Share

Saat Dia Menang, Aku Hilang
Saat Dia Menang, Aku Hilang
Author: Stars

Bab 1

Author: Stars
Sebelum setiap turnamen, Julian selalu mengacak-acak ruang kerjanya. Dia orangnya suka lupa segalanya kalau sudah fokus main catur.

Dia pakai jaket, tapi lupa pakai jam tangan. Atau dia pakai baju, tapi lupa mengancingnya.

Lupa makan dan minum bahkan lebih sering terjadi.

Akulah yang selalu mengikutinya dari belakang, merapikan kekacauan yang dia tinggalkan.

Pesawatnya hari ini dijadwalkan terbang jam 4 sore.

Setelah beres barang-barang penting Julian, aku pakai sisa waktuku untuk menata ulang buku-buku catur dan bahan panduan turnamen yang berantakan di rak bukunya.

Rak paling atas sudah penuh dengan debu tebal.

Saat aku pelan-pelan usap debunya dengan kemoceng, sebuah map coklat tua nggak sengaja jatuh dari rak.

Sebelumnya aku nggak pernah lihat ini.

Aku tahu Julian orangnya sangat pelupa. Aku khawatir map itu isinya penting yang mungkin dia salah taruh. Alih-alih menaruhnya kembali, aku memilih untuk membukanya. Akhirnya, aku pun beneran membukanya.

Di dalamnya ada selembar kertas yang terlipat rapi, tebalnya setipis laporan medis yang kusimpan di saku.

Keluarga Julian adalah keluarga besar pecatur yang nggak akan membiarkan hubungan pribadi mengganggu karier seorang pemain.

Yang aku pegang waktu itu adalah surat perjanjian yang ditulis Julian untuk keluarganya 7 tahun lalu.

Kalau semua targetnya tercapai, barulah dia bisa menetap dan berkeluarga sesuai harapan kedua orang tuanya.

Kalau targetnya belum tercapai, dia janji dia nggak akan terganggu oleh hubungan cinta.

Julian adalah kebanggaan terbesar keluarganya dan harus menanggung beban nama besar mereka.

Aku tiba-tiba paham kenapa setelah 10 tahun bersamanya sejak aku berumur 18 tahun, aku nggak pernah dapat janji pernikahan darinya.

Dulu aku pikir, kalau aku bisa memahami dan mendalami dunia caturnya yang rumit itu, aku bakal bisa memahami dirinya.

Sayangnya, bakatku terbatas. Meskipun sudah berkali-kali aku ulangi permainannya sampai tengah malam, aku tetap nggak bisa memahami kejeniusan strateginya.

Tapi sekarang, melihat surat perjanjian yang sudah mulai menguning, aku sadar bahwa semua usahaku selama ini sia-sia.

Julian selalu membuat catatan teliti di setiap dokumen penting.

Di halaman terakhir perjanjian itu, semua rencana hidupnya tertulis dengan jelas dan terperinci.

Semuanya nggak ada yang berkaitan dengan aku.

Tanggal dia tanda tangan perjanjian karier itu ternyata pas saat kami pertama kali ketemu.

Ternyata, janji yang kutunggu selama 10 tahun itu sejak awal nggak pernah masuk dalam rencana hidupnya.

Sekarang, aku sedang sekarat.

Aku sudah nggak peduli lagi soal janji nikah atau status jadi istrinya.

Jawabannya pun sekarang sudah nggak berarti lagi.

Aku tersenyum pada diriku sendiri, lalu berdiri dan bersiap-siap menuju bandara.

Saat aku tiba di ruang tunggu keberangkatan, Julian duduk sendiri di sofa sambil membaca buku kumpulan permainan catur.

Dia sama sekali nggak sadar dengan kehadiranku.

Pemandangan seperti ini sudah kulihat entah berapa kali selama 10 tahun terakhir.

Aku selalu hanya diam dan melihatnya tenggelam dalam dunia bidak-bidak caturnya.

Dia bisa tetap fokus bahkan di tempat ramai dan berisik.

Biasanya, Julian akan menulis catatan padat di pinggir halaman bukunya.

Setiap kali melihat wajahnya yang fokus gitu, aku langsung tahu.

Bahwa hari ini pun, aku nggak bisa ungkapkan isi hatiku.

Menahan diri agar nggak mengganggunya sudah menjadi kebiasaan dalam hubungan kami.

Aku berjalan pelan ke arahnya, lalu duduk di sampingnya.

Aku menaruh penyangga pergelangan tangan yang sudah terbuka di sisi kirinya dan sebatang biskuit di sisi kanannya.

Pas dia melihatku, aku langsung merapikan kerah bajunya dan berkata, “Udara di sana lebih kering dari sini. Kulitmu sensitif, jadi jangan lupa nyalakan pelembap udara setiap malam.”

“Dan jangan lupa makan. Lambungmu lemah, jangan sampai kelaparan …”

Akhirnya dia menatapku dari keheningannya dan memotong ucapanku, “Kau kok tiba-tiba jadi cerewet sekali?”

Aku mengelak tatapannya dan menjawab, “Biar kau nggak telepon aku tengah malam cuman karena nggak bisa ketemu barangmu.”

“Aku sudah daftar retret kesehatan. Jadi mungkin bakal nggak di rumah selama beberapa hari.”

Tentu saja, itu bohong.

Kali ini, aku nggak yakin apa aku masih bisa angkat teleponnya nanti.

Kemarin, rumah sakit beri aku rencana perawatan terakhir.

Ada 2 pilihan.

Satu, menjalani operasi dan hidup pakai alat bantu napas selamanya.

Kedua, yaitu eutanasia.

Pada saat itu, aku diam-diam bersyukur atas sifat Julian.

Dia tipe orang yang nggak bakal tanya macam-macam asalkan aku beri dia alasan.

Julian ambil kopernya dan berjalan menuju gerbang keberangkatan.

Sosoknya makin lama makin jauh dan mengecil sampai hampir nggak kelihatan.

Aku nggak bisa menahan diri untuk berlari mengejarnya.

Lewat dinding kaca bening, aku bertanya pada Julian, “Julian, ada yang ingin kau katakan padaku?”

Dia membeku selama beberapa saat, lalu menjawab, “Apa yang mau kau dengar?”

Aku melambaikan tanganku dengan lemah, lalu memaksakan sebuah senyuman dan berkata, “Nggak ada. Aku akan merindukanmu.”

“Semoga kau beruntung di turnamennya.”

Julian menatapku sedikit lama dari biasanya. Wajahnya tampak bingung, tapi suaranya tetap datar seperti biasanya.

“Eva Castina, hari ini kau agak aneh deh,” ucap Julian.

Mendengar ini, aku mengepalkan tanganku dengan kuat dan nggak menjawabnya.

Kayaknya ini akan jadi terakhir kalinya aku melihat Julian.

Tapi aku tetap nggak berkata apa-apa dan nggak mendengar apa-apa.

Aku membalas pesan dokter.

[Aku sudah buat keputusan, eutanasia.]

Aku pilih tanggalnya tepat pada hari final pertandingan Julian.
Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 12

    Saat Julian tiba, pemakaman hampir selesai.Dokter Marvin telah menyampaikan kata-kata terakhir untukku dan anak-anak dari rumah sakit menundukkan kepala dalam hening sejenak.Natal ini, setiap anak-anak akan punya hadiahnya sendiri.Nggak ada yang tahu apakah mereka akan diingat tahun depan.Suara nyanyian lembut anak-anak terdengar di pemakaman yang sepi.Lagu Natal yang entah kenapa membuat mata semua orang berlinang air mata.Saat itulah Julian melihat namaku di batu nisan.Fotoku selamanya menatapnya dengan tersenyum tipis.Dokter, perawat dan anak-anak yang mengantarku berdiri di dekat makam.Di tengah lautan pakaian hitam yang khidmat, setelan tuksedo Julian tampak sangat mencolok.Tapi justru dia yang menangis paling putus asa.“Eva, apaan ini?”“Katamu kau lagi di retret kesehatan. Katamu nggak ada sinyal.”“Aku percaya semua yang kau katakan. Kau kok tega tinggalin aku kayak gini?”Aku duduk di atas batu nisanku sendiri dan menatap dengan tenang saat Julian berlutut sambil me

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 11

    Selama 10 tahun, orang-orang ini sudah bosan sama aku dan ingin memutuskan segala hubungan.Mereka buru-buru jemput Julian dari bandara untuk menghapus jejak kematianku yang mereka sebut sial dengan sebuah acara bahagia.Suapya Julian menikahi Kelly dan meneruskan kehormatan serta status keluarga.Dua puluh menit kemudian, suara meriam upacara menggema di halaman kediaman.Melihat ini, Julian kaget dan menatap ke arah kediaman dengan mata terbelalak.“Apa ini?” tanya Julian dengan nada tegang karena bingung.“Cepat ganti pakaian ini,” ucap sepupu Julian sambil menyerahkan sebuah tuksedo hitam pada Julian.“Ini dibuat khusus. Pas sekali untukmu.”Julian menerima tuksedo itu dengan gerakan kaku.Saat aku menggeleng, ibu Julian mengangguk-angguk dan menarik Julian masuk untuk berganti pakaian.Saat aku pertama kali datang ke rumah ini, ibu Julian pernah menunjukkan gaun pengantin warisan keluarga padaku.Dulu, aku sempat membayangkan sosok Julian mengenakan jas pengantin.Ternyata persis

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 10

    Begitu mendengar kabar itu, Julian membeku, seolah seluruh tubuhnya mengalami korslet.Ekspresinya berubah-ubah antara terkejut dan menderita, pipi pucatnya bergetar hebat.Pria yang kukira nggak akan pernah menangis untukku meraba-raba kopernya dengan linglung dan mengeluarkan sebuah pulpen tua.Itu hadiah pertamaku untuknya, pulpen yang terukir inisial namanya.Aku membelinya dengan uang hasil kerja paruh waktu sebagai hadiah ulang tahunnya yang ke-18.Julian menempelkan pulpen itu ke pipinya dan menggosoknya berulang kali sampai kulitnya memerah.Julian menatap kosong informasi penerbangan yang berkedip di layar besar Bandara Jafeka.Julian tersenyum patah, lalu berkata, “Nggak mungkin … Dia bilang dia lagi di retret kesehatan …”Julian nggak berani melanjutkan pikirannya.Tapi dia terlalu cerdas, terlalu peka.Dia tiba-tiba teringat gimana aku selalu mengecilkan diri di antara orang-orang elit itu.Aku melihat Julian menutup wajahnya dan air mata membasahi jarinya, lalu bertanya de

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 9

    Saat merekam video itu, aku berusaha keras biar nggak kelihatan terlalu lemah.Efek samping kemoterapi telah membuat berat badanku turun 11,3 kg.Apa pun yang kutelan, selalu dimuntahkan lagi.Aku merasa diriku tampak terlalu lelah di depan kamera, jadi aku memaksakan diriku untuk berdandan selama setengah jam.Tapi saat aku melihat pantulan diriku di cermin dengan bibir merah mencolok di wajahku yang pucat, aku justru merasa ngeri.Tiba-tiba aku teringat saat dulu aku menemani Julian ke sebuah wawancara, aku nggak sengaja mendengar bisikan beberapa wartawan gosip di kamar mandi.“Kalau saja dia bukan pacarnya Julian.”“Aku beneran nggak akan mau mewawancarainya. Dia membosankan, nggak punya pesona dan bikin rating jatuh.”“Penampilannya di depan kamera buruk sekali. Kelly jauh lebih cantik dan memikat.”“Sayang sekali jadwal wawancara Kelly sudah penuh …”Setelah mendengar itu, aku melatih bersenyum di kamar mandi supaya terlihat lebih alami.Aku pikir aku bisa tampil lebih baik setel

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 8

    Prosedurnya berlangsung persis seperti yang dijelaskan Dokter Marvin.Saat obat mulai mengalir di nadiku, tubuhku terasa tenggelam ke laut yang dingin dan dalam.Tubuhku terasa berat, mati rasa dan napasku pun berhenti.Saat kubuka mata lagi, aku sudah melayang di antara penonton turnamen di Etiropia.Sebuah layar raksasa menunjukkan pukul 7 malam, Waktu Etiropia Tengah.Pertandingan final sedang berlangsung dan Julian jelas tampak unggul.Hanya tinggal beberapa langkah lagi menuju kemenangan mutlak.Kemungkinan Julian untuk menang kini mencapai 90 persen.Seluruh penonton terdiam.Para wartawan sibuk menekan tombol kamera mereka.Seluruh dunia menunggu untuk menyaksikan momen bersejarah ini.Julian duduk di depan papan catur, jarinya menggantung di atas benteng putih.Hanya tinggal beberapa langkah kecil untuk skakmat lawannya.Gelar juara dunia sudah di depan mata.Namun, tangannya tiba-tiba terhenti.Julian mendongak dan matanya menyapu ke seluruh arena.Lalu, dia menjatuhkan rajany

  • Saat Dia Menang, Aku Hilang   Bab 7

    Keesokan harinya, berita tentang perubahan drastis gaya permainan Julian tersebar di mana-mana.[Gaya permainan Julian mengejutkan dunia catur! Para ahli bingung!][Jenius catur goyah! Apakah masalah pribadi yang menjadi pemicunya?][Kelly Kiara mengisyaratkan ‘ketidakstabilan emosional’ tunangannya adalah penyebabnya!]Perawat-perawat di rumah sakit selalu berjalan pelan di sekitarku dan memerhatikan ekspresiku.Mereka kira aku nggak mau melihat berita apapun dari mereka.Tapi aku sudah nggak peduli sama apa pun.Aku hanya menyelesaikan boneka-boneka beruang di tanganku dengan tenang.Setiap jahitan adalah sisa kasih sayang terakhir yang bisa kukasih.Malam sebelum prosedur, aku menuntaskan semua persiapanku.Aku mengemas dan mengirim semua boneka yang sudah kujahit selama 8 bulan.Bersamaan dengan itu, aku mengirim 6 undangan pemakaman.Karena prosedurnya dijadwalkan dengan rapi, aku bahkan bisa mengatur perpisahanku sendiri.Perawat, Lisa Sumarno, menatap pria di TV yang baru saja m

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status