Share

Part3

Aku hanya terdiam menyaksikan mama memarahi mas Dimas habis-habisan. Aku yang sedari kecil hanya menumpang tinggal dengan mereka, merasa tak punya hak suara untuk menengahi perdebatan itu. Yang bisa kulakukan saat ini hanyalah menanti dengan pasrah keputusan apa yang mereka ambil untukku.

Aku yang tidak punya siapa-siapa lagi ini tak tahu harus ke mana jika harus mengalah dan pergi. Kerabat lain pun tak banyak yang aku kenal. Sementara selama ini, makan dan segala kebutuhanku masih dipenuhi oleh orang-orang di rumah ini.

Andai aku mengalah dan angkat kaki dari sini, aku harus ke mana? Pengalaman kerja pun aku belum punya. Tidak mungkin aku membiarkan mas Dimas pergi dari rumahnya sendiri. Laki-laki yang masih sah menjadi suamiku itu pasti semakin membenci keberadaanku.

Ya, Allah. Apa yang harus aku lakukan?

"Kamu jangan khawatir, Dwi." Mama seperti bisa membaca pikiranku. "Kamu tetap menjadi anak Mama. Kalau Dimas menceraikan kamu, Mama akan mencarikan jodoh lain untuk kamu, dan menyerahkan perusahaan ke tangannya." Mama kembali memberikan sinyal mengancam pada anaknya.

Aku memandang wajah mama yang terlihat begitu tulus. Lalu melirik mas Dimas yang terlihat gusar, seperti frustasi dan bingung dengan apa yang harus dilakukan.

"Kamu pikirkan baik-baik, Dimas. Kamu pikir mama tidak tahu, kalau diam-diam kamu menjalin hubungan dengan wanita lain?" 

Mas Dimas semakin terkejut dengan ucapan mama. 

"Ma, itu__."

"Wanita itu yang datang saat papa meninggal, kan? Tadi juga mama lihat dia datang dan mendekati kamu. Dasar wanita tidak tahu malu. Tidak punya harga diri."

"Ma! Lena wanita baik-baik. Mama jangan menuduhnya yang bukan-bukan." Mas Dimas keberatan dengan tuduhan mama, meski sudah ketahuan.

"Wanita baik-baik mana yang masih menempel pada pria beristri. Di mana-mana pelakor itu bukan wanita baik-baik! Perusak rumah tangga orang!" Mama tak mau kalah.

Aku begitu terkejut saat tahu mama sudah memiliki firasat seperti itu. Pantas wanita berhijab coklat itu marah besar saat mas Dimas hendak mengucap kata cerai.

Aku saja yang terlalu percaya, hingga tidak peka pada gelagat aneh suami sendiri. Masih tak menyangka, kalau laki-laki sebaik dan bertanggung jawab seperti mas Dimas akan besikap curang seperti ini.

"Kamu pikirkan baik-baik, Dimas. Tarik kata-kata kamu, atau malam ini juga kamu bereskan barang-barangmu. Ayo, Dwi. Biarkan anak durhaka ini merenungi kebodohannya."

Belum sempat berpikir dan menjawab, mama sudah merangkul bahuku untuk keluar dari kamar.

Aku hanya menangis sesenggukan saat sampai di kamar mama. Mama memelukku dengan sangat erat. Tangisnya bahkan lebih menyedihkan dibanding aku.

Aku mengerti. Ini seperti musibah yang bertubi-tubi. Baru tiga hari ditinggal suami untuk selamanya, kini hal mengejutkan kembali terdengar olehnya.

"Jangan tinggalkan Mama, Dwi. Kamu satu-satunya putri kesayangan mama." Mama sesenggukan. "Mama nggak mau kesepian di rumah ini tanpa kalian."

Kesedihanku saat ini tak sebanding dengan kesedihan mama.  Aku jadi tidak tega dan merasa bersalah. Di lubuk hatiku pun aku tidak ingin meninggalkan mama yang telah memanjakanku selama ini dengan limpahan kasih sayang.

"Dwi akan tetap sama Mama. Mama jangan berpikir yang macam-macam, ya?" Aku mencoba menenangkannya. Padahal aku sendiri juga butuh ditenangkan.

"Maafkan Dimas yang telah menyakiti kamu, Dwi. Anak itu sama sekali bukan suami yang baik seperti papanya."

"Sudah, Ma. Dwi juga salah. Tidak seharusnya Dwi mengganggu hubungan mas Dimas dengan pacarnya. Dwi yang telah merebut mas Dimas dari wanita itu."

"Kamu tidak boleh bicara seperti itu, Dwi. Tidak ada yang merebut siapa pun. Wanita seperti kamu yang lebih pantas mendampingi Dimas."

Aku tak lagi melanjutkan kata-kataku. Keadaan ini membuat aku dan mama sama-sama merasa terpukul. Yang kami butuhkan saat ini hanyalah waktu untuk sendiri. Mama yang mengenang papa, dan aku yang merenungi nasibku selanjutnya.

Usai saling memberi semangat dan menguatkan, aku pamit dan meninggalkan mama sendirian di kamarnya. Membiarkan wanita berhati malaikat itu sendiri untuk beristirahat. Tahlilan malam ke tiga ini cukup membuat semua orang merasa lelah. 

Jika tanpa kejadian yang disebabkan oleh mas Dimas tadi, kami semua pasti sudah tidur dengan nyenyak.

Aku kembali menaiki tangga menuju lantai dua. Namun kali ini aku tak kembali ke kamar tadi. Aku memasuki kamarku yang dulu aku tempati sebelum menikah. Kamar yang sama-sama berada di lantai atas tak jauh dari kamar mas Dimas yang sekarang menjadi kamar kami.

Aku membaringkan diri di atas ranjang lamaku. Memikirkan nasib yang sepertinya masih belum berpihak padaku.

Dalam hati aku masih berpikir, mama tak mungkin benar-benar tega membiarkan putranya pergi dengan tangan kosong dari rumah ini. Mama hanya emosi dan marah untuk sementara waktu. Kelak jika dia rindu, dia akan menyesal dan meminta mas Dimas kembali bersamanya.

Dan aku pun akan merasa begitu canggung saat kembali tinggal bersama dalam satu rumah dengan laki-laki yang sudah menceraikanku. Mau pergi dari rumah pun, tak tega setelah mendengar permohonan mama tadi.

Dilihat dari cara mas Dimas hendak menceraikanku, sepertinya mas Dimas tidak akan gentar menghadapi ancaman mama. Melihat keberaniannya membawa wanita bernama Lena ke rumah ini, dia pasti benar-benar serius dengan wanita itu.

Andai orang tuaku masih hidup, aku pasti tidak akan mengalami hal buruk seperti ini. Air mataku tak berhenti mengalir sejak tadi hingga aku merasa mengantuk. Baru saja mataku terpejam, suara ketukan terdengar dari pintu.

Dengan malas aku bangkit, lalu mengusap sisa air mata yang sebagian sudah mengering di pipi.

"Mas Dimas?" Laki-laki itu sudah berdiri di depan pintu.

"Ngapain di sini?" tanya dia.

"Dwi mau tidur, Mas."

"Kamu senang Mas kena marah terus sama mama? Ayo balik." Mas Dimas memberikan kode dengan kepalanya.

"Balik ke mana?"

"Kamar." 

Aku tak menjawab. Merasa kalau sekarang aku berada di kamar yang benar. 

"Tunggu apa lagi?"

"Tapi ini kamar Dwi, Mas." Aku masih berlaku sopan. Bagaimana pun juga Mas Dimas pernah menjadi seseorang yang aku anggap kakak dan aku hormati.

"Sekarang, Dwi! Ke kamar kita!"

                                      ~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status