Sarah yang dalam kondisi setengah mabuk baru saja keluar dari toilet saat sebuah tangan menariknya dan membekap mulutnya, dia terhuyung, tak bisa melawan. Tak lama, tubuhnya didorong sampai terhempas ke atas tempat tidur yang dia sendiri tak tahu di mana. Kepalanya pening, pandangannya kabur.
"Aduh ..., siapa sih nih ...?" tanyanya sambil memegang kepala yang berat. "Kalau mau, jangan kasar dong ..., aku kasih dengan senang hati ..." ucapnya melantur.
Dia bisa melihat bayangan bertubuh besar berdiri di depannya dengan tangan bertumpu pada pinggang. Di pergelangan tangan kiri pria besar itu melingkar sebuah gelang emas berkilauan. Sarah langsung tahu siapa orang yang ada di depannya.
"Levi ...? Tumben ..., tumben kamu mau sama aku. Kenapa? Sekarang seleramu yang seperti aku, ya? Ha ha ..."
Plak!!!
Sebuah tamparan keras melayang ke pipi Sarah sampai tubuh bagian atasnya terpental lagi ke atas tempat tidur. "Jangan mimpi kamu, pelacur tua!" Levi menjambak rambut Sarah dengan kasar. "Aku mau kamu sadar sekarang, dan jawab pertanyaan aku!" Suara Levi mengancam.
"Hm? Apa? Akh ... sakit!" Sarah setengah menjerit dengan posisi sebagian rambutnya ditarik ke atas.
"Kamu masih numpang kan di rumah Ramon? Siapa gadis yang tinggal sama dia?! Cepat jawab! Atau ...," Levi mengeluarkan pisau lipat dari sakunya, mengarahkan mata pisau itu ke dekat pipi mulus Sarah.
"Ampun, Lev ..., ampun ..., aku akan jawab ..., please jangan main kekerasan." Sarah takut betulan, Levi memang punya reputasi tak segan mengambil nyawa orang lain hanya untuk hal sepele. Semua orang tahu betapa keji dia. "Delima maksud kamu? Adiknya?" Sarah bertanya pelan.
"Bukan! Bukan dia! Yang satu lagi ..." Mata Levi berkilat, dia kian dekat dengan sasarannya. Wajah ayu Aiza terbayang lagi di benaknya, bibir mungilnya yang manis itu menghantui otaknya, ingin sekali dia miliki bibir yang halus nan lembut itu.
Sarah menelan ludahnya dengan kasar. "O ..., Aiza? Cewek polos itu ...?"
"Ya! Aiza, nama yang indah, kan?" Levi menyeringai. "Kamu tau siapa dia? Siapa di buat Ramones? Jawab!" Levi menarik lebih kuat rambut Sarah.
"Siapa dia? Argh ..., dia bukan siapa-siapa, apa maksud kamu, Lev?"
Alis Levi bertemu di tengah keningnya. "Jadi dia bukan siapa-siapanya, Ramon?" simpul Levi.
"Bukan! Dia cuma anak tetangga di kampung. Sahabatnya Delima ..., emangnya kenapa kamu penasaran sama dia ...?" Sarah menatap Levi penuh ketakutan, sekujur tubuhnya bergidik, dia berharap dugaannya salah.
"Aku mau cewek itu. Aku menginginkan dia buat aku. Suci. Seutuhnya ..." Levi mendesis, pelan tapi tajam. Matanya berapi.
Debar jantung Sarah menguat. "Jangan ngaco kamu, Lev. Cewek itu manusia normal, lain dari kita, jangan kamu--"
"Tutup mulut kamu!" Levi menampar Sarah satu kali lagi. Sarah terdiam ketakutan. "Kamu lebih baik jangan berkhotbah. Aku mau cewek itu jadi permaisuri di istanaku, niatku baik kok ..., kamu cuma perlu membantu aku."
"Aku nggak akan bantu kamu!" tolak Sarah.
Levi menjambak rambut Sarah lagi. "Aku tau di mana kamu sembunyikan anak-anak kamu, Sarah. Kalau kamu nggak mau bantu aku, aku bakal antar mayat anak-anak kamu ke depan pintu apartemen Ramon! Biar kalian liat bersama-sama! Gimana ...?"
Sarah mulai menangis, dia tak bisa biarkan itu terjadi. Posisinya terlalu lemah untuk berhadapan dengan bandit berdarah dingin seperti Levi. Dengan hati yang berat dia menyahut, "Ya ..., aku akan bantu ... aku bakal bantu kamu ..."
***
"Kok aku disuruh pulang mendadak sih, Mas? Aneh banget!" Delima bersungut-sungut sambil merapikan kopernya. Hari ini dia akan pulang kembali ke desa, seorang diri, demi keselamatan dirinya.
"Kamu kebanyakan main di sini, Mas nggak mau Ibu jadi tambah cemas mikirin kamu. Nanti Mas janji akan pulang juga, kok. Tenang aja." Ramon menjawab bohong.
Delima melirik Aiza yang juga sedang bantu mengepak ole-ole ke dalam kardus di sampingnya. "Tapi Aiza nggak ikut!" katanya protes.
"Aiza udah dapat pekerjaan, dia nyaman di sini. Balik kampung juga ngapain? Nggak ada yang bisa dia lakukan di sana." Ramon menjawab santai.
"Kerjaan apa? Kenapa sih ada banyak hal yang aku nggak tau? Mas Ramon punya rahasia, sekarang Aiza ikutan punya rahasia!" Delima memberengut.
"Kamu nggak perlu tau. Kamu ikuti aja perintah Mas, jangan membantah."
Delima diantarkan sampai bandara. Ramon menitipkan pula sebuah amplop tebal kepadanya. "Dengar, Delima. Amplop ini bukan untuk Ibu, tapi untuk ibunya Aiza. Kamu harus langsung kasih begitu sampai di desa. Paham?"
"Buat apa, Mas?" Delima terheran-heran.
"Kamu jangan banyak tanya, kasih aja. Bilang juga, sekarang Aiza jadi tanggung jawab Mas, Mas akan jaga dia sampai waktu yang Mas belum tau. Kalau sudah waktunya Aiza akan pulang. Mas sendiri yang akan antar dia."
Meskipun Delima belum mengerti, tapi dia menurut saja apa perintah kakaknya. Tak ada guna juga membantah. Maka hari itu, Delima pulang sendirian, meninggalkan Aiza seorang diri bersama Ramon dan Sarah. Dia pun tak tahu bagaimana nantinya nasib Aiza. Sahabatnya itu belum pernah pergi jauh dalam waktu yang lama seperti ini. Entah kenapa, Delima jadi begitu sedih, begitu iba dan cemas terhadap Aiza, tapi dia belum tahu alasannya apa.
***
Sarah pura-pura terkejut saat Ramon mengungkap apa yang terjadi kepada Aiza yang membuat Delima juga terpaksa pulang lebih dulu.
"Kasihan Aiza, Mon ..., semua ini karena aku, karena aku yang ngajak dia ke tempat itu ..." Sarah pura-pura terisak, menyeka air mata buayanya.
"Makanya aku sekarang bingung, apa yang harus aku lakuin buat melindungi Aiza. Mbak tau kepribadian Levi, dia itu nekad, brutal."
"Kamu tenang aja, Mon ..." Sarah duduk di dekat Ramon, mengelus punggung tangan Ramon yang kuat dan lebar. "Aku juga akan ikut menjaga dia, kamu bisa percaya sama aku. Selama kamu nggak bisa menjaga dia, aku akan selalu di sisi dia, melindungi dia seperti adikku sendiri."
"Makasih ya, Mbak. Aku berharap banyak dari Mbak."
Aiza yang sejak tadi diam-diam mengintip dari dalam kamar keluar sambil berdeham, dia tahan api cemburu yang membakar dadanya saat melihat Sarah duduk menempel begitu dekat dengan Ramon. Ramon segera menjauhkan pantatnya sedikit dari Sarah.
"Aku pergi dulu ya, ada sedikit urusan." Ramon berdiri.
"Mas mau ke mana?" tanya Aiza.
"Ada kerjaan, Za ..., kamu nggak perlu tau juga kan?" Justru Sarah yang menjawab.
Aiza mendumel dalam hati. Tiap kali Sarah mengambil posisi di tengah mereka, ingin sekali dia menyuruh wanita ini pergi dari hidup Ramon, dan berhenti menempel pada Ramon seperti benalu! Apalagi kalau dia ingat pengakuan Bio yang mengatakan Sarah diam-diam menyukai Ramon. Tapi Aiza tak punya kuasa melakukannya. Dia pun bukan siapa-siapa bagi Ramon.
"Kamu tenang aja, Aiza. Ada Mbak Sarah yang akan menjaga kamu. Kamu jangan takut. Mas pergi dulu, ya."
Sekujur tubuh Aiza serasa mau meleleh saat tangan Ramon membelai lembut rambutnya, lalu dia keluar meninggalkan Aiza yang berdebar kuat jantungnya.
"Za, hari ini aku mau pergi belanja. Kamu ikut, ya? Ramon juga suruh aku beliin kamu baju-baju dan keperluan kamu yang lain, karena kamu bakal lama di sini." Sarah mendekati Aiza.
"Tanpa Mas Ramon, Mbak?"
"Iya ..., kamu tenang aja ..., Mbak ada di sini, menjaga kamu. Jangan takut."
Sarah membelai pundak Aiza. Entah kenapa, firasat Aiza justru berkata sebaliknya.
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke