Hari-hari setelah kejadian itu, suasana rumah tangga Anisa dan Bagas semakin memburuk. Anisa yang awalnya masih mencoba bertahan, kini mulai kehilangan kesabaran. Bagas tidak pernah benar-benar menegaskan batasan dengan Rina. Sekalipun ia membela Anisa di hadapan keluarganya, sikapnya yang terlalu lembut terhadap Rina membuat keadaan semakin rumit.
Anisa semakin sering melihat interaksi kecil antara Bagas dan Rina. Memang, tidak ada yang terlalu mencolok, tetapi tetap saja membuat hatinya tak nyaman. Rina semakin sering muncul dalam kehidupan mereka, entah melalui pesan singkat atau kebetulan bertemu saat ada acara keluarga. Bahkan, beberapa kali ibu mertua Anisa sengaja mengundang Rina ke rumah dengan alasan ‘silaturahmi’.
Suatu sore, Anisa sedang merapikan dapur saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
“Kamu tahu nggak, suamimu tadi siang makan siang bareng Rina? Mesra banget kelihatannya. Hati-hati, ya.”
Tangan Anisa menegang. Ia tidak langsung mempercayai pesan itu, tapi ada sesuatu di dalam dirinya yang membuatnya resah. Dengan cepat, ia membuka aplikasi perpesanan dan mengirimkan pesan kepada Bagas.
Nggak sibuk, kan? tulisnya singkat.
Pesannya hanya centang satu. Bagas belum membacanya.
Anisa mencoba mengabaikan rasa tidak enaknya, tetapi rasa cemas terus mengganggu pikirannya. Hingga akhirnya, malam hari, Bagas pulang lebih lambat dari biasanya. Wajahnya tampak sedikit lelah, namun tetap berusaha tersenyum saat melihat Anisa.
“Kamu belum tidur?” tanyanya.
Anisa menatapnya dengan sorot tajam. “Aku nunggu kamu.”
Bagas menghela napas dan meletakkan tasnya. “Ada apa?”
“Kamu tadi makan siang sama Rina?”
Bagas terdiam sesaat, lalu mengangguk. “Iya. Tapi itu cuma makan siang biasa, nggak ada yang aneh.”
“Kenapa kamu nggak bilang?”
“Karena nggak ada yang perlu dikasih tahu. Itu cuma kebetulan ketemu di restoran.”
Anisa mendengus pelan. “Kebetulan? Kamu tahu nggak, aku dapat pesan anonim yang bilang kalian makan siang bareng?”
Bagas mengerutkan dahi. “Siapa yang ngirim?”
“Aku nggak tahu, tapi itu bukan poinnya. Masalahnya, kenapa kamu nggak bisa tegas soal Rina? Kamu tahu dia selalu dibandingkan denganku, tapi kamu tetap aja membiarkan dia masuk ke kehidupan kita.”
Bagas tampak frustasi. “Aku nggak pernah punya niat buruk, Nis. Kamu terlalu berpikir negatif.”
“Itu karena kamu nggak pernah kasih aku kepastian! Kamu nggak pernah tegas ke keluargamu soal aku. Kamu juga nggak pernah tegas ke Rina,” suara Anisa mulai bergetar. “Aku capek.”
Bagas mengusap wajahnya. “Aku nggak tahu harus gimana lagi, Nis.”
“Ya, itu masalahnya, Mas. Kamu nggak pernah tahu.”
Pertengkaran mereka semakin memanas hingga suara mereka terdengar ke luar kamar. Tanpa mereka sadari, seseorang mendengar semuanya.
Esok paginya, Anisa terkejut saat melihat kakaknya, Ardan, datang ke rumah mereka. Ardan adalah seorang jaksa yang sangat menyayangi Anisa sejak kecil. Wajahnya tampak serius saat duduk di ruang tamu, menunggu Bagas.
Bagas yang baru keluar dari kamar langsung terkejut melihat kedatangan Ardan. “Mas Ardan? Tumben ke sini.”
Ardan menatapnya tajam. “Aku dengar kalian bertengkar tadi malam.”
Bagas melirik Anisa yang hanya diam di sudut ruangan. “Mas, itu cuma masalah biasa dalam rumah tangga.”
“Biasa?” Ardan tertawa kecil, tapi tidak ada kebahagiaan di sana. “Aku udah lama diem, Gas. Aku pikir kamu cukup dewasa buat ngejaga Anisa. Tapi ternyata aku salah.”
Bagas menelan ludah. “Aku nggak pernah bermaksud nyakitin dia.”
“Tapi kamu tetap melakukannya.” Ardan bersandar di kursi. “Aku udah tahu banyak hal, Gas. Tentang bagaimana keluargamu memperlakukan Anisa. Tentang Rina. Tentang kamu yang nggak pernah benar-benar menegaskan posisi istrimu.”
Bagas mengepalkan tangannya. “Mas, aku—”
“Aku nggak butuh penjelasan. Aku cuma mau kasih peringatan,” Ardan menatapnya tajam. “Jangan sampai kamu nyakitin Anisa lebih dari ini. Aku nggak akan diam kalau itu terjadi.”
Suasana menjadi sangat tegang. Bagas merasa harga dirinya terluka, tetapi ia tahu Ardan tidak main-main.
Setelah beberapa saat, Ardan berdiri. “Aku pergi dulu. Anisa, kalau ada apa-apa, bilang ke aku.”
Anisa mengangguk pelan. Hatinya masih berkecamuk, tapi ada sedikit rasa lega karena kakaknya datang membelanya.
Saat Ardan pergi, Bagas duduk di sofa dengan wajah lelah. “Jadi kamu sekarang ngadu ke kakakmu?”
“Aku nggak ngadu. Kakakku datang karena dia peduli.”
Bagas menghela napas. “Aku nggak suka caranya memperingatkanku.”
“Dan aku nggak suka caramu memperlakukanku.”
Suasana kembali sunyi. Anisa merasa dadanya sesak. Ia tidak tahu sampai kapan harus bertahan dalam pernikahan ini.
Di sisi lain, Bagas juga merasa terpojok. Ia mencintai Anisa, tetapi tekanan dari keluarganya dan kehadiran Rina membuatnya merasa sulit menentukan langkah yang benar.
Di luar rumah, Rina tersenyum kecil sambil menggenggam ponselnya.
“Sepertinya ini akan lebih mudah dari yang aku kira,” gumamnya.
Saat hubungan Bagas dan Anisa semakin rapuh, Rina melihat ini sebagai kesempatan emas untuk semakin mendekat. Bagas yang mulai merasa lelah dengan semua tekanan perlahan mulai terpengaruh. Di sisi lain, Ardan terus mengawasi Bagas, memastikan adiknya tidak tersakiti lebih dalam.
Namun, sesuatu yang tidak terduga akan terjadi. Sebuah peristiwa yang membuat Anisa harus mengambil keputusan besar. Akankah Bagas akhirnya menyadari kesalahannya? Atau semuanya akan berakhir dengan penyesalan?
Jangan lewatkan episode selanjutnya!
Pagi itu, matahari bahkan belum naik sempurna ketika suara bel pintu apartemen mengagetkan Annisa dari keheningan paginya. Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan si kembar, ia membuka pintu. Dan di baliknya, berdiri sosok yang membuat dadanya berdegup.Bagas.Wajahnya kusut, matanya sembab oleh kurang tidur, namun tetap terlihat lega melihat Annisa berdiri di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Bagas langsung menarik Annisa ke dalam pelukan hangat. Erat. Seolah menyalurkan semua rasa bersalah, rindu, dan harap dalam satu dekap panjang yang nyaris membuat Annisa menangis."Maaf... maaf aku nggak kabarin semalam," bisik Bagas di pundaknya. "Aku panik. Aku takut kamu marah kalau aku ngajak kamu ikut, takut kita malah ribut lagi..."Annisa terdiam. Rasa kecewa yang sempat menyumbat dadanya perlahan mencair. Pelukan itu terlalu tulus untuk ditolak. Ia menghela napas panjang dan membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam dekapan Bagas.Bagas lalu menatap wajah Annisa, tangannya
Bagas membuka pintu rumahnya dengan napas terengah. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk tentang kondisi ibunya. Namun, sesampainya di ruang tamu, pemandangan di depannya membuatnya membeku.Bu Rina duduk di sofa, kaki kirinya diperban dan ditopang bantal. Di sampingnya, sebuah tongkat kecil bersandar di sisi meja. Raut wajahnya tampak pucat, tapi bukan karena sakit—melainkan karena akting yang sempurna.“Ibu…” Bagas mendekat, langsung berlutut dan memeluk ibunya erat. “Maafin Bagas, Bu… Bagas nggak bisa jagain Ibu. Bagas takut banget kehilangan Ibu…”Bu Rina menepuk punggung Bagas perlahan, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma kaget aja tadi. Kamar mandinya licin. Tapi kamu datang, Ibu senang sekali…” ucapnya lembut, tapi dalam hatinya: Akhirnya… anak ini kembali ke pangkuanku.Baru saja Bagas hendak membantu ibunya duduk lebih nyaman, suara langkah dari arah dapur membuatnya menoleh refleks.Seorang wanita
Matahari baru saja naik ketika mobil hitam berhenti di pelataran apartemen yang menghadap ke kota. Dari dalamnya, Annisa turun dengan kedua anak kembarnya yang tertidur lelap di gendongan. Bagas, yang menyetir sejak dini hari dari Yogyakarta ke Jakarta, langsung sigap membawakan koper dan perlengkapan anak-anak."Kita istirahat di sini dulu, ya," ucap Bagas lembut sambil membukakan pintu apartemen.Apartemen itu bersih dan tenang. Sudah lama tak ditempati, namun Bagas sempat memintakan bantuan ART freelance untuk membersihkannya sebelum keberangkatan ke Jogja kemarin. Kini tempat ini menjadi hunian sementara Annisa dan anak-anak.Annisa menatap sekeliling, hatinya campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa aman berada kembali di sisi Bagas. Namun, ia juga sadar, ini belum saatnya kembali penuh."Makasih ya, Gas," katanya pelan. "Tapi aku cuma sementara di sini. Aku belum siap tinggal serumah sama... ibumu."Bagas mengangguk. "Aku ngerti. Aku juga nggak maksa. Aku bakal bolak-bal
Siang itu, di tengah kesibukannya di kantor, Bagas menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Hanya ada satu kalimat pendek dan satu tautan lokasi:"Kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya, datanglah ke sini."Disusul share-location dengan pin bertanda: Yogyakarta – Perumahan Taman Seturan. Bagas sontak tercekat. Tangannya refleks mengetik balasan,"Siapa kamu? Ini bener lokasi Annisa?"Namun centang di pesan hanya satu. Nomor itu tak bisa dihubungi, dan semua balasannya tak kunjung dibaca. Seolah orang itu hanya muncul sebentar lalu menghilang seperti bayangan.Tanpa pikir panjang, Bagas bangkit dari kursi. Ia tak peduli lagi dengan laporan setumpuk atau email yang belum terbalas. Ia hanya sempat menatap singkat rekan kerjanya, Fajar, yang langsung membaca kegugupan itu dari raut wajahnya."Gas, lu cari dia ya?"Bagas mengangguk."Udah, pergi aja. Kerjaan lu gue yang handle. Gue yang jelasin ke bos.""Thanks, Jar… Gue utang budi."Perjalanan Jakarta – Jogja ia tempuh dalam de
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a