Share

Part4

Kamar kita?

Aku menelan ludah saat mendengar kata 'kita'. Barusan saja dia mengajakku berpisah, namun belum sampai satu jam dia langsung mengakuiku lagi sebagai istrinya. 

Aku tahu. Mas Dimas pasti tidak tega melihat kesedihan mama tadi. Dia pasti ingin menenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Nanti saat suasana sudah mulai tenang, suamiku ini pasti akan kembali ke niatan awalnya. Mas Dimas memang anak yang baik bagi orang tuanya.

Sayangnya dia bukan suami yang baik... untukku.

"Iya, Mas." Aku Menurut saja. Toh juga saat ini aku masih istrinya. 

*

"Ma, maafin Dimas, ya." Mas Dimas mulai membujuk mama saat sarapan.

Pagi ini mas Dimas sudah berpakaian rapi seperti hendak ke kantor. Sejak papa meninggal hingga hari ini, mas Dimas memang tidak masuk kerja. Jika ada hal yang mendesak, asistennya akan datang dari kantor untuk membawakan berkas.

Selama papa jatuh sakit, mas Dimas lah yang menggantikan papa memimpin perusahaan. Karena mas Dimas satu-satunya anak mama dan papa.

"Mau ke mana kamu?" Mama menjawab ketus.

"Ke kantor, Ma. Udah banyak proyek yang tertunda. Dimas harus segera masuk. Malam ke tujuh nanti Dimas akan ambil libur lagi biar bisa bantuin mama ngadain tahlilan."

"Nggak perlu!"

"Nggak perlu libur, Ma?"

"Nggak perlu masuk kantor lagi. Biar Mama tunjuk salah satu petinggi perusahaan sebagai pimpinan sementara. Kelak suami baru Dwi yang akan memegang semuanya."

Aku terlonjak kaget. Tak menyangka kalau mama benar-benar mengingat apa yang dia ucapkan malam tadi.

Aku melirik ke arah mas Dimas. Wajahnya terlihat gusar. Sepertinya dia benar-benar takut akan ancaman mama. Tanpa sadar mas Dimas juga melirik ke arahku. Membuat seketika pandangan kami bertemu. Aku langsung menunduk, menghindari kontak mata dengannya.

Aku takut kalau mas Dimas beranggapan bahwa aku ikut andil dalam keputusan mama.

"Dimas dan Dwi tidak jadi bercerai, Ma. Dimas mencabut lagi kata-kata Dimas tadi malam. Maaf kalau membuat Mama marah."

Mataku membesar, lalu kembali mengintip wajah mas Dimas dengan mengangkat sedikit kepala. Untungnya pria plin plan itu kini sedang menoleh ke arah mama.

"Kamu jangan minta maaf sama Mama! Yang kamu sakiti itu istri kamu. Jadi kamu harus minta maaf sama Dwi!" Mama berucap tegas. 

Wajah mama tidak terlihat kaget sama sekali. Seperti sudah menduga sebelumnya, bahwa mas Dimas akan berubah pikiran saat mendapat ancaman.

"Iya, Ma. Dimas udah melakukan itu. Iya kan, Dwi?" Mas Dimas menatapku.

Aku menjadi gugup. Hingga pagi ini aku belum mendengar permintaan maaf apa pun darinya. Tadi malam saat aku kembali memasuki kamar, dia langsung berbaring dengan memunggungiku. Tak ada pembicaraan lagi di antara kami hingga aku tertidur.

"Melakukan apa?" tanya mama, masih dengan nada ketus.

"Ya, minta maaf lah, Ma." Tatapan mas Dimas padaku seperti mengintimidasi. Berharap aku mengiyakan apa yang tidak dia lakukan.

"I_iya, Ma. Mas Dimas udah minta maaf." Dengan ragu aku berbohong.

Ini bukan karena aku ingin membela mas Dimas, tapi hanya ingin membuat mama merasa tenang. Perasaan yang tadinya ingin benar-benar aku berikan pada suamiku itu, mendadak lenyap bersamaan dengan niatannya untuk berpisah.

"Benar, Dwi? Kamu jangan bohong untuk melindungi anak durhaka ini. Atau kamu diancam sama Dimas?" 

"Mama!" potong mas Dimas. 

Ternyata mama tidak bodoh. Dia terlihat curiga dengan jawabanku.

"Enggak kok, Ma." Aku kembali berbohong. "Mas Dimas benar-benar udah minta maaf." 

Aku menghela napas. Apa lagi yang bisa aku lakukan agar ibu dan anak ini bisa kembali berbaikan.

"Karena kamu yang ngomong, Mama percaya. Karena dari kecil kamu nggak pernah ngelawan dan bohong sama mama," ucap wanita yang mengenakan hijab instant itu.

Aku kembali melirik ke arah mas Dimas. Dia terlihat lega dengan kebohonganku.

"Kalau begitu Dimas pamit dulu ya, Ma."

Mas Dimas bangkit, lalu berjalan meninggalkan meja makan. Aku kembali terdiam. Selera makanku  ikut menghilang.

Tak berselang lama mas Dimas muncul lagi di ruang makan.

"Tas kerja Mas mana, Dwi?" 

Aku tercengang. Kulihat dia berdiri sambil menatapku. Setelah menikah, memang aku berusaha untuk menjadi istri yang baik. 

Dulu, sewaktu papa masih hidup dan sehat, mama selalu mengantar papa sampai ke depan pintu dan membawakan tasnya. Lalu papa mencium kening mama dengan mesra. Mereka terlihat bahagia.

Setelah menikah, tanpa ada yang memerintah aku juga melakukan hal yang serupa. Selama dua minggu menjadi istri mas Dimas, aku selalu membawakan tas dan mengantarnya sampai ke teras rumah seperti yang mama lakukan.

Meski tak mendapat ciuman di kening, tapi mas Dimas tak keberatan aku melayaninya seperti itu. Tapi kini, aku sengaja mengabaikan hal itu. Tak ada lagi hasrat untuk terlihat menjadi istri yang baik di matanya.

"Eh, maaf, Mas. Dwi lupa." Aku semakin pintar bersandiwara.

"Makanya jadi suami jangan suka nyakitin istri!" celetuk mama dengan sewot. 

Mas Dimas mengusap tengkuknya, tak menjawab. Kurasa dia tak ingin lagi melawan atau berdebat dengan mamanya.

"Sebentar, Mas. Dwi ambilkan."

Aku berjalan menuju kamar di lantai dua. Setelah itu langsung menyusulnya yang telah menunggu di teras depan.

"Ini, Mas, tasnya." 

Mas Dimas menyambut pemberianku. Lalu mengulurkan tangannya. Mataku mengerjab. Jelas-jelas tas itu sudah berada di tangannya. Apa lagi yang dia minta?

"Ada apa, Mas?" tanyaku heran.

"Nggak salam?"

Eh! 

Lagi-lagi hal yang biasa aku lakukan aku lewatkan begitu saja. Rasanya aku dan Mas Dimas semakin asing. Aku juga mulai enggan untuk melayaninya.

"Eh, iya. Dwi lupa lagi." Aku menyambut uluran tangannya dan meletakkannya di kening.

"Jangan banyak melamun. Papa akan bersedih kalau kamu meratapinya terus. Papa udah tenang di alam sana. Kamu hanya harus mendoakannya." Tanpa rasa bersalah mas Dimas bertausiah menasihatiku.

Ternyata laki-laki ini sama sekali tidak peka. Dia sendiri lah yang membuat aku jadi tidak peduli seperti ini.

*

Sore harinya mas Dimas pulang. Aku sedang mengobrol bersama mama di teras samping. Aku melihat mas Dimas naik ke lantai dua setelah menoleh dan menyapa mama.

Ya. Hanya mama. Aku seperti tak terlihat di matanya seperti biasa. Namun kali ini aku tidak peduli. Sudah tidak berharap dianggap istri.

Belum lama aku dan mama kembali mengobrol mengenang almarhum papa, suara teriakan mas Dimas terdengar dari atas sana.

"Dipanggil suami kamu tuh!" ucap mama dengan nada mengejek.

Sepertinya mama mengerti dengan sikapku saat ini. Tak terlalu memaksa agar aku menyambut kehadiran anaknya seperti biasa. Bahkan mama juga ikut-ikutan bersikap cuek pada mas Dimas. Mama pasti juga merasa kecewa atas ucapan mas Dimas saat itu.

"Dwi pamit dulu ya, Ma." Mama mengangguk.

Aku berjalan pelan menuju kamar. Menganggap panggilan mas Dimas bukan suatu hal yang penting.

"Ada apa, Mas?" tanyaku setelah mendapatinya dengan wajah masam.

"Handuk sama baju ganti Mas, mana? Lupa lagi?"

                               ~~~

Mas Dimas sungguh aneh. Dia telah memiliki niat untuk bercerai dariku. Namun masih terus mengharapkan pengabdianku. Tadinya kupikir dia akan belajar membiasakan diri lagi seperti saat sebelum aku menjadi istrinya.

Padahal sebelum menikah, dia biasa melakukan semuanya sendiri. Lalu, hanya dalam waktu dua minggu saja dia jadi ketagihan memiliki pelayan pribadi seperti aku.

Ya. Aku yakin, selama ini mas Dimas hanya menganggapku sebagai pelayan untuk memenuhi semua keperluannya. Merasakan nikmatnya dimanja, seperti mama biasa memanjakan papa di hadapan kami.

Dengan mulut mengerucut aku langsung mengambil handuk dari gantungan, lalu memberikan padanya.

"Masih muda udah pikun. Udah Mas bilang, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau kamu sakit, Mas juga nanti yang dimarahi sama mama." Dia berucap santai sambil berlalu melewatiku.

Aku hanya bisa menghela napas. Tidak menyangka bahwa mas Dimas tidak sepeka itu dengan perubahan sikapku.

Atau dia hanya berpura-pura, untuk menutupi rasa malu karena mencabut kata-katanya sendiri yang penuh keyakinan malam itu.

"Dwi!" Aku menoleh saat dia berdiri di pintu kamar mandi sebelum menutupnya.

"Iya, Mas?" Aku masih menjawab dengan sopan.

"Teh panas seperti biasa, ya. Ntar kamu lupa lagi." Tanpa menunggu jawabanku dia langsung menutup pintu.

Ya, ampun. Mas Dimas memang benar-benar tidak punya perasaan.

Aku pun mengambil pakaian ganti rumahan mas Dimas dari lemari dan meletakkannya di atas ranjang.

*

Usai makan malam, aku mengobrol di ruang tamu sambil memijat kaki mama. Kasihan sekali melihatnya meratapi kepergian suaminya. Padahal usia papa belum terlalu tua. Bahkan belum mencapai enam puluh tahun. Mama tampak begitu kehilangan.

"Dimas pergi dulu ya, Ma." Mas Dimas pamit sambil menenteng kunci mobil melewati kami.

"Dimas!" Mama memanggilnya dengan ketus.

"Sebentar aja, Ma. Ketemu teman." Mas Dimas kembali ke kebiasaan lamanya.

Sering keluar meski tak sampai tinggi malam. Dari dulu dia beralasan hanya mengumpul bersama teman-teman. Tapi sekarang aku atau pun mama, pasti berpikir dia akan menemui wanita bernama Lena.

"Mama nggak ngelarang kamu, kok!" ucap mama ketus.

"Makasih, Ma." Mas Dimas tersenyum dan kembali melangkah.

"Dimas!" Mama memanggilnya kembali sebelum langkah itu menjauh.

Mas Dimas menoleh.

"Apa lagi, Ma?"

"Kunci mobil, tinggal!"

Aku langsung menoleh ke arah mama. Raut wajah mama tidak berubah. Dan mama sedang tidak bercanda.

"Kok ditinggal. Terus Dimas naik apa?"

"Kok nanyak mama? Terserah kamu mau naik apa!"

Mas Dimas kembali mengalah. Tak ingin melawan atau mencari ribut dengan mamanya. Dia lalu meletakkan kunci mobil di atas meja tanpa perlawanan.

"Atm sama kartu kredit juga!"

Mas Dimas tampak frustasi dengan sikap mama.

"Kamu hanya boleh membawa semua ini saat berangkat ke kantor atau sedang pergi bersama Dwi. Selain itu, kamu harus usaha sendiri." Mama semakin ketus.

Harusnya aku tidak mendengarkan semua ini. Kalau sudah begini, aku yang merasa serba salah. Mas Dimas pasti akan semakin merasa tidak menyukaiku.

"Terserah mama aja lah." Mas Dimas mengeluarkan apa yang diminta mama dari dompetnya, lalu meletakkannya dengan asal.

Tanpa bicara lagi, mas Dimas langsung meninggalkan kami. Tapi kali ini menuju ke lantai atas.

Mas Dimas tidak jadi pergi.

"Ma. Apa mama serius memperlakukan mas Dimas seperti ini?" Aku mencoba membujuk mama.

Walau bagaimana pun, mereka adalah ibu dan anak. Keluarga inti di rumah ini hanya tinggal mereka berdua. Sedangkan aku hanya orang lain. Tidak enak rasanya kalau mereka selalu bertengkar hanya karena aku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Putra Jaelani
mantap ... kaliiiii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status