"Bukankah orang-orang mengaggap kita ini kakak adik? Kamu sendiri yang mengakui Mas sebagai kakak kamu. Jadi, Mas berhak merangkul dan menunjukkan sikap Mas sebagai seorang kakak!"Dimas tak lagi peduli. Dia kembali menarik Dwi dalam rangkulannya. Dia benar-benar menginginkan Dwi di sisinya saat ini. Meski harus mengakuinya hanya sebagai seorang adik.Dwi ingin berontak, tapi Dimas bersikeras dan tak mau melepaskan."Nurut! Atau Mas bongkar sekalian identitas kita."Hish!Dwi mengentakkan kaki dengan kesal. Tak bisa lagi berbuat apa-apa. Kini dia merasa seperti seorang tawanan di film perang.Dimas kembali tersenyum menang. Meski dengan cara yang jahat, akhirnya pria itu punya kesempatan untuk memeluk istri kecilnya itu.*"Kamu ini, sudah tahu alergi kok makan kacang sih, Arya!" Sonia memarahi anaknya yang sedang terbaring di balik selimut di atas tempat tidur.Arya hanya diam. Tak mungkin dia mengaku pada mamanya bahwa semua dia lakukan hanya demi bisa makan berdua dengan Dwi. Jika
Dwi menundukkan wajah, merasa malu dipandangi oleh Arya seperti itu. Bagaimanapun juga, dirinya masih berstatus sebagai istri orang. Apalagi suaminya sedang berdiri di hadapan mereka.Harusnya ini merupakan kesempatan emas untuk membalaskan sakit hatinya pada Dimas. Membuat Dimas tahu bagaimana rasanya dikhianati dengan bermesraan bersama orang lain. Namun Dwi tak ingin seperti itu. Jika dia melakukannya, itu artinya bahwa dia sama saja dengan pria pengkhianat itu."Udah, Dwi. Kelihatannya Arya baik-baik saja. Kita pulang! Kasihan mama kalau nggak ada kamu." Dimas memotong pembicaraan mereka dan mengajak istrinya untuk tak berlama-lama di sana.Saat ini Dimas merasa begitu gerah dan tak betah berlama-lama untuk menetap di tempat itu. Hati siapa yang tidak hancur ketika melihat istrinya bermesraan dengan laki-laki lain di depan mata kepalanya sendiri, sedangkan dia seperti tak punya hak apa-apa.Ingin sekali rasanya dia mencekik leher dan mencolok mata Arya agar tak bisa memandangi ist
"Baru juga datang. Mbok Asri udah buatin minum tuh. Sebentar lagi aja, ya." Dwi melirik sekilas ke arah Dimas, menunggu keputusan dari suaminya itu."Kasihan Arya, Tante. Dimas dan Dwi nggak mau mengganggu istirahatnya. Biar cepat sembuh." Dimas beralasan.Arya memutar bola mata, mendengar alasan yang dibuat-buat oleh Dimas. Pria berusia dua puluh tujuh tahun itu mulai menyadari, Diam-diam Dimas juga menaruh perasaan pada Dwi."Kalau begitu kita minum di ruang tamu aja.""Oh, boleh, Tante." Dimas tak enak lagi menolak. Lalu memberanikan diri menarik bahu Dwi dan merangkulnya di depan Arya."Yuk, Sayang." Dwi melotot ke arah Dimas. Hanya saja pria yang hatinya sedang berdentam-dentum karena cemburu itu pura-pura tak melihat. Dia harus membuktikan di hadapan Arya, bahwa pernikahannya dengan Dwi masih baik-baik saja.Arya tertunduk lesu. Sepertinya penyakitnya akan bertambah parah melihat kemesraan mereka."Arya kenapa nggak dinikahkan aja, Tante? Biar ada yang ngurus kalau sakit." Dim
Dwi terperanjat mendengar ucapan suaminya. Perkataan Dimas terdengar serius. Membuatnya merasa takut. Jantung Dwi berdebar-debar tak menentu. Pipinya kini terasa panas dan terlihat memerah.Dwi tak menyangka jika suaminya tersinggung dengan ucapannya sore tadi. Pantas saja Dimas langsung terdiam dan tak lagi membela diri. Biasanya dia selalu protes dan mengajak Dwi berdebat jika ada kata-kata Dwi yang salah. "Mas Dimas bicara apa? Memangnya nyelonong masuk ke kamar orang lain itu bukan tindakan dari anak kecil?" Dwi mencoba menepis pikiran buruknya tentang malam pertama.Dwi sudah beranggapan, satu-satunya cara menunjukkan bahwa Dimas bukan anak kecil lagi adalah menunaikan kewajibannya sebagai seorang suami. Dan Dwi takut jika harus mendadak seperti ini."Siapa bilang ini kamar orang lain? Ini bukan kamar kamu!" Dimas menjawab datar."Iya, Iya. Dwi sadar. Dwi cuma numpang di sini. Semua yang ada di rumah ini adalah milik Mas Dimas. Puas?" Dwi mengalah. Dia bosan bertengkar terus de
"Dwi!" Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan membawanya dalam dekapan. Dwi meronta, namun tenaganya kalah kuat dengan lengan kekar suaminya. Dimas memeluk Dwi dengan lebih erat."Mas minta maaf, Sayang." Dimas berbisik di telinga istrinya.Dwi semakin menangis. Entah apa yang dia rasakan saat ini. Pelukan Dimas terasa sangat nyaman. Dia laki-laki pertama setelah ayah Dwi yang memeluk Dwi dengan kasih sayang seperti itu. Namun di sisi lain hati Dwi, wanita itu merasa jijik jika membayangkan bahwa tubuh yang memeluknya saat ini telah lebih dulu memberi kehangatan pada wanita lain."Lepas, Mas. Dwi benci sama Mas." Dwi semakin sesenggukan."Mas tahu. Mas yang salah. Tapi kamu juga harus tahu. Sumpah demi Allah, Mas nggak pernah berhubungan sejauh itu dengan Lena atau wanita mana pun." Dimas kembali berbisik. Tangan besarnya membelai lembut rambut panjang Dwi untuk menenangkan istrinya."Asal kamu tahu, Dwi. Mas nggak bohong soal putus dari Lena. Bahkan sebelum malam ke tujuh tahlilan alm
Dimas begitu terpukul mendengar penolakan dari istrinya. Namun demi menunjukkan rasa sayang dan ketulusan hatinya, Dimas mengalah. Dia tak mau lagi bersikap kasar dan memaksa wanita itu. Dia akan menunggu sampai Dwi benar-benar siap."Mas akan menunggu kamu, Dwi. Mas juga akan buktikan kalau Mas tidak main-main dengan ucapan Mas."Dengan membawa rasa kecewa, Dimas keluar dan meninggalkan istrinya untuk menenangkan diri.Dwi langsung bergerak dan mengunci pintu. Lalu menjatuhkan diri, duduk bersandar di balik pintu. Dia menangis sambil memeluk lututnya sendiri. Dia tak menyangka, ciuman pertamanya telah dimiliki Dimas malam ini.*Di ruangan terpisah, Lena duduk bersandar dalam dekapan seseorang di sofa apartemen milik seorang pria. Pakaian yang sebagian terbuka menunjukkan bahwa keduanya baru saja melakukan pertempuran yang luar biasa."Kamu bahagia sekarang, kan, Sayang?" Pria itu mengecup ceruk leher Lena dengan lembut."Tentu saja, Rangga. Aku senang kok, bisa sama kamu seperti ini
"Hentikan itu, Len! Jangan lagi mengungkit masa lalu. Ini terakhir kali kamu ke sini. Kalau tidak ingin dipermalukan karena diusir oleh sekuriti, jangan pernah lagi menginjakkan kaki ke tempat ini lagi!" Dimas berucap tegas sembari mendorong tubuh Lena agar menjauh."Masa lalu?" Lena mendecih. "Kamu anggap aku apa? Habis manis sepah dibuang. Kamu harus tanggung jawab dengan bayi yang ada di perutku ini!" Lena tersenyum licik."Apa?" Dimas terperanjat ketika mendengar ucapan wanita itu."Aku hamil. Dan itu anak kamu!"Dimas melotot sembari menelan ludah. "Jangan main-main, Lena. Bagaimana bisa?""Main-main? Kamu nggak ingat apa yang kita lakukan di villa sebulan yang lalu?"Dimas memutar ulang memori di kepalanya. Saat itu Dimas baru saja mendengar kabar yang mengejutkan. Orang tuanya meminta dia untuk menikahi Dwi. Saat itu papanya sudah sakit-sakitan. Lalu meminta Dimas untuk mengabulkan permintaannya agar bisa tenang dan cepat sembuh.Tentu saja Dimas tidak langsung menerima. Apal
Dimas merasa tak percaya dengan apa yang dia lihat. Foto saat dirinya bertelanjang dada dan tertidur sambil memeluk Lena. Sungguh dia tidak mengingat peristiwa apa yang terjadi hingga dia harus berada dalam posisi seperti itu."Tidak, Lena. Itu tidak mungkin. Aku tidak pernah melakukan hal serendah itu padamu." Lutut Dimas bergetar, lemas."Tidak mungkin apanya? Kamu lihat sendirikan, wajah kamu begitu lelah karena kehabisan tenaga?" Lena tertawa mengejek."Kamu pasti menjebakku, kan?" Dimas memegang bahu Lena dengan kuat."Jangan beralasan, Dim! Kita melakukannya atas dasar suka sama suka.""Bohong! Kenapa baru sekarang kamu mengatakannya?""Tentu saja karena aku masih percaya sama kamu. Tapi kenyataannya sekarang kamu benar-benar telah mengkhianatiku. Dan sekarang, kamu nggak bisa mengelak lagi. Kamu harus menikahiku.""Tidak. Tidak bisa. Aku sudah menikah.""Aku tidak peduli. Kamu harus ceraikan anak pungut itu dan segera nikahi aku. Aku nggak mau anakku lahir tanpa ayah." "Berhen