"Aku akan tinggal di sini, sampai anak itu lahir," ujarku memutuskan.
Zian tampak menggeleng seraya berkata, "Mas tidak bisa jauh dari kamu, biar Dahlia aku suruh tinggal di rumah ibu saja!" "Apa bedanya, nanti Mas setiap minggu akan pulang kampung juga untuk menjenguk anak itu kan?" sahut Rani dengan sengit. "Tentu saja bersama kamu," ujar Zian yang tidak mau tinggal terpisah dengan Rani. Rani kembali menolak dengan tegas, "Pokoknya aku tidak mau pulang!" "Jangan seperti ini Sayang, tolong mengertilah posisi Mas!" Pinta Zian dengan memohon. "Sebelum melakukan kebohongan itu, apakah Mas mengerti sedikit saja perasaan aku?" Rani balik bertanya sambil menatap Zian dengan tajam. "Pulanglah Mas, aku mau menenangkan diri di sini!" serunya dengan ketus. "Tunggu Ran, kita belum selesai bicara!" seru Zian yang hendak menyusul, tetapi tidak enak dengan Tuan rumah. Jujur hatinya belum tenang saat ini dan tidak akan pergi sebelum Rani mau pulang bersamanya. "Rani masih emosi, jadi kamu harus sabar.Pembicaraan kalian dilanjutkan setelah makan siang saja. Sekarang istirahatlah di kamar itu!" ujar Teh Ratih yang tiba-tiba datang dan melerai perdebatan Rani dan Zian. Teh Ratih kemudian menyusul Rani di kamar lainnya. "Istighfar Rani, jangan biar emosi mengendalikan dirimu. Jangan ambil keputusan apa pun kalau kamu sedang lapar. Habiskan sarapanmu, baru setelah itu kalian bicara lagi!" seru Teh Ratih yang membuat emosi Rani perlahan mereda. Rani kemudian menyantap sarapannya yang belum tersentuh sama sekali. Setelah itu ia melaksanakan salat duha agar hatinya lebih tenang. Tidak lama kemudian Teh Ratih datang lagi dan menunggu sampai Rani selesai salat. "Mas Zian tahu dari mana saya ada di sini Teh?" tanya Rani sambil melipat mukena. "Tadi subuh Kang Yahya pulang dan menanyakan keberadaan mu. Katanya Zian telepon dan mencari-cari kamu," jawab Teh Ratih yang membuat Rani ingat kalau Zian adalah donatur tetap di panti asuhan yang dikelola Kang Yusuf. Rani kemudian duduk disamping Teh Ratih seraya berkata, "Mas Zian sudah mendua Teh. Jadi tidak ada alasanku untuk bertahann." "Kesetiaan istri diuji ketika suami tidak punya apa-apa dan kamu lulus dengan setia mendampingi Zian sampai sukses seperti ini. Namun, cobaan seorang pria adalah ketika sudah memiliki semuanya. Haruskah kamu meninggalkan Zian di saat dia sedang khilaf?" tanya Teh Ratih yang membuat Rani berpikir. Rani memberitahu apa yang menyebabkannya marah, "Rasanya sulit menerima alasan Mas Zian karena wanita itu cantik dan lebih muda sepuluh tahun dari aku, Teh. Apa yang dikatakan Mas Zian semuanya tidak masuk akal." "Teteh tidak membenarkan apa yang telah Zian lakukan. Tapi sebagai seorang istri kamu harus percaya sama suamimu!" sahut Teh Ratih yang selalu tenang dalam menyikapi setiap masalah. "Aku takut Teh, kalau pernikahan Mas Zian dan wanita itu tidak berjalan sesuai rencana," ujar Rani mengutarakan kegundahan hatinya. Teh Ratih mengerti apa yang dipikirkan adik angkatnya itu. Rani takut Zian mencintai wanita yang akan melahirkan anaknya itu. Tentu saja tidak ada perempuan yang mau cintanya terbagi. Seandainya ada pun pasti sudah berperang hebat dengan perasaan dan keadaan. Sehingga mencapai level tertinggi dari kata ikhlas. "Takut atas apa yang belum terjadi, berarti kamu tidak mau menerima takdir Allah. Terkadang keinginan manusia belum tentu baik untuk diri sendiri. Tapi Allah pasti memberikan takdir yang terbaik untuk setiap hamba-Nya, meskipun prosesnya sulit dan menyakitkan!" ujar Teh Ratih dengan bijak. Rani bergeming menelaah setiap kata-demi kata yang didengarnya. Mungkin ujian ini bukan karena kesalahan siapa pun. Akan tetapi, proses kehidupan yang harus dilalui olehnya, Zian dan wanita itu. Untuk saling mengintropeksi diri agar menjadi pribadi yang lebih baik lagi. "Wanita-wanita yang rela dipoligami adalah perempuan pilihan untuk meraih surga. Tapi bukan berarti yang menolaknya tidak hebat. Setiap orang punya kemapuan yang berbeda jadi tidak bisa disamakan. Maka daripada itu Allah memberikan banyak jalan untuk menuju janah-Nya," ujar Teh Ratih yang paham dengan prinsip Rani anti poligami. "Sayang aku bukan salah satu yang terpilih. Tapi kenapa harus merasakannya!" sahut Rani yang merasa tidak sanggup dengan cobaan ini. Mendengar itu Teh Rani berkata, "Allah tidak akan menguji di luar batas kemampuan hamba-Nya. Kamu pasti bisa dan mampu!" "Semoga saja aku bisa mengambil keputusan yang tidak kusesali!" ujar Rani yang harus mengambil jalan keluar dari masalah ini. "Rani cepat ke sini, Zian pingsan!" BERSAMBUNGCarina duduk di sofa kamar rawat rumah sakit dengan senyum tipis yang sulit ditebak. Di tangannya, ponsel menyala terang, menampilkan foto-foto yang baru saja dikirim seseorang. Di mana Azka dan Rani tampak begitu mesra dan bahagia. Seharusnya Carina tidak berhak marah, cemburu atau pun iri. Ia dulu pernah mendapat kesempatan itu, tapi dilepaskan karena tidak merasa bahagia sedikitpun. Baginya Azka begitu dingin, meskipun sering memberinya puisi dan kata-kata indah. Carina butuh bukti, tetapi Azka tidak bisa bersikap seperti keinginannya. "Aku ingin dicintai seperti istri yang lain," ujar Carina pada suatu hari. "Memangnya aku harus bagaimana?" tanya Azka yang tidak tahu salahnya apa. "Pernah nggak kamu tanya aku sudah makan apa belum, mau dibelikan apa, sedang sibuk nggak?" Carina mengungkapkan perasaannya. Setelah Carina protes sehari dua hari Azka melakukan apa yang istrinya pinta. Akan tetapi, selanjutnya ia kembali sibuk dengan pekerjaan. Lama-lama Carina muak dengan sikap A
Setelah kembali ke Batam, Rani kerap termangu memikirkan permintaan Katy. Bahkan ketika bekerja pun ia suka memandang ke luar jendela. Seakan terus mencari jawaban dari keinginan anak sambungnya itu. Di satu sisi Rani merasa permintaan Katy untuk menyatukan kembali orang tuanya adalah hal wajar. Akan tetapi, terlalu dalam menyentuh, dan berat untuk dituruti. Rani tahu gadis itu belum mengerti masalah orang tuanya dan hanya ingin merasakan keluarga yang utuh sebelum ajal menjemput. Namun, masalah ini bukanlah hal yang mudah untuk ia putuskan. Rani pernah mencoba untuk berbagi dan ikhlas dimadu demi seorang anak. Ternyata tidak mudah, membuatnya terjebak oleh keadaan dan perasaan. Meskipun Katy bukanlah anak kandung, Rani menyayanginya sejak pertama kali mereka bertemu. Apalagi Katy memanggilnya Bunda tanpa ragu, bahkan sampai saat ini Rani masih canggung mendapat panggilan itu. Jadi bagaimana mungkin ia tega menolak keinginan terakhir seorang anak yang sedang berjuang melawan leukem
Dada Aska serasa dihantam secara tiba-tiba. Ia terpaku, tak bisa berkata apa-apa dan wajahnya berubah jadi tegang. Pria itu menghela napas panjang, mencoba merangkai jawaban paling lembut tanpa menyakiti hati putrinya. "Katy, maaf Papi nggak bisa. Kan kamu tahu Papi sekarang sudah menikah dengan Bunda Rani," ucap Azka mencoba memberikan pengertian. Mendengar itu Katy terdiam, senyum kecil yang menghiasi wajahnya perlahan lenyap. Ia menunduk dan matanya berkaca-kaca."Tapi .., aku ingin Papi dan Mami bersama lagi. Kayak dulu waktu aku masih kecil. Aku pengen mati dengan bahagia, Papi," sahut Katy dengan sedih. Kalimat itu menghantam Azka lebih keras dari apa pun. Kata “mati” keluar begitu saja dari mulut anaknya yang masih begitu muda. Napasnya tercekat, matanya panas. Ia segera memeluk erat dan menciumi kepala Katy, seolah bisa melindunginya dari takdir itu.“Jangan ngomong kayak gitu. Kamu nggak akan ke mana-mana. Kamu akan baik-baik saja, Nak. Papi janji akan melakukan apa pun ag
Leukemia, kata itu masih terus bergaung di telinganya. Mengguncang seluruh jiwa Azka ketika mantan istrinya memberitahu di loby hotel. Selama ini Azka bukan tidak perduli sama putri kandungnya sendiri. Akan tetapi, Carina telah memutus komunikasi denganya secara sepihak. "Kalau tidak percaya kamu bisa datang ke rumah sakit central. Katy dirawat di ruang rose kamar 20!" ujar Carina sambil berlalu, setelah sekilas menatap Rani. Setelah mendengar kabar itu, tanpa berpikir panjang lagi Azka segera mengajak Rani ke rumah sakit yang dimaksud. Ia langsung menuju ke kamar di mana anaknya dirawat, tapi Rani memilih menunggu di luar. "Sebaiknya kamu menemuinya sendiri. Biarkan dia senang dulu, baru cari waktu untuk memberitahunya!" saran Rani yang tidak ingin mengganggu moment penting Azka bertemu dengan buah hatinya. "Maafkan aku, rencana kita harus terganggu," ucap Azka yang jadi tidak enak hati. Rani mengangguk kecil seraya berkata, "Aku tidak apa-apa."Azka kemudian masuk ke kamar inap
Langit Batam malam ini seolah ikut menggambarkan kegundahan hati Azka yang berdiri di depan pintu keberangkatan. Tiket di tangan sudah dipesan sejak semalam, tetapi langkahnya seakan tertahan oleh rasa yang tak bisa ia abaikan. Pria itu memejamkan mata sejenak, dan terbayang semua kenangan mereka, suka duka dan tawa berputar seperti film yang enggan berhenti. "Iya tidak apa-apa. Pergilah hati-hati!" potong Rani sambil berbalik dan hendak pergi dari tempat itu. Azka harus mengambil keputusan secepatnya pergi atau tidak. Pilihan itu bukan karena ragu, tapi karena cinta dan kesempatan yang tak ingin ia sia-siakan lagi. "Aku tidak bisa menolak Rani. Aku akan menemanimu melihat senja dan mengukir namamu di sana!" ujar Azka yang membuat Rani menghentikan langkahnya. Ia segera menyusul dan jalan beriringan meninggalkan bandara. "Terima kasih ya Ka," ujar Rani sambil tersenyum senang karena berhasil menyakinkan Azka untuk tidak pergi. Rani perlahan-lahan mulai berdamai dengan luka
Langit kota Batam sore ini tampak mendung. Awan kelabu menggantung, seolah menggambarkan isi hati Rani yang kalut. Di ruang kerja yang senyap, terdengar suara detak jam dinding menemani pikirannya yang berperang hebat. Beberapa berkas laporan marketing tergeletak di mejanya. Akan tetapi, tak buat pikirannya teralihkan dari percakapan terakhir dengan Azka di malam itu. "Maaf Azka, aku nggak bisa dan masih butuh waktu untuk membuka hati ini," ujar Rani memberikan keputusan. Azka tampak mengangguk kecil dan sangat mengerti akan perasaan Rani. Cinta itu memang tidak bisa dipaksakan. Andai dulu dirinya tidak telat mengungkapkan perasaan. Pasti Rani sudah menjadi miliknya. Yah seperti itulah manusia hanya bisa berencana, tetapi Allah yang menentukan takdir. "Tidak apa-apa, aku paham. Jadi aku tidak punya alasan untuk tetap tinggal lebih lama lagi," ujar Azka mengakhiri pembicaraan mereka. Ia kemudian pamit pulang untuk menentukan sikapnya di kemudian hari. Keesokan harinya Azka masuk ke