Share

BAB-6 TOLONG

 

Sumirah kini tinggal di gudang padi milik Nyai Aminah karena bangunan utama rusak parah. Beruntung si jago merah tak sampai melahap gudang padi yang terletak di belakang rumah uwaknya tersebut.

Sumirah bertahan hidup dari hasil mengais sisa-sisa harta benda milik uwaknya.

Perut milik Sumirah berbunyi, pertanda minta diisi. Sumirah melahap nasi jagung yang tadi dia beli di pasar, uang dari hasil menjual perhiasan milik Nyai Aminah yang tak sengaja dia temukan di reruntuhan rumah sudah hampir habis untuk menyambung hidupnya selama sebulan ini.

Bukan niat Sumirah hanya ingin menghabiskan harta uwaknya, dirinya berusaha mencari rezeki dengan cara menawarkan tenaganya kepada penduduk, tapi entah kenapa semua menolak dirinya.

Ada yang merasa ketakutan jika bertemu dengannya, tapi kebanyakan dari mereka menatap jijik mukanya yang rusak karena luka bakar waktu itu.

Hidung mancungnya kini sedikit pesek karena banyak dagingnya yang berkoreng dan terkelupas. Mata kanannya sedikit kabur. Serta hampir separuh dari mukanya terdapat bekas luka bakar. Bagi mereka yang baru mengenal Sumirah tidak akan percaya jika dia dulunya adalah wanita tercantik di desanya.

“Uwak, Sumirah kangen....”

Bulir air matanya mengalir di pipinya. Sumirah meratapi nasibnya yang begitu hina di mata manusia.

Sumirah tak menyangka dirinya yang masih berusia dua puluh tahun harus berakhir dengan sangat mengenaskan.

Sumirah menghapus dengan kasar air matanya, menghabiskan segera makanannya karena dirinya akan mencuci di sungai.

Sumirah terseok-seok membawa tubuhnya ke arah sungai. Setiap orang yang berpapasan dengannya selalu membuang muka. Sumirah hanya bisa menundukkan wajahnya yang sudah dia tutup dengan selembar kain dalam-dalam.

“Heh, demit borok, minggat kowe, ojo ngumbahi ning kali kene, gawe banyune mambu.” ( Heh, hantu koreng, pergi kamu dari sini, jangan cuci baju di sungai ini. Nanti airnya bau)

Seorang gadis mendorong tubuh Sumirah yang tengah membawa ember yang terbuat dari anyaman bambu dari arah belakang. Baju kotornya tumpah seluruhnya di atas tanah. Sumirah terduduk, matanya menatap tajam si perempuan yang mendorongnya.

“Ngopo mlerok-mlerok matamu, nantangi hah!” (Ngapain matamu melotot? Nantang kamu?)

Terlihat si perempuan menendang tubuh kurus Sumirah hingga tengkurap, lalu dirinya melangkahi tubuh Sumirah sambil tertawa mengejek diikuti kelima teman sebayanya. Sumirah mengepalkan tangannya.

“Lestari!” Sumirah menyebut pelan nama si perempuan yang menghina dirinya.

Lestari adalah adik dari Permana, mantan suaminya. Sifatnya tak jauh berbeda dengan sang kakak, angkuh, sombong dan merasa berkuasa dengan harta yang dimiliki oleh Sumirah.

Lestari beranggapan bahwa Permana sang kakak lah yang kaya, sementara Sumirah hanya menumpang hidup di tempat sang kakak.

Serta yang paling membuat Lestari membenci Sumirah tentu saja karena dia adalah perempuan yang sangatlah cantik. Itulah mengapa dirinya sangat senang tatkala mengetahui jikalau Sumirah sudah menjadi si buruk rupa.

Lestari bahkan yang menyebarkan fitnah jika penyakit Sumirah akan menular kepada gadis-gadis yang lain sehingga Sumirah dikucilkan.

Sumirah memungut satu persatu bajunya yang berserakan di tanah. Lalu melangkahkan kakinya ke hilir sungai yang semakin jauh dari pemukiman warga. Lestari masih terus menatapnya dan tidak mengizinkan dirinya mencuci pakaian di sungai ini.

Terengah-engah Sumirah melangkahkan kakinya ke arah sungai demi bisa mencuci pakaian miliknya.

“Aaa!”

Tiba-tiba rambut kusut Sumirah ditarik paksa oleh seseorang. Di tengah rasa perih di kepalanya mata Sumirah berusaha mencari siapa pemilik tangan tersebut.

“Permanaa ...!” Sumirah mendesis saat tahu siapakah gerangan yang telah membuatnya sakit seperti itu.

"Apa lihat-lihat! Dasar perempuan buluk, bau dan sundal!" Tubuh Sumirah terpelanting saat dengan kasar Permana melepaskan tangannya dari rambut mantan istrinya itu.

Sumirah tidak menanggapi ocehan Permana dan memilih untuk membuang wajahnya. wanita itu sungguh jijik dengan lelaki yang sedang berdiri di hadapannya itu dengan angkuhnya.

"Woy wanita hina, cium kakiku sekarang dengan begitu aku akan membiarkanmu hidup." Selesai berkata Permana dengan angkuhnya meludahi kepala Sumirah yang ada dibawahnya itu.

"Keparat! Tak puaskah kamu melakukan itu kepadaku. Tak puaskah kamu mengusirku dari rumah bapakku dan sekarang kamu menghinaku seperti ini. Kamu benar-benar manusia tak punya hati!" Sumirah meluapkan emosinya sambil menahan air mata yang hampir tumpah itu. Setidaknya, Sumirah tidak ingin terlihat lemah dan mengemis dihadapan lelaki yang telah membuat hidupnya hancur tersebut.

Permana mengangkat tangan kanannya dan tak menunggu waktu lama ada sepuluh lelaki mengelilingi Sumirah yang terduduk di atas tanah.

“Lakukan seperti yang aku perintahkan tadi!” Permana memberikan instruksi kepada anak buahnya.

“Aaa!” Sumirah melawan saat bajunya dirobek paksa oleh anak buat Permana.

“Brengsek kamu, Permana. Apa yang kau lakukan padaku hah! Tak puaskah kamu menyiksaku, Permana!” Sumirah berteriak.

Permana mengangkat sebelah tangannya, para anak buahnya menghentikan aksi mereka. Dia mendekati Sumirah yang berusaha menutupi kembali tubuhnya yang sebagian telah terbuka.

“Aaa...!” Sumirah menjerit kesakitan dengan tangan memegangi rambutnya yang ditarik oleh Permana.

Permana melotot tepat di mata Sumirah sambil tersenyum mengejek.

“Kamu harus mati, Sumirah. Gendis tak suka jika kamu tetap hidup. Aku ingin Gendis bahagia, jadi kamu harus mati, dengan syarat aku akan membuat kamu mati perlahan.” Permana tertawa puas melihat wajah Sumirah.

“Aaa...!”

Sumirah kembali menjerit saat Permana menempeleng kepalanya.

Permana menganggukkan kepalanya pertanda agar mereka kembali menyiksa Sumirah.

Sumirah dijamah secara bergantian oleh sepuluh anak buah Permana, sementara Permana tertawa terbahak-bahak menyaksikan Sumirah tersiksa.

Tubuh Sumirah lebam karena berkali-kali ditendang dan dipukul, bahkan anjing pun lebih mereka hargai daripada Sumirah.

Wajah Sumirah penuh luka, hidungnya mengalirkan darah. Pakaiannya terlepas seluruhnya. Kehormatannya dirampas dengan cara yang sangat hina.

“Permana....” Suara serak Sumirah masih terdengar.

Permana mengarahkan pandangannya ke salah satu anak buahnya.

Detik kemudian kepala Sumirah dihantam batu, darahnya mengalir. Tubuh Sumirah ambruk begitu saja di atas tanah.

“Heh, kok batunya kecil, Jo! Kurang besar. Buat supaya kepala Sumirah hancur!” Permana melotot ke arah Paijo karena memukul kepala Sumirah hanya dengan batu sebesar genggaman tangannya.

“Batunya berat, Juragan. Lagi pula Sumirah juga sudah mati. Kasihan kalau mayatnya hancur. Nanti kualat loh, Juragan.”

“Halah, kamu itu, penakut! Tidak akan kualat. Cepat ambil batu itu! Pukul Sumirah sampai kepalanya hancur.”

Paijo menggelengkan kepalanya, menolak permintaan Juragannya yang menurutnya sudah keterlaluan itu.

Karena perintahnya tak dituruti oleh Paijo dan anak buahnya yang lain, Permana akhirnya bangkit dari duduknya, lalu mengangkat batu sebesar kepala manusia dewasa.

Saat hendak mengarahkan batu tepat di kepala mantan istrinya. Tiba-tiba langit gelap gulita, petir menyambar dan hujan turun dengan derasnya. Permana meletakkan dengan kasar batu yang telah dia angkat di sebelah kepala Sumirah.

“Kalian! Ayo balik, hujan!”

“Siap, Juragan!”

Permana dan anak buahnya berlari menerobos hujan yang turun dengan sangat derasnya.

Ternyata Sumirah masih hidup, tangannya berusaha menggapai sesuatu, suara seraknya terdengar memohon serta memanggil sebuah nama.

“Kanjeng Ratu, tolong saya ....”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status