Share

Bagian 4

Bagian 4

Setelah hari itu berlalu, Susan sering mengirimiku pesan di aplikasi hijau, entah hanya sekedar menanyakan kabarku atau bahkan menceritakan tentang hidupnya. Pada awalnya aku tak pernah membalas pesannya, hingga entah kenapa aku bisa terbawa perasaan. Bukan cinta, tapi rasa iba dan kasihan lah yang membawaku hingga sejauh ini.

Melalui pesan yang setiap hari ia kirimkan padaku aku akhirnya tahu bagaimana hidup yang ia lalui, akupun baru tahu kemana ia membawa uangku pergi saat itu.

Dalam pesannya ia ceritakan bahwa pada saat itu ayah dan ibunya ternyata memiliki hutang yang bunganya sudah sangat membengkak kepada rentenir di desanya, menurutnya orang tua Susan terpaksa meminjam uang kepada rentenir untuk biaya kuliah Susan di kota, awalnya kedua orang tua Susan masih mampu membayar hutang beserta bunganya dari hasil panen sawahnya yang cukup luas, hingga pada akhirnya ayahnya jatuh sakit dan membuat ia dan keluarganya kehilangan pemasukan, sedikit demi sedikit sawahnya di jual untuk memenuhi kebutuhan hidup dan juga biaya kuliah Susan hingga hutang orang tuanya kepada rentenir tidak terbayar dan menghasilkan bunga yang begitu mencekik.

Rasa kasian dan tak tega pada orang tua yang telah mengorbankan segalanya untuk dirinyalah yang membuat Susan nekad membawa uangku untuk dibayarkannya pada sang rentenir.

Malu yang mengungkung jiwa Susan membuatnya tak memiliki nyali untuk menceritakan segalanya padaku, padahal jika saja ia mau jujur tentang keadaanya maka ia tak perlu kabur. Aku akan dengan lapang dada menolongnya karena rasa cintaku begitu besar padanya saat itu.

Di lain waktu ia menceritakan tentang hidupnya saat memutuskan pergi dari desanya. Bermodalkan tekad kuat dan uang yang ia bawa kabur, Susan mengajak kedua orang tuanya pergi ke kota seberang. Dengan sisa kepercayaannya pada seorang teman yang ia kenal pada saat ia berkuliah ia mencoba peruntungan memulai bisnis kuliner dengan temannya tersebut namun kesialan yang ia dapat, temannya menipunya dan membawa pergi sisa uang yang ia miliki yang menjadi harapan terakgirnya akan menjadi sumber penghasilannya. Beruntung sebelumnya ia sempat membayar uang kontrakan rumahnya untuk 3 bulan kedepan. 

Setiap cerita yang Susan kirim lewat aplikasi hijau lambat laun membuatku benar-benar kasihan padanya. Belum lagi Susan mengaku bahwa kini statusnya adalah seorang janda yang di ceraikan suaminya karena ternyata suaminya telah memiliki istri sebelum Susan.

Berawal dari ungkapan agar ia tetap semangat menjalani hidupnya hingga berakhir pada saling menceritakan keseharian yang kita lalui. Hingga rasa nyaman itu mulai tumbuh lagi. Bahkan terkadang aku dan Susan selalu menyempatkan waktu utuk bertemu, sekedar untuk bercerita hal-hal ringan yang membuatku semakin candu menghabiskan waktu bersamanya.

Hingga suatu pagi saat Meylina sakit perut karena datang bulan, aku meninggalkan ponselku di kamar, saat itulah Susan terus menerus meneleponku, dan Meylina melihat nama Susan.

"Handphone kamu bunyi terus tuh dari tadi, kayaknya penting" Ucap Meylina sambil terus melihatku yang sibuk memasukkan map kedalam tas kerja.

"Oyah? Siapa pagi-pagi gini udah nelpon?" Tanyaku tetap sibuk memasukkan map ke dalam tas kerjanya.

"Susan"

Jujur aku sedikit kaget saat Meylina menyebutkan nama Susan. Karena aku sudah mewanti-wanti Susan agar tak menghubungiku saat aku berada di rumah, karena bagaimanapun juga aku tak mau menyakiti Meylina jika sampai dia tau bagaimana aku dan Susan saat ini.

Aku mencoba tetap tenang agar Meylina tak menaruh curiga padaku

"Susan ini..." Ucap Meylina lagi, seolah ragu dan ingin memastikan sesuatu.

"Susan ini pegawai baru di kantor mas sayang, gak usah mikir yang macem-macem deh". Aku langsung memotong ucapannya dengan berbohong dan mengatakan bahwa Susan itu adalah pegawai baru di kantorku.

"Siapa yang mikir macem-macem" Elak Meylina sambil memonyongkan bibir yang membuatnya tampak menggemaskan, aku langsung merengkuh tubuhnya, seolah ingin meyakinkan bahwa segala fikirannya tantang Susan yang baru saja menelpon itu tidaklah benar.

"Saat ini dan seterusnya hanya akan ada kamu di hati aku, tak perlu mengingat apalagi terganggu dengan masa lalu, aku aja udah move on masa kamu ngga sih" Ucapku sambil mencubit gemas hidung bangir Meylina.

Ada rasa perih jauh dalam hatiku saat mengatakan kebohongan kecil pada wanita yang selama ini menamani hidupku, namun bukankah akan lebih menyakitkan jika aku jujur padanya tentang Susan saat ini? toh sejauh ini aku dan Susan tak menjalin hubungan apapun, jika hanya sebatas berbalas pesan kemudian bertemu untuk bertukar cerita, bukankah itu hal yang wajar dilakukan dengan teman.

"Iya, iya, ya udah sana berangkat ntar telat loh" 

"Okey, kamu baik-baik yah di rumah, kalau ada apa-apa langsung telepon aku" Ucap Agung sambil berlalu meninggalkan Meylina.

Saat sampai di kantor aku menelepon ibuku dan memintanya untuk menemani Meylina, karena jujur aku selalu merasa sangat khawatir saat dia sakit perut di kala datang bulan, karena dulu saat awal-awal pernikahan Meylina sampai jatuh pingsan karena sakitnya, dan itu membuatku trauma.

Sore harinya aku kembali bertemu dengan Susan untuk membicarakan kepindahannya ke rumah di ujung komplek perumahan tempatku tinggal. Aku lah yang merekomendasikan rumah tersebut karena ternyata lokasi pembangun restoran baru miliknya tak jauh dari komplek perumahan kami, selain itu ia pun merasa tak nyaman tinggal di apartemen karena menurutnya mantan suami beserta istri tuanya akan selalu mengganggu hidupnya. Lagi-lagi dengan alasa kasian lah aku memberinya rekomendasi untuk tinggal di rumah tersebut.

Kemarin pagi aku sempat mengantarnya untuk melihat-lihat rumah tersebut, dan pada sore harinya akupun menemaninya untuk memantau orang-orang yang memindahkan barang-barangnya ke rumah tersebut. Sebenarnya aku sedikit kahwatir jika saja ada orang yang mengenalku melihatku dengan Susan di rumah ini dan mengadukannya pada Meylina. Aku khawatir Meylina akan salah faham.

Sebenarnya aku tak bermaksud menyembunyikan semuanya dari Meylina, hanya saja aku belum menemukan waktu yang tepat untuk bercerita padanya. Lagi dan lagi aku hanya berfikir bahwa semua yang aku jalani adalah hal normal, bertemu, bercerita dan membantu sesama teman adalah hal lumrah yang di lakukan setiap orang. Begitupun yang aku lakukan terhadap Susan.

Malam hari saat aku pulang aku mendapati Meylina telah tertidur, aku bergagas untuk membersihkan diri dan beeniat langsung beristirahat. Namun selesai aku mandi dan baru saja akan memjamkan mata ponselku berdering, dan ternyata Susan meneleponku. Gegas aku keluar kamar untuk mengangkat teleponnya.

Susan kembali menangis, mengadukan apa yang terjadi padanya, bahwa sepulang ia bertemu denganku tadi istri tua mantan suaminya tiba-tiba datang meminta kembali surat-surat kepemilikan apartemen dan kendaraan miliknya.

Aku mencoba menenangkannya, namun ia masih tetap terisak hingga tiba-tiba saja pintu kamar terbuka dan Meylina keluar dengan tatapan penuh tanya. Aku langsung menoleh ke arahnya, aku yakin Meylina menangkap rasa terkejutku saat melihatnya, segera kumasukkan handphone ke dalam saku piyama dan mencoba tersenyum untuk menutupi rasa gugupku.

"Mas lagi telepon siapa? kok tadi aku denger kaya orang nangis?" tanya Meylina penasaran.

"Ngga sayang, ini tadi ibu telepon" Aku sedikit tergagap menjawab pertanyaan Meylina.

"Ibu? Ibu kenapa? apa mungkin ibu sakit?" Tanyanya kembali membuatku benar-benar bingung harus menjawab apa.

"Ngga sayang gak apa-apa, ibu cuma nanyain keadaan kamu aja, ibu khawatir takut sakit perut kamu belum mendingan". Kembali aku berbohong pada wanitaku. 

"Udah malem sayang, ayo cepet tidur" Ajakku pada Meylina yang ternyata masih terduduk di samping tempat tidur.

"Tapi mas, tumben ibu telepon jam segini, ibu kan biasanya jam 9 udah tidur" Tanya Meylina yang sangat penasaran, aku yakin Meylina sedikit curiga, karena aku dan Meylina sangat tahu bahwa ibu amat sangat jarang tidur di atas jam 9 malam.

"Mungkin karena ibu khawatir banget sama menantu kesayangannya yang lagi sakit" Ucapku lagi sambil mendekat dan memluk Meylina dari belakang. "Udah yuk tidur, mas capek banget nih".

Meylina menurut, dan langsung membaringkin tubuhnya membelakangiku.

Keesokan paginya kudapati Meylina sudah sibuk di dapur dengan Bik Minah menyiapkan sarapan, sebenarnya aku khawatir padanya, namun Meylina meyakinkanku bahwa keadaannnya sudah jauh lebih baik.

Saat sarapan ia mengatakan bahwa pagi ini ia akan berangkat ke butik karena ada banyak barang baru yang akan datang, mau tak mau aku mengizinkannya untuk berangkat.

Namun saat di kantor pada jam setengah 11 siang aku mendapat telepon dari Rika asisten Meylina di butik bahwa Meylina pingsan dan di bawa ke rumah sakit terdekat. Tanpa berfikir lagi aku langsung menuju rumah sakit tersebut. fikiranku kacau, rasa khawatir menguasaiku.

Lebih dari setengah jam aku mengendarai mobilku, setelah memarkirkan mobil aku langsung bergegas menuju UGD, dari jauh aku melihat Meylina telah sadar dan terbaring lemas, aku langsung menghambur kearahnya dan memeluknya.

Aku benar-benar takut dan kahwatir sesuatu yang buruk terjadi padanya, hingga tak memperhatikan sekeliling hingga tiba-tiba Meylina mengenalkanku pada wanita yang ternyata sedari tadi berdiri di samping ranjang tempat Meylina berbaring.

"Oh iya mas ini mbak Santi yang tadi bawa aku kesini" Meylina mengenalkan.

Aku menoleh ke arah wanita tersebut, aku kaget bukan main mendapati Susan berada di situ.

"Kamu..." Ucapku reflek, namun tak kulanjutkan ucapanku.

"Saya Santi" Ucap Susan sambil mengulurkan tangan untuk memperkenalkan diri padaku. Namanya Susanti, sepertinya Susan sengaja memperkenalkan dirinya pada Meylina dengan nama Santi, karena belakangan aku cerita pada Susan bahwa Meylina tak pernah tau bagaimana rupa dirinya, karena setelah Susan pergi aku sama sekali tak menyimpan fotonya. Aku hanya menoleh sekilas dan mengalihkan pandanganku pada Meylina.

"Kenapa mas?" Tanya Meylina yang mungkin saja menangkap gelagat tak wajar dariku.

"Nggak apa-apa sayang, mas cuma khawatir sama kamu". Aku mencoba mengalihkan perhatian Meylina dengan terus mengajaknya berbicara. 

Sedangkan Susan hanya memperhatikan kami sambil tersenyum.

"Maaf mas, mbak, kalau begitu saya pamit yah". ucap Santi sambil berlalu tanpa menunggu Meylina ataupun aku mengucapkan apapun.

Susan berlalu begitu saja, kemudian Lala datang menyerahkan resep obat yang harus kutebus untuk Meylina, akupun langsung beranjak keluar.

"Jadi dia istri kamu mas?" Ucap Susan yang tiba-tiba muncul di balik pintu UGD seolah ia menungguku. Kemudian aku menariknya sedikit menjauh.

"Kenapa kamu bisa disini bersama istriku?" Tanyaku sedikit kesal.

"Dunia memang sempit yah mas, setelah tiba-tiba saja takdir membuatku bertemu kembali denganmu, kini akupun di pertemukan dengan istrimu." Ucap Susan lembut dengan senyum manisnya.

"Ingat Susan pertemuan kita tak berarti apapun bagiku, kini aku hanya menganggapmu teman, tidak lebih" Tegasku.

"Hanya teman? Lalu perhatianmu selama ini padakupun tak berarti apa-apa?" Tanya Susan dengan mata yang mulai mengembun. Sejujurnya aku tak tega mengatakan ini pada Susan, namun akupun juga merasa terlalu jauh melangkah, aku takut semuanya akan membuat Meylina tersakiti.

"Setelah kerja sama kita berakhir maka semuanya pun akan berakhir. Aku tak akan pernah menemuimu lagi. Hiduplah bahagia dengan jalanmu sendiri". Aku berusaha tetap tegas karena mengkhawatirkan Meylina namun aku merasa ada yang berdenyut sakit saat aku mengatakan aku tak akan lagi menemuinya.

Aku benar-benar tak mengerti dengan perasaanku saat ini, aku yak ingin menyakiti Meylina dengan terua menutupi segala hal tentang Susan, namun ternyata hatikupun mulai tak bisa menghilangkan Susan begitu saja dalam fikiranku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status