Malam semakin larut, tetapi mata Anisa masih sulit terpejam. Ia menatap punggung Bagas yang tertidur dengan tenang di sampingnya. Hatinya penuh sesak. Ia ingin berbicara, ingin berteriak, ingin menangis. Tapi untuk apa? Bagas tetap tidak akan mendengarkan. Baginya, pernikahan ini adalah tentang bagaimana mereka bertahan, bukan tentang bagaimana ia merasa dihargai.
Anisa menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya yang bergejolak. Pikirannya masih dipenuhi kejadian siang tadi. Ibu mertua yang terus meremehkan usahanya, Bagas yang hanya diam dan tidak membela, serta bayangan Rina yang selalu disebut-sebut sebagai perempuan yang lebih pantas untuk Bagas. Sampai kapan ia harus menelan semua ini dalam diam?
Esok paginya, Anisa bangun lebih awal seperti biasa. Ia pergi ke dapur, menyiapkan sarapan untuk Bagas. Sederhana saja, nasi goreng dan telur mata sapi, makanan kesukaan suaminya. Ia menaruh piring di atas meja, menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas. Ia tak yakin apakah perhatian kecil seperti ini masih berarti bagi Bagas.
Tak lama kemudian, suara langkah kaki terdengar. Bagas keluar dari kamar dengan wajah masih setengah mengantuk.
“Pagi,” sapanya sambil menarik kursi.
“Pagi, Mas,” jawab Anisa pelan.
Bagas mulai makan tanpa banyak bicara. Anisa duduk di seberangnya, memainkan jari-jarinya sendiri. Ada sesuatu yang ingin ia katakan, sesuatu yang sudah lama ia pendam.
“Mas…”
Bagas mendongak. “Hmm?”
“Kita bisa bicara sebentar?”
Bagas mengunyah makanannya perlahan, lalu meletakkan sendoknya. “Bicara soal apa?”
Anisa menatap suaminya dalam-dalam. “Aku merasa kita semakin jauh, Mas.”
Bagas mengernyit. “Maksudnya?”
“Aku merasa sendirian dalam pernikahan ini. Aku selalu dibandingkan, selalu diremehkan, dan Mas diam saja. Mas nggak pernah mencoba membelaku.”
Bagas menghela napas, wajahnya tampak sedikit lelah. “Nisa, kamu tahu kan bagaimana ibu? Kalau aku membela kamu, itu hanya akan membuat semuanya lebih buruk.”
“Jadi lebih baik membiarkan aku dihina terus?”
Bagas terdiam. Anisa merasa dadanya semakin sesak. “Mas, aku nggak butuh Mas bertengkar dengan keluargamu. Aku cuma ingin Mas menunjukkan kalau Mas ada di pihakku. Kalau aku ini istri Mas, bukan sekadar seseorang yang kebetulan menikah dengan Mas.”
Bagas mengusap wajahnya. “Aku cuma nggak mau memperumit keadaan. Aku kira kamu sudah terbiasa.”
Kata-kata itu terasa seperti tamparan bagi Anisa. Terbiasa? Apakah ini yang diharapkan Bagas darinya? Bahwa ia harus menerima perlakuan buruk itu tanpa perlawanan?
Tanpa berkata apa-apa lagi, Anisa bangkit dan masuk ke kamar. Ia menutup pintu, menahan tangis yang nyaris pecah. Hatinya sakit. Ia merasa semakin tidak berarti di rumah ini.
Hari itu, ia mencoba mengalihkan pikirannya dengan bekerja. Ia sibuk memasak dan mengemas pesanan untuk pelanggan. Namun, saat ia hendak mengantar pesanan ke kurir, notifikasi di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan dari salah satu temannya muncul.
“Nis, tadi aku lihat ibu mertuamu makan di restoran bareng Rina dan beberapa orang lain. Aku dengar mereka membicarakan kamu.”
Anisa menggigit bibirnya. Jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin bertanya lebih lanjut, tetapi pikirannya dipenuhi dengan kemungkinan-kemungkinan buruk. Apa lagi yang mereka katakan tentangnya?
Pikirannya semakin kacau saat ia pulang dan menemukan ibu mertuanya sedang duduk santai di ruang tamu bersama Bagas.
“Kamu pulang juga akhirnya,” ujar ibu mertuanya dengan nada sinis.
Anisa berusaha tersenyum. “Iya, Bu. Baru selesai kerja.”
“Kerja?” Wanita itu tertawa kecil. “Kamu menyebut jualan makanan online itu kerja?”
Anisa menggenggam tangannya erat, berusaha menahan emosinya.
“Kalau kamu mau bantu Bagas, ya cari pekerjaan yang lebih pantas. Masih banyak perusahaan besar yang bisa nerima kamu.”
“Bu, aku suka pekerjaanku,” jawab Anisa, suaranya tetap tenang meski hatinya bergemuruh.
Ibu mertuanya mendengus. “Kamu ini keras kepala. Lihat Rina, dia kerja di perusahaan besar, punya penghasilan tinggi. Kalau Bagas sama dia, hidupnya pasti lebih enak.”
Kali ini, Anisa tidak bisa menahan tawa kecilnya. Ia menoleh ke arah Bagas yang sejak tadi diam saja. “Mas, kamu setuju dengan pendapat Ibu?”
Bagas tampak terkejut. “Aku…”
Anisa mengangkat tangannya, menghentikan Bagas sebelum ia bisa menjawab. “Sudahlah. Aku tahu jawabannya.”
Ia berbalik, masuk ke kamar, dan mengunci pintu. Tangannya gemetar. Ia merasa kepalanya pusing. Sampai kapan ia harus menghadapi ini sendirian?
Malam itu, ia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong. Ia lelah. Lelah menunggu Bagas membelanya, lelah berusaha diterima oleh keluarga yang tidak menginginkannya. Pikirannya mulai dipenuhi pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.
“Apakah pernikahan ini masih layak untuk diperjuangkan?”
Pintu kamar terbuka. Bagas masuk dengan wajah canggung. “Nisa…”
Anisa tidak menoleh. Ia hanya menatap lurus ke depan. “Aku lelah, Mas.”
Bagas menelan ludah. “Aku tahu ini berat untuk kamu, tapi…”
“Tapi apa, Mas?”
Bagas tidak menjawab.
Anisa menutup matanya sejenak. Kemudian, ia berbalik dan menatap suaminya. “Mas, apa Mas pernah menyesali pernikahan ini?”
Bagas terkejut. “Apa maksudmu?”
“Apa Mas pernah berpikir kalau menikah denganku adalah sebuah kesalahan?”
Bagas terdiam cukup lama sebelum akhirnya berkata, “Bukan begitu, Nisa. Aku cuma…”
Anisa mengangguk pelan. “Aku mengerti.”
Ia tersenyum, tetapi senyuman itu dipenuhi kepahitan. Dalam hatinya, ia sudah menemukan jawaban yang ia cari.
Dan untuk pertama kalinya, ia mulai mempertimbangkan sesuatu yang selama ini ia hindari—mungkin, melepaskan Bagas adalah satu-satunya cara agar ia bisa menemukan kembali dirinya sendiri.
Pagi itu, matahari bahkan belum naik sempurna ketika suara bel pintu apartemen mengagetkan Annisa dari keheningan paginya. Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan si kembar, ia membuka pintu. Dan di baliknya, berdiri sosok yang membuat dadanya berdegup.Bagas.Wajahnya kusut, matanya sembab oleh kurang tidur, namun tetap terlihat lega melihat Annisa berdiri di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Bagas langsung menarik Annisa ke dalam pelukan hangat. Erat. Seolah menyalurkan semua rasa bersalah, rindu, dan harap dalam satu dekap panjang yang nyaris membuat Annisa menangis."Maaf... maaf aku nggak kabarin semalam," bisik Bagas di pundaknya. "Aku panik. Aku takut kamu marah kalau aku ngajak kamu ikut, takut kita malah ribut lagi..."Annisa terdiam. Rasa kecewa yang sempat menyumbat dadanya perlahan mencair. Pelukan itu terlalu tulus untuk ditolak. Ia menghela napas panjang dan membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam dekapan Bagas.Bagas lalu menatap wajah Annisa, tangannya
Bagas membuka pintu rumahnya dengan napas terengah. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk tentang kondisi ibunya. Namun, sesampainya di ruang tamu, pemandangan di depannya membuatnya membeku.Bu Rina duduk di sofa, kaki kirinya diperban dan ditopang bantal. Di sampingnya, sebuah tongkat kecil bersandar di sisi meja. Raut wajahnya tampak pucat, tapi bukan karena sakit—melainkan karena akting yang sempurna.“Ibu…” Bagas mendekat, langsung berlutut dan memeluk ibunya erat. “Maafin Bagas, Bu… Bagas nggak bisa jagain Ibu. Bagas takut banget kehilangan Ibu…”Bu Rina menepuk punggung Bagas perlahan, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma kaget aja tadi. Kamar mandinya licin. Tapi kamu datang, Ibu senang sekali…” ucapnya lembut, tapi dalam hatinya: Akhirnya… anak ini kembali ke pangkuanku.Baru saja Bagas hendak membantu ibunya duduk lebih nyaman, suara langkah dari arah dapur membuatnya menoleh refleks.Seorang wanita
Matahari baru saja naik ketika mobil hitam berhenti di pelataran apartemen yang menghadap ke kota. Dari dalamnya, Annisa turun dengan kedua anak kembarnya yang tertidur lelap di gendongan. Bagas, yang menyetir sejak dini hari dari Yogyakarta ke Jakarta, langsung sigap membawakan koper dan perlengkapan anak-anak."Kita istirahat di sini dulu, ya," ucap Bagas lembut sambil membukakan pintu apartemen.Apartemen itu bersih dan tenang. Sudah lama tak ditempati, namun Bagas sempat memintakan bantuan ART freelance untuk membersihkannya sebelum keberangkatan ke Jogja kemarin. Kini tempat ini menjadi hunian sementara Annisa dan anak-anak.Annisa menatap sekeliling, hatinya campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa aman berada kembali di sisi Bagas. Namun, ia juga sadar, ini belum saatnya kembali penuh."Makasih ya, Gas," katanya pelan. "Tapi aku cuma sementara di sini. Aku belum siap tinggal serumah sama... ibumu."Bagas mengangguk. "Aku ngerti. Aku juga nggak maksa. Aku bakal bolak-bal
Siang itu, di tengah kesibukannya di kantor, Bagas menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Hanya ada satu kalimat pendek dan satu tautan lokasi:"Kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya, datanglah ke sini."Disusul share-location dengan pin bertanda: Yogyakarta – Perumahan Taman Seturan. Bagas sontak tercekat. Tangannya refleks mengetik balasan,"Siapa kamu? Ini bener lokasi Annisa?"Namun centang di pesan hanya satu. Nomor itu tak bisa dihubungi, dan semua balasannya tak kunjung dibaca. Seolah orang itu hanya muncul sebentar lalu menghilang seperti bayangan.Tanpa pikir panjang, Bagas bangkit dari kursi. Ia tak peduli lagi dengan laporan setumpuk atau email yang belum terbalas. Ia hanya sempat menatap singkat rekan kerjanya, Fajar, yang langsung membaca kegugupan itu dari raut wajahnya."Gas, lu cari dia ya?"Bagas mengangguk."Udah, pergi aja. Kerjaan lu gue yang handle. Gue yang jelasin ke bos.""Thanks, Jar… Gue utang budi."Perjalanan Jakarta – Jogja ia tempuh dalam de
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a