Dalam pernikahan, cinta saja tidak selalu cukup. Anisa, seorang perempuan sederhana yang memilih menjalani hidupnya sebagai pengusaha makanan di GoFood, harus menghadapi kenyataan pahit bahwa keluarga suaminya, Bagas, tidak pernah benar-benar menerimanya. Mereka menginginkan menantu yang bekerja di perusahaan besar dan mampu menopang kehidupan mereka, bukan seseorang yang dianggap tidak berambisi seperti Anisa. Sejak awal, Anisa berusaha menyesuaikan diri, tetapi selalu dibandingkan dengan Rina, wanita yang dianggap lebih pantas untuk Bagas. Diamnya sang suami terhadap perlakuan keluarganya membuat luka Anisa semakin dalam. Kesalahpahaman yang dibiarkan begitu saja akhirnya meretakkan hubungan mereka. Puncak rasa sakit hati Anisa terjadi ketika ia menyadari bahwa ia tidak pernah dihargai sebagai seorang istri. Dengan hati yang hancur, ia memilih untuk pergi, meninggalkan semua yang telah mereka bangun. Baru setelah kehilangan Anisa, Bagas menyadari betapa besar arti kehadiran istrinya. Ia berusaha menebus kesalahannya, namun akankah permintaan maaf cukup untuk menyembuhkan luka yang telah terlalu dalam? Sebuah kisah tentang cinta, kesalahpahaman, dan penyesalan yang datang terlambat. Akankah cinta yang pernah ada bisa kembali utuh, ataukah semuanya sudah terlalu hancur untuk diperbaiki?
Lihat lebih banyakAnisa menghela napas panjang, menatap segelas teh hangat yang ada di hadapannya. Sore itu, ia dan Bagas duduk di teras rumah mereka yang sederhana. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya, namun hatinya terasa sesak. Seharusnya pernikahan menjadi tempat berlindung yang nyaman, namun sejak hari pertama ia menikah dengan Bagas, ada satu hal yang terus menghantui pikirannya—keluarga mertuanya.
“Besok ibu mau datang, Mas?” tanya Anisa pelan.
Bagas yang sedang membaca koran menoleh sekilas. “Iya, katanya mau mampir sebentar. Kenapa?”
Anisa tersenyum kecut. "Sebentar versinya ibu itu bisa jadi seharian penuh dengan sesi ceramahnya."
Bagas hanya terkekeh tanpa menanggapi lebih lanjut. Anisa tahu, suaminya tak pernah benar-benar membela dirinya di hadapan keluarganya. Sejak awal, ia sudah dianggap tidak cukup baik untuk Bagas, pria satu-satunya dalam keluarga yang diharapkan mampu membawa kemakmuran. Mertuanya selalu membandingkan dirinya dengan Rina, teman lama Bagas yang kini bekerja di perusahaan ternama.
"Coba kalau kamu seperti Rina, Bagas pasti lebih enak hidupnya. Nggak perlu pusing mikirin biaya ini itu," ucap sang ibu mertua di suatu pertemuan keluarga beberapa waktu lalu.
Anisa masih mengingat kata-kata itu dengan jelas, seolah baru diucapkan kemarin. Ia tahu, dirinya tidak akan pernah bisa menang di mata mertuanya. Ia hanya membuka usaha makanan di GoFood, sesuatu yang dianggap remeh oleh keluarga Bagas. Padahal, ia bangga dengan apa yang telah ia capai. Namun, kebanggaannya tak berarti di hadapan mereka.
“Mas, aku capek,” gumamnya lirih, hampir tak terdengar.
Bagas menoleh, meletakkan korannya. “Capek kenapa? Toko sepi?”
Anisa tersenyum lemah. “Capek dibanding-bandingkan terus.”
Bagas menghela napas. Ia tahu ke mana arah pembicaraan ini, namun seperti biasa, ia memilih diam. Baginya, berdebat dengan ibunya adalah hal yang sulit. Dan seperti sebelumnya, ia berharap masalah ini akan berlalu begitu saja. Tapi, Anisa tahu, diamnya Bagas hanya akan memperparah segalanya.
Sejak awal menikah, ia sudah mencoba menyesuaikan diri. Anisa tidak pernah menuntut banyak dari Bagas. Ia menerima kehidupan sederhana mereka dengan tangan terbuka. Ia bahkan mencoba lebih sering mengunjungi keluarga suaminya, berharap suatu saat mereka bisa menerimanya dengan lebih baik. Tapi harapan itu seperti fatamorgana.
Setiap kali ia berkunjung, selalu ada sindiran-sindiran halus yang menusuk hatinya. Seperti saat ia membawa makanan buatannya ke rumah mertua, dengan bangga ia menyajikan hidangan yang ia buat sendiri. Tapi alih-alih pujian, yang ia dapatkan hanya komentar seperti:
“Kamu nggak bosan masak terus? Coba cari kerja kantoran, biar Bagas bisa lebih tenang. Masa istri cuma jualan makanan online?”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalanya, membuatnya merasa rendah diri. Ia tahu dirinya bukan perempuan sempurna. Ia tidak bekerja di perusahaan besar, tidak berkarier cemerlang seperti Rina, tapi ia mencintai apa yang ia lakukan. Bukankah itu cukup?
Sementara itu, di tempat lain, ibu Bagas sedang berbincang dengan Rina di sebuah kafe. Wanita itu tersenyum puas melihat mantan teman dekat anaknya yang tampak semakin sukses. Dalam benaknya, hanya ada satu keinginan—menggantikan posisi Anisa dengan seseorang yang lebih pantas.
“Rina, kamu tahu, Ibu selalu berharap kamu yang jadi menantu Ibu. Kamu lihat sendiri kan, sekarang Bagas harus menanggung semua kebutuhan rumah tangganya sendiri. Kalau istrinya bisa bantu keuangan, pasti hidupnya lebih ringan.”
Rina tersenyum tipis. “Saya tidak mau ikut campur, Tante. Bagas sudah punya istri.”
“Tapi kalau dia salah memilih, apa salahnya kalau ada yang lebih baik?”
Percakapan itu terus bergulir, tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang merencanakan sesuatu yang bisa menghancurkan rumah tangga Anisa dan Bagas. Mertuanya tidak pernah berhenti membanding-bandingkan. Bahkan dalam pertemuan keluarga besar, Anisa selalu merasa seperti orang asing. Ia hadir, tapi tak pernah benar-benar diterima.
Keesokan harinya, seperti yang sudah diduga Anisa, ibu mertua datang dan langsung memasuki rumah tanpa banyak basa-basi. Dengan tatapan kritis, wanita itu melihat sekeliling rumah.
“Rumah ini masih begini saja ya?” komentarnya tanpa ragu.
Anisa menelan ludah. Ia sudah terbiasa dengan komentar seperti ini, tapi tetap saja rasanya menyakitkan.
Bagas keluar dari kamar, menyambut ibunya dengan senyuman. “Ibu mau minum apa?”
“Nggak usah repot-repot, Nak. Ibu cuma sebentar saja. Lagipula, kamu pasti sibuk mencari nafkah sendiri, kan? Kasihan kamu, kalau istrimu mau cari kerja yang lebih layak, pasti lebih ringan.”
Anisa yang tengah membawa teh untuk ibu mertuanya, berhenti sejenak. Kata-kata itu lagi. Seakan-akan dirinya adalah beban dalam kehidupan Bagas.
Ia menaruh cangkir teh dengan hati-hati di atas meja, lalu duduk di samping suaminya. Hatinya bergetar, ingin membalas, ingin membela diri, tapi ia tahu, perdebatan dengan ibu mertua hanya akan berakhir dengan luka yang semakin dalam.
Bagas tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengusap tengkuknya dengan gelisah. Seperti biasa, ia memilih diam.
Malam harinya, Anisa tak bisa tidur. Ia menatap langit-langit kamar mereka, pikirannya dipenuhi berbagai hal. Sampai kapan ia harus bertahan dalam kondisi seperti ini? Sampai kapan ia harus terus membuktikan dirinya pada orang-orang yang tak pernah ingin menerimanya?
Bagas menggeliat di sebelahnya, menyadari istrinya belum tidur. “Nisa, kamu masih kepikiran soal ibu?”
Anisa tersenyum kecil, tapi matanya terasa panas. “Mas nggak pernah membela aku di depan mereka. Mas sadar nggak?”
Bagas terdiam. Ia ingin menjelaskan bahwa ia tak ingin memperkeruh keadaan, tapi kata-kata itu terasa hampa. Anisa sudah terlalu sering mendengarnya.
“Mas, aku nggak tahu sampai kapan aku bisa bertahan.”
Dan untuk pertama kalinya, kalimat itu terdengar seperti ancaman yang nyata.
Tanpa mereka sadari, ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah perasaan yang selama ini terkubur perlahan mulai muncul ke permukaan. Anisa mencintai Bagas, tapi apakah cinta saja cukup untuk bertahan dalam pernikahan yang tidak dihargai?
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a
Di tengah kesunyian kamar, Bagas memejamkan mata erat. Suara ibunya di luar seperti gema yang tak bisa ia padamkan, makin menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Tapi suara lain mulai menyusup dalam pikirannya—suara Annisa saat berkata, "Beri aku waktu. Temui aku bukan dengan janji, tapi bukti."Ia membuka matanya. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang menyala dengan notifikasi panggilan tak dijawab dan pesan-pesan yang tak kunjung dibalas. Semua untuk satu nama: Annisa.Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.Tok. Tok. Tok.Bagas berjalan pelan ke depan, membuka pintu. Wajah di baliknya membuatnya terperangah."Bang Rafi?" ucap Bagas kaget.Rafi, kakak laki-laki Annisa, berdiri di ambang pintu dengan senyum santai, membawa oleh-oleh di tangannya. “Eh, Gas. Gue kebetulan lagi dinas ke Jakarta, sekalian pengin mampir. Kangen sama Annisa. Dia ada?”Bagas menelan ludah. Ia berusaha tersenyum meski wajahnya tegang. “Oh... Annisa lagi... keluar. Sama Sarah.”“Oh, ya? Tapi HP-nya nggak aktif
Pagi belum benar-benar terang ketika Annisa membuka pintu kamar dengan koper kecil di tangan kanan dan Rayan yang masih mengantuk digendong di lengan kirinya. Rafka berjalan pelan di sampingnya, menggenggam ujung baju sang ibu. Langkah-langkah kecil itu terasa berat, bukan karena beban fisik, tapi karena beratnya keputusan yang harus ia ambil pagi itu. Tanpa banyak suara, Annisa menuju pintu keluar. Bagas yang tertidur di sofa sempat terbangun, mengucek mata dan menyadari gerakan di depan pintu. "Nis... kamu mau ke mana?" suara Bagas serak, panik, langsung berdiri. Annisa menatapnya sebentar. "Aku butuh ruang, Gas. Untuk berpikir. Untuk menyembuhkan diriku sendiri." "Tapi... kenapa harus pergi? Kita bisa bicara lagi. Aku udah siap ngomong sama Ibu. Sumpah, aku nggak akan diam aja lagi," ucap Bagas, suaranya parau. Annisa menunduk, lalu menghela napas panjang. "Kamu selalu bilang akan berubah. Tapi kenyataannya, aku yang selalu harus bertahan. Aku lelah, Gas." Ibu mertua yang men
Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin meski matahari sudah tinggi. Bagas terbangun di kamarnya seorang diri. Ia menatap langit-langit, memikirkan ucapan Annisa semalam yang terus terngiang.Di dapur, ibu Bagas sudah lebih dulu duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat anaknya keluar kamar, ia tersenyum puas.“Bagas, kamu sadar kan sekarang? Si Annisa itu keras kepala. Udah bagus kamu dengerin Ibu dari dulu, jangan terlalu dimanja dia.”Bagas tidak menjawab. Pandangannya kosong. Di hatinya, ada pertarungan sengit antara nurani dan loyalitas.Sementara itu, di kamar anak-anak, Annisa duduk bersandar di dinding, memeluk Rafka dan Rayan yang masih tertidur. Matanya sembab. Malam tadi ia tidak menangis, tapi pagi ini... air mata itu jatuh juga. Bukan karena lemah, tapi karena kecewa.Ia masih tak menyangka bahwa semua ini terulang kembali. Ia benar-benar percaya bahwa Bagas telah berubah—itulah alasan ia menerima ajakan untuk rujuk. Namun kenyataannya, Bagas masih sama. Ia bel
Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen