Bagas duduk termenung di ruang tamu rumah mereka yang kini terasa kosong. Anisa sudah pergi, membawa serta seluruh harapan yang pernah mereka bangun bersama. Perasaan bersalah menyesakkan dadanya, membuatnya sadar bahwa selama ini, ia telah lalai sebagai suami. Anisa telah memperingatkannya berkali-kali, tetapi ia tidak pernah benar-benar mendengarkan.
Setelah beberapa saat dalam kebingungan, Bagas bergegas keluar rumah. Ia harus menemukan Anisa, harus bicara dengannya. Namun, setelah menanyakan ke beberapa teman dekat dan bahkan keluarganya sendiri, tak ada yang tahu ke mana Anisa pergi. Bagas mencoba menghubungi ponselnya berkali-kali, tetapi selalu masuk ke kotak suara.
Akhirnya, Bagas memutuskan untuk mendatangi rumah keluarga Anisa. Begitu sampai, ia disambut oleh Ardan, kakak Anisa, dengan tatapan dingin dan penuh kebencian.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Bagas?" suara Ardan terdengar tajam.
"Aku ingin bertemu Anisa. Aku ingin bicara dengannya," jawab Bagas lirih.
Ardan tertawa sinis. "Kamu pikir setelah semua yang kamu lakukan, dia masih mau bertemu denganmu? Dia sudah cukup menderita karena kamu. Pergilah!"
Bagas menggeleng. "Aku tahu aku salah, Dan. Aku sadar aku sudah menyakiti Anisa, tapi aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya. Kumohon, biarkan aku bicara dengannya."
Dari dalam rumah, ayah Anisa keluar dan berdiri di samping Ardan. Wajahnya tegas dan penuh kewibawaan, tetapi ada kemarahan yang jelas terpancar di matanya.
"Bagas, Anisa sudah cukup terluka. Dia butuh waktu untuk menenangkan diri. Kalau kamu benar-benar mencintainya, beri dia ruang. Jangan datang ke sini lagi sampai dia sendiri yang memutuskan untuk menemui kamu," ujar ayah Anisa dengan nada datar, tapi penuh ketegasan.
Bagas ingin membantah, ingin memohon agar diizinkan bertemu dengan istrinya, tetapi ia tahu bahwa melawan hanya akan memperburuk keadaan. Dengan berat hati, ia pergi meninggalkan rumah itu dengan perasaan hampa.
Beberapa hari berlalu, tetapi Anisa masih belum kembali. Bagas mencoba mencari cara untuk membuktikan bahwa ia serius ingin berubah. Ia mulai menjauhi Rina sepenuhnya. Pesan-pesan Rina tidak lagi ia balas, panggilannya tidak ia jawab. Ketika Rina datang ke kantornya untuk bertemu, Bagas dengan tegas mengatakan, "Rina, aku tidak bisa lagi berteman denganmu. Aku tidak bisa membiarkan kamu menghancurkan pernikahanku."
Rina terkejut mendengar ketegasan yang belum pernah ia lihat sebelumnya. "Bagas, aku hanya ingin—"
"Tidak, Rina. Aku sudah terlalu lama membiarkanmu masuk ke dalam hidupku dan mempengaruhi keputusanku. Itu salahku. Sekarang, aku harus berjuang untuk mendapatkan kembali Anisa. Aku mohon, jangan ganggu aku lagi."
Wajah Rina memucat. Ia tidak menyangka bahwa Bagas akan memilih Anisa sepenuhnya. Namun, ia tahu bahwa ia tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Setelah menyingkirkan Rina dari hidupnya, Bagas mulai mencari cara untuk mendekati Anisa lagi. Ia mengirimkan bunga ke rumah keluarganya setiap hari dengan catatan kecil yang berisi permintaan maaf. Namun, Anisa tidak pernah membalasnya.
Sampai suatu hari, ia mendapat kabar dari sahabat Anisa bahwa istrinya sering datang ke sebuah taman di dekat rumah keluarganya. Bagas pun memberanikan diri untuk pergi ke sana.
Saat ia sampai di taman itu, ia melihat Anisa duduk sendirian di bangku, menatap kosong ke depan. Hatinya terasa nyeri melihat wanita yang dicintainya tampak begitu rapuh.
"Anisa..." panggil Bagas lirih.
Anisa menoleh, matanya membulat melihat kehadiran Bagas. Ia segera berdiri, bersiap untuk pergi, tetapi Bagas buru-buru berkata, "Tolong, jangan pergi. Aku hanya ingin bicara sebentar."
Anisa menatapnya dengan mata yang penuh luka. "Apa lagi yang mau kamu katakan, Bagas? Semua sudah terlambat. Aku sudah lelah."
Bagas menelan ludah, mencoba menahan emosinya. "Aku tahu aku salah. Aku tahu aku terlalu bodoh untuk menyadari ini semua lebih awal. Tapi aku mencintaimu, Nis. Aku tidak ingin kehilangan kamu."
Anisa menghela napas panjang. "Cinta saja tidak cukup, Bagas. Kamu membiarkan keluargamu memperlakukan aku dengan buruk. Kamu membiarkan Rina masuk di antara kita. Kamu tidak pernah benar-benar membelaku. Aku tidak bisa terus hidup dalam hubungan yang membuatku merasa sendirian."
"Aku sudah berubah, Nis," kata Bagas penuh harap. "Aku sudah memutuskan semua hubungan dengan Rina. Aku berjanji akan lebih tegas dalam menghadapi keluargaku. Aku hanya butuh satu kesempatan lagi untuk membuktikan semuanya."
Anisa terdiam, menatap Bagas dengan ragu. Bagian dari hatinya masih mencintai pria itu, tetapi luka yang ia rasakan terlalu dalam. "Aku butuh waktu, Bagas. Aku belum siap."
Bagas mengangguk pelan. "Aku akan menunggu, berapa lama pun itu. Asal kamu tahu, aku tidak akan menyerah untuk kita."
Anisa menatapnya lama, lalu akhirnya mengangguk kecil sebelum berjalan pergi meninggalkan taman.
Bagas menghela napas lega. Setidaknya, ini bukanlah akhir. Masih ada harapan untuk mereka berdua.
Bagas terus berusaha membuktikan cintanya pada Anisa. Namun, keluarga Anisa tetap menjadi penghalang utama dalam perjuangannya. Sementara itu, Rina belum benar-benar menyerah. Ia memiliki rencana terakhir yang bisa membuat Anisa benar-benar pergi dari kehidupan Bagas selamanya. Akankah Bagas mampu menghadapi ujian terakhir ini?
Pagi itu, matahari bahkan belum naik sempurna ketika suara bel pintu apartemen mengagetkan Annisa dari keheningan paginya. Dengan langkah hati-hati agar tidak membangunkan si kembar, ia membuka pintu. Dan di baliknya, berdiri sosok yang membuat dadanya berdegup.Bagas.Wajahnya kusut, matanya sembab oleh kurang tidur, namun tetap terlihat lega melihat Annisa berdiri di hadapannya.Tanpa sepatah kata pun, Bagas langsung menarik Annisa ke dalam pelukan hangat. Erat. Seolah menyalurkan semua rasa bersalah, rindu, dan harap dalam satu dekap panjang yang nyaris membuat Annisa menangis."Maaf... maaf aku nggak kabarin semalam," bisik Bagas di pundaknya. "Aku panik. Aku takut kamu marah kalau aku ngajak kamu ikut, takut kita malah ribut lagi..."Annisa terdiam. Rasa kecewa yang sempat menyumbat dadanya perlahan mencair. Pelukan itu terlalu tulus untuk ditolak. Ia menghela napas panjang dan membiarkan tubuhnya tenggelam sebentar dalam dekapan Bagas.Bagas lalu menatap wajah Annisa, tangannya
Bagas membuka pintu rumahnya dengan napas terengah. Jantungnya berdegup kencang, membayangkan kemungkinan terburuk tentang kondisi ibunya. Namun, sesampainya di ruang tamu, pemandangan di depannya membuatnya membeku.Bu Rina duduk di sofa, kaki kirinya diperban dan ditopang bantal. Di sampingnya, sebuah tongkat kecil bersandar di sisi meja. Raut wajahnya tampak pucat, tapi bukan karena sakit—melainkan karena akting yang sempurna.“Ibu…” Bagas mendekat, langsung berlutut dan memeluk ibunya erat. “Maafin Bagas, Bu… Bagas nggak bisa jagain Ibu. Bagas takut banget kehilangan Ibu…”Bu Rina menepuk punggung Bagas perlahan, menyembunyikan senyum tipis yang muncul di sudut bibirnya.“Nggak apa-apa, Nak… Ibu cuma kaget aja tadi. Kamar mandinya licin. Tapi kamu datang, Ibu senang sekali…” ucapnya lembut, tapi dalam hatinya: Akhirnya… anak ini kembali ke pangkuanku.Baru saja Bagas hendak membantu ibunya duduk lebih nyaman, suara langkah dari arah dapur membuatnya menoleh refleks.Seorang wanita
Matahari baru saja naik ketika mobil hitam berhenti di pelataran apartemen yang menghadap ke kota. Dari dalamnya, Annisa turun dengan kedua anak kembarnya yang tertidur lelap di gendongan. Bagas, yang menyetir sejak dini hari dari Yogyakarta ke Jakarta, langsung sigap membawakan koper dan perlengkapan anak-anak."Kita istirahat di sini dulu, ya," ucap Bagas lembut sambil membukakan pintu apartemen.Apartemen itu bersih dan tenang. Sudah lama tak ditempati, namun Bagas sempat memintakan bantuan ART freelance untuk membersihkannya sebelum keberangkatan ke Jogja kemarin. Kini tempat ini menjadi hunian sementara Annisa dan anak-anak.Annisa menatap sekeliling, hatinya campur aduk. Ada bagian dari dirinya yang merasa aman berada kembali di sisi Bagas. Namun, ia juga sadar, ini belum saatnya kembali penuh."Makasih ya, Gas," katanya pelan. "Tapi aku cuma sementara di sini. Aku belum siap tinggal serumah sama... ibumu."Bagas mengangguk. "Aku ngerti. Aku juga nggak maksa. Aku bakal bolak-bal
Siang itu, di tengah kesibukannya di kantor, Bagas menerima pesan WhatsApp dari nomor tak dikenal. Hanya ada satu kalimat pendek dan satu tautan lokasi:"Kalau kau masih ingin memperbaiki semuanya, datanglah ke sini."Disusul share-location dengan pin bertanda: Yogyakarta – Perumahan Taman Seturan. Bagas sontak tercekat. Tangannya refleks mengetik balasan,"Siapa kamu? Ini bener lokasi Annisa?"Namun centang di pesan hanya satu. Nomor itu tak bisa dihubungi, dan semua balasannya tak kunjung dibaca. Seolah orang itu hanya muncul sebentar lalu menghilang seperti bayangan.Tanpa pikir panjang, Bagas bangkit dari kursi. Ia tak peduli lagi dengan laporan setumpuk atau email yang belum terbalas. Ia hanya sempat menatap singkat rekan kerjanya, Fajar, yang langsung membaca kegugupan itu dari raut wajahnya."Gas, lu cari dia ya?"Bagas mengangguk."Udah, pergi aja. Kerjaan lu gue yang handle. Gue yang jelasin ke bos.""Thanks, Jar… Gue utang budi."Perjalanan Jakarta – Jogja ia tempuh dalam de
Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan
Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a