Tanpa ada rasa curiga, Aiza ikut bersama Sarah ke sebuah mal. Awalnya baik-baik saja, Sarah membawa Aiza masuk ke satu butik ke butik lainnya. Dia belikan Aiza beberapa potong pakaian dengan menggesek kartu kredit yang dipinjamkan Ramon. Sepatu, sandal, baju tidur, semua dilengkapi tanpa ada yang terlewat.
Sebelum pergi makan siang, Sarah bahkan mengajak Aiza ke salon. Mereka perawatan wajah dan kuku bersama. Aiza sempat menolak tawaran Sarah karena tak terbiasa, tapi lantaran Sarah memaksa, maka dia ikut saja.
Namun, ada yang berbeda saat hendak pulang. Tiba-tiba Sarah meminta sopir taksi yang membawa mereka untuk berhenti di dalam sebuah gang asing yang sepi. Sarah mengajak Aiza untuk turun, katanya ada suatu tempat yang sedang dia cari. Aiza masih belum merasa curiga sampai Sarah mendadak berujar, "Za, kamu tunggu dulu sebentar di sini, ya."
"Loh, Mbak Sarah mau ke mana?!" Aiza celingak celinguk mulai panik, sekelilingnya sepi, dari ujung gang sebelah kanan sampai ujung kiri, isinya hanya sederet ruko tua yang kosong. "Mbak ..., di mana ini?" Suara Aiza bergetar.
"Kamu jangan takut, percaya sama Mbak. Mbak cuma mau ketemu teman sebentar, kok." Sarah buru-buru masuk kembali ke dalam taksi.
Tangan Aiza berusaha ikut masuk. "Mbak! Tolong jangan tinggalin Aiza! Ini di mana Mbak?! Mbak janji bakal jaga Aiza!"
"Pak! Jalan, Pak!" Sarah memberi perintah.
Sopir menancap gas kembali, meninggalkan Aiza yang sendirian dalam kepanikan. Tanpa mau buang waktu, Aiza berusaha mempercepat langkahnya menuju area yang lebih ramai sambil membuka ponsel pintarnya untuk menghubungi Ramon.
Untung Ramon sigap mengangkat telepon. "Mas Ramon, Aiza ditinggal ... Aiza nggak tau Aiza di mana ..., Mas Ramon tolong Aiza ..." tangis Aiza tanpa sempat berbasa-basi.
"Kamu tunggu di sana Aiza! Mas akan lacak posisi hape kamu!" Ramon setengah berteriak, menunjukkan keseriusannya.
Belum sempat mulut Aiza terbuka lagi, tiba-tiba sebuah mobil mini van berhenti nyaris menyerempet Aiza. Dua orang pria bertopeng keluar dari mobil tersebut dan langsung menarik Aiza masuk. Mulut Aiza dibekap, dia tak sempat melawan, dia tak lama kemudian kehilangan kesadaran.
***
Ketika Aiza terjaga, hal pertama yang dia sadari adalah kepalanya begitu berat dengan pandangan mata mengabur. Butuh sekian detik baginya untuk sadar bahwa kini dia berada di sebuah rumah besar dengan lampu chandelier yang begitu mewah di atas kepalanya.
Perlahan makin sadar, Aiza terkejut mendapati dirinya kini dibalut sebuah gaun malam berwarna merah, dengan belahan dada super rendah yang mempertontonkan buah dadanya yang mulus sintal. Dan saat ini dia tengah duduk di depan meja makan yang panjangnya lebih dari dua meter, lengkap dengan berbagai menu makanan lezat dan anggur merah di dalam gelas anggur. Aiza terperangah.
Apa maksud ini semua? Di mana aku? Siapa yang ganti bajuku?! Aiza panik dalam hatinya.
"Kamu suka kejutan yang aku kasih?"
Aiza terlompat sedikit saat suara mengerikan itu menyapa telinganya dari belakang. Dada Aiza mulai naik turun. Rupanya ini semua ulah Levi, Aiza mengutuk. Dia rasakan setiap tubuhnya, mencari apakah ada sedikit perasaan berbeda. Syukurnya tak ada, itu berarti Levi belum menyentuh Aiza. Belum.
"Kenapa ..., kenapa saya ada di sini? Di ... Di mana saya?" Aiza bertanya dengan bibir bergetar.
Pinggang Levi bersandar pada meja, lalu kedua tangannya dilipat di depan dadanya. "Kenapa harus kaget? Kamu berada di tempat yang tepat, di istana kita. Aku sebagai Raja, kamu sebagai Ratu." Levi menjawab penuh percaya diri.
Orang ini gila, dia nggak waras! Batin Aiza tambah ngeri. "Bang Levi ..., saya mohon ..., saya mau kembali ke tempat Mas Ramon ..." Aiza tak punya pilihan selain memohon.
Wajah Levi mengeras. Mulai marah. "Kenapa kamu harus kembali sama pecundang itu? Aku menawarkan segalanya untuk kamu. Kamu harusnya merasa bangga, kamu beruntung sudah terpilih. Ini bukan kesempatan kecil. Ini keistimewaan! Perlu kamu tau, aku akan kasih apapun yang kamu mau. Aku menawarkan sesuatu, kamu akan kujadikan permaisuri. Kamu akan aku nikahi. Dapat rumah, dapat mobil, dapat uang, harta, emas, berlian, jalan-jalan ke luar negeri! Semua! Semua akan aku kasih!" Kedua tangan Levi membentang. "Aku bukan orang jahat, Sayang. Aku ini baik. Makanya aku ngasih penawaran cuma-cuma buat kamu. Kamu pilih aku, kamu dapat semua ini. Aku akan nikahi kamu secara sah. Gimana? Kamu berminat? Kamu bahkan belum aku sentuh. Kamu liat kan seberapa baiknya aku? Aku bisa aja langsung memperkosa kamu, tapi nggak aku lakukan, karena aku orang baik ..., aku datang dengan niat baik."
Ucapan Levi itu bahkan lebih mengerikan dari semua kompilasi film horor yang pernah ditonton Aiza. Pria di hadapannya ini murni sakit jiwa, dia tak sadar bahwa yang dia lakukan ini sakit! Ini salah! Tapi Aiza pun sadar betul, menghadapi orang sakit jiwa seperti ini, tak akan mempan dengan cara kasar atau berontak, bisa-bisa dia melakukan perbuatan gila yang lebih nekad.
"Ta ..., tapi Bang Levi ..., maaf ..., Aiza udah punya pacar, Mas Ramon." Aiza berbohong sesuai perintah Ramon.
Mata Levi langsung nyalang. Dia tahu Aiza berbohong sama seperti Ramon. "Oya? Kamu pacarnya? Dia pernah menyentuh kamu? Hm?" senyumnya mengintimidasi.
Aiza mengangguk samar.
"Kalau begitu mari kita buktikan, kita buktikan apakah benar kamu sudah pernah ditiduri sama dia!"
Tiba-tiba Ramon memegang kasar tali gaun malam yang dikenakan Aiza. Niatnya untuk menggertak sampai Aiza mengaku, sebab dia yakin benar Aiza masih suci, belum tersentuh oleh siapapun. Aiza berteriak, melawan.
Tiba-tiba serombongan pria bertubuh besar masuk ke dalam rumah besar Levi. Levi menoleh kaget sambil melepas Aiza. Semua pria besar yang ada di hadapannya sekarang adalah anak buah ayahnya sendiri.
"Mau apa kalian di sini?!" tanya Levi bersiap untuk mengamuk, dia paling benci waktu bersenang-senangnya dikacaukan, terlebih oleh bawahan ayahnya yang otomatis adalah bawahannya pula.
"Kami diperintahkan Tuan Besar, gadis ini tidak boleh Anda usik, Anda sentuh. Tuan Besar bilang gadis ini milik Tuan Ramones, dan dia harus kami kembalikan kepada Tuan Ramones." Seorang dari mereka bicara dengan lugas, tegas, dan tanpa ada keraguan sedikitpun. Mereka adalah ajudan-ajudan terlatih yang sudah belasan tahun mengabdi tanpa pernah melakukan kesalahan dalam bertugas.
Wajah Levi memucat. Amarah di dadanya makin berkobar. Sudah sekian kali dia kalah dari Ramon, bahkan di mata ayahnya sendiri. Dia sudah gagal mendapat beberapa proyek besar yang justru diserahkan ayahnya kepada Ramon, dan kini, urusan wanita pun, ayahnya memihak Ramon. Untuk pertama kalinya, ayahnya ikut campur soal ini, padahal sebelumnya, pria berhati baja itu tak pernah peduli dengan urusan asmara Levi, dia bebaskan Levi mau bermain api dengan wanita mana saja. Lagi-lagi ini hanya karena Ramon!
Gigi Levi menggeretak, ingin sekali dia hancurkan tempurung kepala Ramon sekarang.
"Kalau saya menolak perintah dari Papa? Gimana?" Levi mencoba bernegosiasi, walau dia tahu usahanya akan sia-sia.
"Jika Anda berani menentang, kami siap melakukan apa saja. Ini perintah dari Tuan Besar langsung, kami harus membawa kembali nona ini kepada Tuan Ramones. Dalam keadaan tidak kurang suatu apapun. Kalau Anda mencoba menghalangi, jangan salahkan kami kalau kami bertindak nekad."
Setetes keringat jagung jatuh di pelipis Levi. Wibawa yang telah dia bangun di depan wanita pujaannya hancur sudah, rubuh semuanya. Kini tersisa rasa malu dan amarah yang siap dia ledakkan.
Sementara itu Aiza mulai menangis dalam diam, bersyukur, bahwa yang dia takutkan tak terjadi. Detik saat Aiza akhirnya dibawa oleh pria-pria besar berpakaian serba hitam itu, terdengar suara teriakan keras dari rumah Levi. Dia mengamuk. Piring dan makanan berhamburan di lantai, kayu kursi dia patahkan, gelas pecah di mana-mana. Para pelayan langsung mendekatinya dengan panik, semua berusaha menenangkan. Jika sudah mengamuk begini, butuh waktu bagi Levi untuk tenang. Kehilangan Aiza bisa dia terima, tapi kekalahannya terhadap Ramon, itulah yang paling membuatnya murka.
Nggak, ini baru permulaan, Levi menggenggam gelas anggur sampai pecah lalu darah menetes dari genggaman tangannya. Ramones, permainan yang sebetulnya baru aja dimulai.
Seminggu berada di Jakarta setelah menghirup udara bebas, Ramon dan keluarganya akan kembali ke Solo, tempat kediaman permanen mereka. Sebelum pulang, tentunya dia berpamitan lebih dulu dengan Leo dan Bio yang masih terus melanjutkan pekerjaan mereka."Jadi kamu yakin, betul-betul berhenti selamanya, Mon?" Leo bertanya hal yang sama entah untuk keberapa kali."Iya ... sekali nanya lagi, aku kasih kamu payung." Ramon masih berusaha untuk berkelakar walau ada kekosongan yang mengaga di hatinya, bukan mudah lepas dari bisnis yang sudah membesarkan nama dan memberinya begitu banyak kesejahteraan serta perbaikan kualitas hidup."Jadi, udah yakin nanti di sana kamu akan berbisnis apa?""Kenapa? Kamu mau modalin?" Ramon bertanya balik dengan iseng."Heh, aku tanya karena aku peduli!""Iya. Santai!" Ramon menepuk pundak Leo. "Kamu tenang aja, kamu tau aku, aku sekeras batu, hm? Ha ha! Aku pergi dulu ya! Jaga diri kamu, jaga tuh si Bio! Sesama jomblo
Lima tahun kemudian ...Hari yang telah lama dinanti Aiza telah tiba. Hari yang tiap saat dia sebut dalam doanya, dalam harapnya. Kini sudah di depan matanya bahwa saat indah itu telah datang pada akhirnya. Suaminya, Ramon akan bebas. Setelah lima belas tahun mendekam di balik sel jeruji besi, akhirnya mereka bisa kembali bersama ke rumah.Bu Marni, Bu Raras, serta Delima dan Cempaka bahkan jauh-jauh datang dari Solo untuk menjemput Ramon. Mereka siapkan makanan kesukaan Ramon, berikut kue-kue favoritnya.Sayangnya Leo dan Bio tak bisa hadir karena takut nantinya malah menimbulkan salah paham. Tersisa satu masalah, Aini.***"Belum ganti baju juga, Ni? Kita kan mau jemput Papa hari ini. Kan Mama udah bilang dari tadi malam, hari ini papa kamu balik." Aiza mengomel sambil merapikan kamar Aini yang sedikit berantakan.Gadis remaja yang baru duduk di bangku Sekolah Menengah Atas itu tampak cuek bermain ponsel pintar di atas tempat tidurnya yang
"Aku minta maaf atas perkataan aku waktu lalu, tapi bukan berarti aku minta kamu untuk pindah lagi ke Jakarta, Za," ucap Ramon ketika Aiza datang menjenguk di pertemuan selanjutnya."Kalau nggak ada kata-kata manis yang bisa Mas ucap, jangan bicara. Mas tau sakit rasanya kalau usaha nggak dihargai," tegas Aiza."Maaf, Za ..."Dan sejak itu, Ramon tak pernah lagi bertanya kenapa Aiza masih begitu setia kepadanya, menunggu dia sampai betul-betul kembali. Tak perlu bertanya, cukup menerima saja.***Minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, dan tahun berganti tahun. Delima resmi dipinang oleh kekasihnya ketika Aini menginjak usia enam tahun, dan Ramon belum juga selesai menjalani hukuman. Setahun berselang, Hasan juga menikah dengan seorang teman kampusnya, dan dia masih menjalankan TK yang telah ditinggal Aiza.Pernah sekali Ramon terpaksa harus diopname karena mukanya babak belur, dihajar habis-habisan oleh senior di penjara. Aiza menangi
"Kenapa muka kamu murung, Za?" tanya Ramon ketika dia datang menjenguk beberapa minggu kemudian.Aiza tergagap, tak tahu harus bagaimana menanggapi. Dia bahkan tak menyangka bahwa wajahnya terlihat jelas menunjukkan bahwa ada sesuatu yang sedang mengganggu pikirannya."Hah? Aku? Ah, nggak kok, Mas. Nggak kenapa-napa, kok." Aiza menutupi keresahannya sendiri."Aku dengar ada guru baru di TK yang kamu kelola. Siapa namanya? Hasan?"Jantung Aiza langsung berdegup kencang, ternyata kabar ini sudah sampai ke telinga Ramon. "Buat apa Mas bahas dia? Kenapa Mas jadi penasaran?""Aku dengar dia dekat sama kamu.""Terus?" Aiza terdengar tak senang. "Mas, waktu jenguknya sebentar, tolong jangan bahas orang lain.""Jangan marah, Za. Mas kan cuma penasaran aja, siapa dia? Dan kenapa kalian jadi dekat. Nggak masalah juga kalau kamu nyaman berada di dekat dia.""Maksud Mas ngomong begini apa sih?""Za, coba kamu pikir-pikir lagi. Apa n
Walau tak ada Ramon di sisinya, Aiza tak mau melalui hari-hari dengan keterpurukan dan kesedihan, perlahan dia bangkit dan menata ulang hidupnya. Ibu dan ibu mertuanya sibuk mengurus perkebunan sementara Aiza dibantu Delima dan Cempaka membangun sebuah TK kecil di lahan kosong di samping rumah ibu mertuanya. Prasekolah itu terbuka gratis untuk anak-anak yang kurang mampu. Guru-guru yang dipilih pun adalah mahasiswa dan mahasiswi sekitar yang tengah membutuhkan pekerjaan sambilan meski dengan gaji yang terbilang rendah, nyaris bisa disebut relawan.Dengan kehadiran banyak bocah di sekelilingnya, rasa sepi di hati Aiza sedikit terusir. Meski tak sepenuhnya dia mampu untuk selalu bersikap positif, terutama saat dia khawatir, jika Ramon tengah sakit, jika Ramon tidak tidur nyenyak atau saat Ramon begitu merindukan keluarganya. Kadang Aiza sendiri merasa tak adil apabila mengingat dia baik-baik saja sedang suaminya entah bagaimana di balik jeruji besi. Tapi mau bagaimana lagi, itu
"Jadi kamu akan berangkat ke Solo sore ini?" ulang Ramon, sudah lebih dari dua kali dia bertanya."Apa nggak ada hal lain yang mau Mas bilang?" protes Aiza, alisnya mengerut.Sejak berada di penjara, sikap Ramon sangat berbeda. Dia tak banyak bicara, tak banyak menunjukkan ekspresi, entah karena dia tak mau membuat Aiza cemas atau memang dia menyimpan ribuan perasaan untuk dirinya sendiri, tapi hal itu memicu rasa gemas dalam hati Aiza, dia ingin Ramon berterus terang tentang perasaannya.Tangan Ramon meraih punggung tangan Aiza. "Hati-hati di jalan, salam sama Ibu, Delima, Cempaka. Bilang kalau Mas baik-baik aja.""Kalau mereka nanti minta ketemu gimana?"Ramon menggeleng. "Nggak. Jangan, Mas nggak mau mereka terlibat hal ini. Sudah cukup, kita harus berhenti di sini. Sekarang, pulanglah, Mas juga harus balik ke sel." Ramon beranjak dari kursinya.Sikap cuek yang ditunjukkan Ramon justru membuat Aiza tambah geram. "Mas Ramon!!" teriaknya ke