Share

BAB-5 ALASAN

“Kebakaran!”

“Tolong! Ada kebakaran!”

“Kebakaran!”

Suara kentongan dari bambu terus berbunyi di tengah malam buta, suara riuh warga berlari pontang panting mengambil air dengan ember untuk memadamkan api, tapi sia-sia kobaran api masih berdiri dengan gagahnya, panasnya siap memanggang manusia-manusia yang berani mendekati dirinya.

“Sumirah dan Nyai Aminah masih di dalam, bagaimana ini.”

Bapak kepala desa bingung, warga panik.

Permana tertawa-tawa melihat pemandangan di hadapannya. Setelah puas, lelaki itu pulang karena Gendis telah menunggunya di rumah.

“Pie Kang Mas? Wis mbok bakar si Sumirah? Ben kae mati terus aku paling ayu sak ndeso Kang Mas.” ( Bagaimana Mas? Sudah kamu bakar si Sumirah, biar dia mati lalu aku jadi wanita tercantik di desa Mas.)

Permana mengelus rambut ikal panjang milik Gendis yang selalu beraroma melati itu. Lalu mencubit pipi wanitanya itu dengan gemas.

“Uwis, tenang wae, Sumirah mesti mati nyusul ramane ning neroko” ( Sudah, tenang saja, Sumirah pasti mati, dan bertemu ayahnya di neraka”)

Gendis tersenyum puas, sejak kecil dia memang sangat membenci Sumirah yang anak orang kaya dan sudah sangat cantik walau masih belia. Iri dan dengki hati Gendis sudah tertanam sejak pertama kali Gendis bertemu dengan Sumirah sewaktu kecil.

Waktu Gendis berusia enam tahun, dirinya diajak sang bapak untuk bertemu dengan juragannya, Juragan Kuncoro yang terkenal kaya dan dermawan untuk mengambil upah karena sudah selesai memanen hasil sawah milik juragan. Saat itulah Gendis melihat Sumirah yang tengah memakan buah anggur, tahun 1821 buah anggur adalah buah yang sangat mahal, hanya bisa dimakan oleh para Nonik Belanda dan juragan pribumi yang kaya.

Gendis kecil yang kumal menatap dari atas sampai bawah bawah penampilan Sumirah yang cantik, bersih dengan pakaian ala anak-anak Belanda. Gendis mengepalkan tangannya lalu berbalik menatap dirinya sendiri yang hanya memakai pakaian warga pribumi yang kumal.

Semenjak itulah Gendis iri, dengki. Kenapa dirinya tidak menjadi anak juragan, kenapa bapaknya harus miskin?

Gendis dan bapaknya pulang setelah mendapatkan haknya, sekaligus Gendis diberikan bungkusan plastik besar yang entah apa isinya.

Gendis membuka bungkusan sesampainya di rumah. Ternyata isinya buah anggur dan pakaian yang mirip dipakai oleh Sumirah.

Bapak Gendis sangat bahagia dan menyuruh anak perempuannya itu mencoba pakaian pemberian dari Juragannya yang dermawan itu.

“Pakailah, Gendis. Pasti kamu sangat cantik pakai pakaian ini.”

Ibu Gendis membantu memakaikan baju pemberian dari Juragan Kuncoro ke tubuh anak perempuannya. Akan tetapi Gendis justru menolak lalu menginjak-injak pakaian tersebut.

“Aku ora doyan nganggo klambi bekas e Sumirah, Biyung. Tumbas wae sing anyar!” ( Aku tidak sudi pakai pakaian bekas dari Sumirah ibu, belikan aku pakaian yang baru saja!”)

“Iki anyar, Nduk. Udu bekas. Isih wangi plastik!” ( Ini baru, Nak. Bukan bekas, masih bau plastik)

“Pokok e aku emoh, Biyung! Aku rak sudi nganggo bekas e Sumirah.” Gendis mendorong ibunya hingga terjengkang.

Sang bapak yang emosi karena melihat sikap tak hormat dari anaknya akhirnya menampar pipi Gendis, ibunya hanya diam tak menolong karena paham kalau suaminya marah dengan kelakuan Gendis yang memang kelewatan.

“Rak usah dinggo klambine, ngko tak weh ke Sulastri wae adikmu, koe rak usah klambenan. Dasar anak kurang ajar. Tak bersyukur.” ( Tidak usah dipakai bajunya, nanti dikasihkan Sulastri saja adikmu, kamu tidak usah pakai baju sekalian.)

Gendis kecil memegang pipinya lalu menatap sang bapak dengan tatapan menantang.

“Kenopo Bapak kere? Kenopo Biyung kere, sesuk nek aku wis gedhe, ra sudi dadi wong kere koyo sampeyan, ora sudi!” ( Kenapa Bapak miskin? Kenapa Ibu juga miskin? Besok kalau saya sudah besar, tidak sudi jadi orang miskin seperti kamu, aku tidak sudi!”

Gendis berteriak-teriak sambil menunjuk-nunjuk muka bapaknya.

Setelah meluapkan seluruh emosinya. Gendis melangkahkan kaki kecilnya untuk masuk ke kamar dan merebahkan badannya di dipan yang beralaskan karpet dari anyaman daun pandan. Gendis kecil menangis sambil mengepalkan tangannya dan bersumpah akan menjadi kaya dan cantik seperti Sumirah.

“Hey, kok melamun? Ayo kita tidur, sudah malam. Besok kita akan mendengar berita kematian Sumirah.” Perkataan Permana membuyarkan lamunan Gendis.

Gendis tersenyum manis, lalu memeluk manja tubuh Permana.

“Terima kasih, Kang Mas. Aku harap si Sumirah benar-benar mati.”

Mendengar perkataan Gendis menyumpahi Sumirah, Permana tak marah namun justru memeluk erat tubuh perempuan yang hanya berbalut kain jarik itu lalu menggendongnya ke kamar.

Bilang ingin istirahat, tapi nyatanya Permana kembali merasakan nikmat dunia bersama Gendis, bagi Permana tubuh milik Gendis selalu menantang kegagahan dirinya.

Di rumahnya, Sumirah yang merasa kepanasan terbangun dari tidurnya, dirinya kaget karena api sudah mengelilingi dirinya. Nyai Aminah yang terbangun juga tidak kalah kagetnya.

“Astagfirullah, kebakaran, Nduk. Kita harus segera keluar, Nduk. Cepat!”

Satu persatu kayu penyangga atap jatuh terbakar, Sumirah dan Nyai Aminah berusaha keras melarikan diri dari kepungan api. Namun untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak.

Salah satu kayu yang terbakar menimpa tubuh Nyai Aminah. Sumirah berusaha menolong, tetapi kayunya terlalu kuat bahkan wajah milik Sumirah sudah terluka. Nyai Aminah meringis menahan panas dan sakit di punggungnya.

Dalam keadaan sekarat, Nyai Aminah komat-kamit sambil menutup matanya, tiba-tiba langit menjadi mendung dan turun hujan dengan derasnya.

Warga terkejut tapi senang secara bersamaan, api yang membakar rumah Nyai Aminah telah padam. Warga segera menolong Sumirah dan uwaknya.

“Mendekatlah, Nduk!”

Setelah berhasil keluar dari rumahnya, Nyai Aminah mengulurkan tangannya hendak memegang tangan Sumirah. Keponakan yang sudah dia anggap seperti anak kandungnya itu.

“Bersabarlah, Nduk. Kamu jangan dendam dan jangan sampai berpaling dari Tuhan.”

Nyai Aminah meninggal saat itu juga setelah mengucap kata terakhirnya, lukanya sangat parah. Tubuh tuanya tak mampu menahan lagi rasa sakit.

“ Uwak! Aku kudu urip kalih sopo melih Uwak!” (Uwak, saya harus hidup dengan siapa lagi?”)

Sumirah menangis tersedu-sedu. Pikirannya terlalu sakit untuk mampu berpikir secara jernih. Dia kehilangan segalanya dalam waktu yang hampir bersamaan.

Di Rawa Ireng Nyai Mutik tengah berbincang dengan kanjeng ratu yang telah menjelma menjadi perempuan yang sangat cantik.

“Kenapa Kanjeng Ratu tidak menolong, Sumirah?”

Nyai Mutik bertanya, karena setahu dirinya sang ratu sangat menyukai Sumirah. Tapi kenapa ratunya itu justru diam saja saat mengetahui keadaan Sumirah yang mengenaskan.

Sang ratu menatap hamparan danau yang airnya sangat jernih, danau itu adalah Rawa Ireng, tapi berubah menjadi danau indah tatkala sang ratu mengubah dirinya menjadi manusia.

“Karena masih ada Tuhan di dalam hatinya, Mutik!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status