Mohon tinggalkan komentar, kritik, serta saran dan vote sebagai dukungan untuk karya ini dan kemajuan dunia kepenulisan lokal. Terima kasih
Di dalam gua kawah berapi yang lebar dan besar itu nampak seorang pria tua dikelilingi oleh puluhan orang yang terdiri dari orang dewasa, pria, wanita, remaja, anak-anak, hingga bayi dan balita. Semua orang di sana memperhatikan sang pria tua yang duduk santai bersila di atas sebuah batu seukuran gajah remaja dengan wajah tenang. Ia balas memandangi para pengungsi yang memenuhi guanya itu. Mulai dari para perempuan, anak-anak, hingga para lelaki dewasanya. Termasuk di antara para pemimpin dari dua rombongan yang datang secara terpisah itu, Anureksa, Kampalu, Danur, Subali, Haruyan, dan tentu saja Cadudasa. Khusus Cadudasa, pria itu agak lama menatapnya. Sang mantan mahapatih Adighana sempat balas menatap, namun entah kenapa ia tak berani terlalu lama memandang mata tajam dan tenang si pria tua. Ia lantas menunduk segan. Padahal biasanya ia tak pernah gagal mempertahankan tatapan mata tenang saat beradu pandang. Sang pria tua tersenyum sambil melemparkan ekor matanya ke dinding-dindi
Bayu, Sutha, dan Rukmana masih diliputi kebingungan dan kekagetan luar biasa saat mereka menyadari bahwa Kalung Gajahsora malah membawa mereka ke makam Ganendra Aryasathya dan kedua orang tuanya. Bagaimana bisa? Dan mengapa baru sekarang, saat Anarbuana dan pasukannya hampir saja mengakhiri petualangan Bayu? Toh, harus diakui, memang tempat inilah yang menjadi tujuan dari perjalanan Bayu sejak empat tahun yang lalu. Sejak ia dilatih dengan sangat keras oleh Ampu Estungkara. Justru sekarang Bayu harus bingung apakah lega atau takut, karena apa yang harus ia lakukan dengan kalung dan makam ini. “Ini tempat seharusnya kalung ini berada kan, Bayu? Sesuai sumpahmu pada gurumu?” tanya Sutha memastikan dengan raut wajah tegang. “Iya, sepertinya begitu... “ jawab Bayu dengan nafas agak tersengal, “namun aku masih bingung.” “Bingung kenapa?” “Apa yang harus aku lakukan?” “Apakah kita perlu menggali makam ini dan menaruhnya di dalam sana?” Rukmana bertanya agak takut dan ragu. “Itu yang
Bayu menengok ke arah sekitarnya, mencoba menemukan alasan baik untuk meredakan ketegangannya yang sialnya sama sekali tak ia temukan. Sementara itu kedua sahabatnya semakin tegang dengan wajah yang pucat seolah sedang melihat bayangan malaikat maut sedang menari bersiap menyambut akhir hidup mereka dalam pelukan api api panas yang mulai mengelilingi mereka. Dalam segala kekalutannya, Bayu berlari sambil berteriak kepada teman-temannya itu, “kita keluar dari tempat ini sekarang!” Bayu melaju menuju pintu depan diikuti temannya dengan wajah panik dan langsung berusaha membuka pintu itu dari dalam dengan sekuat tenaga, berhasil, pintu itu terbuka dan mereka langsung menghambur ke halaman rumah yang tak begitu luas itu namun di situlah kejutan lainnya muncul. Tak ada asap, tak ada keributan, tak ada kegaduhan, tak ada satupun pemandangan yang menyatakan bahwa rumah itu sedang terbakar dari dalam. Bahkan mereka merasa di luar sangat tenang, kendaraan berlalu lalang sekali-sekali dan seo
“Bayu, kamu yakin?” Sutha bertanya Bayu menatap kedua temannya itu dalam-dalam, “bagaimana jika sebenarnya aku bukanlah Bayu yang kalian kenal?” “Maksudmu?” Bayu tak menjawab, ia langsung membuka pintu itu dan masuk ke dalam rumah diikuti kedua temannya yang masih diliputi keheranan. Mereka berjalan menuju area ruangan makam tempat kalung Gajahsora menembak-nembakkan bola api kecil. “Bayu makamnya menghilang!” Seru Sutha pertama kali saat tiba ke ruangan itu, Benar saja, ketiga makam yang tadi harusnya ada, tiba-tiba sudah lenyap seperti habis dilalap api, begitu pula dengan foto-foto yang sebelumnya menempel di dinding ruangan itu, lenyap pula seperti dimakan api. Namun hanya itu, sedangkan dinding-dinding dan area lain sama sekali tak berbekas meski api-api kecil masih menempel di sana. Kalung Gajahsora masih melayang kali ini tanpa bola-bola api, hanya berpendar terang begitu indah. Selain itu ada butiran pasir yang keluar sedikit sedikit dari sana, pasir putih. Bayu mengamb
Menjelang pagi… Obor-obor yang menempel di dinding gua itu masih setia melemparkan cahaya dari lidah api yang menyala di atasnya. Udara dingin menjadi sedikit hangat menjalar di sekujur permukaan gua suci itu. Tak ada suara makhluk malam apapun yang terdengar, tak ada deru angin yang menembus hingga ke dalam sana. Hanya ada suara nafas dan bisingnya lemparan ekor mata para pelarian yang tertuju pada sosok pria muda dengan pakaian compang camping beserta sebuah kalung permata di genggamanya, di sebelahnya Sutha dan Rukmana tak tahu harus berekspresi seperti apa dalam segala kebingungan ini. Sedangkan Ampu Estungkara duduk kembali ke peraduannya sambil menatap pria muda itu dengan tatapan penuh kasih sayang. Bayu, pria muda itu tampaknya tak begitu senang dengan tatapan gurunya itu, ia menoleh ke berbagai arah untuk mengusir rasa risihnya, namun yang ia temui justru tatapan aneh pula dari orang-orang lainnya, termasuk Cadudasa. Bayu merasa makin tak nyaman. Ia kini menunduk. Ampu Estun
Brata hanya satu tahun lebih muda dariku, wajah kami memang sangat mirip hingga banyak yang mengira kami saudara kembar, walaupun faktanya kami tidak kembar. Orang tua kami meninggal saat perang Kertasenktra di teluk Zanubar. Ayah kami adalah perwira militer rendah, sedangkan ibu kami adalah anggota pasukan pemanah kerajaan Martadipura. Mereka dipertemukan di medan perang dan dipisahkan di medan perang pula. Kami masih sangat kecil saat menyadari bahwa orang tua kami harus pergi selamanya. Maharaja Wulau Benggala lalu memerintahkan setiap anak yatim akibat perang untuk diberikan Pendidikan terbaik. Kami berdua lantas belajar di padepokan Resi Renjamin Basa, seorang ahli militer, ahli politik, dan pemerhati dunia supranatural, beliau adalah mantan Mentri kerajaan di masa pemerintahan Maharaja Bhakti Jaya Warman yang memilih pensiun dini karena masalah kesehatan, kakinya agak pincang akibat perang dan matanya buta sebelah terkena tombak saat di medan perang. Namun ia masih bisa menemba
Yang pertama kali kulihat ketika masuk ke ruangan kerja Paduka Raja adalah lima bilah pedang yang menempel rapi di dinding ruangan berbahan kayu ulin langka itu. Aku hapal nama-nama dan sejarah pedang-pedang itu, yang bersarung cokelat diberi nama Ardhani, ditempa oleh Laksamana Gulanggang Sedayu, jenderal Angkatan laut yang menghabiskan masa remajanya sebagai seorang penempa besi handal, pedang ini terkenal karena merupakan hasil dari peleburan dua pedang paman Paduka Gajahsora yang digantung karena berupaya melakukan pembunuhan pada paduka saat ia masih berusia 14 tahun. Pedang yang sedikit lebih panjang namun lebih kurus dengan ukiran seperti liukan sungai di sarungnya dan bergagang berwarna hitam diberi nama pedang Jayasri, pedang yang ditempa oleh penempa besi khusus keluarga istana, Datu Buranda, pedang ini tak pernah digunakan dalam pertempuran, seperti namanya pedang ini hanya digunakan Paduka saat menyambut atau melepas pasukannya dari dan ke medan perang. Pedang ketiga dibe
“Aku memiliki darah manu, Estungkara. Mungkin kau pernah belajar itu dari Resi Renjamin. Darah utama, darah para penakluk, darah yang diberkati Dewa, darah unggulan, istimewa jika kau ingin menyebutnya. Tak semua dari kami, para keturunan Paduka Kurangga Bernawa memilikinya, hanya mereka yang dipilih dewa. Aku takbtahu siapa yang memilikinya sebelum aku, tapi aku yakin bukan orang tuaku atau kakekku, mungkin Paduka Kurangga Bernawa, Paduka Maharaja Jaya Prabawa II, atau Maharaja Cipta Atmadewa juga memilikinya, entahlah. Hal ini sangat penting untuk dirahasiakan, karena jika pemiliknya dibunuh atau atau digauli dengan ritual tertentu, maka darah ini bisa saja berpindah kepada orang yang melakukannya, dan mereka tentu bukan orang yang bermaksud baik. Berbahaya pastinya.” “Lantas apa hal yang membuat Paduka membeberkan ini pada saya?” aku mencoba mencari tahu tentang rahasia yang cukup mengejutkanku ini, aku pernah belajar memang tak semua manusia memiliki darah manu, mungkin satu band