Home / Romansa / Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam / Episode 6: Cinta yang Diuji Waktu

Share

Episode 6: Cinta yang Diuji Waktu

Author: Gitgut
last update Last Updated: 2025-02-10 17:30:27

Sebelum badai ini datang, sebelum keraguan dan kesalahpahaman melukai hati mereka, Bagas dan Anisa pernah berbagi kisah cinta yang begitu manis. Perjalanan mereka penuh dengan tawa, harapan, dan janji-janji indah yang mereka ucapkan satu sama lain.

Pertemuan pertama mereka terjadi di sebuah seminar kewirausahaan. Anisa yang penuh semangat datang untuk mencari inspirasi, sementara Bagas yang saat itu bekerja di salah satu perusahaan besar, datang sebagai peserta yang sekadar ingin mencari jaringan. Tanpa sengaja, mereka duduk bersebelahan.

Saat sesi diskusi dimulai, Anisa dengan antusias mengutarakan pendapatnya tentang bagaimana usaha kecil harus berani berinovasi agar bisa bersaing dengan perusahaan besar. Bagas yang awalnya tidak begitu memperhatikan, tiba-tiba tertarik dengan cara Anisa berbicara. Ia begitu percaya diri, penuh optimisme, dan bersemangat.

Ketika seminar berakhir, Bagas mendekati Anisa. "Kamu punya pemikiran yang menarik. Punya usaha sendiri?" tanyanya.

Anisa tersenyum. "Belum besar, sih. Aku baru mulai usaha makanan online, masih belajar. Kamu sendiri?"

"Aku kerja di perusahaan, tapi sebenarnya punya mimpi punya usaha sendiri juga."

Dari obrolan sederhana itu, mereka mulai bertukar kontak. Awalnya hanya membicarakan bisnis, lama-kelamaan perbincangan mereka berkembang menjadi hal-hal yang lebih pribadi. Bagas mulai menyukai cara Anisa melihat hidup—selalu bersemangat, penuh keyakinan, dan tidak takut mengambil risiko.

Pertemuan demi pertemuan terjadi, dan Bagas merasa semakin nyaman dengan Anisa. Hubungan mereka berkembang secara alami. Bagas yang terbiasa hidup dalam tekanan keluarga merasa bahwa bersama Anisa, hidupnya terasa lebih ringan. Anisa membawa warna baru dalam dunianya yang sebelumnya penuh dengan tuntutan.

Namun, cinta mereka tidak selalu berjalan mulus. Ketika Bagas memperkenalkan Anisa ke keluarganya, masalah mulai muncul. Ibunya, yang memiliki standar tinggi untuk menantu, tidak begitu menyukai Anisa. Baginya, Anisa hanyalah seorang gadis biasa yang tidak memiliki latar belakang yang cukup untuk mendampingi Bagas. Ditambah lagi, keluarga Bagas berharap ia menikah dengan seseorang yang bisa membawa keuntungan bagi mereka, bukan sekadar perempuan dengan usaha kecil.

"Bagas, kamu bisa dapat yang lebih baik," kata ibunya suatu malam ketika mereka sedang makan malam keluarga. "Lihat Rina, dia punya karier yang jelas, keluarganya baik-baik, kenapa kamu tidak mempertimbangkannya?"

Bagas hanya menghela napas. "Bu, aku mencintai Anisa. Aku nggak butuh orang lain."

Ibunya mendengus, tetapi tidak membalas. Bagi ibunya, keputusan Bagas hanyalah emosi sesaat, dan ia yakin bahwa Bagas akan berubah pikiran seiring waktu.

Di sisi lain, Anisa menyadari adanya ketidaksetujuan dari keluarga Bagas, tetapi ia mencoba mengabaikannya. Ia yakin bahwa cinta mereka lebih kuat dari apa pun. Meski begitu, ia tidak bisa memungkiri bahwa terkadang kata-kata dan perlakuan ibu mertua dan ipar-iparnya menyakitinya. Ia sering dibanding-bandingkan dengan Rina yang dianggap lebih layak.

Namun, cinta Bagas dan Anisa begitu kuat. Mereka memutuskan untuk menikah meskipun banyak penolakan. Hari pernikahan mereka penuh kebahagiaan, meskipun di sudut ruangan, ibunya Bagas terlihat tidak begitu bahagia. Anisa memilih untuk tidak memperdulikan hal itu. Ia hanya ingin fokus pada kebahagiaan bersama Bagas.

Tahun-tahun pertama pernikahan mereka berjalan dengan penuh cinta. Bagas mendukung usaha Anisa, sering membantu promosi, dan bahkan mulai mempertimbangkan untuk berhenti dari pekerjaannya agar bisa membangun usaha bersama. Namun, tekanan dari keluarga Bagas mulai menghantam hubungan mereka.

Setiap kali pulang ke rumah keluarga Bagas, Anisa harus mendengar komentar-komentar pedas dari ibu mertuanya. "Kalau saja kamu kerja di perusahaan besar, mungkin Bagas nggak harus repot begini. Kamu tahu, kan, dia satu-satunya anak laki-laki, harus banyak membantu keluarga ini."

Bagas berusaha membela Anisa, tetapi semakin sering ia membela, semakin ibunya merasa bahwa Anisa telah 'mengambil' Bagas darinya. Bagas mulai merasa terjepit di antara istri dan keluarganya. Ia mencintai Anisa, tetapi ia juga tidak bisa mengabaikan keluarganya.

Saat itulah Rina kembali hadir dalam kehidupan mereka. Awalnya hanya sebagai teman lama yang sekadar menghubungi Bagas untuk reuni kecil-kecilan. Namun, kehadiran Rina menjadi bumbu baru dalam rumah tangga Bagas dan Anisa. Tidak seperti Anisa, Rina langsung diterima oleh keluarga Bagas. Ibunya merasa bahwa inilah perempuan yang seharusnya mendampingi Bagas.

Anisa mulai merasakan perubahan dalam hubungan mereka. Bagas mulai sering terlihat sibuk, lebih banyak diam, dan lebih sering keluar tanpa menjelaskan ke mana. Awalnya, Anisa mencoba berpikir positif, tetapi ketika ia mulai melihat bagaimana Rina semakin sering muncul dalam kehidupan suaminya, ia mulai merasa ada yang tidak beres.

"Kamu masih sering komunikasi sama Rina?" tanya Anisa suatu malam.

Bagas mengangguk. "Iya, tapi cuma teman biasa, Nis. Kita cuma ngobrol soal kerjaan dan masa lalu."

Anisa mengangguk, tetapi hatinya tidak bisa tenang. Terlebih ketika ia melihat Bagas memberikan tanda suka di unggahan Rina. Hal kecil, tetapi cukup untuk membuat hatinya tersayat.

Saat itulah badai mulai datang dalam rumah tangga mereka. Anisa merasa Bagas mulai berubah, sementara Bagas merasa bahwa Anisa terlalu curiga. Kesalahpahaman mulai muncul, dan pertengkaran kecil yang awalnya jarang terjadi, kini menjadi sering.

Cinta yang dulu mereka perjuangkan kini diuji oleh berbagai hal—tekanan dari keluarga, kehadiran orang ketiga, dan komunikasi yang mulai renggang.

Apakah mereka bisa melewati badai ini? Ataukah cinta mereka yang dulu begitu kuat akan hancur oleh keadaan?


Anisa mulai merasa bahwa ia harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi. Sementara itu, Rina semakin berani mendekati Bagas. Apakah Bagas akan menyadari bahwa ia sedang berada di persimpangan yang berbahaya? Konflik semakin memanas di episode berikutnya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 30 - Bidak Terakhir Sang Pengintai

    Pagi itu, matahari bahkan belum naik sempurna ketika suara bel pintu apartemen mengagetkan Annisa dari keheningan paginya. Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan si kembar, ia membuka pintu. Dan di baliknya, berdiri sosok yang membuat dadanya berdegup.Bagas.Wajahnya kusut, matanya sembab oleh kurang tidur, namun tetap terlihat lega melihat Annisa berdiri di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Bagas langsung menarik Annisa ke dalam pelukan hangat. Erat. Seolah menyalurkan semua rasa bersalah, rindu, dan harap dalam satu dekap panjang yang nyaris membuat Annisa menangis."Maaf... maaf aku nggak kabarin semalam," bisik Bagas di pundaknya. "Aku panik. Aku takut kamu marah kalau aku ngajak kamu ikut, takut kita malah ribut lagi..."Annisa terdiam. Rasa kecewa yang sempat menyumbat dadanya perlahan mencair. Pelukan itu terlalu tulus untuk ditolak. Ia menghela napas panjang dan membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam dekapan Bagas.Bagas lalu menatap wajah Annisa, tangannya

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 29 – Luka yang Kembali Terbuka

    Bagas membuka pintu rumahnya dengan napas terengah. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk tentang kondisi ibunya. Namun, sesampainya di ruang tamu, pemandangan di depannya membuatnya membeku.Bu Rina duduk di sofa, kaki kirinya diperban dan ditopang bantal. Di sampingnya, sebuah tongkat kecil bersandar di sisi meja. Raut wajahnya tampak pucat, tapi bukan karena sakit—melainkan karena akting yang sempurna.“Ibu…” Bagas mendekat, langsung berlutut dan memeluk ibunya erat. “Maafin Bagas, Bu… Bagas nggak bisa jagain Ibu. Bagas takut banget kehilangan Ibu…”Bu Rina menepuk punggung Bagas perlahan, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma kaget aja tadi. Kamar mandinya licin. Tapi kamu datang, Ibu senang sekali…” ucapnya lembut, tapi dalam hatinya: Akhirnya… anak ini kembali ke pangkuanku.Baru saja Bagas hendak membantu ibunya duduk lebih nyaman, suara langkah dari arah dapur membuatnya menoleh refleks.Seorang wanita

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 28 - Kembali Tapi Tak Sepenuhnya

    Matahari baru saja naik ketika mobil hitam berhenti di pelataran apartemen yang menghadap ke kota. Dari dalamnya, Annisa turun dengan kedua anak kembarnya yang tertidur lelap di gendongan. Bagas, yang menyetir sejak dini hari dari Yogyakarta ke Jakarta, langsung sigap membawakan koper dan perlengkapan anak-anak."Kita istirahat di sini dulu, ya," ucap Bagas lembut sambil membukakan pintu apartemen.Apartemen itu bersih dan tenang. Sudah lama tak ditempati, namun Bagas sempat memintakan bantuan ART freelance untuk membersihkannya sebelum keberangkatan ke Jogja kemarin. Kini tempat ini menjadi hunian sementara Annisa dan anak-anak.Annisa menatap sekeliling, hatinya campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa aman berada kembali di sisi Bagas. Namun, ia juga sadar, ini belum saatnya kembali penuh."Makasih ya, Gas," katanya pelan. "Tapi aku cuma sementara di sini. Aku belum siap tinggal serumah sama... ibumu."Bagas mengangguk. "Aku ngerti. Aku juga nggak maksa. Aku bakal bolak-bal

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 27 : Jejak yang Tertinggal di Jogja

    Siang itu, di tengah kesibukannya di kantor, Bagas menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Hanya ada satu kalimat pendek dan satu tautan lokasi:"Kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya, datanglah ke sini."Disusul share-location dengan pin bertanda: Yogyakarta – Perumahan Taman Seturan. Bagas sontak tercekat. Tangannya refleks mengetik balasan,"Siapa kamu? Ini bener lokasi Annisa?"Namun centang di pesan hanya satu. Nomor itu tak bisa dihubungi, dan semua balasannya tak kunjung dibaca. Seolah orang itu hanya muncul sebentar lalu menghilang seperti bayangan.Tanpa pikir panjang, Bagas bangkit dari kursi. Ia tak peduli lagi dengan laporan setumpuk atau email yang belum terbalas. Ia hanya sempat menatap singkat rekan kerjanya, Fajar, yang langsung membaca kegugupan itu dari raut wajahnya."Gas, lu cari dia ya?"Bagas mengangguk."Udah, pergi aja. Kerjaan lu gue yang handle. Gue yang jelasin ke bos.""Thanks, Jar… Gue utang budi."Perjalanan Jakarta – Jogja ia tempuh dalam de

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 26 : Ketukan yang Menguak Luka

    Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 25 :Jeda untuk Hati yang Luka

    Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status