MasukDi suatu tempat gelap di dalam Hutan Belantara — Hutan Kegelapan yang tak tersentuh cahaya — para Utusan Dewa dan kaum Immortal berdatangan satu per satu. Langkah mereka cepat, waspada, dan penuh tekanan.
Tap… Tap… Tap… Tap…
Satu demi satu sosok muncul setelah menerima sinyal titik berkumpul. Udara di sekitar mereka terasa lebih berat daripada sebelumnya — seolah hutan ini sendiri sedang menunggu tragedi berikutnya.
“Bagus… semua sudah berkumpul,” ujar pemimpin mereka, wanita tua bermantel gelap dengan suara dalam. “Tempat ini paling aman. Monster yang berkeliaran di sekitar sini lebih sedikit.” ujarnya dengan suara yang sedikit berbisik agar musuh yang ada di sekitaran mereka yang dapat membahayakan mereka kapan saja, tidak menyadari keberadaan mereka.
Ia menarik napas panjang sedikit lega.
“Sekarang aku akan menyampaikan temuan terbaru.”
Tatapannya menyapu seluru
Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi
Kesunyian itu memekakkan. Kesunyian yang tercipta bukan karena dunia diam, melainkan karena hati seseorang telah pecah.Dewi Chan Si berdiri dengan tubuh gemetar, kedua lututnya hampir roboh. Di sisi kirinya, Yan Shi membeku, wajahnya memucat seakan darahnya menguap dari tubuh. Mata keduanya membasah bukan oleh air mata biasa—tetapi oleh luka yang tidak berdarah, luka yang meretakkan jiwa sampai ke dasar.Di hadapan mereka…Hanya ada kepala sang master.Kepala seseorang yang mereka cintai lebih dari kehidupan itu sendiri. Yang tersisa hanyalah wajah Dewi Pure Virtue—Jeng De—yang tenang seolah sedang tidur. Wajah yang pernah tersenyum lembut pada mereka kini terkulai tanpa tubuh.
Angin kering berembus melewati dataran gersang tempat puluhan pemimpin dari berbagai ras berdiri membentuk lingkaran. Roh suci, peri pegunungan, manusia roh, hingga bangsa Orc—semuanya menundukkan kepala, bukan sebagai bentuk hormat, tetapi karena rasa bersalah yang melilit hati mereka. Di tengah lingkaran itu, Dewi Chan Si berdiri dengan tubuh gemetar, pandangannya goyah seakan dunia sedang runtuh dalam hitungan detik.Seorang pemimpin dari Dunia Roh melangkah maju. Usianya sudah sangat tua, kulitnya dipenuhi ukiran sihir, dan matanya menyiratkan keputusasaan yang telah lama ia pendam.“Dewi…” suaranya bergetar, seakan setiap kata yang keluar darinya menyayat nuraninya sendiri. “Kami semua memang diberkati olehmu. Energi sucimu menyelamatkan generasi kami dari racun iblis. Tetapi… karena engkau
Salah seorang pemimpin dari Dunia Roh sekaligus kepala bangsa Orc melangkah ke depan. Wajahnya menegang, sorot matanya dipenuhi rasa bersalah. Dengan suara berat yang nyaris pecah, ia angkat bicara dengan sungguh-sungguh.“Meskipun kami semua diberkati oleh Dewi… tetapi karena Engkau adalah Dewi… mohon bantulah kami… untuk satu kali terakhir.” Nada memohon itu menggema seperti pukulan di dada.“Kamu…” Dewi Chan Si terperanjat. Tatapannya bergetar, menampakkan ketakutan yang belum pernah ia rasakan selama hidupnya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan hawa kematian serta keputusasaan yang menyesakkan—bukan dari musuh, melainkan dari orang-orang yang selama ini ia lindungi.Orang-orang yang ia bersihkan dari energi iblis dengan kekuatan suci
He Sura tak kuasa menahan keterkejutan ketika menyadari betapa besar hasil yang ia dapatkan selama meninggalkan tubuh klonnya. Bukan hanya materi dan esensi yang tersimpan di dalam cincin spatialnya, tetapi juga aliran informasi yang deras masuk ke kepalanya—segala pengalaman pertempuran, teknik yang digunakan Yan Shi, pola pikirnya, dan bahkan kejadian-kejadian yang berlangsung selama klon itu berada di bawah kendali Moyang An.Dari serpihan informasi itu ia memahami sesuatu yang jauh lebih penting—klan Iblis Surgawi.Selama ini ia mengira bahwa masa depan seharusnya berubah drastis setelah ia menyaksikan sendiri kehancuran klan tersebut. Secara logika, kecil kemungkinan klan Iblis Surgawi bisa kembali muncul sebagai ancaman. Namun kenyataannya berbeda.Mereka bukan hanya tidak punah, justru bertambah jumlahnya di dunia saat ini.Kesadar
"Bukannya kamu merasa penasaran tentang siapa aku ini sebenarnya? Kau malah ingin membawaku pergi…?""Tidak penasaran," sahut Yan Shi cepat, nadanya kesal namun tampak canggung. "Kamu adalah pelayanku. Sekali pelayan, tetap pelayan… dan akan selalu begitu!"Ia berkata sambil memalingkan wajah, berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya, kemudian buru-buru mengenakan pakaian lengkapnya kembali."Yan Shi! Bukalah pintunya!" teriak Chan Si dari luar, suaranya keras dan mengandung ancaman."Oh… oh!"He Sura akhirnya tersadar mengapa Yan Shi begitu panik ingin membawanya pergi dari ruangan itu. Ada sesuatu yang membuat gadis iblis itu gelisah—dan jelas







