LOGIN“Kebakaran!”
“Tolong! Ada kebakaran!”
“Kebakaran!”
Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.
“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”
Bapak kepala desa bingung, warga panik.
Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.
“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)
Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.
“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati, dan bertemu ayahnya di neraka”)
Gendis tersenyum puas, sejak kecil dia memang sangat membenci Sumirah yang anak orang kaya dan sudah sangat cantik walau masih belia. Iri dan dengki hati Gendis sudah tertanam sejak pertama kali Gendis bertemu dengan Sumirah sewaktu kecil.
Waktu Gendis berusia enam tahun, dirinya diajak sang bapak untuk bertemu dengan juragannya, Juragan Kuncoro yang terkenal kaya dan dermawan untuk mengambil upah karena sudah selesai memanen hasil sawah milik juragan. Saat itulah Gendis melihat Sumirah yang tengah memakan buah anggur, tahun 1821 buah anggur adalah buah yang sangat mahal, hanya bisa dimakan oleh para Nonik Belanda dan juragan pribumi yang kaya.
Gendis kecil yang kumal menatap dari atas sampai bawah bawah penampilan Sumirah yang cantik, bersih dengan pakaian ala anak-anak Belanda. Gendis mengepalkan tangannya lalu berbalik menatap dirinya sendiri yang hanya memakai pakaian warga pribumi yang kumal.
Semenjak itulah Gendis iri, dengki. Kenapa dirinya tidak menjadi anak juragan, kenapa bapaknya harus miskin?
Gendis dan bapaknya pulang setelah mendapatkan haknya, sekaligus Gendis diberikan bungkusan plastik besar yang entah apa isinya.
Gendis membuka bungkusan sesampainya di rumah. Ternyata isinya buah anggur dan pakaian yang mirip dipakai oleh Sumirah.
Bapak Gendis sangat bahagia dan menyuruh anak perempuannya itu mencoba pakaian pemberian dari Juragannya yang dermawan itu.
“Pakailah, Gendis. Pasti kamu sangat cantik pakai pakaian ini.”
Ibu Gendis membantu memakaikan baju pemberian dari Juragan Kuncoro ke tubuh anak perempuannya. Akan tetapi Gendis justru menolak lalu menginjak-injak pakaian tersebut.
“Aku ora doyan nganggo klambi bekas e Sumirah, Biyung. Tumbas wae sing anyar!” ( Aku tidak sudi pakai pakaian bekas dari Sumirah ibu, belikan aku pakaian yang baru saja!”)
“Iki anyar, Nduk. Udu bekas. Isih wangi plastik!” ( Ini baru, Nak. Bukan bekas, masih bau plastik)
“Pokok e aku emoh, Biyung! Aku rak sudi nganggo bekas e Sumirah.” Gendis mendorong ibunya hingga terjengkang.
Sang bapak yang emosi karena melihat sikap tak hormat dari anaknya akhirnya menampar pipi Gendis, ibunya hanya diam tak menolong karena paham kalau suaminya marah dengan kelakuan Gendis yang memang kelewatan.
“Rak usah dinggo klambine, ngko tak weh ke Sulastri wae adikmu, koe rak usah klambenan. Dasar anak kurang ajar. Tak bersyukur.” ( Tidak usah dipakai bajunya, nanti dikasihkan Sulastri saja adikmu, kamu tidak usah pakai baju sekalian.)
Gendis kecil memegang pipinya lalu menatap sang bapak dengan tatapan menantang.
“Kenopo Bapak kere? Kenopo Biyung kere, sesuk nek aku wis gedhe, ra sudi dadi wong kere koyo sampeyan, ora sudi!” ( Kenapa Bapak miskin? Kenapa Ibu juga miskin? Besok kalau saya sudah besar, tidak sudi jadi orang miskin seperti kamu, aku tidak sudi!”
Gendis berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk muka bapaknya.
Setelah meluapkan seluruh emosinya. Gendis melangkahkan kaki kecilnya untuk masuk ke kamar dan merebahkan badannya di dipan yang beralaskan karpet dari anyaman daun pandan. Gendis kecil menangis sambil mengepalkan tangannya dan bersumpah akan menjadi kaya dan cantik seperti Sumirah.
“Hey, kok melamun? Ayo kita tidur, sudah malam. Besok kita akan mendengar berita kematian Sumirah.” Perkataan Permana membuyarkan lamunan Gendis.
Gendis tersenyum manis, lalu memeluk manja tubuh Permana.
“Terima kasih, Kang Mas. Aku harap si Sumirah benar-benar mati.”
Mendengar perkataan Gendis menyumpahi Sumirah, Permana tak marah namun justru memeluk erat tubuh perempuan yang hanya berbalut kain jarik itu lalu menggendongnya ke kamar.
Bilang ingin istirahat, tapi nyatanya Permana kembali merasakan nikmat dunia bersama Gendis, bagi Permana tubuh milik Gendis selalu menantang kegagahan dirinya.
Di rumahnya, Sumirah yang merasa kepanasan terbangun dari tidurnya, dirinya kaget karena api sudah mengelilingi dirinya. Nyai Aminah yang terbangun juga tidak kalah kagetnya.
“Astagfirullah, kebakaran, Nduk. Kita harus segera keluar, Nduk. Cepat!”
Satu persatu kayu penyangga atap jatuh terbakar, Sumirah dan Nyai Aminah berusaha keras melarikan diri dari kepungan api. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.
Salah satu kayu yang terbakar menimpa tubuh Nyai Aminah. Sumirah berusaha menolong, tetapi kayunya terlalu kuat bahkan wajah milik Sumirah sudah terluka. Nyai Aminah meringis menahan panas dan sakit di punggungnya.
Dalam keadaan sekarat, Nyai Aminah komat-kamit sambil menutup matanya, tiba-tiba langit menjadi mendung dan turun hujan dengan derasnya.
Warga terkejut tapi senang secara bersamaan, api yang membakar rumah Nyai Aminah telah padam. Warga segera menolong Sumirah dan uwaknya.
“Mendekatlah, Nduk!”
Setelah berhasil keluar dari rumahnya, Nyai Aminah mengulurkan tangannya hendak memegang tangan Sumirah. Keponakan yang sudah dia anggap seperti anak kandungnya itu.
“Bersabarlah, Nduk. Kamu jangan dendam dan jangan sampai berpaling dari Tuhan.”
Nyai Aminah meninggal saat itu juga setelah mengucap kata terakhirnya, lukanya sangat parah. Tubuh tuanya tak mampu menahan lagi rasa sakit.
“ Uwak! Aku kudu urip kalih sopo melih Uwak!” (Uwak, saya harus hidup dengan siapa lagi?”)
Sumirah menangis tersedu-sedu. Pikirannya terlalu sakit untuk mampu berpikir secara jernih. Dia kehilangan segalanya dalam waktu yang hampir bersamaan.
Di Rawa Ireng Nyai Mutik tengah berbincang dengan kanjeng ratu yang telah menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik.
“Kenapa Kanjeng Ratu tidak menolong, Sumirah?”
Nyai Mutik bertanya, karena setahu dirinya sang ratu sangat menyukai Sumirah. Tapi kenapa ratunya itu justru diam saja saat mengetahui keadaan Sumirah yang mengenaskan.
Sang ratu menatap hamparan danau yang airnya sangat jernih, danau itu adalah Rawa Ireng, tapi berubah menjadi danau indah tatkala sang ratu mengubah dirinya menjadi manusia.
“Karena masih ada Tuhan di dalam hatinya, Mutik!”
Di saat Kyai Ibrahim sedang berjuang keras membantu Seruni, bahkan baru saja menemukan jalan keluar bagi penderitaan gadis itu, sesuatu yang tak terduga terjadi di luar sana.Pak Ahmad, ayah Seruni, masih berdiri di tengah jalan desa yang sepi. Angin malam berhembus dingin, membawa aroma tanah basah bercampur bau anyir yang samar-samar menusuk hidung. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan, seperti sedang menunggu seseorang.Dan benar saja—tiba-tiba matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal.Seorang lelaki tua muncul dari arah jalan setapak. Tubuhnya kurus namun tegap, wajahnya keras dan berkerut dalam, matanya tajam menyorot dari balik kerlip lampu sentir yang dibawanya. Ia mengenakan baju lurik yang sudah lusuh, celana cokrang hitam, dan sebuah blangkon menutupi kepalanya. Di tangan kirinya tergenggam erat buntalan kain hitam, seolah menyembunyikan sesuatu di dalamnya.“Mbah Bejo...?” suara Pak Ahmad tercekat, namun segera berubah menjadi lega. Ia segera menghampiri sosok itu dengan waj
“Sepertinya Bapak ingin mencoba sesuatu dulu, Bu. Tolong ambilkan air putih di dapur,” ujar Kyai Ibrahim pelan namun tegas.Bu Nyai Ambar tidak membantah sedikit pun. Ia segera menuruti perintah suaminya, melangkah cepat ke dapur meski dadanya masih berdebar melihat keadaan Seruni.Kini, di dalam kamar sederhana yang tak terlalu luas itu, hanya tersisa Kyai Ibrahim, Nur, dan Seruni yang masih terikat di ranjang.“Nur, ke belakang. Ambil wudhu. Suruh juga ibumu berwudhu. Kita akan berdoa di sini,” perintah Kyai Ibrahim lagi.“Baik, Pak...” Nur mengangguk, lalu mengikuti jejak ibunya menuju belakang rumah.Kesunyian seketika menyelimuti ruangan. Hanya terdengar suara napas Seruni yang teratur namun terasa berat. Gadis itu tampak tenang setelah tadi ditampar Nur—atau mungkin karena muntahan kelopak bunga yang keluar dari mulutnya.Kyai Ibrahim menatapnya tajam dari kejauhan. Sorot matanya menyelidik, mencoba menembus tirai kegelapan yang masih melingkupi tubuh Seruni.“Seruni...” panggil
Seruni akhirnya benar-benar diikat. Tangan kanan dan kirinya diikat pada sudut ranjang, sementara kedua kakinya diikat menjadi satu. Posisi Seruni duduk bersandar pada kepala ranjang. Matanya tertutup, nafasnya teratur, namun hawa dingin aneh masih menyelimuti kamar itu. Seolah, meskipun tubuhnya terkurung, jiwa di dalamnya masih berkeliaran bebas. Pak Ahmad duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah putrinya yang pucat dan dingin. Hatinya perih. “Maafkan Bapak, Nak...” gumamnya lirih, menggenggam ujung kain yang menutupi kaki Seruni. Bu Nyai Ambar berdiri di depan pintu, masih memegang tasbih, sementara Kyai Ibrahim berdzikir dalam hati. Wajahnya tegang, namun tatapannya tetap tenang. Ia tahu, ini belum berakhir. Bahkan mungkin, ini baru permulaan dari badai yang lebih besar. Tiba-tiba, Seruni menggeliat pelan. Matanya masih terpejam, tapi bibirnya mulai bergerak. “Dia datang...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. “Dia marah...” Pak Ahmad menegang. “Siapa, Nak? Siapa yan
"Tenang, Pak Ahmad." Kyai Ibrahim, yang juga melihat apa yang dilihat oleh Pak Ahmad, berusaha menenangkan tamunya itu, padahal dirinya sendiri tidak dalam keadaan baik-baik saja."A'udzu billahi minasy-syaithanir rajim."Kyai Ibrahim segera melafalkan doa, suaranya tegas dan penuh keyakinan. Seketika, sosok gelap di sudut rumah itu menjerit keras, suaranya melengking menusuk telinga.Pak Ahmad dan yang lainnya refleks menutup telinga mereka, kecuali Kyai Ibrahim yang terus melanjutkan doanya tanpa gentar. Suara jeritan semakin menggema, hingga tiba-tiba...Ckkkrrsshhh...Bau gosong menyengat memenuhi ruangan, bersamaan dengan lenyapnya sosok hitam itu.Bu Nyai Ambar masih terisak di sudut ruangan, tubuhnya bergetar hebat. Tangannya mencengkeram gamis yang dipakainya, mencoba menenangkan diri setelah menyaksikan kejadian yang begitu mengerikan.Seruni terduduk di lantai dengan tatapan kosong. Napasnya memburu, tangannya yang terluka masih meneteskan darah akibat goresan keris Wulu Ire
"Aku masih tidak setuju sebenarnya, Pak," Bu Nyai Ambar berkata pelan setelah memastikan bahwa Pak Ahmad sudah pergi."Yang ikhlas ya, Bu. Ini juga demi Nur. Pokoknya, Bapak punya rencana, Ibu bantu doakan," Kyai Ibrahim tersenyum sambil mengusap pelan lengan istrinya."Baik, Pak. Saya percaya sama Bapak." Bu Nyai Ambar lagi-lagi hanya bisa pasrah dan berdoa agar keputusan suaminya membawa kebaikan bagi semuanya.Sementara itu, Pak Ahmad berlari tergesa-gesa menuju rumahnya. Napasnya memburu, pikirannya penuh dengan berbagai kemungkinan. Ia harus segera membawa Seruni ke rumah Kyai Ibrahim sebelum berangkat menemui Mbah Bejo.Setibanya di rumah, tanpa ragu, ia langsung menuju kamar Seruni. Dengan sekali dorongan kuat, pintu kamar terbuka lebar, menimbulkan suara dentuman yang cukup keras."Seruni! Bangun, Nak!" suara lantang Pak Ahmad memenuhi ruangan.Gadis itu terkejut. Matanya yang masih berat karena kantuk terbuka perlahan. Tubuhnya yang kurus tampak menggeliat, berusaha menyesuai
Begitu sampai di dalam kamar Seruni, Pak Ahmad mendapati anak gadisnya hanya sedang tidur lelap. Sinar matahari sore menembus jendela kamar, membiaskan cahaya ke wajah Seruni yang tampak damai. Namun, bagi Pak Ahmad, pemandangan itu justru membuatnya semakin waspada. Ia berdiri di ambang pintu, menahan napas, memastikan apakah ada hal yang tidak biasa. Ketakutan masih mencengkeram pikirannya, membayangkan kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Seruni. Lututnya mendadak lemas, membuatnya terduduk di lantai. Ia bersandar pada pintu kamar sambil mengusap wajahnya yang dipenuhi keringat dingin. "Apa benar dia baik-baik saja? Apa Sumirah sudah menyentuhnya?" gumamnya dalam hati. Di luar, suara burung yang kembali ke sarangnya bersahut-sahutan, mengingatkan bahwa sebentar lagi Magrib tiba. Namun, Pak Ahmad tidak bisa tenang. Ia masih merasakan hawa yang tidak biasa, seolah-olah Sumirah masih mengintainya. "Ini nggak bisa begini. Aku harus segera bertemu dengan Kyai Ibrahim s







