu refleks berbohong supaya Regina selalu merasa baik-baik saja.”

Lorna berkedip beberapa kali, tersenyum dengan bibir, tatap matanya tajam tak bisa diartikan. “Wow, such a gentleman.”

Maverick menggaruk belakang kepalanya, “Not really.”

Si perempuan menggumam pelan. 

“Tapi menurutku justru lebih baik kalau kau tak berkata apa-apa.”

“Hm?”

“Nantinya salah paham. Aku akan marah karena hanya dianggap mainan oleh Alex, lalu Alex akan ikut marah karena nyatanya kami memang bukan apa-apa. Akhirnya sama-sama punya alasan untuk berhenti berhubungan.”

Maverick bergerak duluan, kakinya melangkah seraya mendorong keranjang belanjaan milik Lorna saat perempuan itu baru saja menjatuhkan sekotak susu bubuk, “Harusnya seperti itu ya?”

“Mungkin.” Lorna berjalan di samping si pemuda. 

“Tadinya James yang akan memberitahumu secara langsung, karena nama dia yang Alex sebutkan. Tapi— James bilang ia tak mau ikut campur urusan pribadi Al. Nicholas kesulitan berbicara dengan orang asing, jadi ... ya begitu.”

Perempuan itu tertawa ringan, sepasang kelopak menutup netra coklat. Lorna berhenti melangkah sekejap untuk menguap, sementara Maverick menunggunya dengan sabar.

“Tapi aku menghargai effort kalian, sih. Setidaknya ada usaha untuk membuatku merasa sedikit dihargai.” 

Maverick tersenyum.

Sampai di kasir, Lorna melirik si pemuda yang kembali menyembunyikan tangan di balik saku celana. “Kau tak beli apa-apa?”

Mengendikan bahu, netra hijau itu menatap lurus. “Kebetulan rumahku ada di sekitar sini. Tadi saat sedang parkir aku tak sengaja melihatmu berjalan kesini, sekalian saja.”

Si Pengacara mengangguk. Raut wajahnya terlihat lebih halus, tak keras seperti biasanya. Air muka lelah terlihat kentara, efek dari sudah lewat tengah malam namun belum juga mendapat istirahat yang semestinya.

“Oh,” Pemuda itu berhasil mendapat atensi si gadis kembali setelah beberapa saat berfokus pada belanjaan yang dihitung kasir.

Lorna menaikkan alis, "Kenapa?” 

“Minggu depan," Maverick berkata pelan-pelan.

"Putriku Cassie berulang tahun. Kalau kau sedang lenggang ... sempatkan datang ya?” 

Hening beberapa sekon, Maverick hampir menyesali ajakannya itu. Sebenarnya ia sejak tadi berpikir keras tentang mengundang Lorna ke pesta ulang tahun anaknya, terlebih karena Cassie lebih sering bertemu teman Maverick yang laki-laki. Jadinya ia berpikir, tak ada salahnya sekalian mengenalkan Lorna pada personil band yang lain. 

Bergumam sebentar, Lorna segera mengeluarkan ponsel pintarnya. “Minggu depan? Tepat Hari Minggu?”

“Iya.” Maverick menatap ragu. “Tapi kalau tak bisa juga tak apa.”

“Mhm. Aku usahakan deh." Lorna menanggah, tatapan bertanya dilempar dengan posisi tangan masih memegang ponsel pintar.

"Cassie suka makanan apa?”

“Ah— tak usah repot-repot, cukup datang saja.” Maverick sedikit kelabakan, ia enggan mau terkesan tak sopan karena meminta sesuatu dari perempuan yang baru saja ia kenal. 

“Tapi aku mau repot.” Lorna balik menatap melas.

Si pemuda, bergeming selama beberapa sekon. Menatap langsung iris coklat yang selama ini memesona sahabatnya, bercakap cuap dengan perempuan yang diperingati bersikap buruk oleh teman-temannya. 

Gadis itu merapatkan pakaian hangat yang menyelimuti badan, kembali menggumamkan terima kasih saat si Drummer membukakan pintu keluar untuknya. Mereka berjalan di parkiran, Lorna tak mengira Maverick adalah sungguhan laki-laki baik terlepas dari citra yang ia dimilikimya selama ini. 

Hening bertahan sampai Lorna mematikan alarm pada mobilnya yang terparkir, “Selama ini aku tak pernah punya saudara, Mave. Lalu kebanyakan bocah yang kutemui sifatnya jelek, kuharap putrimu tak suka meludahi orang yang tak dikenal sembarangan.”

“No!” Maverick sedikit berteriak, raut minta maaf langsung diperlihatkan saat melihat Lorna sedikit meloncat. 

“Cassie sangat ramah kok, tanya saja pada Al.”

“Oke, bagus. Nanti kukabari ya.”

“Baiklah.”

“Mave?”

“Iya?”

“Terima kasih.”

Senyuman kesekian tampak terpatri dari bibir keduanya, Maverick melambaikan tangan saat gadis itu berjalan memasuki mobil. Lorna membalas lambaian, menginjak pedal gas—memutar arah lalu lanjut perjalanan pulang.

Setelah dilihat dari jarak dekat, Maverick mulai mengerti apa yang membuat Alex tak mau melepas gadis ini begitu saja.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status