Suamiku selalu memandang rendah diriku hanya karena aku seorang wanita petani. Bahkan, dia tidak sayang pada anak kami. Setelah usia anak kami genap 100 hari, dia baru memeluknya untuk pertama kalinya. Lalu, kekasih pertamanya kembali ke Kota Jenang. Pria yang selama ini bersikap dingin itu pun, untuk pertama kalinya tersenyum di meja makan dan bahkan menyuapi anakku. Semalaman, anakku tampak sangat bahagia. Sebelum tidur, dia bertanya dengan suara lembut. "Ibu, apakah paman sedikit menyukaiku?" Aku memeluknya erat-erat. Mataku berkaca-kaca dan aku menggeleng pelan, berkata. "Bukan, tetapi kekasih paman telah kembali. Jadi kita harus pergi."
View MoreIrfan berdiri lesu di depan pintu kayu yang tertutup rapat. Dia benar-benar tidak mengerti kenapa hubungan dia dan Susi bisa sampai tahap ini.Padahal dia menyukai Susi. Dia menyukai senyumnya yang cerah.Tapi mereka bertemu saat dia berada di titik terendah. Setiap kali melihat Susi, dia terus teringat di mana dia dikhianati kekasih, difitnah oleh teman, dan terpaksa pindah ke desa.Dua tahun yang dia habiskan di desa itu adalah pengalaman yang dia selamanya tidak ingin diingat kembali.Itu bagaikan noda dalam hidupnya.Keberadaan Susi justru menjadi pengingat terus-menerus atas masa lalu yang dia coba kubur.Makanya dia memperlakukannya dengan dingin, seolah bisa menutupi hal tersebut.Selama bertahun-tahun, dia berusaha menyiapkan mental untuk berkehidupan yang stabil bersama Susi. Dia sebenarnya hampir berhasil. Tapi saat Citra kembali, dia sadar bahwa kebenciannya pada Citra tidak sedalam dulu.Ketika menyadari hal itu, dia sangat senang karena ini membuktikan dia mulai menerima
"Bukankah Anto selalu ingin aku berada di sisinya?"Mendengar Irfan menyebut nama Anto, tatapanku langsung berubah semakin dingin. Amarahku hampir tak tertahan."Kamu masih berani menyebut Anto?""Kamu tahu sendiri bagaimana kamu memperlakukannya!”“Kamu larang dia memanggilmu 'ayah', kamu tidak pernah dekat dengannya, bahkan kamu tidak pernah berikan hadiah.""Sekarang kamu mana berhak suruh dia mengikuti kamu.” Irfan tampak canggung dengar omelanku, dia bergumam, "Aku bisa berubah, semua ini bisa aku ubah."Aku melihat sekilas penyesalan di matanya dan menghela napas."Sudah terlambat, Irfan. Tidak semua orang bisa terus menunggumu.""Anto berdiri di belakangmu. Tanyalah apakah dia masih mau kembali padamu."Irfan buru-buru menoleh. Dia melihat Anto berdiri diam di jarak yang tak jauh dengan pandangan polos, tanpa rasa rindu. Tidak ada sedikit pun keinginan untuk mendekat. Seolah-olah, yang dia lihat hanyalah orang asing.Khawatirnya semakin dalam. Dia berusaha menurunkan nada suara
Aku melihatnya dengan senang. Yang penting, Anto bahagia.Setelah sebulan kami tinggal di desa, Irfan datang mencari kami.Saat itu aku baru saja pulang dari membantu ibu di sawah. Ketika melihatnya berdiri di depan rumah, aku tidak merasa terkejut. Tempatku untuk pergi tidak banyak, jadi tentu saja dia bisa ke sini untuk mencari kami.Aku menatapnya dengan tenang dan berkata, "Kamu sudah datang? Baiklah, kita cari waktu untuk urus penceraian.""Kamu mau cerai denganku?" Irfan tampak terkejut.Wajahnya yang terperangah hampir membuatku tertawa. Seolah-olah, dia tidak pernah berpikir bahwa aku bisa meninggalkannya."Aku bahkan tak pernah diakui sebagai istrimu, dan tidak mengakui bahwa Anto sebagai anakmu.”“Aku sudah enam tahun hidup di kota tanpa status, dan aku sendiri yang mengurus anak.”“Ada kamu atau tidak sama saja. Jadi kenapa aku tidak boleh minta cerai?"Aku bertanya balik dengan tatapan sinis.Setelah melepaskan bayangan "pria berpendidikan dari kota", baru aku sadar bahwa
Setelah tiba di rumah, aku langsung berkemas. Lalu, aku mengirim pesan singkat pada Irfan:[Irfan, mari kita bercerai.]Tak lama kemudian, ponselku dengan kencang.Irfan baru pulang larut setelah seharian bersenang-senang di taman hiburan bersama Citra dan Santo. Begitu sampai di depan rumah yang gelap gulita, hatinya tidak tenang. Biasanya, seberapa larut pun dia pulang, selalu ada satu lampu menyala menunggunya.Ia membuka pintu dengan kunci dan menyadari bahwa rumahnya begitu sunyi sehingga sedikit menakutkan. Saat ia menyalakan lampu, ruang tamu tidak ada seorang pun. Selembar kertas putih di meja menarik perhatiannya.Ketika membaca isinya, pupil matanya mengecil dan jari-jarinya mulai gemetar.Cerai?Mana mungkin Susi mau cerai sama dia?Susi sangat mencintainya!Irfan menarik napas dalam dan meremas surat itu, lalu melemparkannya dengan kuat.Ia duduk diam di sofa, termenung semalaman. Keesokan harinya, ia pergi bekerja dengan wajah biasa.Dalam hatinya, dia merasa Susi tidak
Aku berkata dengan suara gemetar, "Ibu akan belikan untukmu sebanyak-banyaknya.”Anto mengusap air matanya dan mengangguk dengan patuh. Tapi kali ini, dia tak lagi terus bertanya soal paman kenapa belum datang.Aku menatap mata Anto yang sembab, dan berkata dalam hati, ‘Irfan, ini kesempatan terakhirmu.’Detik-detik sebelum lomba dimulai, Irfan datang dengan napas terengah-engah. Anto yang awalnya diam dan suram, langsung melihatnya. Matanya seketika bersinar dan dia langsung lari dengan cepat ke arahnya."Ayah! Akhirnya kamu datang!"Irfan mendengar suara itu dan menatapnya dengan wajah tak menyenangkan."Kalian berdua kenapa di sini?"Aku mendengar pertanyaannya, firasat buruk merayap pelan dalam hatiku.Anto berlari dan berdiri di sebelahnya, dan menatap penuh harap sambil mendongak."Ayah…"Namun Irfan malah menatapnya dengan tajam dan bertanya dingin, "Kamu panggil aku apa?"Kegembiraan di wajah Anto langsung membeku. Ia berkata pelan, "Paman, terima kasih sudah datang ikut lomb
Namun tubuhnya hanya kaku sesaat. Setelah itu, dia tetap membawa anak laki-laki itu melewati Anto begitu saja dengan sikap dingin.Seolah mereka benar-benar orang asing!Mata Anto tiba-tiba memerah. Aku segera menghampirinya. Dia masih menatap punggung Irfan dan bertanya dengan suara pelan, "Ibu, apakah itu orang yang disayangi ayah dan anaknya?"Mendengar suara kecilnya yang penuh luka, seluruh tenagaku seakan hilang. Air mataku jatuh tanpa bisa ditahan.Anto pun tak bertanya lagi. Dia hanya menggenggam tanganku erat dan berjalan pulang. Hanya mata yang semakin merah menunjukkan rasa sakitnya.Aku hanya bisa menatapnya penuh iba, kasihan melihat Anto menahan emosinya sendiri.Irfan, kau hanya punya dua kesempatan lagi.Setelah Anto menyelesaikan tugas sekolahnya, dia bertanya ragu-ragu, "Ibu, hari minggu nanti ada lomba olahraga keluarga. Ayah bisa datang?"Aku menatap mata yang penuh harapan, dan terdiam.Sejak masuk sekolah, Irfan belum pernah sekalipun ikut kegiatan keluarga. A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments