Share

BAB-4 UWAN SETUNGGAL

Nyai Mutik tersenyum miris, sambil menggelengkan kepalanya perlahan setelah mendengar permintaan perempuan ayu yang semalam ditolongnya. Sementara itu Sumirah menunduk takut bila Nyai Mutik marah kepadanya.

"Apa tujuanmu sebenarnya, Cah Ayu. Sehingga kamu ingin menjadi sepertiku? Sekarang, coba kamu lihat ke arahku, Cah Ayu." Nyai Mutik berkata lirih.

Sumirah mengangkat wajahnya, bola matanya beradu dengan bola mata milik Nyai Mutik.

Sumirah kaget karena tiba-tiba bola mata Nyai Mutik berubah seperti mata seekor ular, bukan bola mata manusia normal.

Tubuh Sumirah kaku, matanya seolah terkunci dan dipaksa menatap bola mata milik Nyai Mutik.

"Jika menatap mataku saja kau ketakutan, apa mungkin kau bisa menjadi sepertiku, Sumirah?"

Perlahan bola mata Nyai Mutik kembali seperti semula, sedangkan tubuh Sumirah terjatuh ke lantai. Tubuhnya penuh keringat dan bergetar hebat, nafasnya cepat. Dadanya terasa sesak, bahkan dia sampai harus bernafas menggunakan mulutnya.

Perlahan Nyai Mutik mendekati tubuh Sumirah yang lemas, dan memegang jemarinya yang dingin.

Nyai Mutik memejamkan kedua matanya, perlahan hawa hangat mengalir dari tangannya dan berpindah ke tubuh milik Sumirah. Sumirah mengangkat wajahnya yang sedikit pucat. Nyai Mutik tersenyum, perlahan didudukan tubuh Sumirah di atas dipan.

"Kamu tahu, Cah Ayu. Segala sesuatu yang kamu inginkan pastinya ada yang  harus dikorbankan. Semakin besar hal yang kamu inginkan pastinya yang harus dikorbankan juga sama bahkan lebih besar lagi. Jika kau ingin mutiara maka kamu harus menyelam ke dasar lautan. Jika kamu ingin emas maka kamu harus menggali gunung. Apa kamu paham maksud dari perkataanku, Sumirah?"

Sumirah mengangguk perlahan tanpa berani menatap kembali wajah Nyai Mutik.

"Pulanglah ke rumahmu, mantapkan dulu niatmu, apa tujuanmu, lalu jika kamu sudah benar-benar yakin, kamu kembalilah kemari, Cah Ayu. Karena jika kamu sudah membuat keputusan, maka tak bisa di batalkan lagi."

"Sebenarnya ada yang ingin saya tanyakan lagi, Nyai." Sumirah berkata dengan ragu.

"Katakan saja, Cah Ayu. Akan aku jawab pertanyaanmu."

"Kenapa saat itu saya tidak bisa melawan keinginan Permana, Nyai? Padahal saya sangat ingin membunuhnya."

Nyai Mutik tersenyum lalu menatap tajam ke arah Sumirah.

"Kamu terkena guna-guna, Sumirah."

"Guna-guna, Nyai?" Sumirah mengulangi perkataan Nyai Mutik.

"Iya, Sumirah. Kamu terkena guna-guna. Selamanya kamu tidak akan bisa lepas dari mantan suamimu itu. Setelah bercerai kamu akan selalu menjanda. Seluruh orang yang ada didekatmu akan meninggal.Tak akan ada yang bisa menikahimu. Walaupun si pria sangat mencintaimu. Kamu tidak akan menikah dan tidak akan bisa mempunyai keturunan."

Sumirah menggelengkan kepala mendengar penjelasan dari Nyai Mutik. Dirinya selama ini tak merasa di guna-guna. Dirinya merasa kalau dia memang tulus mencintai Suaminya itu.

"Kamu terkena guna-guna uwan setunggal, Sumirah. Itu dapat dibuktikan dari adanya uban yang hanya ada satu, tepat di uyeng-uyeng kepalamu. Uban itu tidak bisa dicabut oleh sembarang orang kecuali si penanam guna-guna atau orang yang ilmunya lebih tinggi, Cah Ayu. Pengirim guna-guna itu tentu saja mantan suamimu. Itulah alasannya kenapa kamu tak bisa melawan semua keinginan dari dia."

"Tolong lepaskan pengaruh guna-guna itu, Nyai. Saya mohon. Saya ingin terlepas dari guna-guna yang di kirim oleh Permana, Nyai."

Nyai Mutik menggelengkan kepala, menolak permintaan dari Sumirah.

"Saya tidak boleh ikut campur dengan apa yang terjadi padamu, Sumirah. Itu sudah takdirmu. Kamu jalani semuanya dulu. Nanti ada masanya kamu akan bertemu dengan jalan bercabang yang akan mengubah takdirmu. Lebih baik sekarang kamu pulang ke rumahmu, Sumirah!"

"Saya harus pulang kemana, Nyai? Saya sudah diusir dari rumah saya sendiri?" Sumirah menangis bingung, kemana dirinya akan pulang setelah dia diusir oleh Permana.

"Bukankah kamu masih ada uwakmu, Cah Ayu? Pulanglah ke rumah uwakmu, Sumirah. Tak baik kau berlama-lama di sini tanpa ada penjanjian dengan kanjeng ratu kami. Bukan aku mengusirmu, Sumirah. Akan tetapi aroma  tubuhmu sangat wangi dan menggoda para lelembut Rawa Ireng. Nyawamu bisa terancam jika terlalu lama berada di sini. Kamu mengertikan maksudku, Cah Ayu. Ini demi kebaikanmu."

"Bagaimana cara saya pulang, Nyai?"

Sumirah memahami situasinya, lebih baik dirinya menuruti perintah nyai Mutik daripada celaka. Dirinya juga tak mau merepotkan Nyai Mutik yang telah berbaik hati menolongnya.

"Mendekatlah kemari, Sumirah!"

Sumirah mendekatkan tubuhnya ke arah nyai Mutik.

"Pejamkan matamu!"

Sumirah menuruti perintah Nyai Mutik, lalu tiba tiba tengkuknya terasa dingin, kepalanya berat dan akhirnya Sumirah pingsan.

Ssst ....

Suara desisan ula terdengar begitu jelas.

Tak lama nampaklah seekor ular hitam bertanduk emas yang kemarin kembali datang menemui Nyai Mutik. Kini ia tak banyak bertanya. Ular hitam itu hanya diam menunggu perintah dari Nyai Mutik untuk dirinya.

"Gowo wedokan iki bali ning umah uwak e. Eling! ojo ngasi kemenungsan." ( Antar perempuan ini kembali ke rumah uwaknya. Ingat! Jangan sampai ketahuan oleh manusia yang lain.)

Sang ular kembali berubah menjadi lelaki tampan. Dia pun membopong tubuh Sumirah dan perlahan menghilang bersamaan dengan datangnya kabut. Nyai Mutik menggelengkan kepalanya.

"Sumirah sangat berbakat, tapi aku tak bisa memaksakan takdir, jika Sumirah memang berjodoh dengan kanjeng ratu, dia pasti akan kembali lagi ke sini. Tapi aku berharap kamu jangan pernah lagi menginjakkan kakimu di Rawa Ireng ini, Cah Ayu"

Esok harinya Sumirah sudah berada di rumah uwaknya, dirinya terkejut karena terbangun di atas dipan. Seingatnya dirinya berada di Rawa Ireng dan bertemu dengan Nyai Mutik.

"Kamu sudah sadar, Nduk? Kamu pingsan selama dua hari dua malam, Nduk. Tadi, subuh-subuh ada warga yang menemukanmu pingsan di pinggiran sungai."

Seorang wanita tua agak bungkuk dengan penutup kepala menghampiri keponakannya, Sumirah. Wanita itu adalah Nyai Aminah, kakak perempuan dari rama Sumirah, yang sering dipanggil uwak oleh Sumirah.

"Sungai, Uwak? Bukannya saya ada di Rawa Ireng, Uwak?"

Nyai Aminah terkejut dengan pernyataan Sumirah.

"Astagfirullah, Sumirah. Kamu harus menjauhi tempat itu, jangan kau sebut namanya apalagi sampai datang ke tempat itu, kamu paham, Sumirah?"

Sumirah menganggukkan kepalanya, tangan nyai Aminah mengelus perlahan pucuk kepala milik Sumirah.

"Uwak sudah mendengar semuanya, Nduk. Kamu yang sabar ya, tetap dekat dengan sang pencipta. Uwak yakin setiap musibah pasti ada hikmahnya, Nduk. Uwak akan membantumu sebisa mungkin untuk mengambil apa yang menjadi hakmu."

Air mata Nyai Aminah menetes meratapi nasib keponakan yang sudah dia anggap seperti darah dagingnya sendiri. Dia tidak menyangka Permana begitu kejam. Dulu Nyai Aminah sangat menentang perjodohan Sumirah dengan Permana, ternyata firasatnya terbukti benar. Permana bukan lelaki yang baik.

Seminggu berlalu, dan selama itu pula Sumirah tinggal bersama uwaknya, hingga pada malam ke delapan, saat Sumirah dan Nyai Aminah tertidur. Seseorang dengan sengaja membakar rumah Nyai Aminah.

Sumirah dan uwaknya terjebak di dalam rumah yang tengah dilahap si jago merah.

Dari balik pohon tampak seseorang  menyeringai puas, dia adalah Permana.

"Mati koe, Sumirah!" ( Mati kamu, Sumirah!")

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status