Selain statusku yang akan menjadi janda, hubungan keluarga mereka juga akan menjadi canggung. Terlebih lagi di antara mas Dimas dan mas Arya. Kedekatanku dengan mas Arya selama ini hanyalah agar aku tak larut dalam kesedihan karena perselingkuhan suamiku. Aku butuh teman yang lebih dewasa dan juga baik hati seperti mas Arya."Tega sekali mama ingin menikahkan istri Dimas sama orang lain." Mas Dimas kembali memelas."Kamu sendiri bagaimana? Apa bukan tega namanya, berselingkuh di belakang istri kamu sendiri? Coba kamu bayangkan, seandainya Ajeng masih hidup, dan suaminya berselingkuh di belakang dia. Apa kamu juga akan membiarkan adik kamu tersiksa seperti itu?" Mama mulai emosi.Mas Dimas terdiam sejenak. Kembali melirikku lagi. Dia pasti berpikir akulah yang selalu mengadukan semuanya pada mama. Mas Dimas pasti akan membalasku lebih parah lagi dari ini."Dimas nggak selingkuh, Ma. Dimas dan Lena sudah menjalin hubungan sebelum menikah dengan Dwi. Saat itu Lena mengalah dan mau menun
Pagi hari ini, Mas Dimas ikut sarapan bersama aku dan mama. Aku hanya diam tak menyapa suamiku itu. Hanya sesekali melirik untuk melihat bagaimana ekspresinya terhadap aku dan juga ibu mertuaku.Mimik wajah mama kini terlihat lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Mungkin karena mas Dimas akhirnya mengalah dan mau kembali menyapanya. Tak lagi menghindar dan mendiamkan mama seperti kemarin."Dimas berangkat ya, Ma!" Mas Dimas pamit dengan ucapan yang lembut.Mama hanya berdehem menjawab ucapan putranya. Mama sepertinya masih enggan untuk berbaikan. Atau mungkin hanya memberi mas Dimas pelajaran. Mas Dimas sama sekali tidak keberatan atas jawaban mama kali ini. Pria dengan kemeja biru langit itu beranjak dan keluar dari ruang makan. Saat berpapasan di ujung tangga saat mau turun tadi, kulihat mas Dimas sudah memegang kunci mobil. Sepertinya dia telah menerima semuanya. Mengambil kembali aset-aset yang sempat disita oleh ibunya.Hati mas Dimas pasti kini sudah merasa tenang. Semua kemb
Aku hanya tersenyum mendengar celotehan rekan-rekanku. Salah satu dari mereka pasti melihatku turun dari mobil mas Dimas. Aku tahu mereka hanya mencoba bersikap akrab padaku. Aku tak ambil pusing dengan ledekan mereka. Hanya sedikit terhibur saat mereka menyebut nama mas Arya.Hari ke dua di kantor, aku mulai terbiasa. Meski hanya menyalin data-data saja. Tugas pertama aku selesaikan dengan mudah. Jam makan siang sudah tiba. Aku berdiri di pintu utama ruangan, menunggu seseorang."Mas Arya?" Aku tersenyum saat melihat pria yang aku tunggu muncul dari ruangannya."Udah makan?" tanya dia, ramah."Dwi nunggu Mas Arya.""Dah selesai kerjaannya?""Udah dong. Kan Mas Arya yang ngajarin." Aku tersenyum bersemangat."Ciee..., gitu dong. Mau makan di mana?""Dwi lihat di depan ada kafe, Mas. Kali ini Dwi yang traktir, ya?""Eh, kok gitu? Kan belum gajian?""Nggak apa-apa, Mas. Kan gantian.""Nanti aja kalau kamu udah gajian. Mas minta traktir yang mahal."Aku tertawa kecil."Memangnya Mas Ary
Sore harinya aku turun dari gedung terlebih dahulu. Kubiarkan saja mas Arya dan mas Dimas masih tetap berada di ruangannya. Pembicaraan saat makan siang tadi masih membuatku merasa tidak enak hati untuk kembali bertemu dengan mereka.Aku tahu mas Dimas sengaja melakukannya untuk membuatku jadi rendah diri. Membuktikan semua kata-kata yang pernah dia ucapkan tentang mas Arya agar aku tak berharap disukai olehnya.Tujuannya adalah agar aku berpikir ulang untuk menyukai mas Arya seperti yang dia tuduhkan selama ini. Dan nyatanya, mas Dimas sudah berhasil melakukannya.Saat ini aku merasa asing dan tak lagi mengenal mas Arya. Pikiranku tentang dia yang punya perhatian khusus denganku lenyap begitu saja. Aku hanya salah satu dari wanita korban perasaannya. Untunglah perasaanku belum terlalu dalam pada orang itu.Ke dua pria itu benar-benar membuatku menjadi seperti wanita yang tidak diinginkan.Tapi aku masih penasaran. Kenapa mas Dimas menunjukkan semua kejelekan mas Arya di hadapanku. B
Aku terdiam. Mulutku yang biasanya selalu membantah, jadi tak tahu harus berkata apa. Hanya tanganku saja yang semakin meremas kuat handuk, seolah-olah takut terjatuh di hadapan pria ini.Mas Dimas lagi-lagi menatapku. Kulihat jakunnya naik turun memandang wajahku. Lututku sampai bergetar ketakutan. "Ya, sudah. Lain kali kalau ke mana-mana kasi tahu, ya. Jangan bikin orang khawatir." Mas Dimas langsung memalingkan wajah, kemudian berjalan menuju pintu dan keluar dari kamarku.Huft!Jantungku hampir saja mau copot. Ada apa dengan mas Dimas? Kenapa sikapnya begitu aneh? Aku pikir dia akan marah-marah karena aku meninggalkannya di kantor dan mengabaikan semua chat dan panggilannya.Tapi nyatanya dia hanya menasihatiku agar tak melakukan lagi hal seperti itu. Mas Dimas benar-benar membuatku takut. Rencana apa lagi yang akan dia lakukan kali ini?*Makan malam berlangsung hening. Bukan hanya mama dan mas Dimas yang terlibat perang dingin. Aku pun ikut canggung, hingga tak sepatah kata pu
Saat aku berteriak, tiba-tiba mulutku ditutup paksa oleh dia yang kini berada di hadapanku. "Sssttt... ini, Mas, Dwi." Suara itu setengah berbisik di wajahku.Aku langsung terdiam. Lalu memegangi dadaku yang terasa sesak. Rasanya jantung ini hampir copot karena kehadiran mas Dimas yang tiba-tiba seperti maling. Aku segera menurunkan tangan besar itu dari mulutku."Mas Dimas ngapain di sini?" tanyaku kesal."Sssttt... jangan keras-keras. Nanti kedengaran mama."Aku menghela napas. Setidaknya yang menerobos kamarku seperti ini adalah suamiku sendiri. Bukan orang asing atau maling yang ingin berbuat jahat pada keluarga kami."Maaf, kalau Mas bikin kamu kaget.""Iya, tapi mas Dimas ngapain tengah malam begini masuk kamar Dwi?" Aku mulai menurunkan volume suaraku.Siluet dari wajahnya seperti gelagapan. Dengan cahaya yang minim aku dapat melihat bahwa dia yang sedang gugup. Hatiku bergetar. Apa jangan-jangan dia ingin meminta haknya sebagai seorang suami?Ada perasaan takut di hati ini. T
Aku langsung mengambil posisi memunggunginya. Tak mau lagi menoleh dan melihatnya sedang terlelap. Entah kenapa, ada sesuatu yang aku rasakan di dalam hati. Hal yang tidak aku rasakan saat tidur sendiri di kamar ini.Malamku kali ini terasa aman dan juga... nyaman.*Aku dan mama sudah duduk di ruang makan. Tak berapa lama mas Dimas turun dengan rambutnya yang wangi aroma shampo. Saat aku bangun tadi, mas Dimas masih terlelap. Namun saat aku keluar dari kamar mandi, mas Dimas sudah tidak ada lagi. Dia kembali ke kamarnya untuk bersiap-siap ke kantor. Mas Dimas memandangku sekilas, lalu duduk di sampingku. Ada yang berbeda dari pandangannya. Dan entah kenapa itu membuatku merasa tersipu.Tapi akan lebih malu lagi jika mama mengetahui tentang kejadian malam tadi. Bisa saja mama berpikir yang bukan-bukan tentang kami. "Rumah ini terasa sunyi sejak papa kalian nggak ada." Aku dan mas Dimas serempak menoleh ke arah mama.Ikut merasa sedih atas ucapan mama yang memang ada benarnya itu."S
Pov Author.Dwi memandang Arya penuh tanya. Wanita itu heran, ada apa dengan pria itu hari ini. Sikapnya aneh. Seperti anak kecil yang sedang merajuk karena tidak diberi sesuatu."Sejak awal kan Mas Arya tahu, kalau Dwi dan Mas Dimas itu suami istri. Terus salahnya di mana?" tanya Dwi heran."Bukannya kamu bilang akan bercerai dari Dimas?""Iya, tapi kata mama tunggu selesai seratus hari almarhum papa.""Tapi....""Tapi kenapa, Mas?""Soal Dimas keramas tadi pagi....""Mas Arya ngomong apa sih? Keramas ya keramas aja. Sama sekali nggak ada hubungannya sama Dwi!" Dwi sudah mulai menangkap ucapan dari Arya. Arya pasti berpikir, kalau Dimas baru saja keramas karena habis melaksanakan hubungan suami istri dengan Dwi. Dimas sengaja melakukannya untuk memanas-manasi Arya. Agar pria itu kehilangan harapan dan tak berani lagi mengganggu Dwi."Kalau begitu, Dwi pamit dulu ya, Mas?" Dwi segera pamit setelah mendapatkan tanda tangan dari Arya. Tak ingin berlama-lama. Takut kalau karyawan lain