Sebelum semua kekacauan ini terjadi, sebelum ada Anisa dalam hidup Bagas, ada seseorang yang selalu ada di sisinya—Rina.
Mereka bertemu saat masih duduk di bangku kuliah. Bagas, sebagai mahasiswa teknik yang sibuk, sering menghabiskan waktunya dengan Rina yang kala itu mengambil jurusan yang sama. Mereka berbagi banyak hal, mulai dari tugas kuliah, proyek penelitian, hingga mimpi-mimpi masa depan. Rina selalu merasa nyaman berada di sisi Bagas, dan perlahan, perasaan itu berkembang menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan.
Namun, Rina tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Bagas adalah pria yang memiliki prinsip, dan Rina takut jika ia mengungkapkan isi hatinya, persahabatan mereka akan hancur. Maka, ia memilih diam, berharap bahwa suatu hari Bagas akan menyadari sendiri perasaannya.
Hingga suatu hari, Anisa datang ke dalam kehidupan Bagas.
Anisa adalah seorang mahasiswi bisnis yang ceria dan penuh semangat. Berbeda dengan Rina yang selalu serius dan berpikir logis, Anisa membawa warna baru dalam hidup Bagas. Ia adalah seseorang yang spontan, penuh kejutan, dan selalu bisa membuat Bagas tertawa.
Awalnya, Rina tidak menganggap Anisa sebagai ancaman. Namun, semakin sering ia melihat Bagas tersenyum karena Anisa, semakin ia merasa kehilangan. Bagas yang biasanya lebih suka menghabiskan waktu dengan Rina, kini mulai sering mencari Anisa. Rina menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri bagaimana Bagas jatuh cinta.
Sakit. Itulah yang dirasakan Rina.
Suatu malam, di sebuah kafe tempat mereka biasa berkumpul, Rina memberanikan diri untuk bertanya kepada Bagas.
"Bagas, menurutmu Anisa itu seperti apa?"
Bagas tersenyum kecil. "Dia berbeda. Aku nggak tahu gimana menjelaskannya, tapi setiap kali aku sama dia, rasanya ringan."
Jawaban itu seperti pisau yang menusuk hati Rina. Ia menunduk, menyembunyikan kekecewaannya. Bagas tidak pernah berbicara seperti itu tentang dirinya.
Rina bisa saja mengatakan perasaannya saat itu juga, tapi apa gunanya? Bagas sudah jatuh cinta, dan sayangnya, bukan padanya.
Seiring berjalannya waktu, Bagas dan Anisa semakin dekat. Rina mencoba menerima kenyataan bahwa ia hanya seorang sahabat. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan itu tidak pernah benar-benar hilang.
Ketika akhirnya Bagas menikah dengan Anisa, Rina berpura-pura bahagia. Ia datang ke pernikahan mereka dengan senyum yang dibuat-buat, memberi selamat dengan suara yang terdengar normal, tetapi hatinya remuk. Ia berharap waktu akan menyembuhkan perasaannya, tetapi semakin ia melihat kehidupan Bagas bersama Anisa, semakin ia merasa tidak bisa melupakan Bagas.
Maka, ketika kesempatan untuk kembali mendekati Bagas muncul, Rina tidak bisa menolaknya.
Bukan karena ia ingin menghancurkan rumah tangga Bagas, tetapi karena ia tidak pernah bisa benar-benar melepaskan perasaannya. Ia hanya ingin Bagas tahu, bahwa sejak dulu hingga sekarang, ia masih mencintainya.
Namun, dalam hati kecilnya, Rina tahu bahwa ia tidak sekadar ingin mengungkapkan perasaannya. Ada harapan yang tumbuh—harapan bahwa mungkin Bagas masih menyisakan ruang kecil untuknya. Rina mulai mencari cara untuk lebih sering bertemu Bagas, mulai dari menawarkan bantuan dalam proyek kerja, hingga pura-pura membutuhkan nasihatnya.
Bagas sendiri awalnya tidak menyadari perubahan ini. Ia masih menganggap Rina sebagai sahabat baiknya. Tapi tanpa ia sadari, kehadiran Rina mulai memengaruhi pikirannya. Rina mengingatkan Bagas akan masa-masa di mana hidupnya lebih sederhana, tanpa beban rumah tangga dan konflik dengan keluarga. Ada kehangatan yang ia rasakan setiap kali berbicara dengan Rina.
Sementara itu, Anisa mulai merasakan perubahan sikap suaminya. Bagas menjadi lebih sering sibuk dengan pekerjaannya, lebih sering keluar tanpa memberi tahu. Anisa mulai curiga, tetapi ia berusaha berpikir positif. Namun, naluri seorang istri tidak bisa dibohongi.
Suatu malam, ketika Anisa sedang berselancar di media sosial, ia melihat sesuatu yang membuat hatinya mencelos. Bagas memberikan tanda suka pada salah satu unggahan Rina. Hal yang terlihat sepele, tetapi bagi Anisa, ini adalah alarm bahaya. Sejak menikah, Bagas hampir tidak pernah aktif di media sosial, apalagi memberikan tanda suka pada unggahan wanita lain.
Anisa berusaha mengabaikannya, berpikir bahwa ia hanya terlalu sensitif. Namun, ketika keesokan harinya ia mendengar Bagas berbicara dengan Rina di telepon dengan suara yang terdengar begitu akrab, ia tidak bisa lagi menahan emosinya.
"Bagas, sebenarnya ada apa antara kamu dan Rina?" tanyanya langsung saat Bagas menutup telepon.
Bagas terkejut dengan pertanyaan itu. "Nggak ada apa-apa, Nis. Rina cuma teman lama. Kita sudah kenal sejak kuliah, kamu juga tahu itu."
"Tapi kenapa akhir-akhir ini kamu sering berhubungan dengannya? Kenapa kamu lebih sering cerita sama dia daripada sama aku?" suara Anisa bergetar.
Bagas menghela napas panjang. "Nis, kamu terlalu berlebihan. Aku cuma ngobrol biasa. Kamu juga punya teman cowok, aku nggak pernah mempermasalahkannya, kan?"
Kata-kata Bagas membuat hati Anisa semakin sakit. Bukannya meyakinkan, suaminya justru membalikkan keadaan. Ia merasa seperti orang yang cemburu buta, padahal ia hanya ingin memastikan bahwa rumah tangga mereka tetap aman.
Di sisi lain, Rina mulai merasakan bahwa usahanya mendekati Bagas mulai membuahkan hasil. Ia melihat bagaimana Bagas lebih sering tersenyum ketika bersamanya, bagaimana Bagas mulai kembali bercerita tentang masalah-masalah yang ia hadapi. Hal itu membuat harapan Rina semakin besar.
Tetapi, apakah perasaan itu cukup untuk mengubah keadaan? Ataukah Rina hanya sedang menggali luka yang akan semakin dalam?
Apakah Anisa akan tetap diam atau mulai mencari tahu lebih dalam? Bagaimana reaksi Bagas ketika ia dihadapkan pada pilihan antara istri dan sahabat lamanya? Akankah kehadiran Rina menjadi pemicu kehancuran rumah tangga Bagas dan Anisa? Konflik semakin menegang! Jangan lewatkan episode berikutnya!
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a
Di tengah kesunyian kamar, Bagas memejamkan mata erat. Suara ibunya di luar seperti gema yang tak bisa ia padamkan, makin menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Tapi suara lain mulai menyusup dalam pikirannya—suara Annisa saat berkata, "Beri aku waktu. Temui aku bukan dengan janji, tapi bukti."Ia membuka matanya. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang menyala dengan notifikasi panggilan tak dijawab dan pesan-pesan yang tak kunjung dibalas. Semua untuk satu nama: Annisa.Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.Tok. Tok. Tok.Bagas berjalan pelan ke depan, membuka pintu. Wajah di baliknya membuatnya terperangah."Bang Rafi?" ucap Bagas kaget.Rafi, kakak laki-laki Annisa, berdiri di ambang pintu dengan senyum santai, membawa oleh-oleh di tangannya. “Eh, Gas. Gue kebetulan lagi dinas ke Jakarta, sekalian pengin mampir. Kangen sama Annisa. Dia ada?”Bagas menelan ludah. Ia berusaha tersenyum meski wajahnya tegang. “Oh... Annisa lagi... keluar. Sama Sarah.”“Oh, ya? Tapi HP-nya nggak aktif
Pagi belum benar-benar terang ketika Annisa membuka pintu kamar dengan koper kecil di tangan kanan dan Rayan yang masih mengantuk digendong di lengan kirinya. Rafka berjalan pelan di sampingnya, menggenggam ujung baju sang ibu. Langkah-langkah kecil itu terasa berat, bukan karena beban fisik, tapi karena beratnya keputusan yang harus ia ambil pagi itu. Tanpa banyak suara, Annisa menuju pintu keluar. Bagas yang tertidur di sofa sempat terbangun, mengucek mata dan menyadari gerakan di depan pintu. "Nis... kamu mau ke mana?" suara Bagas serak, panik, langsung berdiri. Annisa menatapnya sebentar. "Aku butuh ruang, Gas. Untuk berpikir. Untuk menyembuhkan diriku sendiri." "Tapi... kenapa harus pergi? Kita bisa bicara lagi. Aku udah siap ngomong sama Ibu. Sumpah, aku nggak akan diam aja lagi," ucap Bagas, suaranya parau. Annisa menunduk, lalu menghela napas panjang. "Kamu selalu bilang akan berubah. Tapi kenyataannya, aku yang selalu harus bertahan. Aku lelah, Gas." Ibu mertua yang men
Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin meski matahari sudah tinggi. Bagas terbangun di kamarnya seorang diri. Ia menatap langit-langit, memikirkan ucapan Annisa semalam yang terus terngiang.Di dapur, ibu Bagas sudah lebih dulu duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat anaknya keluar kamar, ia tersenyum puas.“Bagas, kamu sadar kan sekarang? Si Annisa itu keras kepala. Udah bagus kamu dengerin Ibu dari dulu, jangan terlalu dimanja dia.”Bagas tidak menjawab. Pandangannya kosong. Di hatinya, ada pertarungan sengit antara nurani dan loyalitas.Sementara itu, di kamar anak-anak, Annisa duduk bersandar di dinding, memeluk Rafka dan Rayan yang masih tertidur. Matanya sembab. Malam tadi ia tidak menangis, tapi pagi ini... air mata itu jatuh juga. Bukan karena lemah, tapi karena kecewa.Ia masih tak menyangka bahwa semua ini terulang kembali. Ia benar-benar percaya bahwa Bagas telah berubah—itulah alasan ia menerima ajakan untuk rujuk. Namun kenyataannya, Bagas masih sama. Ia bel
Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert
Setelah melewati berbagai badai, ternyata perpisahanlah yang justru membuat mereka saling menemukan kembali. Mereka akhirnya menyadari, bahwa hidup tanpa satu sama lain hanyalah kehampaan yang menyakitkan.Bagas menyadari betapa sikapnya dahulu sangat pengecut—membiarkan kesalahpahaman terus tumbuh hingga merusak rumah tangga mereka. Namun, penyesalan itu kini telah ditebus dengan ketulusan dan usaha nyata.Sejak mereka kembali bersama, Bagas tak lagi membiarkan kesalahan yang sama terulang. Ia belajar untuk lebih banyak berkomunikasi, lebih berinisiatif dalam mengurus rumah tangga, dan yang terpenting—lebih peka terhadap perasaan Anisa.Kini, ia tidak hanya menjadi suami, tetapi juga sahabat dan partner sejati bagi Anisa. Karena bagi Bagas, cinta sejati bukan hanya tentang bersama saat bahagia, tetapi juga tentang memperjuangkan satu sama lain saat segalanya terasa tak mudah.Satu tahun telah berlalu sejak Bagas dan Anisa memulai kembali kehidupan rumah tangga mereka. Kini, rumah kec
Setelah melewati begitu banyak rintangan, akhirnya Bagas dan Anisa mendapatkan restu dari keluarga Anisa. Perjuangan panjang mereka terbayar ketika pada suatu hari yang penuh kebahagiaan, mereka mengikat janji suci dalam sebuah pernikahan sederhana namun penuh makna. Tidak ada pesta megah, tidak ada gaun pengantin yang berlebihan, hanya mereka, keluarga, dan sahabat terdekat yang hadir untuk menyaksikan perayaan cinta mereka.Malam pertama setelah pernikahan, mereka tinggal di sebuah rumah kontrakan kecil di pinggiran kota. Anisa yang terbiasa dengan kehidupan mewah awalnya merasa canggung dengan kondisi sederhana ini, tetapi senyum dan pelukan hangat Bagas membuatnya merasa tenang."Maaf ya, Nis. Aku belum bisa memberimu rumah yang besar dan mewah seperti rumah orang tuamu," ujar Bagas dengan nada sedikit bersalah.Anisa tersenyum dan menggenggam tangan suaminya. "Aku menikah denganmu karena aku mencintaimu, bukan karena harta. Selama kita bersama, semua itu tidak masalah."Sejak saat
Hari-hari berlalu, dan tanpa disadari, Rina semakin menjauh dari kehidupan Bagas. Ia tidak lagi sesering dulu menghubungi atau menemani Bagas seperti sebelumnya. Setiap kali melihat Bagas dan Anisa bersama, hatinya terasa semakin sakit. Ia tahu bahwa ia harus merelakan perasaannya, tetapi semakin ia mencoba, semakin perih luka yang ia rasakan.Di sisi lain, hubungan Bagas dan Anisa semakin dalam. Mereka semakin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi impian, dan merancang masa depan mereka. Bagas yang dulu dikenal sebagai pria cuek, kini berubah menjadi sosok yang penuh perhatian. Ia tak segan mengantar dan menjemput Anisa kuliah, membawakan makanan saat Anisa sibuk dengan tugasnya, dan selalu memastikan bahwa gadis itu merasa bahagia di sampingnya.Namun, kebahagiaan mereka tidak serta-merta tanpa rintangan.Suatu hari, setelah mereka menyelesaikan skripsi dan bersiap untuk wisuda, Bagas mengungkapkan niatnya untuk membawa hubungan mereka ke jenjang yang lebih serius."Nis, aku in