Home / Romansa / Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam / Episode 7: Di Persimpangan Jalan

Share

Episode 7: Di Persimpangan Jalan

Author: Gitgut
last update Last Updated: 2025-02-10 17:37:53

Konflik dalam rumah tangga Bagas dan Anisa semakin memanas. Kesalahpahaman yang sebelumnya hanya berupa kecurigaan kini berkembang menjadi api yang membakar kepercayaan di antara mereka. Rina, yang semakin berani menunjukkan perasaannya, menjadi duri dalam daging yang memisahkan mereka perlahan-lahan.

Suatu malam, saat Anisa sedang membereskan dapur setelah makan malam yang penuh kecanggungan, ponsel Bagas bergetar di meja makan. Sebuah pesan dari Rina muncul di layar: “Bagas, aku butuh bicara. Aku nggak bisa lagi memendam perasaan ini sendirian.” Anisa yang melihatnya hanya bisa terdiam. Tangannya mengepal, hatinya terasa semakin remuk. Ia tahu, ada sesuatu yang tidak beres.

Bagas yang baru keluar dari kamar mandi melihat Anisa menatap layar ponselnya. "Kamu baca chat aku?" tanyanya dengan nada kaget.

Anisa mengangkat kepala, matanya penuh kemarahan yang selama ini ia pendam. "Aku harus baca, Bagas? Apa lagi yang harus aku tunggu?"

Bagas menghela napas, mengambil ponselnya, dan membaca pesan itu. Ia langsung mengetik balasan: “Rina, jangan lakukan ini. Kita hanya sahabat.” Namun, bagi Anisa, itu tidak cukup. Ia ingin Bagas bersikap tegas, bukan hanya menghindar dengan kata-kata kosong.

"Kamu harus tegas sama dia, Gas! Aku bukan perempuan bodoh yang nggak bisa melihat ini semua!" suara Anisa mulai meninggi.

"Aku udah bilang berkali-kali kalau aku nggak ada perasaan apa-apa ke Rina!" Bagas membela diri.

"Tapi kamu nggak pernah mengusirnya dari hidup kita! Kamu tetap biarkan dia masuk dan mempengaruhi pernikahan kita!" Anisa berteriak marah. Air mata yang selama ini ia tahan akhirnya mengalir.

Bagas terdiam. Ia tahu Anisa benar. Ia terlalu lunak terhadap Rina. Tidak ingin menyakiti perasaan sahabatnya, ia malah membiarkan semua ini berlarut-larut.

Namun, pertengkaran mereka tidak berhenti sampai di situ. Masalah yang lebih besar muncul ketika Ardan, adik Anisa, mengetahui tentang ketegangan dalam rumah tangga mereka. Sebagai seorang kakak yang sangat melindungi adiknya, Ardan tak tinggal diam.

"Bagas, aku sudah lama diam. Tapi kalau kamu terus-terusan begini, aku nggak akan tinggal diam," ucap Ardan dengan nada dingin saat menemui Bagas di kantornya.

Bagas menghela napas. "Aku nggak punya hubungan apa-apa sama Rina, Dan. Aku cuma bingung harus bersikap gimana."

"Bingung?" Ardan tertawa sinis. "Kamu sadar nggak, sikapmu ini menyakiti Anisa? Kamu tahu berapa lama dia menangis setiap malam karena sikapmu?" Nada Ardan semakin keras.

Bagas terdiam. Ia tahu, ia salah. Tapi semua sudah terlalu rumit.

Di sisi lain, Rina semakin berani menunjukkan pengaruhnya. Ia tidak hanya mendekati Bagas, tetapi juga mulai menanamkan racun dalam pikirannya.

"Gas, kamu sadar nggak, selama dua tahun ini Anisa belum juga hamil? Apa dia memang benar-benar ingin punya anak? Atau sebenarnya dia hanya ingin tetap bebas?" kata Rina dengan suara lembut namun menusuk.

Bagas menatap Rina tajam. "Anisa nggak seperti itu, Rina. Jangan bicara sembarangan."

"Aku cuma bilang, kamu harus mulai berpikir. Apa dia benar-benar ingin membangun keluarga sama kamu? Atau dia hanya menjalani ini karena gengsi?" Rina tersenyum kecil, membuat Bagas semakin bimbang.

Ucapan Rina terus terngiang di kepala Bagas. Ia tahu Anisa menginginkan anak, mereka sudah mencoba, tetapi memang belum diberikan keturunan. Namun, benarkah Anisa benar-benar ingin menjadi ibu? Atau dia hanya sibuk dengan usahanya dan kehidupan pribadinya?

Saat pulang ke rumah malam itu, Anisa sudah menunggunya di ruang tamu. Wajahnya terlihat tegas, tetapi matanya penuh dengan kesedihan.

"Bagas, aku nggak bisa terus begini," ucapnya lirih.

Bagas duduk di hadapannya, mencoba menggenggam tangan Anisa, tetapi Anisa menariknya.

"Aku udah terlalu lelah, terlalu sakit. Aku nggak bisa lagi terus bertahan kalau kamu nggak bisa memilih, kalau kamu nggak bisa membela aku di depan keluargamu, di depan dia." Suara Anisa bergetar.

Bagas menggeleng, matanya memohon. "Anisa, jangan bilang kamu mau—"

"Cerai, Bagas." Air mata mengalir di pipi Anisa. "Aku ingin kita berpisah."

Bagas terdiam. Dunia seakan runtuh di hadapannya. Ia tidak pernah menyangka bahwa Anisa akan benar-benar mengatakannya.

"Aku mencintaimu, Nis..." suara Bagas nyaris tak terdengar.

Anisa menutup matanya, menghela napas panjang. "Aku juga mencintaimu, Gas. Tapi cinta saja tidak cukup kalau kita terus saling menyakiti."

Bagas merasa jantungnya mencelos. Apakah ini akhir dari pernikahan mereka?

Sementara itu, di sudut lain kota, Rina tersenyum puas. Ia tahu, rencananya perlahan berhasil. Bagas kini mulai berada di persimpangan jalan. Dan ia siap untuk memastikan bahwa Bagas benar-benar meninggalkan Anisa.


Bagas mulai menyadari bahwa ia telah membuat kesalahan besar. Namun, apakah semuanya sudah terlambat? Rina semakin berusaha memisahkan mereka, dan Anisa mulai meragukan apakah cinta mereka masih bisa diselamatkan. Apakah ini benar-benar akhir dari kisah mereka? Ataukah masih ada harapan? Semua akan terungkap di episode berikutnya!

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 26 : Ketukan yang Menguak Luka

    Sudah satu bulan sejak kepergian Annisa ke Jogja. Rumah yang biasanya riuh dengan suara tangis Rafka dan celoteh Rayyan kini sunyi. Hanya suara detik jam yang terdengar, menggema dalam rumah besar itu.Bagas tetap di sana. Setia. Diam. Tapi tak lagi larut dalam hancurnya. Kini ia menjalani hari-hari seperti mesin: bangun, mandi, kerja, menatap ponsel, berharap nama "Annisa" muncul di layar. Tapi nihil. Satu bulan. Tak ada kabar, tak ada pesan, bahkan foto anak-anak pun tidak.Ia tahu Annisa butuh ruang. Ia sadar betapa selama ini istrinya banyak menelan luka yang tak pernah ia sembuhkan. Dan kini, Bagas mencoba belajar menunggu tanpa merusak.Tapi ibunya? Ia tak sabar. Tak bisa menerima Annisa yang ‘begitu saja’ pergi dari rumah dan membawa cucu-cucunya. Maka setiap minggu—nyaris setiap hari—ia membawa perempuan berbeda ke rumah. Semuanya diperkenalkan pada Bagas. Dari yang berkacamata tebal, sampai yang centilnya kebangetan.“Ayo, Gas… kenalan dulu. Ini Sinta, anaknya Bu Sri. Lulusan

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 25 :Jeda untuk Hati yang Luka

    Sarah menutup pintu dan langsung melepas jaket dokternya. Tubuhnya terasa lelah, tapi pikirannya masih tegang. Ia melihat Annisa yang duduk bersila di sofa, mengenakan kaos oblong dan celana training, rambut digelung seadanya, wajahnya terlihat sedikit lebih tenang dibanding hari-hari sebelumnya.“Kok lama banget, Sar?” tanya Annisa sambil melirik ke arah pintu, lalu berdiri dan menghampiri temannya. “Ada apa? Lu ketemu siapa tadi?”Sarah diam sejenak, menatap wajah sahabatnya itu dengan sorot berat. Ia tahu jawaban ini akan mengoyak kembali luka yang mulai mengering. Tapi tak bisa ia tutupi.“Bagas,” jawab Sarah pelan.Annisa sontak terdiam. Matanya melebar, dan tubuhnya sedikit mundur. “Bagas…? Di rumah sakit?”Sarah mengangguk. Ia melepas sepatunya lalu duduk di samping Annisa.“Dia nyariin lu. Dari pagi. Gua kira cuma bentar, tapi ternyata… dia nunggu sampe malem, Nis. Dari pagi, sampe gua selesai operasi tengah malam. Dia masih di sana.”Annisa hanya diam. Tangannya mengepal di a

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 24: Anatara Janji & Bukti

    Di tengah kesunyian kamar, Bagas memejamkan mata erat. Suara ibunya di luar seperti gema yang tak bisa ia padamkan, makin menambah beban yang sudah menyesakkan dada. Tapi suara lain mulai menyusup dalam pikirannya—suara Annisa saat berkata, "Beri aku waktu. Temui aku bukan dengan janji, tapi bukti."Ia membuka matanya. Pandangannya jatuh pada layar ponsel yang menyala dengan notifikasi panggilan tak dijawab dan pesan-pesan yang tak kunjung dibalas. Semua untuk satu nama: Annisa.Tiba-tiba, bel rumah berbunyi.Tok. Tok. Tok.Bagas berjalan pelan ke depan, membuka pintu. Wajah di baliknya membuatnya terperangah."Bang Rafi?" ucap Bagas kaget.Rafi, kakak laki-laki Annisa, berdiri di ambang pintu dengan senyum santai, membawa oleh-oleh di tangannya. “Eh, Gas. Gue kebetulan lagi dinas ke Jakarta, sekalian pengin mampir. Kangen sama Annisa. Dia ada?”Bagas menelan ludah. Ia berusaha tersenyum meski wajahnya tegang. “Oh... Annisa lagi... keluar. Sama Sarah.”“Oh, ya? Tapi HP-nya nggak aktif

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 23: Jeda yang Menyakitkan

    Pagi belum benar-benar terang ketika Annisa membuka pintu kamar dengan koper kecil di tangan kanan dan Rayan yang masih mengantuk digendong di lengan kirinya. Rafka berjalan pelan di sampingnya, menggenggam ujung baju sang ibu. Langkah-langkah kecil itu terasa berat, bukan karena beban fisik, tapi karena beratnya keputusan yang harus ia ambil pagi itu. Tanpa banyak suara, Annisa menuju pintu keluar. Bagas yang tertidur di sofa sempat terbangun, mengucek mata dan menyadari gerakan di depan pintu. "Nis... kamu mau ke mana?" suara Bagas serak, panik, langsung berdiri. Annisa menatapnya sebentar. "Aku butuh ruang, Gas. Untuk berpikir. Untuk menyembuhkan diriku sendiri." "Tapi... kenapa harus pergi? Kita bisa bicara lagi. Aku udah siap ngomong sama Ibu. Sumpah, aku nggak akan diam aja lagi," ucap Bagas, suaranya parau. Annisa menunduk, lalu menghela napas panjang. "Kamu selalu bilang akan berubah. Tapi kenyataannya, aku yang selalu harus bertahan. Aku lelah, Gas." Ibu mertua yang men

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 22 : Batas Kesabaran

    Pagi itu, suasana rumah masih terasa dingin meski matahari sudah tinggi. Bagas terbangun di kamarnya seorang diri. Ia menatap langit-langit, memikirkan ucapan Annisa semalam yang terus terngiang.Di dapur, ibu Bagas sudah lebih dulu duduk sambil menyeruput teh hangat. Saat melihat anaknya keluar kamar, ia tersenyum puas.“Bagas, kamu sadar kan sekarang? Si Annisa itu keras kepala. Udah bagus kamu dengerin Ibu dari dulu, jangan terlalu dimanja dia.”Bagas tidak menjawab. Pandangannya kosong. Di hatinya, ada pertarungan sengit antara nurani dan loyalitas.Sementara itu, di kamar anak-anak, Annisa duduk bersandar di dinding, memeluk Rafka dan Rayan yang masih tertidur. Matanya sembab. Malam tadi ia tidak menangis, tapi pagi ini... air mata itu jatuh juga. Bukan karena lemah, tapi karena kecewa.Ia masih tak menyangka bahwa semua ini terulang kembali. Ia benar-benar percaya bahwa Bagas telah berubah—itulah alasan ia menerima ajakan untuk rujuk. Namun kenyataannya, Bagas masih sama. Ia bel

  • Saat Aku Butuh Dibela, Suamiku Malah Diam   Episode 21 : Konflik Rumah Tangga

    Matahari baru saja naik ketika Anisa kembali mendapati dapur rumahnya sudah dipenuhi suara. Ibu mertua sudah lebih dulu sibuk di sana, membongkar isi lemari, memindahkan bumbu dapur ke tempat yang menurutnya "lebih rapi"."Nis, kamu ini naruh garam kok deket kompor sih, nanti bisa lembap, nggak bisa dipakai. Harusnya disimpan di atas, kayak di rumah Ibu," ucapnya sambil menggeleng.Anisa yang baru saja selesai memandikan Rafka dan Rayan, hanya bisa menarik napas dalam. Ini sudah hari ketujuh ibu mertuanya tinggal di rumah mereka dan setiap hari selalu ada saja yang dikomentari. Dari cara Anisa menyusun bumbu dapur, cara menyapu, bahkan sampai pola tidur anak-anak."Maaf ya, Bu. Nisa biasa naruhnya di situ biar gampang pas masak," jawab Anisa pelan."Ya kalau semua serba gampang, kapan majunya? Rumah tangga tuh harus disiplin. Liat tuh anak-anak belum bisa ngomong jelas, kamu kasih makannya apa sih?"Anisa menahan emosi. Ia tahu anak-anaknya berkembang sesuai usia, tapi komentar sepert

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status