LOGINSampai sekarang, Sura masih bingung bagaimana cara menggunakan dan memanfaatkan energi dari dantiannya. Bahkan ia tidak tahu apa nama dantian itu.
“Yah, sudahlah,” gumamnya pelan. “Mungkin seiring waktu aku akan mengetahuinya juga. Bagaimana cara menggunakannya, memanfaatkannya, dan apa fungsinya untuk tubuhku.”
Ia lalu merebahkan tubuh di kursi tidur peninggalan ayahnya, He Lagus, yang terletak di teras rumah. Angin sore berhembus lembut, membawa aroma hutan yang menenangkan.
“Hei, Nak! Apa kau mendengarku?”
“Ya, aku mendengarmu. Siapa yang berbicara? Bagaimana kau bisa masuk ke dalam lautan spiritualku?” tanya Sura, matanya berputar waspada.
“Aku adalah Pohon Dunia,” jawab suara itu tenang.
“Oh… Pohon Dunia ternyata. Salam hormat, Moyang Pohon,” sapa Sura sopan.
“Pantas saja bisa masuk ke lautan spiritualku,” gumamnya pelan.
“Kau mengenalku?” tanya sang Pohon, terdengar sedikit heran. “Dan kenapa kau memanggilku Moyang Pohon?”
“Tentu saja aku mengenalmu,” jawab Sura. “Aku memanggilmu ‘Moyang’ karena ayahku memanggil Kakek dengan sebutan itu. Bukankah begitu?”
“Hahahaha! Tampaknya si He kecil benar-benar berhasil mendidikmu dengan baik. Meski tumbuh di hutan belantara, kau tetap sopan,” ujar Pohon Dunia sambil tertawa rendah.
“Moyang Pohon, boleh aku bertanya?” ucap Sura hati-hati.
“Tentu saja, Anak Muda. Tanyakan saja satu per satu. Mungkin aku bisa membantu mengatasi keraguanmu,” jawab Pohon Dunia dengan nada bijak.
“Apakah Moyang tidak sibuk? Bukankah Moyang adalah pengatur keseimbangan alam semesta?” tanya Sura dengan hormat.
“Hahaha, tidak masalah. Kita sudah memiliki takdir untuk bertemu sejak kau lahir. Aku bersedia meluangkan waktuku untukmu,” jawab Pohon Dunia hangat. “Sekarang, apa yang ingin kau tanyakan?”
“Setiap makhluk hidup dan benda mati pasti punya nama. Jadi rasanya tidak pantas jika aku terus memanggilmu ‘Moyang Pohon’. Boleh aku tahu nama panggilan Moyang agar aku bisa menyapamu dengan hormat?” tanya Sura tulus.
“Hahaha, Anak Muda, aku suka caramu berbicara. Kau penuh rasa hormat. Tidak masalah jika kau memanggilku ‘Kakek’ atau ‘Moyang Pohon’. Aku memang Pohon Dunia,” jawabnya ringan.
“Tidak, menurutku itu terlalu merendahkan,” sahut Sura serius. “Moyang Pohon adalah makhluk agung, pengatur keseimbangan alam semesta. Status Moyang bahkan lebih tinggi dari ayah kandungku, Kaisar Alam Matahari. Aku merasa diriku yang rendah ini tidak pantas memanggilmu sembarangan.”
“Hah! Nak, kau benar-benar pintar merayu makhluk tua sepertiku. Tapi aku merasakan ketulusan dalam ucapanmu,” ujar Pohon Dunia sambil tertawa. “Baiklah, aku akan memberitahumu namaku. Tapi rahasiakan, bahkan dari ayahmu. Namaku adalah An-Nazzam. Kau boleh memanggilku apa pun yang nyaman untukmu.”
“Baiklah, Moyang An. Mulai sekarang aku akan memanggilmu begitu,” kata Sura tersenyum.
“Moyang An, ya? Hahaha! Menarik sekali. Aku suka itu,” balas An-Nazzam senang.
“Sekarang, apa lagi yang ingin kau tanyakan?” tanya An-Nazzam. “Tadi kau bilang punya banyak hal yang ingin dibicarakan.”
“Aku ingin tahu tentang Ayah He Lagus. Di mana dia sekarang? Apa yang sedang dia lakukan? Kapan Ayah akan kembali? Atau… apakah Ayah tidak akan kembali lagi?” suara Sura sedikit bergetar.
“Ayahmu mungkin sedang memulihkan diri. Ia terluka—bukan karena niat burukmu, tapi karena sesuatu yang terjadi tanpa sengaja. Aku melihat bagaimana dia membesarkanmu dengan penuh kasih. Sudah pasti dia akan kembali suatu saat nanti,” jawab An-Nazzam lembut.
“Begitu, ya…” Sura menunduk lesu. “Sepertinya aku memang terlalu merepotkan Ayah.”
“Tidak perlu merasa bersalah,” ujar An-Nazzam menenangkan. “Tubuhmu memiliki kemampuan khusus yang akan aktif setiap kali ada bahaya yang mengancammu. Luka ayahmu adalah konsekuensi dari keputusan yang ia ambil dengan sadar. Ia tahu risikonya, dan tetap memilih membesarkanmu.”
Sura terdiam, menahan perasaan bersalah yang mulai reda.
“Oh ya, Moyang An,” tanyanya kemudian. “Bagaimana Moyang bisa masuk ke lautan spiritualku? Bukankah lokasi Moyang sangat jauh dan misterius?”
“Hahaha, tentu saja aku bisa,” jawab An-Nazzam. “Kau hidup di salah satu buah dunia milikku. Bagaimana mungkin aku tidak bisa menemui penghuni buah duniaku sendiri?”
“Tapi kata Ayah, aku ini berbeda dari kultivator lain. Bukankah seharusnya sulit bagimu menemukan aku?” tanya Sura heran.
“Memang benar, kau berbeda,” jawab An-Nazzam. “Namun kita sudah ditakdirkan untuk bertemu. Saat kau masih bayi, aku memasukkan sebagian esensi jiwaku ke seluruh dantianmu. Itu sebabnya kau bisa menangis saat lapar, haus, atau kedinginan. Semua itu atas permintaan ayahmu, He Lagus.”
“Oh, begitu rupanya. Tapi kenapa aku bisa melihat seluruh ingatan Ayah ketika dia menyalurkan kemampuan dan pengetahuannya padaku?”
“Itu karena dantianmu memiliki sifat unik,” jelas An-Nazzam. “Dantianmu menyerap apa pun yang dianggap berguna dan menolak apa pun yang berbahaya. Karena itu pula ayahmu terluka parah, dan aku pun sempat kehilangan sepersepuluh esensi jiwaku saat pertama kali menyalurkannya padamu.”
“Dantianmu adalah Dantian Suprame, sesuatu yang hanya muncul satu di antara triliunan kultivator. Jika seseorang memiliki satu saja dantian suprame, dia bisa menjadi petarung yang luar biasa kuat. Tapi kau… memiliki banyak sekali, terbentuk sejak lahir.”
An-Nazzam melanjutkan dengan nada kagum, “Tubuhmu adalah Tubuh Abadi Kekacauan. Setiap uratmu adalah akar spiritual tingkat dewa. Kau tidak perlu membentuk dantianmu, karena tubuhmu sudah melakukannya sendiri. Kau hanya perlu membangkitkan satu per satu.”
Sura terdiam. Kata-kata itu menggema di pikirannya.
“Satu dantian suprame setara dengan sepuluh ribu dantian biasa,” lanjut An-Nazzam. “Namun tubuhmu memiliki aroma yang sangat menggoda bagi ras iblis dan siluman. Mereka akan mencarimu untuk memakanmu. Karena itu, kau akan sering menghadapi pertarungan.”
Sura tersenyum kecil. “Hehe, jadi ini berarti aku tak perlu susah payah berburu. Mereka akan datang sendiri.”
An-Nazzam mendesah berat. “Nak, apa yang kau pikirkan?”
“Ah, tidak apa-apa, Moyang An. Aku hanya bercanda,” jawab Sura cepat, menyembunyikan niat jahilnya.
“Hmm, aku jadi curiga padamu,” balas An-Nazzam setengah kesal.
“Oh ya, Moyang An,” ucap Sura lagi. “Bagaimana cara menggunakan energi dantianku, dan apa kegunaannya?”
“Hoho, akhirnya kau bertanya hal yang penting,” ujar An-Nazzam. “Itulah alasan aku menemuimu. Aku merasakan kau sudah membangkitkan tiga dantian supramemu.”
“Tiga? Wah, kalau begitu mohon penjelasannya, Moyang An.”
“Dengan terbangkitnya dantian ketigamu, kau memperoleh kemampuan untuk memperbaiki benda apa pun, menyembuhkan penyakit apa pun, bahkan menolong seseorang yang sekarat selama masih ada setitik jiwa tersisa,” jelas An-Nazzam. “Kau juga bisa meningkatkan kekuatan seseorang… atau melemahkannya, sesuai keinginanmu. Kau hanya perlu mengalirkan energi esensi dantian ke tanganmu, lalu fokus pada niatmu.”
“Hanya begitu?” tanya Sura ragu.
“Ya, hanya begitu. Mudah, bukan?” jawab An-Nazzam santai.
“Kalau begitu, bolehkah aku mencobanya padamu?”
“Lebih baik jangan,” tolak An-Nazzam cepat. “Jika kau mencoba padaku, dampaknya bisa memengaruhi tubuh utamaku dan mengacaukan keseimbangan alam semesta.”
“Aku hanya ingin mengembalikan esensi jiwamu yang tersedot dulu,” kata Sura tulus.
“Tidak perlu,” jawab An-Nazzam tegas. “Esensi itu sudah bermutasi dan menyatu dengan dantianmu. Kalau kau memaksakan, bisa-bisa seluruh jiwaku terserap habis.”
Sura mengangguk pelan. “Baiklah, aku mengerti. Terima kasih, Moyang An, karena sudah menjawab semua keraguanku.”
“Tidak masalah,” jawab An-Nazzam. “Tapi aku ingin meminta satu hal: jangan terlalu banyak membunuh iblis dan siluman. Jika kau melakukannya, keseimbangan alam semesta bisa terganggu.”
“Baiklah. Aku tidak akan membunuh mereka… kecuali mereka mengusikku lebih dulu,” jawab Sura dengan nada licik.
“Hah, sama saja…” gumam An-Nazzam pasrah. “Semoga mereka cukup bijak untuk menjauhimu.”
“Kalau begitu, aku pamit,” ujar An-Nazzam.
“Moyang An, tunggu! Apa kita masih bisa bertemu lagi?”
“Tentu. Karena sebagian esensi jiwaku sudah menyatu denganmu, kita akan selalu terhubung. Kau hanya perlu memanggilku. Tapi jangan sering-sering, aku juga punya tugas,” jawabnya.
“Baiklah, Moyang An. Terima kasih banyak.”
“Hoaaam…” Sura menguap panjang, membuka mata.
“Budak kecil!” panggilnya.
“Siap, Tuanku!” sahut Lin Boa cepat.
“Apa air mandiku sudah siap? Aku ingin berendam,” ucap Sura.
“Sudah, Tuanku. Semua sudah disiapkan sesuai perintah.”
“Bagus. Siapkan juga makanan di meja. Kita makan setelah aku selesai mandi.”
“Baik, Tuanku. Apa Tuan ingin aku bantu di bak mandi?” tanya Lin Boa hati-hati.
“Tidak! Tidak perlu!” jawab Sura cepat, lalu bergegas membuka baju dan menuju tempat mandi.
Lin Boa segera menyiapkan makanan dan merapikan pakaian tuannya dengan cekatan.
Setelah mandi, Sura mengenakan pakaian bersih dan duduk di meja makan.
“Kau tidak ikut makan, Budak kecil?” tanya Sura sambil mengunyah.
“Apa aku diperbolehkan makan satu meja dengan Tuan?” tanya Lin Boa ragu.
“Tentu saja. Ayo, makan. Kau harus kenyang agar bisa melayaniku dengan baik.”
“Terima kasih, Tuanku,” jawab Lin Boa senang, lalu duduk dan ikut makan.
“Sayurannya kau ambil dari bawah gunung?” tanya Sura.
“Tidak, Tuan. Semua sayur ini dari cincin penyimpanan yang Tuan berikan,” jawab Lin Boa.
“Oh begitu. Lalu, apa di cincin si muka jelek itu ada barang lain yang bisa kita pakai?”
“Tentu, Tuanku. Ada persediaan daging, sayuran, dan uang.”
“Uang? Itu alat untuk pertukaran, kan?”
“Benar, Tuan. Dengan uang itu aku bisa membeli kebutuhan lain di kota.”
“Baiklah. Urus saja semua itu. Aku tak mau repot dengan hal seperti itu,” sahut Sura malas.
“Aku sudah selesai makan,” katanya sambil berdiri.
“Aku juga sudah selesai, Tuanku. Apakah masakanku enak?”
“Lumayan,” jawab Sura santai. “Masakanmu bahkan lebih enak dari masakan ayahku.”
“Syukurlah Tuan menyukainya. Ayah Tuan masih hidup?” tanya Lin Boa heran.
“Tentu saja.”
“Lalu… di mana beliau?”
“Gak tahu,” jawab Sura sambil ngupil santai.
“Hah? Gak tahu?” gumam Lin Boa kebingungan.
“Lin Boa!” panggil Sura.
“Siap, Tuanku!”
“Kau mau jadi kuat?”
“Tentu, Tuanku! Apa aku sudah lulus uji Tuan?” tanya Lin Boa bersemangat.
“Bisa dibilang begitu. Mulai sekarang, statusmu naik jadi pengikut kecilku. Tapi kau harus menjadi lebih kuat, setidaknya mencapai ranah Inti Emas.”
“Baik, Tuanku. Tapi… bagaimana caranya? Aku masih di ranah Pembentukan Qi tingkat sembilan. Jarak ke Inti Emas masih jauh,” jelas Lin Boa jujur.
“Kau punya pil eliksir?” tanya Sura.
“Tidak, Tuan. Tapi di cincin ini ada bahan-bahan pembuatnya.”
“Bagus. Berikan satu padaku.”
“S-satu? Apa cukup, Tuan?” tanya Lin Boa bingung.
“Sudah, jangan banyak tanya!”
“Baik, Tuanku,” jawab Lin Boa lalu menyerahkan satu tangkai tanaman hijau bahan pembuat eliksir.
Sura menggenggamnya dan tersenyum. “Aku akan mencoba seperti yang dikatakan Moyang An.”
Ia menyalurkan energi dari dantian supramenya ke kedua telapak tangan, memfokuskan pikirannya pada tanaman itu.
Compression… Compression…!
Blubb!
Dalam sekejap, tanaman hijau itu berubah menjadi pil eliksir sempurna.
“Hahaha! Aku berhasil!” serunya.
“Ini, makanlah!” ucap Sura, menyerahkan pil itu kepada Lin Boa.
“Untukku, Tuan?” tanya Lin Boa tidak percaya.
“Tentu saja. Anggap saja hadiah karena kau mematuhi semua perintahku. Pil ini mengandung esensi energi yang pekat, bisa membantumu naik ranah dengan cepat. Minumlah dan serap manfaatnya. Aku akan melindungimu.”
Lin Boa menatap pil itu dengan mata berbinar. “Terima kasih, Tuanku! Aku tak akan mengecewakanmu!”
Sura hanya tersenyum, mengelus dagunya sambil berpikir hal lain yang bisa ia ubah menjadi sesuatu yang berguna.
Lin Boa menelan pil itu perlahan. Rasa hangat menyebar dari perutnya ke seluruh tubuh.
Fummm…!
Tubuhnya bergetar, energi melonjak.
“Ini… aku naik tingkat?” serunya bahagia. “Hahaha! Aku berhasil menerobos kebuntuanku selama tiga tahun!”
Tanpa ragu, Lin Boa segera duduk bersila, memusatkan konsentrasi untuk menstabilkan ranah barunya.
Di sisi lain, pertemuan resmi antara para Petinggi Immortal dengan Petinggi Klan iblis sedang berlangsung, dimana saat ini, sedang melakukan negosiasi dan menghentikan pembantaian yang dilakukan oleh mereka."Aku hampir mati karena tertawa, kalian ingin aku melepaskan orang-orang ini dan menghentikan pembantaian..?" ucap Amber sang Master Demon yang menjadi pemimpin tertinggi ras iblis surgawi saat itu."Master Demon Amber, kami belum cukup puas...!" teriak para bawahannya sedang menyiksa dan menggantung serta menguliti dan menjilati tubuh seorang gadis kultivator yang di tangan mereka."Kumohon maafkan aku..!" teriak dari wanita kultivator itu memohon dengan jeritan kesakitan kepada Iblis yang saat ini membekap kedua datangannya dan ingin menarik salah satu bagian kakinya.Para iblis tampak sangat riang dan bahagia serta ceria dengan apa yang saat ini mereka lakukan.Amber melirik sedikit ke arah bawah
--- KUIL DEWA ---Seluruh Immortal dan Para Petinggi Immortal tampak sedang berkumpul bersama, menyaksikan semua hal yang terjadi di dunia bawah. Dimana mereka terlihat seperti peserta "nonton bareng" yang menyaksikan secara langsung siaran live pembantaian keluarga mereka yang ada di dunia bawah alam manusia.Zi Min sang Raja Surgawi - Domain Immortal Suanwu, yang sudah tidak tahan dengan pembantaian itu, tanpa sengaja angkat bicara "Bisakah kita turun ke bawah..?"Raja Iblis - Tu Shi yang juga ada di sampingnya dapat mendengar hal itu sembari menyilangkan tangannya, ia kemudian angkat bicara menyahuti "Apa yang kau pikirkan, lagi pula, kau hanyalah seorang immortal tanpa 'vision'..""Kasihan sekali para semut dunia bawah itu, disaat mereka sangat putus asa, kita akan muncul sebagai penyelamat dan memperlihatkan kebaikan kita..! ucapnya tanpa rasa malu sedikitpun, padahal rencana pembantaian dan penebaran fitnah
Di luar Domain, di hamparan Lautan Bintang, ribuan planet berpendar dalam cahaya beragam warna. Namun tepat di atas Benua Kuno – Planet Kuno, sebuah makhluk raksasa pelahap bintang berdiam, mengawasi dunia yang terkurung di antara rahangnya. Ia adalah penjaga segel, diletakkan di sana oleh pemiliknya—sosok yang bahkan para dewa enggan menantangnya.Langit Benua Kuno tampak seperti perisai kristal yang retak, seolah dunia sedang dikurung di dalam mangkuk kaca raksasa.“Kontinen Kuno benar-benar telah terkunci…” ucap salah satu Dewa Pure Virtue, suaranya dipenuhi keputusasaan. “Dan pada akhirnya, Jeng De tetap gagal melarikan diri ke dunia baru…”
Angin bergemuruh ketika Orb raksasa di langit terus membesar. Sinarnya berdenyut seperti jantung raksasa yang hendak meledak, memancarkan tekanan yang membuat tanah retak dan udara bergetar.Wanita Tua itu, yang sebelumnya begitu congkak, kini gemetar hebat. Para bawahannya yang tersisa berlutut ketakutan, wajah mereka pucat pasi saat He Sura melangkah mendekat dengan langkah perlahan namun menakutkan.“...Kami menyerah…! Kami hanya ingin hidup…!” teriaknya, suara penuh kepanikan dan putus asa.“Dewa dari surga terlalu kuat… Kami tak punya pilihan selain mematuhi mereka!” lanjutnya sembari membungkuk sampai dahinya hampir menyentuh tanah. “Tolong ampuni kami!”He Sura be
Seketika seluruh serangan para immortal menghilang, terserap oleh pusaran energi berwarna ungu gelap yang terbentuk di tangan He Sura. Pusaran itu berputar seperti lubang hitam yang lapar, melahap setiap mantra, setiap serangan pedang energi, setiap panah cahaya, hingga seluruh kekuatan penghancur para immortal raib tanpa jejak.Lalu…WHOOOOOOSH!!Ledakan angin keluar dari pusaran itu, menghantam seluruh immortal dengan tekanan luar biasa. Tubuh mereka bergoyang, jubah mereka berkibar liar, sebagian bahkan harus menancapkan senjata atau menyalurkan energi ke tanah supaya tidak terlempar.Semua terdiam.Semua terperangah.Semua tidak percaya.
Asap tebal yang menggulung dari ledakan sebelumnya masih menggantung di udara, menelan wujud para immortal yang tersisa. Mereka batuk, terhuyung, dan terus berusaha menembus asap dengan mata yang menyipit penuh kewaspadaan. Jantung mereka berdetak kencang, tidak tahu apakah serangan berikutnya akan datang dari depan… atau dari balik kegelapan abu yang pekat.Di tengah kabut itu, suara tenang dan dalam bergema.“Meskipun mereka telah tiada… masyarakat di dunia mana pun selalu mengagumi orang-orang seperti mereka. Yang hidup dengan kehormatan. Yang mati dengan keberanian.”Itu suara He Sura.Ia berdiri tegap, memandang Chan Si dan Yan Shi yang berlutut sambil memeluk kepala Jeng De—sosok yang begitu mereka cintai. Mata mereka masih dipenuhi air mata, tubuh gemetar, tetapi







