Share

Bagian 5

POV Meylina

Aku adalah wanita kampung, terlahir dari keluarga sederhana, dan telah lama lupa sehangat apa kasih sang ayah sebagai cinta pertama setiap anak perempuan. Ayahku meninggal ketika aku masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar.

Sepeninggal ayah aku hanya tinggal bersama ibu dan seorang kaka perempuan yang usianya terpaut jauh dari usiaku, saat ayah meninggal kakakku Virna berusia 20 tahun, baru saja menikah dengan lelaki yang berasal dari kampung sebelah bernama Firman.

Ibu yang hanya seorang ibu rumah tangga sedikit terseok menanggung beban hidup kami berdua, meskipun terkadang kak Virna membantu tapi itu tentu tak bisa menutupi kebutuhan kami, apalagi akupun masih melanjutkan sekolah.

Saat itu ibu menggantungkan hidup dari hasil sawah yang almarhum ayah tinggalkan, dan karena tak menentu ibu pun menjual jajanan kampung berupa gorengan, dan lontong yang ia jajakan dengan berjualan keliling setiap pagi dan sore. Tak ingin melihat ibu berjuang sendiri akupun sejak masuk SMP ikut berjualan dengan membawa gorengan dan lontong ke sekolah untuk di titipkan di kantin sekolah.

Kak Virna pun tak tinggal diam, meski ia pun hidup sederhana ia selalu menyisihkan sedikit rezeki untuk membantu biaya sekolahku hingga aku bisa menyelesaikan pendidikan hingga lulus SMA.

Meski lahir dari keluarga sederhana yang tak pernah mengenyam pendidikan, aku termasuk murid pintar dan berprestasi di sekolah. Saat lulus SMA pun aku mendapat beasiswa di Universitas Negeri ternama di ibu kota.

Aku mengambil beasiswa tersebut dan pergi ke ibu kota dengan sedikit uang tabungan yang telah ku sisihkan dari uang jajanku sejak SMP. Aku berjanji pada diriku sendiri aku akan lulus tanpa membebani apapun pada ibu dan kakakku. Awalnya ibu sedikit keberatan melepasku pergi jauh, namun aku meyakinkannya bahwa aku bisa berjuang dan akan kembali setelah sukses untuk membahagiakannya.

Di ibu kota aku hanya fokus kuliah dan bekerja sampingan, apapun aku keejakan asal aku dapat tetap kuliah tanpa terganggu. dari menjadi pegawai di tempat foto copy, bekerja di tempat loundry, bekerja di warung makanpun telah kulalui. 

Hingga di saat menjelang wisuda aku mencoba peruntungan membuka usahaku sendiri yaitu menjual gamis dengan menjajakannya dengan cara berkeliling dan menjual secara online. 

Hingga aku dapat wisuda, segala perih dan keringatku telah terbayar, ibu dan kakakku tentu bangga padaku. Namun aku enggan kembali karena jika hanya membawa gelar aku belum bisa membawa kebahagiaan lebih untuk keluargaku di kampung.

Aku terus menekuni usaha gamisku, hingga aku memiliki banyak pelanggan di sekitar tempat tinggalku, dan jualan online pun mulai ramai.

Satu dari banyaknya pelangganku adalah Ibu Mirna, sosok wanita paruh baya yang pembawaannya begitu keibuan, baik dan juga penyayang. Tempat tinggal Ibu Mirna hanya berjarak 20 menit dar tempat kosku.

Jika aku sedang berkeliling di dekat rumahnya, Ibu Mirna selalu mengajakku mampir ke rumahnya, membuatkanku makanan, dan mengobrol hingga kadang lupa waktu. Kedekatanku dengannya membuatku merasa menemukan sosok ibu yang beberapa tahun ini tak bisa kuraih karena jarak.

Ibu Mirna ternyata memiliki seorang putra bernama Agung. Ibu Mirna mengenalkannya padaku, sering bercanda agar aku mau menjadi menantunya, tapi tentu aku sadar diri. Aku sama sekali tak peenah mengharapkannya. Hingga waktu mebawaku pada hubungan yang tak pernah terduga.

Awal perkanalanku dengan mas Agung terasa begitu dramatis, batin mas Agung yang kala itu tengah terluka karena wanita yang sangat ia cintai pergi begitu saja tanpa kabar apapun membuatku bersimpati padanya. Kedekatanku dengan mas Agung terus berlanjut karena ia sering berkeluh kesah tantang laranya padaku, saat itu aku hanya mencoba menjadi pendengar yang baik. Tapi kenyamanan justru hadir di antara kami hingga akhirnya mas Agung memintaku untuk menikah dengannya.

Aku tentu menerimanya karena aku memang sudah sejak lama jatuh hati padanya, aku merasa bahagia bisa menjadi pelipur segala sakit yang mas Agung derita saat itu.

Kehidupan pernikahan kami berjalan mulus, aku merasa amat sangat beruntung memilikinya sebagai imam. Ialah sosok pria penyabar, penuh perhatian dan kasih sayang, Allah Ya Robb betapa Engkau Maha Adil. Aku yang lupa hangatnya sosok ayah Kau gantikan pula sosoknya dengan menghadirkan pria sebaik mas Agung dalam hidupku.

4 tahun berumah tangga tak sekalipun kami bertengkar hebat, hanya perdebatan-perdebatan kecil yang menjadi bumbunya, pun dengan belum hadirnya malaikat kecil dalam hidup kami tak pernah jadi masalah.

Namun aku tak tau apa yang sebenarnya terjadi padaku, hampir 3 bulan ini aku merasa ada yang berbeda dengan mas Agung. Jika sebelumnya ia hampir tidak pernah menemui klien di luar jam kerja, belakangan ia sering pulang terlambat dengan alasan menemui klien hingga malam hari.

Hingga di suatu pagi saat aku sakit tanpa sengaja aku melihat dengan mata kepalaku sendiri ada nama Susan menelepon mas Agung. Mas Agung mengatakan bahwa Susan yang menelpon adalah pegawai baru di kantornya, namun entah kenapa aku merasa mas Agung menutupi sesuatu, dan di hari yang sama pada malam hari aku mebdengar mas Agung bertelepon dengan seseorang.

Hingga esok harinya sepulang aku dari rumah sakit karena pingsan aku kembali mendapati nama Susan menelpon mas Agung saat di perjalanan pulang dari rumah sakit. Sikap mas Agung yang enggab mengangkat telepon tersebut di depabku tentu membuatku semakin curiga.

Susan yang ku tau adalah nama gadis yang dulu begitu di gilai mas Agung, bahkan hampir dinikahinya meski Ibu Marni tak merestuinya namun tiba-tiba pergi menghilang membawa uang mas Agung. Aku tak pernah mengetahui sosok Susan, hanya sekilas aku pernah melihat fotonya sesaat sebelum mas Agung membakarnya. Akupun tak pernah bertanya apapun tentang Susan pada Mas Agung karena aku tak ingin membuka lukanya kembali.

Selama 4 tahun menikah tak pernah sekalipun mas Agung menyinggung tentang Susan, namun tiba-tiba saja ada nama yang sama yang muncul menelepon mas Agung, bukan aku tak mempercayainya namun bukankah terlalu naif jika dikatakan sebagai sebuah kebetulan semata di saat aku merasa ada yang berbeda dari mas Agung.

Sesampainya di rumah aku langsung menuju ke kamar merebahkan diri dan mencoba menetralkan fikiran yang mulai mengelana pada hal yang tak ingin ku bayangkan sama sekali. 

"Sayang, diminum dulu obatnya yah, baru nanti kamu istirahat." Ucap Mas Agung yang masuk kedalam kamar membawa obat dan segelas air lalu menyodorkannya padaku. Tanpa berkata apapun aku langsung meminumnya. Mas Agung kemudian menyimpan gelas dan obat tersebut di nakas samping ranjang.

Aku menatapnya lekat, keperhatikan setiap inci wajahnya, tak ada yang berubah, tatapannya masih tetap hangat, bahkan rasa khawatirnya masih begitu dalam bisa kurasakan. 

"Apa mas menyembunyikan sesuatu dariku?" tanyaku langsung tanpa berbasa basi, karena aku tak tahan dengan fikiranku. Aku ingin memastikan bahwa segala prasangkaku terhadapnya salah. Kulihat matanya mengerjap, kemudian terlihat sedikit menegang, namun hanya sepersekian detik ia langsung tersenyum sambil memelukku.

"Apa yang harus aku sembunyikan darimu?" Tanya mas Agung dengan tetap memelukku. 

"Susan." Ucapku lirih sambil melepas pelukannya kemudian aku menatapnya kembali mencoba mencari kebenaran dari sorot matanya. Mas Agung tampak menghela nafas berat.

"Aku tak ingin membahasnya sayang. Bahkan selama ini aku tak lagi pernah menyebut namanya" Mas Agung menunduk, jujur aku merasa bersalah karena aku merasa tengah menguliti luka lamanya, namun rasa penasarannku terlalu besar.

"Wanita yang bersamamu di rumah ujung komplek siapa?" Tanyaku sambil menggengam erat tangannya. Seketika mas Agung tampak kaget mendengar pertanyaanku. Ia terdiam cukup lama untuk menjawab sebuah pertanyaan sederhana.

Akankah Agung jujur pada Meylina?

Atau Agung akan meneruskan kebohongan yang ia anggap wajar tersebut??

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status