Kamar kita?
Aku menelan ludah saat mendengar kata 'kita'. Barusan saja dia mengajakku berpisah, namun belum sampai satu jam dia langsung mengakuiku lagi sebagai istrinya. Aku tahu. Mas Dimas pasti tidak tega melihat kesedihan mama tadi. Dia pasti ingin menenangkan hati orang tua yang tinggal satu-satunya itu. Nanti saat suasana sudah mulai tenang, suamiku ini pasti akan kembali ke niatan awalnya. Mas Dimas memang anak yang baik bagi orang tuanya.Sayangnya dia bukan suami yang baik... untukku."Iya, Mas." Aku Menurut saja. Toh juga saat ini aku masih istrinya. *"Ma, maafin Dimas, ya." Mas Dimas mulai membujuk mama saat sarapan.Pagi ini mas Dimas sudah berpakaian rapi seperti hendak ke kantor. Sejak papa meninggal hingga hari ini, mas Dimas memang tidak masuk kerja. Jika ada hal yang mendesak, asistennya akan datang dari kantor untuk membawakan berkas.Selama papa jatuh sakit, mas Dimas lah yang menggantikan papa memimpin perusahaan. Karena mas Dimas satu-satunya anak mama dan papa."Mau ke mana kamu?" Mama menjawab ketus."Ke kantor, Ma. Udah banyak proyek yang tertunda. Dimas harus segera masuk. Malam ke tujuh nanti Dimas akan ambil libur lagi biar bisa bantuin mama ngadain tahlilan.""Nggak perlu!""Nggak perlu libur, Ma?""Nggak perlu masuk kantor lagi. Biar Mama tunjuk salah satu petinggi perusahaan sebagai pimpinan sementara. Kelak suami baru Dwi yang akan memegang semuanya."Aku terlonjak kaget. Tak menyangka kalau mama benar-benar mengingat apa yang dia ucapkan malam tadi.Aku melirik ke arah mas Dimas. Wajahnya terlihat gusar. Sepertinya dia benar-benar takut akan ancaman mama. Tanpa sadar mas Dimas juga melirik ke arahku. Membuat seketika pandangan kami bertemu. Aku langsung menunduk, menghindari kontak mata dengannya.Aku takut kalau mas Dimas beranggapan bahwa aku ikut andil dalam keputusan mama."Dimas dan Dwi tidak jadi bercerai, Ma. Dimas mencabut lagi kata-kata Dimas tadi malam. Maaf kalau membuat Mama marah."Mataku membesar, lalu kembali mengintip wajah mas Dimas dengan mengangkat sedikit kepala. Untungnya pria plin plan itu kini sedang menoleh ke arah mama."Kamu jangan minta maaf sama Mama! Yang kamu sakiti itu istri kamu. Jadi kamu harus minta maaf sama Dwi!" Mama berucap tegas. Wajah mama tidak terlihat kaget sama sekali. Seperti sudah menduga sebelumnya, bahwa mas Dimas akan berubah pikiran saat mendapat ancaman."Iya, Ma. Dimas udah melakukan itu. Iya kan, Dwi?" Mas Dimas menatapku.Aku menjadi gugup. Hingga pagi ini aku belum mendengar permintaan maaf apa pun darinya. Tadi malam saat aku kembali memasuki kamar, dia langsung berbaring dengan memunggungiku. Tak ada pembicaraan lagi di antara kami hingga aku tertidur."Melakukan apa?" tanya mama, masih dengan nada ketus."Ya, minta maaf lah, Ma." Tatapan mas Dimas padaku seperti mengintimidasi. Berharap aku mengiyakan apa yang tidak dia lakukan."I_iya, Ma. Mas Dimas udah minta maaf." Dengan ragu aku berbohong.Ini bukan karena aku ingin membela mas Dimas, tapi hanya ingin membuat mama merasa tenang. Perasaan yang tadinya ingin benar-benar aku berikan pada suamiku itu, mendadak lenyap bersamaan dengan niatannya untuk berpisah."Benar, Dwi? Kamu jangan bohong untuk melindungi anak durhaka ini. Atau kamu diancam sama Dimas?" "Mama!" potong mas Dimas. Ternyata mama tidak bodoh. Dia terlihat curiga dengan jawabanku."Enggak kok, Ma." Aku kembali berbohong. "Mas Dimas benar-benar udah minta maaf." Aku menghela napas. Apa lagi yang bisa aku lakukan agar ibu dan anak ini bisa kembali berbaikan."Karena kamu yang ngomong, Mama percaya. Karena dari kecil kamu nggak pernah ngelawan dan bohong sama mama," ucap wanita yang mengenakan hijab instant itu.Aku kembali melirik ke arah mas Dimas. Dia terlihat lega dengan kebohonganku."Kalau begitu Dimas pamit dulu ya, Ma."Mas Dimas bangkit, lalu berjalan meninggalkan meja makan. Aku kembali terdiam. Selera makanku ikut menghilang.Tak berselang lama mas Dimas muncul lagi di ruang makan."Tas kerja Mas mana, Dwi?" Aku tercengang. Kulihat dia berdiri sambil menatapku. Setelah menikah, memang aku berusaha untuk menjadi istri yang baik. Dulu, sewaktu papa masih hidup dan sehat, mama selalu mengantar papa sampai ke depan pintu dan membawakan tasnya. Lalu papa mencium kening mama dengan mesra. Mereka terlihat bahagia.Setelah menikah, tanpa ada yang memerintah aku juga melakukan hal yang serupa. Selama dua minggu menjadi istri mas Dimas, aku selalu membawakan tas dan mengantarnya sampai ke teras rumah seperti yang mama lakukan.Meski tak mendapat ciuman di kening, tapi mas Dimas tak keberatan aku melayaninya seperti itu. Tapi kini, aku sengaja mengabaikan hal itu. Tak ada lagi hasrat untuk terlihat menjadi istri yang baik di matanya."Eh, maaf, Mas. Dwi lupa." Aku semakin pintar bersandiwara."Makanya jadi suami jangan suka nyakitin istri!" celetuk mama dengan sewot. Mas Dimas mengusap tengkuknya, tak menjawab. Kurasa dia tak ingin lagi melawan atau berdebat dengan mamanya."Sebentar, Mas. Dwi ambilkan."Aku berjalan menuju kamar di lantai dua. Setelah itu langsung menyusulnya yang telah menunggu di teras depan."Ini, Mas, tasnya." Mas Dimas menyambut pemberianku. Lalu mengulurkan tangannya. Mataku mengerjab. Jelas-jelas tas itu sudah berada di tangannya. Apa lagi yang dia minta?"Ada apa, Mas?" tanyaku heran."Nggak salam?"Eh! Lagi-lagi hal yang biasa aku lakukan aku lewatkan begitu saja. Rasanya aku dan Mas Dimas semakin asing. Aku juga mulai enggan untuk melayaninya."Eh, iya. Dwi lupa lagi." Aku menyambut uluran tangannya dan meletakkannya di kening."Jangan banyak melamun. Papa akan bersedih kalau kamu meratapinya terus. Papa udah tenang di alam sana. Kamu hanya harus mendoakannya." Tanpa rasa bersalah mas Dimas bertausiah menasihatiku.Ternyata laki-laki ini sama sekali tidak peka. Dia sendiri lah yang membuat aku jadi tidak peduli seperti ini.*Sore harinya mas Dimas pulang. Aku sedang mengobrol bersama mama di teras samping. Aku melihat mas Dimas naik ke lantai dua setelah menoleh dan menyapa mama.Ya. Hanya mama. Aku seperti tak terlihat di matanya seperti biasa. Namun kali ini aku tidak peduli. Sudah tidak berharap dianggap istri.Belum lama aku dan mama kembali mengobrol mengenang almarhum papa, suara teriakan mas Dimas terdengar dari atas sana."Dipanggil suami kamu tuh!" ucap mama dengan nada mengejek.Sepertinya mama mengerti dengan sikapku saat ini. Tak terlalu memaksa agar aku menyambut kehadiran anaknya seperti biasa. Bahkan mama juga ikut-ikutan bersikap cuek pada mas Dimas. Mama pasti juga merasa kecewa atas ucapan mas Dimas saat itu."Dwi pamit dulu ya, Ma." Mama mengangguk.Aku berjalan pelan menuju kamar. Menganggap panggilan mas Dimas bukan suatu hal yang penting."Ada apa, Mas?" tanyaku setelah mendapatinya dengan wajah masam."Handuk sama baju ganti Mas, mana? Lupa lagi?" ~~~Mas Dimas sungguh aneh. Dia telah memiliki niat untuk bercerai dariku. Namun masih terus mengharapkan pengabdianku. Tadinya kupikir dia akan belajar membiasakan diri lagi seperti saat sebelum aku menjadi istrinya.Padahal sebelum menikah, dia biasa melakukan semuanya sendiri. Lalu, hanya dalam waktu dua minggu saja dia jadi ketagihan memiliki pelayan pribadi seperti aku.Ya. Aku yakin, selama ini mas Dimas hanya menganggapku sebagai pelayan untuk memenuhi semua keperluannya. Merasakan nikmatnya dimanja, seperti mama biasa memanjakan papa di hadapan kami.Dengan mulut mengerucut aku langsung mengambil handuk dari gantungan, lalu memberikan padanya."Masih muda udah pikun. Udah Mas bilang, jangan terlalu banyak pikiran. Kalau kamu sakit, Mas juga nanti yang dimarahi sama mama." Dia berucap santai sambil berlalu melewatiku.Aku hanya bisa menghela napas. Tidak menyangka bahwa mas Dimas tidak sepeka itu dengan perubahan sikapku.Atau dia hanya berpura-pura, untuk menutupi rasa malu karena mencabut kata-katanya sendiri yang penuh keyakinan malam itu."Dwi!" Aku menoleh saat dia berdiri di pintu kamar mandi sebelum menutupnya."Iya, Mas?" Aku masih menjawab dengan sopan."Teh panas seperti biasa, ya. Ntar kamu lupa lagi." Tanpa menunggu jawabanku dia langsung menutup pintu.Ya, ampun. Mas Dimas memang benar-benar tidak punya perasaan.Aku pun mengambil pakaian ganti rumahan mas Dimas dari lemari dan meletakkannya di atas ranjang.*Usai makan malam, aku mengobrol di ruang tamu sambil memijat kaki mama. Kasihan sekali melihatnya meratapi kepergian suaminya. Padahal usia papa belum terlalu tua. Bahkan belum mencapai enam puluh tahun. Mama tampak begitu kehilangan."Dimas pergi dulu ya, Ma." Mas Dimas pamit sambil menenteng kunci mobil melewati kami."Dimas!" Mama memanggilnya dengan ketus."Sebentar aja, Ma. Ketemu teman." Mas Dimas kembali ke kebiasaan lamanya.Sering keluar meski tak sampai tinggi malam. Dari dulu dia beralasan hanya mengumpul bersama teman-teman. Tapi sekarang aku atau pun mama, pasti berpikir dia akan menemui wanita bernama Lena."Mama nggak ngelarang kamu, kok!" ucap mama ketus."Makasih, Ma." Mas Dimas tersenyum dan kembali melangkah."Dimas!" Mama memanggilnya kembali sebelum langkah itu menjauh.Mas Dimas menoleh."Apa lagi, Ma?""Kunci mobil, tinggal!"Aku langsung menoleh ke arah mama. Raut wajah mama tidak berubah. Dan mama sedang tidak bercanda."Kok ditinggal. Terus Dimas naik apa?""Kok nanyak mama? Terserah kamu mau naik apa!"Mas Dimas kembali mengalah. Tak ingin melawan atau mencari ribut dengan mamanya. Dia lalu meletakkan kunci mobil di atas meja tanpa perlawanan."Atm sama kartu kredit juga!"Mas Dimas tampak frustasi dengan sikap mama."Kamu hanya boleh membawa semua ini saat berangkat ke kantor atau sedang pergi bersama Dwi. Selain itu, kamu harus usaha sendiri." Mama semakin ketus.Harusnya aku tidak mendengarkan semua ini. Kalau sudah begini, aku yang merasa serba salah. Mas Dimas pasti akan semakin merasa tidak menyukaiku."Terserah mama aja lah." Mas Dimas mengeluarkan apa yang diminta mama dari dompetnya, lalu meletakkannya dengan asal.Tanpa bicara lagi, mas Dimas langsung meninggalkan kami. Tapi kali ini menuju ke lantai atas.Mas Dimas tidak jadi pergi."Ma. Apa mama serius memperlakukan mas Dimas seperti ini?" Aku mencoba membujuk mama.Walau bagaimana pun, mereka adalah ibu dan anak. Keluarga inti di rumah ini hanya tinggal mereka berdua. Sedangkan aku hanya orang lain. Tidak enak rasanya kalau mereka selalu bertengkar hanya karena aku."Biarin aja, Dwi. Dimas pasti mau bertemu dengan wanita itu. Mama nggak suka. Kamu yang sabar, ya? Mama benar-benar akan ngasi Dimas pelajaran. Biar jangan kurang ajar jadi suami. Sudah menikah, masih saja kelayapan dengan wanita lain."Aku terdiam. Di satu sisi mama benar. Dan harusnya aku memang sakit hati. Tapi karena belum ada rasa cinta di antara kami, aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukan suamiku.Bahkan jika dia tetap pada keputusannya ingin bercerai, aku juga sudah siap. Hanya saja perasaan itu tak mungkin aku ungkapkan pada mama.Malaikat hidupku ini pasti akan bersedih. Mama pasti tahu, jika nanti bercerai aku pasti akan meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin nantinya aku hidup serumah dengan istri barunya mas Dimas. "Mama jangan mikir yang macam-macam lagi ya, Ma. Dwi nggak mau kalau mama sampai sakit." Aku memeluk mama dengan erat."Makasih ya, Sayang. Kamu memang anak mama yang paling pengertian." Mama mengusap bahuku dengan lembut."Mulai saat ini, kamu yang pegan
Lagi-lagi ucapan mas Dimas membuat hatiku bagai tersambar petir. Mataku langsung menghangat saat mendengar pengakuannya. Tanpa perasaan dia mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal. Menganggapku sebagai adik, katanya?Dia bahkan tak pernah sekali pun membantuku mengerjakan PR. Hanya mama dan papa yang dengan setia dan telaten mengajari mata pelajaran yang tidak aku mengerti. Dia bahkan sangat jarang membawaku berkumpul bersama teman-teman yang lain saat mama dan papa berkumpul dengan teman-teman bisnisnya. Mas Dimas tak pernah menganggapku apa pun. Baik sebagai adik, ataupun istrinya.Dia hanya berpikir bahwa aku anak yatim piatu yang diasuh oleh kedua orang tuanya.Aku langsung berdiri agar bisa menjauh dari Mas Dimas. Enggan berlama-lama tuk menatap wajahnya yang tengah memelas."Baik! Dwi akan turuti keinginan Mas."Mas Dimas tampak tersenyum mendengar jawabanku."Mas tahu kamu gadis yang baik, Dwi." Pria tanpa perasaan itu mencoba menyentuh kepalaku, namun dengan cepat aku meng
Tante Sonia dan suaminya sedang berada di luar negeri untuk mengunjungi anaknya yang selama ini kuliah dan langsung bekerja di sana setelah lulus."Iya, Sonia. Tidak apa-apa. Terima kasih untuk doanya." Mama seperti merasa punya teman untuk berbagi.Wajah om Wira juga sangat berduka. Merasa hanya dirinya satu-satunya yang tersisa dari tiga sahabat itu.Setelah mereka duduk dan mulai tenang, aku pergi ke dapur untuk membantu bik Siti menyiapkan minuman dan camilan."Biar Dwi bantu, Bik," ucapku pada wanita tua itu."Biar Bibik aja, Mbak Dwi. Mbak Dwi temenin Ibuk aja," sahut bik Siti merasa segan."Nggak papa, Bik. Mama lagi ngobrol. Dwi bawain minumannya, ya?" "Makasih ya, Mbak." Aku tersenyum. Lalu kembali ke ruang tamu.Kulihat mas Dimas sudah kembali dari kantor. Duduk berdekatan dengan laki-laki yang mungkin seusia dengannya. Pria dewasa itu adalah anak Tante Sonia dan om Wira yang ikut pulang dari luar negeri saat mendengar papa meninggal. Aku dan mas Dimas sama-sama melihat, n
Aku dan mama kembali saling menoleh. Tak menyangka kalau mas Dimas akan bersikap terus terang seperti itu.Selama ini pernikahan kami memang belum diumumkan pada seluruh keluarga dan sahabat. Masih sibuk mengurus papa yang masih sakit, disusul dengan kepergian papa. Hingga belum ada waktu untuk meresmikan atau mengadakan resepsi.Termasuk keluarga om Wira, sahabat papa dan mama yang paling dekat."Lho, kok bisa begitu?" Tante Sonia juga tak kalah kaget."Maaf, Sonia. Mas Wira dan juga Arya. Kejadiannya terlalu mendadak. Ini adalah keinganan almarhum mas Hadi agar anak-anak ini cepat-cepat dinikahkan." Mama memberi penjelasan."Jadi, Dimas menikahi adiknya sendiri?""Bukan begitu, Sonia. Mereka kan tidak ada hubungan darah. Makanya mas Hadi ingin mereka menikah. Biar ada yang jagain Dwi juga, nanti kalau kami sudah nggak ada." Mama seolah mengerti apa yang tante Sonia maksudkan."Wah, curang ini ya, Pa," ledek tante Sonia lagi. "Dulu kan perjanjiannya anak kita akan menikah dengan adik
Saat aku berjalan menuju dapur, aku mendengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Tiba-tiba saja tanganku ditarik hingga membuatku harus berhenti dan menoleh ke belakang."Mas Dimas apa-apaan sih!" Aku menepiskan tangannya."Kok kamu ketus gitu?" Mas Dimas tampak tak terima dengan sikapku."Enggak kok, biasa aja." Aku berpura-pura."Tadi kamu senang banget sama Arya sampai ketawa-ketawa seperti itu. Giliran mas datang muka kamu langsung jutek. Kamu mau, Arya dan keluarganya tahu tentang masalah kita?""Dwi nggak peduli. Mas sendiri, ngapain datang? Udah puas berduaannya sama Lena?" Aku tak dapat menahan diri lagi mengingat ada Lena di luar, dan kemudian mereka berdua menghilang."Le_Lena?" Mas Dimas terdengar gugup. Dia pasti tak menyangka kalau aku mengetahui kecurangannya."I_itu...." "Udahlah, Mas. Mas Dimas nggak perlu menjelaskan apa-apa. Dwi juga udah nggak peduli. Tapi ingat, Mas sendiri yang cari masalah. Kalau sampai ketahuan mama, Dwi nggak akan mau lagi berbohong atau me
Mas Dimas melirik sinis padaku. Saat dalam perjalanan ke rumah mas Arya tadi dia memang bertanya, kenapa kami belum juga pulang.Aku menjawab apa adanya dan mengatakan kalau aku dan mama akan berkunjung ke rumah tante Sonia. Mas Dimas tidak terima.[Ngapain ke sana?] protes mas Dimas saat itu.[Nggak tau.] Aku membalas singkat.[Pulang aja!] [Ngomong sama mama, lah! Dwi kan cuman ngikut.]Setelah aku menyebut nama mama, tak ada lagi balasan pesan darinya.Lalu, kenapa saat ini dia seolah-olah marah padaku? Memangnya sejak kapan dia peduli aku pergi ke mana dan pulang jam berapa. Sikapnya semakin lama semakin aneh dan membuatku tidak tahan lagi."Eh, Dim. Jangan berdiri aja. Ayo duduk!" Mas Arya menyapa sahabatnya dengan antusias sambil menarik kursi di sebelahnya."Iya, Dim. Ayo makan." Om Wira juga memberi kesan ramah. Semua orang tentu saja menerima baik kehadiran mas Dimas."Bik, bawain piring lagi, buat Dimas. Nanti dia pikir kita beneran nggak ngundang dia lagi." Tante Sonia mem
Perusahaan yang sekarang dipegang oleh mas Dimas adalah usaha yang didirikan oleh papa dan juga kedua sahabatnya, termasuk ayahku.Namun saat aku kecil, ibu sakit-sakitan. Ayah membutuhkan banyak biaya dan memiliki banyak hutang. Dengan terpaksa ayah menjual semua sahamnya pada papa. Namun papa dan mama benar-benar manusia berhati malaikat. Nama ayah tak pernah dicoret dari daftar pemegang saham. Membiarkan ayah tetap berada di posisinya. Tak seorang pun yang tahu, termasuk mas Dimas dan juga keluarga om Wira.Sebelum mama mengakui semua itu, aku sudah lebih dulu tahu. Saat ayah masih sakit-sakitan dia terus-terusan mengatakan bahwa aku harus tahu diri. Sebenarnya kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku harus selalu berbuat baik pada keluarga mama dan papa sebagai balasan atas pertolongan mereka. Bahkan jika mereka memintaku menjadi pekerja di rumah mereka untuk membayar semua hutang-hutang ayah. Tak lama ayah meninggal. Dan tanpa diduga keluarga mas Dimas tak pernah menyinggung
Belum sempat aku bertanya, mas Arya menarik tanganku agar bergeser ke belakangnya. Dia menjadikan tubuh tinggi tegapnya sebagai tameng agar Lena tidak bisa menyentuhku. Lalu mengempaskan tangan wanita angkuh itu begitu saja."Siapa kamu?" bentak Lena. Dia tampak marah pada mas Arya. "Jangan ikut campur urusan orang!""Aku nggak akan ikut campur kalau kamu nggak main kasar. Wanita ini teman baikku." Mas Arya masih memegang tanganku dengan erat.Saskia juga ikut bangkit dan berdiri di sampingku. Dia pasti terheran-heran dengan semua kekacauan yang dia lihat."Teman baik?" Lena tersenyum mengejek. "Maksudnya selingkuhan? Nggak nyangka, ya. Kalau anak pungut yang sok polos kayak kamu ternyata juga hobi selingkuh. Pantas aja Dimas nggak pernah cinta sama kamu dan lebih memilih aku," ucap Lena penuh percaya diri.Mas Arya langsung berbalik ke arahku. Dia pasti ikut terkejut dengan berita yang sudah dibeberkan wanita itu."Dimas selingkuh, Dwi?" Mata mas Arya menyipit menatapku. Aku masih bi