Share

Episode 3: Api dalam Sekam

Author: Gitgut
last update Last Updated: 2025-02-10 17:07:05

Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin. Anisa melangkah keluar dari kamar dengan perasaan berat. Semalam, ia hampir tidak bisa tidur memikirkan perkataan ibu mertuanya. Selalu saja ada celaan untuknya. Selalu saja ia dibandingkan dengan Rina.

Saat Anisa melangkah menuju dapur, ia mendengar suara ibu mertuanya dan adik-adik iparnya di ruang keluarga. Mereka tampaknya sedang membicarakan sesuatu dengan penuh emosi.

“Aku nggak tahu, Bu, kenapa Mas Bagas tetap mempertahankan perempuan itu,” ujar salah satu adik iparnya, Nadya.

“Iya, Bu. Padahal jelas-jelas Rina lebih baik. Anisa itu nggak ada apa-apanya dibanding Rina. Udah nggak punya karier jelas, bisnis makanannya juga biasa aja. Jauh dari standar keluarga kita,” timpal adik iparnya yang lain, Dita.

Anisa yang mendengar itu mengepalkan tangannya. Ia ingin sekali maju dan membela diri, tapi ia menahan diri. Ia ingin tahu sejauh mana mereka akan berbicara.

“Kalian pikir Ibu nggak berusaha?” suara ibu mertuanya terdengar lebih keras. “Ibu sudah bilang berkali-kali ke Bagas kalau perempuan itu bukan pilihan yang tepat. Tapi anak itu keras kepala! Selalu membela istrinya!”

Anisa menarik napas dalam-dalam. Setidaknya, Bagas masih membelanya.

Namun, tak lama kemudian, suara Bagas terdengar. “Bu, kenapa Ibu selalu begini?” suaranya lelah, nyaris putus asa. “Nisa sudah berusaha sebaik mungkin. Kenapa nggak bisa terima dia?”

Anisa merasakan dadanya menghangat. Tapi ia juga tahu, ini belum selesai.

“Bagas, kamu itu terlalu buta!” suara ibunya meninggi. “Ibu ini ibumu! Kamu nggak lihat bagaimana Ibu dan adik-adikmu berjuang untukmu sejak kecil? Dan sekarang, kamu lebih membela perempuan itu?”

“Bukan begitu, Bu. Aku cuma ingin Ibu menerima Nisa. Apa itu terlalu sulit?”

“Ya, kalau dibandingkan dengan Rina, memang sulit!”

Anisa tidak ingin mendengar lebih banyak lagi. Ia berbalik dan kembali ke kamar dengan perasaan yang berkecamuk. Ia menghargai usaha Bagas, tapi ia juga muak dengan sikap keluarga suaminya yang tidak pernah bisa menerimanya.

Namun, sesuatu yang lebih mengganggu pikirannya terjadi saat ia membuka I*******m. Ia hanya ingin mengalihkan pikiran sejenak, tapi tiba-tiba matanya menangkap sesuatu yang membuat dadanya mencelos.

Bagas melove salah satu postingan Rina.

Biasanya, Bagas tidak pernah melakukan itu. Ia bukan tipe laki-laki yang sering berinteraksi di media sosial, apalagi dengan Rina. Tapi sekarang, tiba-tiba ia memberi ‘love’ pada unggahan perempuan itu. Anisa mengetuk layar ponselnya, memastikan bahwa ia tidak salah lihat.

Postingan itu adalah foto Rina dengan gaun elegan, dengan caption yang manis: “Kadang, kebahagiaan ada di depan mata, tapi kita terlalu bodoh untuk menyadarinya.”

Jantung Anisa berdegup kencang. Apa maksudnya? Kenapa Bagas menyukai foto itu? Apakah selama ini Rina masih berharap sesuatu dari Bagas? Atau lebih buruk, apakah Bagas mulai mempertimbangkan Rina sebagai pilihan lain?

Tiba-tiba, ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Rina.

“Hai, Nis. Aku harap kamu baik-baik saja. Aku tahu kamu pasti lelah menghadapi semuanya. Tapi kadang, mungkin ada hal yang perlu kita pikirkan ulang, ya?”

Anisa memandangi pesan itu dengan tatapan kosong. Ini bukan sekadar pesan biasa. Ini seperti tamparan halus, seperti peringatan bahwa posisi Anisa mungkin tidak seaman yang ia kira.

Ia mengembuskan napas panjang, lalu mematikan ponselnya. Ia tidak ingin membalas, tidak ingin berdebat. Tapi, rasa sakit itu sudah terlanjur menghujam dadanya.

Di luar kamar, suara pertengkaran antara Bagas dan ibunya masih terdengar. Tapi bagi Anisa, suara yang lebih menggema di kepalanya adalah suara hatinya sendiri yang mulai meragukan segalanya.

Tak lama kemudian, Bagas masuk ke kamar. Wajahnya tampak lelah, seperti baru saja melewati perdebatan panjang.

“Nis, aku tahu Ibu dan adik-adikku memang sulit, tapi aku ingin kamu tahu kalau aku selalu ada di pihakmu,” ucapnya, duduk di tepi ranjang.

Anisa menatapnya dengan perasaan campur aduk. “Beneran, Mas? Atau itu cuma kata-kata?”

Bagas menghela napas panjang. “Kenapa kamu ngomong gitu?”

Anisa menunjukkan layar ponselnya. “Kenapa kamu tiba-tiba like foto Rina? Padahal sebelumnya nggak pernah.”

Bagas terdiam sejenak, seakan tidak menyangka akan dipertanyakan soal itu. “Cuma kebiasaan. Aku scroll, kepencet.”

Anisa tersenyum sinis. “Kepencet? Mas Bagas, selama ini kamu nggak pernah like foto siapa pun, bahkan fotoku sendiri.”

Bagas mengusap wajahnya dengan lelah. “Nis, kamu tahu aku nggak peduli hal-hal kayak gitu. Itu cuma I*******m, nggak ada artinya.”

“Tapi buatku ada artinya,” potong Anisa cepat. “Apalagi Rina. Kamu tahu dia selalu dibandingkan denganku, tapi kamu malah menunjukkan perhatian ke dia di media sosial?”

Bagas mendesah. “Kamu terlalu membesar-besarkan hal kecil.”

Anisa menatapnya tajam. “Hal kecil? Mungkin buatmu kecil, tapi buatku, ini adalah tambahan luka di atas semua luka yang sudah Ibu dan adik-adikmu kasih ke aku.”

Bagas terdiam. Ia tidak menyangka Anisa akan semarah ini.

Suasana kamar menjadi sunyi, hanya suara napas mereka yang terdengar. Anisa akhirnya bangkit dari tempat duduknya, mengambil jaket dan tasnya.

“Kamu mau ke mana?” tanya Bagas.

“Keluar sebentar, cari udara segar,” jawab Anisa tanpa menoleh.

“Nis, kita belum selesai bicara.”

“Tapi aku sudah capek bicara, Mas.”

Anisa membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan Bagas yang masih duduk dengan wajah penuh kebingungan.

Ia tidak tahu harus bagaimana lagi. Hatinya mulai goyah. Ia ingin mempercayai suaminya, tapi ada sesuatu yang mulai retak di dalam dirinya.

Sesuatu yang ia takut tidak bisa diperbaiki lagi.


Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 24: Anatara Janji & Bukti

    Di tengah kesunyian kamar, Bagas memejamkan mata erat. Suara ibunya di luar seperti gema yang tak bisa ia padamkan, makin menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Tapi suara lain mulai menyusup dalam pikirannya—suara Annisa saat berkata, "Beri aku waktu. Temui aku bukan dengan janji, tapi bukti."Ia membuka matanya. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang menyala dengan notifikasi panggilan tak dijawab dan pesan-pesan yang tak kunjung dibalas. Semua untuk satu nama: Annisa.Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.Tok. Tok. Tok.Bagas berjalan pelan ke depan, membuka pintu. Wajah di baliknya membuatnya terperangah."Bang Rafi?" ucap Bagas kaget.Rafi, kakak laki-laki Annisa, berdiri di ambang pintu dengan senyum santai, membawa oleh-oleh di tangannya. “Eh, Gas. Gue kebetulan lagi dinas ke Jakarta, sekalian pengin mampir. Kangen sama Annisa. Dia ada?”Bagas menelan ludah. Ia berusaha tersenyum meski wajahnya tegang. “Oh... Annisa lagi... keluar. Sama Sarah.”“Oh, ya? Tapi HP-nya nggak aktif

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 23: Jeda yang Menyakitkan

    Pagi belum benar-benar terang ketika Annisa membuka pintu kamar dengan koper kecil di tangan kanan dan Rayan yang masih mengantuk digendong di lengan kirinya. Rafka berjalan pelan di sampingnya, menggenggam ujung baju sang ibu. Langkah-langkah kecil itu terasa berat, bukan karena beban fisik, tapi karena beratnya keputusan yang harus ia ambil pagi itu. Tanpa banyak suara, Annisa menuju pintu keluar. Bagas yang tertidur di sofa sempat terbangun, mengucek mata dan menyadari gerakan di depan pintu. "Nis... kamu mau ke mana?" suara Bagas serak, panik, langsung berdiri. Annisa menatapnya sebentar. "Aku butuh ruang, Gas. Untuk berpikir. Untuk menyembuhkan diriku sendiri." "Tapi... kenapa harus pergi? Kita bisa bicara lagi. Aku udah siap ngomong sama Ibu. Sumpah, aku nggak akan diam aja lagi," ucap Bagas, suaranya parau. Annisa menunduk, lalu menghela napas panjang. "Kamu selalu bilang akan berubah. Tapi kenyataannya, aku yang selalu harus bertahan. Aku lelah, Gas." Ibu mertua yang men

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 22 : Batas Kesabaran

    Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin meski matahari sudah tinggi. Bagas terbangun di kamarnya seorang diri. Ia menatap langit-langit, memikirkan ucapan Annisa semalam yang terus terngiang.Di dapur, ibu Bagas sudah lebih dulu duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat anaknya keluar kamar, ia tersenyum puas.“Bagas, kamu sadar kan sekarang? Si Annisa itu keras kepala. Udah bagus kamu dengerin Ibu dari dulu, jangan terlalu dimanja dia.”Bagas tidak menjawab. Pandangannya kosong. Di hatinya, ada pertarungan sengit antara nurani dan loyalitas.Sementara itu, di kamar anak-anak, Annisa duduk bersandar di dinding, memeluk Rafka dan Rayan yang masih tertidur. Matanya sembab. Malam tadi ia tidak menangis, tapi pagi ini... air mata itu jatuh juga. Bukan karena lemah, tapi karena kecewa.Ia masih tak menyangka bahwa semua ini terulang kembali. Ia benar-benar percaya bahwa Bagas telah berubah—itulah alasan ia menerima ajakan untuk rujuk. Namun kenyataannya, Bagas masih sama. Ia bel

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 21 : Konflik Rumah Tangga

    Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 20 : Setahun Setelah Rujuk

    Setelah melewati berbagai badai, ternyata perpisahanlah yang justru membuat mereka saling menemukan kembali. Mereka akhirnya menyadari, bahwa hidup tanpa satu sama lain hanyalah kehampaan yang menyakitkan.Bagas menyadari betapa sikapnya dahulu sangat pengecut—membiarkan kesalahpahaman terus tumbuh hingga merusak rumah tangga mereka. Namun, penyesalan itu kini telah ditebus dengan ketulusan dan usaha nyata.Sejak mereka kembali bersama, Bagas tak lagi membiarkan kesalahan yang sama terulang. Ia belajar untuk lebih banyak berkomunikasi, lebih berinisiatif dalam mengurus rumah tangga, dan yang terpenting—lebih peka terhadap perasaan Anisa.Kini, ia tidak hanya menjadi suami, tetapi juga sahabat dan partner sejati bagi Anisa. Karena bagi Bagas, cinta sejati bukan hanya tentang bersama saat bahagia, tetapi juga tentang memperjuangkan satu sama lain saat segalanya terasa tak mudah.Satu tahun telah berlalu sejak Bagas dan Anisa memulai kembali kehidupan rumah tangga mereka. Kini, rumah kec

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 19: Awal Perjalanan Pernikahan

    Setelah melewati begitu banyak rintangan, akhirnya Bagas dan Anisa mendapatkan restu dari keluarga Anisa. Perjuangan panjang mereka terbayar ketika pada suatu hari yang penuh kebahagiaan, mereka mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan sederhana namun penuh makna. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun pengantin yang berlebihan, hanya mereka, keluarga, dan sahabat terdekat yang hadir untuk menyaksikan perayaan cinta mereka.Malam pertama setelah pernikahan, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Anisa yang terbiasa dengan kehidupan mewah awalnya merasa canggung dengan kondisi sederhana ini, tetapi senyum dan pelukan hangat Bagas membuatnya merasa tenang."Maaf ya, Nis. Aku belum bisa memberimu rumah yang besar dan mewah seperti rumah orang tuamu," ujar Bagas dengan nada sedikit bersalah.Anisa tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena harta. Selama kita bersama, semua itu tidak masalah."Sejak saat

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 18: Antara Cinta dan Restu

    Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, Rina semakin menjauh dari kehidupan Bagas. Ia tidak lagi sesering dulu menghubungi atau menemani Bagas seperti sebelumnya. Setiap kali melihat Bagas dan Anisa bersama, hatinya terasa semakin sakit. Ia tahu bahwa ia harus merelakan perasaannya, tetapi semakin ia mencoba, semakin perih luka yang ia rasakan.Di sisi lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin dalam. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi impian, dan merancang masa depan mereka. Bagas yang dulu dikenal sebagai pria cuek, kini berubah menjadi sosok yang penuh perhatian. Ia tak segan mengantar dan menjemput Anisa kuliah, membawakan makanan saat Anisa sibuk dengan tugasnya, dan selalu memastikan bahwa gadis itu merasa bahagia di sampingnya.Namun, kebahagiaan mereka tidak serta-merta tanpa rintangan.Suatu hari, setelah mereka menyelesaikan skripsi dan bersiap untuk wisuda, Bagas mengungkapkan niatnya untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius."Nis, aku in

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 17: Persahabatan yang Tak Tergantikan

    Sebelum kehadiran Anisa dalam hidup Bagas, ada satu sosok yang selalu berada di sisinya: Rina. Mereka telah bersahabat sejak tahun pertama kuliah, melalui berbagai suka dan duka bersama. Rina adalah orang yang selalu memahami Bagas lebih dari siapa pun. Ia adalah tempat Bagas berbagi cerita, tempatnya bersandar ketika dunia terasa terlalu berat.Mereka pertama kali bertemu saat ospek fakultas. Bagas, yang dikenal pendiam dan tidak banyak bergaul, duduk di sudut ruangan dengan wajah datar tanpa ekspresi. Sementara itu, Rina adalah gadis yang ceria dan penuh semangat. Ia tidak suka melihat orang sendirian, apalagi di lingkungan baru seperti ini."Hey, boleh aku duduk di sini?" tanya Rina, tanpa menunggu jawaban langsung duduk di samping Bagas.Bagas hanya mengangguk, lalu kembali fokus pada ponselnya. Rina tidak menyerah begitu saja. Ia terus berbicara, mulai dari menanyakan jurusan Bagas, asal kota, hingga hal-hal kecil seperti makanan favoritnya. Meskipun Bagas awalnya cuek, lama-lama

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 16: Romansa Masa Pacaran

    Setelah mengungkapkan perasaan mereka satu sama lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin erat. Bagas yang dulunya pendiam dan tidak terlalu peka terhadap hal-hal romantis, perlahan berubah menjadi sosok yang sangat perhatian terhadap Anisa. Tak butuh waktu lama, ia pun mendapatkan julukan 'bucin' dari teman-temannya karena tingkah lakunya yang selalu berusaha menyenangkan Anisa.Suatu hari, saat Bagas sedang sibuk dengan tugas kuliahnya di kantin, Anisa datang menghampirinya dengan senyum ceria."Gas, aku lapar," rengek Anisa sambil menarik kursi di hadapan Bagas.Bagas langsung menutup laptopnya dan menatap Anisa dengan penuh perhatian. "Mau makan apa? Aku beliin deh."Anisa tertawa kecil. "Nggak usah repot-repot, aku bisa beli sendiri kok.""Nggak boleh. Pacar aku nggak boleh kelaparan," kata Bagas sambil berdiri dan langsung menuju stand makanan untuk membelikan Anisa makanan favoritnya.Tak lama kemudian, Bagas kembali dengan sepiring nasi goreng dan segelas es teh manis. Anisa mena

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status