Tidak sulit untuk menemukan puncak gairah ketika Lea harus berhadapan dengan Zen. Wanita itu dengan mudahnya takhluk di bawah kendali Zen. Sungguh, ini di luar kebiasaan Lea selama menjadi primadona di Night-O Club. Dengan Zen, Lea merasa benar-benar seperti seorang jalang yang membutuhkan belaian kasih sayang.
"Tidurlah, Sweet Cake. Aku akan menjagamu," ucap Zen setelah hasratnya terpenuhi.
Di saat seperti ini, Lea merasa Zen adalah seorang pria dengan kepribadian yang hangat. Sama sekali tidak terlihat ataupun terasa jika pria itu adalah pria berdarah dingin yang tega melenyapkan nyawa siapa saja yang mengusik hidupnya.
Kalimat "Aku akan menjagamu" yang diucapkan oleh Zen terasa begitu menenangkan bagi Lea. Selama ini, tidak ada seorang pun yang berkata seperti itu selain ibunya. Sisi lain Zen yang seperti ini seolah menjadi sandaran bagi wanita itu yang akan menguatkannya ketika dia sedang berada di dalam posisi sangat lemah.
"Zen," panggil Lea yang te
Sejenak Zen memandangi wanita yang tengah terlelap di bawah selimut di atas ranjangnya. Hari masih gelap ketika pria itu memanggil Arthur--tangan kanannya--untuk datang. Tak lebih dari sepuluh menit sejak dia memanggil Arthur, pria itu meninggalkan kamar menuju ruang kerja yang berada tak jauh dari kamar tidurnya.Zen membuka sebuah amplop berisi beberapa dokumen yang telah didapatkan Arthur pada misi sebelumnya. Belum sempat dia membaca dokumen itu, pintu ruang kerjanya diketuk."Masuk!" sahutnya.Layar monitor kecil yang berada di mejanya menunjukkan bahwa orang yang baru saja mengetuk pintu adalah Arthur.Pintu dibuka dari luar. Pria berperawakan hampir sama dengan Zen masuk ke dalam ruangan tersebut."Selamat pagi, Tuan," sapa Arthur sembari membungkuk memberi hormat."Duduklah, Arthur!" perintahnya.Patuh, Arthur segera menarik kursi yang ada di depan meja kerja Zen."Apa saja yang kau temukan di Florida, Art?" tanya Zen dengan pa
Tidak ada pergerakan dari mobil yang terbalik itu selama beberapa waktu. Kepulan asap keluar dari bagian mesin. Hingga tiba-tiba, sebuah tendangan keras yang berasal dari dalam mobil menghancurkan sisa kaca anti peluru yang masih melekat di badan mobil dalam keadaan retak parah. Lantas seseorang keluar dari mobil tersebut dengan posisi kaki terlebih dahulu.Dia adalah Zen, satu-satunya penumpang yang selamat dalam insiden itu. Tak berapa lama, beberapa orang berlari menghampiri, termasuk Arthur. Arthur segera menarik tubuh Zen menjauh dari mobil. Dalam jarak beberapa meter, mobil yang terbalik itu meledak. Tubuh Zen dan Arthur bahkan sempat terhempas karena kuatnya daya dorong akibat ledakan tersebut."Anda tidak apa-apa?" tanya Arthur.Zen hanya mengangguk sambil terus melangkah tertatih menjauh dari mobil yang terbakar itu.Mereka baru berhenti ketika sampai di mobil yang ditumpangi Arthur. Zen duduk di kursi kabin belakang dengan pintu yang dibiarkan t
Tiba di mansion, Zen lantas mengunjungi kamar Lea. Dia punya rencana tersendiri untuk wanita itu. Pria tersebut akan memberi sebuah kehormatan untuk Lea. Tanpa mengetuk pintu, Zen masuk begitu saja ke dalam kamar yang ditempati oleh wanita itu. Hingga membuat Lea yang sedang mengoleskan krim antibiotik ke kakinya itu berjingkat terkejut."Astaga! Kau mengejutkanku, Zen!" seru Lea.Wanita itu berhenti sejenak dari kegiatanya mengobati luka lecet dan memar yang ada di lutut dan mata kaki. Tanpa ekspresi, Zen berhenti melangkah tepat di dekat sofa, di mana Lea sedang mengobati lukanya. Lantas Zen membungkukkan badan. Pria itu tanpa aba-aba mengangkat kaki Lea untuk memeriksa luka tersebut."Ouch! Sakit!" seru Lea seraya meringis menahan rasa nyeri karena Zen menekan lukanya."Dari mana kau mendapatkan luka ini?" tanya Zen seraya melepaskan kaki Lea."Aku terpeleset saat hendak makan malam. Hanya luka kecil," jawab Lea jujur.Zen menatap luka di
Duduk bersisian di dalam limosin dengan Zen, sebisa mungkin Lea mencuri kesempatan untuk melihat jalanan di luar. Dengan sedikit menyingkap tirai yang menutup kaca jendela, Lea berharap akan mendapatkan petunjuk tentang di mana mansion Zen tersebut berada.Namun Lea harus menelan kekecewaan, karena sepanjang jalan yang dia lihat hanya pekat malam. Sekarang Lea sangat yakin jika mansion tersebut berada di tengah hutan. Tak lama keluar dari kawasan hutan, limosin yang mereka tumpangi melintasi kawasan peternakan kuda. Meski hanya melalui celah kecil, namun Lea dapat melihat istal yang terletak di sebelah kanan bangunan yang Lea duga sebagai rumah si pemilik peternakan di tengah-tengah tanah yang lapang."Apa kau sudah mendapat peta menuju mansion, Sweet Cake?" Tetiba saja suara Zen terdengar mengejutkan Lea yang memang fokus melihat ke luar.Sontak Lea memperbaiki posisi duduknya sambil mengerjap cepat beberapa kali.'Sial!' batin Lea.Jeli sekali mata Ze
Lea melangkah mundur, namun sayangnya tidak ada ruang lagi untuknya menghindar karena persis di belakang tubuh wanita itu terdapat sebuah lemari kaca berisi beberapa piagam. Wajah pucat wanita itu membuat Zen mengerutkan dahi tidak mengerti."Apa yang terjadi padamu?" tanya Zen seraya meletakkan gelasnya di atas meja terdekat.Lea tak mampu menjawab. Wanita itu terus menatap ketakutan ke arah Bram dengan deru napas yang memburu."Hei, Sweet Cake. Lihat aku!" Zen berusaha meraih tubuh Lea, namun wanita itu refleks membuat gerakan menghindar.Sadar menjadi sorotan para tamu di sana, Lea menoleh pada Zen dengan mata berkaca-kaca."A-aku ...." Tenggorokan Lea rasanya tercekat. Untaian kata yang sudah sampai di ujung lidah pun rasanya sangat sulit untuk dia keluarkan. Wanita itu hanya mampu menatap pias pada pria yang mengajaknya ke pesta tersebut.Tanpa berkata apa-apa lagi, Lea berbalik. Dia berlari meninggalkan Zen tanpa tahu ke mana arah yang
Dalam waktu singkat, gaun sutera mewah yang melekat di tubuh indah Lea sudah terkoyak akibat sabetan ikat pinggang Bram. Lea menjerit. Wanita itu ketakutan setengah mati, namun dia begitu lemah ketika berhadapan dengan ayah tirinya itu. Rambutnya yang digelung sudah terurai di beberapa bagian. Riasan cantiknya kini tertutup dengan noda hitam campuran antara maskara dengan air mata. Penampilan wanita itu tampak sangat mengerikan. Kesan anggun dan elegan yang sempat menyambutnya tadi seolah sirna begitu saja.Jeritan dan rintihan memenuhi ruangan. Di saat seperti ini, hanya satu nama yang muncul di kepala Lea. Zen Aberdein. Untuk pertama kalinya, Lea sangat berharap Zen datang dan segera menolongnya."Memohonlah, Sayang. Aku akan memberimu kenikmatan yang pasti sudah sangat kau rindukan." Pria yang hanya mengenakan celana panjang tanpa ikat pinggang itu meraih tubuh Lea. Dalam sekali hentak, pria itu mampu membalik tubuh Lea hingga menghadap dirinya. Dua tangan wanita it
Dengan cara dipanggul di pundak, Lea dibawa masuk ke mansion. Arthur membawa wanita itu meninggalkan pesta terlebih dahulu sementara Zen masih harus menyelesaikan beberapa urusannya di pesta tersebut.Lea sama sekali tidak memberontak saat Arthur memanggulnya masuk ke mansion. Menilik apa yang pernah dia dengar dari para penjaga tentang Zen, Lea tidak berani berharap banyak. Jika memang dia harus mati di tangan pria itu, maka itu adalah takdir. Lea sudah lelah melawan takdir, lelah berlari dan bersembunyi. Wanita itu hanya bisa menatap hampa pada lantai dan pergerakan kaki Arthur yang terus membawanya masuk ke dalam mansion."Tuan Zen akan segera kembali. Saya akan membawa Anda ke kamar," ujar Arthur untuk pertama kalinya sejak pria itu membawanya keluar dari hotel.Sama sekali tidak tertarik untuk menjawab karena kepala Lea telah dipenuhi pikiran bahwa dirinya akan segera menemui siksaan memyakitkan dari Zen. Yang tidak Lea sadari adalah ke mana Arthur membawan
Lea menatap Zen dengan tatapan hampa seolah dunianya memang sudah di ambang kehancuran. Wanita itu merasa hidupnya sudah berada di tepi jurang kematian. Entah dengan cara mudah atau sulit, ini memang sudah menjadi takdirnya."Do it," ucap Lea lirih.Dia meminta Zen untuk segera melakukan apa pun yang ingin dia lakukan terhadapnya. Karena dia sudah menyiapkan dirinya untuk semua rasa sakit itu."Selesaikan urusanmu denganku seperti yang kau katakan tadi." Wanita itu terdengar sangat putus asa.Zen masih berdiri di tempatnya dengan ekspresi datar. Bahkan saat melihat sebulir air mata mengalir dari manik itu, dia tetap bergeming tak menghiraukan permintaan Lea. Pria itu baru bergerak saat Lea menurunkan kakinya ke lantai, namun tak begitu terlihat perbedaannya.Kaki telanjang Lea menapaki lantai marmer di bawahnya dengan pelan. Setapak demi setapak wanita itu mengikis jarak dengan Zen hingga dia berhenti sekitar satu meter di hadapan pria itu. Dia men