Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin. Anisa melangkah keluar dari kamar dengan perasaan berat. Semalam, ia hampir tidak bisa tidur memikirkan perkataan ibu mertuanya. Selalu saja ada celaan untuknya. Selalu saja ia dibandingkan dengan Rina.
Saat Anisa melangkah menuju dapur, ia mendengar suara ibu mertuanya dan adik-adik iparnya di ruang keluarga. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu dengan penuh emosi.
“Aku nggak tahu, Bu, kenapa Mas Bagas tetap mempertahankan perempuan itu,” ujar salah satu adik iparnya, Nadya.
“Iya, Bu. Padahal jelas-jelas Rina lebih baik. Anisa itu nggak ada apa-apanya dibanding Rina. Udah nggak punya karier jelas, bisnis makanannya juga biasa aja. Jauh dari standar keluarga kita,” timpal adik iparnya yang lain, Dita.
Anisa yang mendengar itu mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali maju dan membela diri, tapi ia menahan diri. Ia ingin tahu sejauh mana mereka akan berbicara.
“Kalian pikir Ibu nggak berusaha?” suara ibu mertuanya terdengar lebih keras. “Ibu sudah bilang berkali-kali ke Bagas kalau perempuan itu bukan pilihan yang tepat. Tapi anak itu keras kepala! Selalu membela istrinya!”
Anisa menarik napas dalam-dalam. Setidaknya, Bagas masih membelanya.
Namun, tak lama kemudian, suara Bagas terdengar. “Bu, kenapa Ibu selalu begini?” suaranya lelah, nyaris putus asa. “Nisa sudah berusaha sebaik mungkin. Kenapa nggak bisa terima dia?”
Anisa merasakan dadanya menghangat. Tapi ia juga tahu, ini belum selesai.
“Bagas, kamu itu terlalu buta!” suara ibunya meninggi. “Ibu ini ibumu! Kamu nggak lihat bagaimana Ibu dan adik-adikmu berjuang untukmu sejak kecil? Dan sekarang, kamu lebih membela perempuan itu?”
“Bukan begitu, Bu. Aku cuma ingin Ibu menerima Nisa. Apa itu terlalu sulit?”
“Ya, kalau dibandingkan dengan Rina, memang sulit!”
Anisa tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia berbalik dan kembali ke kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Ia menghargai usaha Bagas, tapi ia juga muak dengan sikap keluarga suaminya yang tidak pernah bisa menerimanya.
Namun, sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya terjadi saat ia membuka I*******m. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran sejenak, tapi tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya mencelos.
Bagas melove salah satu postingan Rina.
Biasanya, Bagas tidak pernah melakukan itu. Ia bukan tipe laki-laki yang sering berinteraksi di media sosial, apalagi dengan Rina. Tapi sekarang, tiba-tiba ia memberi ‘love’ pada unggahan perempuan itu. Anisa mengetuk layar ponselnya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat.
Postingan itu adalah foto Rina dengan gaun elegan, dengan caption yang manis: “Kadang, kebahagiaan ada di depan mata, tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya.”
Jantung Anisa berdegup kencang. Apa maksudnya? Kenapa Bagas menyukai foto itu? Apakah selama ini Rina masih berharap sesuatu dari Bagas? Atau lebih buruk, apakah Bagas mulai mempertimbangkan Rina sebagai pilihan lain?
Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rina.
“Hai, Nis. Aku harap kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti lelah menghadapi semuanya. Tapi kadang, mungkin ada hal yang perlu kita pikirkan ulang, ya?”
Anisa memandangi pesan itu dengan tatapan kosong. Ini bukan sekadar pesan biasa. Ini seperti tamparan halus, seperti peringatan bahwa posisi Anisa mungkin tidak seaman yang ia kira.
Ia mengembuskan napas panjang, lalu mematikan ponselnya. Ia tidak ingin membalas, tidak ingin berdebat. Tapi, rasa sakit itu sudah terlanjur menghujam dadanya.
Di luar kamar, suara pertengkaran antara Bagas dan ibunya masih terdengar. Tapi bagi Anisa, suara yang lebih menggema di kepalanya adalah suara hatinya sendiri yang mulai meragukan segalanya.
Tak lama kemudian, Bagas masuk ke kamar. Wajahnya tampak lelah, seperti baru saja melewati perdebatan panjang.
“Nis, aku tahu Ibu dan adik-adikku memang sulit, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku selalu ada di pihakmu,” ucapnya, duduk di tepi ranjang.
Anisa menatapnya dengan perasaan campur aduk. “Beneran, Mas? Atau itu cuma kata-kata?”
Bagas menghela napas panjang. “Kenapa kamu ngomong gitu?”
Anisa menunjukkan layar ponselnya. “Kenapa kamu tiba-tiba like foto Rina? Padahal sebelumnya nggak pernah.”
Bagas terdiam sejenak, seakan tidak menyangka akan dipertanyakan soal itu. “Cuma kebiasaan. Aku scroll, kepencet.”
Anisa tersenyum sinis. “Kepencet? Mas Bagas, selama ini kamu nggak pernah like foto siapa pun, bahkan fotoku sendiri.”
Bagas mengusap wajahnya dengan lelah. “Nis, kamu tahu aku nggak peduli hal-hal kayak gitu. Itu cuma I*******m, nggak ada artinya.”
“Tapi buatku ada artinya,” potong Anisa cepat. “Apalagi Rina. Kamu tahu dia selalu dibandingkan denganku, tapi kamu malah menunjukkan perhatian ke dia di media sosial?”
Bagas mendesah. “Kamu terlalu membesar-besarkan hal kecil.”
Anisa menatapnya tajam. “Hal kecil? Mungkin buatmu kecil, tapi buatku, ini adalah tambahan luka di atas semua luka yang sudah Ibu dan adik-adikmu kasih ke aku.”
Bagas terdiam. Ia tidak menyangka Anisa akan semarah ini.
Suasana kamar menjadi sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar. Anisa akhirnya bangkit dari tempat duduknya, mengambil jaket dan tasnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Bagas.
“Keluar sebentar, cari udara segar,” jawab Anisa tanpa menoleh.
“Nis, kita belum selesai bicara.”
“Tapi aku sudah capek bicara, Mas.”
Anisa membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Bagas yang masih duduk dengan wajah penuh kebingungan.
Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Hatinya mulai goyah. Ia ingin mempercayai suaminya, tapi ada sesuatu yang mulai retak di dalam dirinya.
Sesuatu yang ia takut tidak bisa diperbaiki lagi.
Pagi itu, matahari bahkan belum naik sempurna ketika suara bel pintu apartemen mengagetkan Annisa dari keheningan paginya. Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan si kembar, ia membuka pintu. Dan di baliknya, berdiri sosok yang membuat dadanya berdegup.Bagas.Wajahnya kusut, matanya sembab oleh kurang tidur, namun tetap terlihat lega melihat Annisa berdiri di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Bagas langsung menarik Annisa ke dalam pelukan hangat. Erat. Seolah menyalurkan semua rasa bersalah, rindu, dan harap dalam satu dekap panjang yang nyaris membuat Annisa menangis."Maaf... maaf aku nggak kabarin semalam," bisik Bagas di pundaknya. "Aku panik. Aku takut kamu marah kalau aku ngajak kamu ikut, takut kita malah ribut lagi..."Annisa terdiam. Rasa kecewa yang sempat menyumbat dadanya perlahan mencair. Pelukan itu terlalu tulus untuk ditolak. Ia menghela napas panjang dan membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam dekapan Bagas.Bagas lalu menatap wajah Annisa, tangannya
Bagas membuka pintu rumahnya dengan napas terengah. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk tentang kondisi ibunya. Namun, sesampainya di ruang tamu, pemandangan di depannya membuatnya membeku.Bu Rina duduk di sofa, kaki kirinya diperban dan ditopang bantal. Di sampingnya, sebuah tongkat kecil bersandar di sisi meja. Raut wajahnya tampak pucat, tapi bukan karena sakit—melainkan karena akting yang sempurna.“Ibu…” Bagas mendekat, langsung berlutut dan memeluk ibunya erat. “Maafin Bagas, Bu… Bagas nggak bisa jagain Ibu. Bagas takut banget kehilangan Ibu…”Bu Rina menepuk punggung Bagas perlahan, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma kaget aja tadi. Kamar mandinya licin. Tapi kamu datang, Ibu senang sekali…” ucapnya lembut, tapi dalam hatinya: Akhirnya… anak ini kembali ke pangkuanku.Baru saja Bagas hendak membantu ibunya duduk lebih nyaman, suara langkah dari arah dapur membuatnya menoleh refleks.Seorang wanita
Matahari baru saja naik ketika mobil hitam berhenti di pelataran apartemen yang menghadap ke kota. Dari dalamnya, Annisa turun dengan kedua anak kembarnya yang tertidur lelap di gendongan. Bagas, yang menyetir sejak dini hari dari Yogyakarta ke Jakarta, langsung sigap membawakan koper dan perlengkapan anak-anak."Kita istirahat di sini dulu, ya," ucap Bagas lembut sambil membukakan pintu apartemen.Apartemen itu bersih dan tenang. Sudah lama tak ditempati, namun Bagas sempat memintakan bantuan ART freelance untuk membersihkannya sebelum keberangkatan ke Jogja kemarin. Kini tempat ini menjadi hunian sementara Annisa dan anak-anak.Annisa menatap sekeliling, hatinya campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa aman berada kembali di sisi Bagas. Namun, ia juga sadar, ini belum saatnya kembali penuh."Makasih ya, Gas," katanya pelan. "Tapi aku cuma sementara di sini. Aku belum siap tinggal serumah sama... ibumu."Bagas mengangguk. "Aku ngerti. Aku juga nggak maksa. Aku bakal bolak-bal
Siang itu, di tengah kesibukannya di kantor, Bagas menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Hanya ada satu kalimat pendek dan satu tautan lokasi:"Kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya, datanglah ke sini."Disusul share-location dengan pin bertanda: Yogyakarta – Perumahan Taman Seturan. Bagas sontak tercekat. Tangannya refleks mengetik balasan,"Siapa kamu? Ini bener lokasi Annisa?"Namun centang di pesan hanya satu. Nomor itu tak bisa dihubungi, dan semua balasannya tak kunjung dibaca. Seolah orang itu hanya muncul sebentar lalu menghilang seperti bayangan.Tanpa pikir panjang, Bagas bangkit dari kursi. Ia tak peduli lagi dengan laporan setumpuk atau email yang belum terbalas. Ia hanya sempat menatap singkat rekan kerjanya, Fajar, yang langsung membaca kegugupan itu dari raut wajahnya."Gas, lu cari dia ya?"Bagas mengangguk."Udah, pergi aja. Kerjaan lu gue yang handle. Gue yang jelasin ke bos.""Thanks, Jar… Gue utang budi."Perjalanan Jakarta – Jogja ia tempuh dalam de
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a