LOGIN“Fummmmm…”
“Ini… Aku naik tingkat? Hahahaha!” serunya girang, menatap kedua tangannya tak percaya. “Aku benar-benar berhasil menembus kemacetan kultivasiku yang sudah kutanggung selama tiga tahun terakhir!”
Tanpa menunda, Lin Boa segera duduk bersila, menstabilkan aliran energi dan menyerap eliksir yang baru saja diberikan Tuannya. Di dalam dantiannya, pusaran energi spiritual berputar kencang, menandai langkah baru di jalur kultivasinya.
“Ranah Pembentukan Pondasi tahap awal… Akhirnya aku sampai juga ke tingkat ini,” gumamnya penuh haru. “Setelah tiga tahun terhenti, Master benar-benar hebat…”
Matanya berkaca-kaca saat ia menunduk. “Terima kasih, Tuanku. Kebaikan Tuan takkan pernah kulupakan seumur hidup.”
“Ya, ya, ya… Itu cuma hal sepele,” sahut Sura santai, sambil menatap langit tanpa beban.
“Tuanku, boleh aku bertanya?” ucap Lin Boa dengan suara hati-hati.
“Ada apa, pengikut kecil? Apa yang membuatmu penasaran kali ini?” balas Sura, nada suaranya datar tapi matanya penuh rasa ingin tahu.
“Semalam, saat aku beres-beres dan menyiapkan air mandi untuk Tuan, aku menemukan sebuah pedang. Auranya… samar tapi mengerikan,” jawab Lin Boa serius.
“Oh? Pedang, ya? Coba tunjukkan padaku.”
Lin Boa segera mengeluarkan pedang dari sarung kain lusuh dan menyerahkannya.
“Hah? Ternyata pedang jelek ini?” gumam Sura, mengangkat alis.
“Tuan,” jelas Lin Boa cepat, “kemungkinan besar ini adalah artefak dunia atas yang terjatuh dua hari lalu. Banyak sekte besar membicarakannya.”
“Pedang jelek ini?” Sura tampak ragu.
“Benar, Tuanku. Dua hari lalu ada seorang ahli meninju langit hingga terbentuk lubang besar. Setelah itu, sebuah artefak dewa jatuh ke dunia bawah. Ayahku dan para ketua sekte menyelidiki kejadian itu. Tapi kami tidak menyangka kalau hal itu juga menarik perhatian para kultivator iblis.”
Sura tertawa kecil. “Sungguh disayangkan, aku melewatkan tontonan menarik seperti itu.”
Ia menatap pedang itu lama. “Tapi, apa yang dikatakannya mungkin benar. Pedang ini memang jatuh dari langit, tepat di depan kediamanku. Aku kira cuma besi rongsokan yang dibuang tuannya.”
Ia memiringkan pedang, memeriksa lekuk bilahnya. “Karatnya tebal, auranya lemah. Hmph, tak ada yang istimewa.”
Sura menghela napas. “Baiklah, aku akan memperbaikinya sedikit. Siapa tahu ada sesuatu yang menarik.”
“Tuan juga bisa memperbaiki senjata?” tanya Lin Boa dengan mata membulat.
“Tentu saja.”
“Woah…” Lin Boa ternganga kagum.
Sura menyalurkan esensi dantian supramenya ke pedang itu. Cahaya lembut memancar dari tangannya, merambat ke sepanjang bilah. Suara “trrrrttt” terdengar ketika karat dan kotoran rontok satu per satu, mengungkapkan logam berkilau di bawahnya.
Perlahan, pedang itu berubah bentuk: bilahnya memancarkan cahaya putih suci, gagangnya bersinar keemasan, dan hiasan batu roh tingkat tinggi berpendar lembut di bagian ujungnya.
“Indah sekali…” gumam Lin Boa takjub.
Sura mengayunkan pedang itu dua kali, lalu berhenti dengan wajah datar. “Apa-apaan pedang ini? Setelah diperbaiki, kekuatannya cuma naik sedikit. Katanya artefak dewa, tapi rasanya seperti pisau dapur ayahku.”
Ia mendengus malas. “Sudahlah, tak berguna untukku. Kau saja yang ambil, pengikut kecil.”
“Tuanku?” Lin Boa menatapnya tak percaya.
“Ambil saja.”
Sura melempar pedang itu ke arah Lin Boa, yang segera menangkapnya dengan sigap.
“Itu hadiah kedua dariku. Gunakanlah. Lagipula, benda itu tidak berguna bagiku.”
“Terima kasih, Tuanku! Terima kasih!” Lin Boa menunduk tiga kali dengan penuh rasa syukur, matanya berkaca-kaca.
Sura menggaruk kepalanya, heran. “Kenapa dunia ini begitu mudah terkesan? Pedang itu cuma bagus di tampilan.”
Namun ketika Lin Boa menggenggam pedang itu, udara di sekitar mereka bergetar hebat. Aura tajam dan tekanan spiritual membubung tinggi, membuat rambut Lin Boa berdiri.
“Pedang ini… luar biasa. Energinya mengerikan,” gumamnya dalam hati. “Tuan benar-benar tidak menginginkannya? Atau beliau hanya ingin memberikannya padaku?”
Ia menatap Sura dengan rasa hormat yang semakin dalam. “Tuan sungguh baik kepadaku…”
“Sudahlah, jangan berlebihan begitu,” kata Sura ringan. “Aku senang kau menyukainya.”
“Tuan adalah orang paling kuat dan baik yang pernah kutemui,” gumam Lin Boa lirih, pipinya memerah menahan haru.
Sura menepuk bahunya. “Baiklah, urusan pedang selesai. Sekarang kita perlu merenovasi kediaman ini. Aku ingin tempat ini layak huni. Lagi pula, mungkin nanti tak hanya kita berdua yang tinggal di sini.”
“Siap, Tuanku! Apa aku perlu memanggil tukang bangunan dari kota bawah?”
“Tidak perlu. Cukup lihat dan belajar.”
“Eh? Jangan bilang Tuan juga ahli bangunan?” Lin Boa menatapnya lebar-lebar.
“Hahahaha! Reaksimu menggemaskan,” jawab Sura sambil menepuk tiang rumah.
Ia menyalurkan energi spiritual melalui telapak tangannya. Seketika, seluruh bangunan bergetar lembut. Dinding yang kusam berubah menjadi batu giok putih, lantai memantulkan cahaya lembut, genteng berkilau bagai baru dipasang.
Pekarangan pun bersih seketika, rumput liar berganti dengan tanaman eliksir, dan kolam di samping rumah berubah menjadi kolam spiritual sebening kristal. Pohon persik yang tadinya gersang kini kembali bersemi, rantingnya memancarkan aroma manis spiritual.
Sura menyalurkan seberkas kecil esensi Pohon Dunia ke batang pohon itu. Tanpa disangka, aura lembut membungkus pohon persik, lalu—
“Salam, Tuanku Yang Agung,” sapa suara lembut yang keluar dari arah pohon.
“Salam, Nona Muda,” lanjut suara itu pada Lin Boa.
Sura terperanjat. “Hah?! Pohon persik bisa bicara?”
“Tuan, pohonnya benar-benar bicara!” Lin Boa menjerit kecil.
“Terima kasih, Tuanku, telah memberkahi hamba dengan kesadaran dan kehidupan baru,” ujar pohon itu anggun.
“Oh-ho, rupanya efek dari esensi Pohon Dunia,” gumam Sura.
“Pohon Dunia? Apa itu, Tuanku?” tanya Lin Boa.
“Bukan urusanmu sekarang. Belum saatnya kau tahu.”
Sura menatap pohon itu dan berkata, “Karena kau telah hidup dan sadar, aku beri kau nama Ye Ba.”
“Terima kasih, Tuanku. Hamba menyukai nama itu,” jawab Ye Ba lembut.
“Baik, Ye Ba. Tugasmulah menjaga aliran energi spiritual di sekitar kediaman ini agar tetap stabil.”
“Hamba patuh, Tuanku. Tubuh hamba sudah berusia seribu tahun, dan hamba sudah memahami cara menjaga keseimbangan energi.”
Sura mengangguk puas. “Bagus. Mulai sekarang, anggap Lin Boa sebagai adik kecilmu.”
“Baik, Tuanku.”
“Mohon bimbingannya, Kakak Ye Ba,” kata Lin Boa sopan.
“Baik, Adik Kecil.”
Sura tersenyum tipis. “Kediaman ini sudah rapi. Pilihlah kamar sesukamu dan beristirahatlah. Aku tahu kau belum tidur sejak kemarin.”
“Terima kasih, Tuanku.”
“Pergilah.”
Lin Boa menunduk hormat sebelum beranjak.
Beberapa waktu kemudian, suara ledakan keras mengguncang udara. BRAAAKK!
Dari reruntuhan, muncul sosok besar berwajah seperti singa, berambut panjang, bertubuh kekar dengan dada telanjang dan pelindung berduri di kedua lengannya.
Lin Boa membeku ketakutan. “Tu-Tuan… habislah kita. Itu Il Tianba! Saudara Il Ao yang Tuan bunuh kemarin! Pemimpin tertinggi Klan Naga Iblis!”
Il Tianba melangkah maju, matanya menyala garang. “Hei, Lin Boa. Jadi kau masih hidup, ya? Aku kira adikku sudah menyingkirkanmu.”
Ia menatap sekeliling. “Di mana Il Ao? Aku tak merasakan auranya.”
Lin Boa menelan ludah. “Dia… dia tidak ada di sini.”
Il Tianba mengerutkan dahi. “Tidak ada? Jangan bilang pedang artefak dewa itu kau simpan, dan adikku kau bunuh?”
Belum sempat Lin Boa menjawab, suara berat bergema dari udara.
“Woah… tempat ini begitu kaya energi spiritual. Tak heran artefak dewa memilih turun ke sini,” ucap seorang pria tua yang melayang di langit.
Rambut dan janggutnya putih panjang, separuh wajahnya tertutup kain, auranya memancar tenang namun beracun.
Lin Boa berbisik gugup, “T-Tuan, itu Qi Anfa… pemimpin Sekte Setan!”
Qi Anfa tertawa. “Bahkan gunung busuk ini menyimpan harta berharga. Mulai sekarang, tempat ini akan menjadi milikku!”
“Berani sekali kau, racun tua!” seru Il Tianba garang. “Aku yang menemukannya lebih dulu. Semua yang ada di sini adalah milik Sekte Naga Iblis!”
“Kalau begitu rebut saja dariku—kalau kau mampu,” balas Qi Anfa dingin, melepaskan tekanan spiritual yang membuat udara bergetar.
“Coba saja!” raung Il Tianba, meloncat dan mengayunkan tinjunya yang berselimut qi iblis.
Namun sebelum serangan mereka bertemu—
“Cukup!” suara lantang Sura menggema.
Keduanya sontak berhenti.
Sura menatap mereka tajam. “Kalian berdua datang ke kediamanku tanpa izin, menghancurkan tembokku, dan seenaknya mengklaim tempat ini seolah milik kalian? Apa kalian pikir aku ini udara?”
Udara di sekelilingnya tiba-tiba menegang, aura tak terlihat menekan kedua pemimpin sekte itu hingga mereka terdiam.
Sura mengangkat tangannya perlahan. “Kalian sudah membuatku murka… dan aku tidak akan mengampuni kalian.”
Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah
--- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah
Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”
Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be
Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.
Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi







