Share

Part5

"Biarin aja, Dwi. Dimas pasti mau bertemu dengan wanita itu. Mama nggak suka. Kamu yang sabar, ya? Mama benar-benar akan ngasi Dimas pelajaran. Biar jangan kurang ajar jadi suami. Sudah menikah, masih saja kelayapan dengan wanita lain."

Aku terdiam. Di satu sisi mama benar. Dan harusnya aku memang sakit hati. Tapi karena belum ada rasa cinta di antara kami, aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukan suamiku.

Bahkan jika dia tetap pada keputusannya ingin bercerai, aku juga sudah siap. Hanya saja perasaan itu tak mungkin aku ungkapkan pada mama.

Malaikat hidupku ini pasti akan bersedih. Mama pasti tahu, jika nanti bercerai aku pasti akan meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin nantinya aku hidup serumah dengan istri barunya mas Dimas. 

"Mama jangan mikir yang macam-macam lagi ya, Ma. Dwi nggak mau kalau mama sampai sakit." Aku memeluk mama dengan erat.

"Makasih ya, Sayang. Kamu memang anak mama yang paling pengertian." Mama mengusap bahuku dengan lembut.

"Mulai saat ini, kamu yang pegang barang-barang itu. Kembalikan saat suami kamu mau berangkat kerja. Lalu ambil kembali setelah dia pulang."

Hah? 

Ini tugas yang sangat berat. Mas Dimas pasti akan sangat membenciku karena ini.

*

Mama sudah masuk ke kamar tidurnya setelah meminum teh jahe merah buatan Bik Siti. Aku pun kembali ke kamar karena merasa mata mulai mengantuk. Mas Dimas tak turun lagi sejak kejadian tadi.

Aku membuka pintu kamar. Tak kudapati mas Dimas berada di dalamnya. Namun aku melihat pintu balkon sedang terbuka.

"Nggak usah marah-marah bisa nggak, sih? Aku kan udah minta maaf. Aku akan cari cara biar mama bisa nerima kamu." Terdengar suara mas Dimas sedang membujuk seseorang. Aku yakin itu pasti Lena.

Mas Dimas ternyata sudah mulai terang-terangan menunjukkan hubungannya di rumah ini. Biasanya dia tak pernah sekali pun bersikap seperti itu. Ponselnya selalu dia letakkan hingga aku tahu tidak ada orang lain yang mengajaknya mengobrol malam-malam seperti ini.

Dan selama ini aku telah tertipu dengan sikap baiknya.

Mungkin ini adalah cara dia menunjukkan bahwa dengan sikap mama yang seperti itu, dia akan membalasnya padaku lebih parah lagi.

Aku berpura-pura tidak mendengarkan. Lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka sebelum tidur.

Saat keluar dari kamar mandi, mas Dimas telah duduk di sisi ranjang. Dia pasti sudah menyadari kehadiranku sejak tadi.

"Dwi__." 

"Dwi nggak peduli!" Aku menyela ucapannya sebelum selesai. 

"Lakukan saja apa maunya Mas. Dwi nggak ikut campur. Asal mas tau, Dwi nggak pernah minta mama untuk membela Dwi. Sebagai orang lain, Dwi cukup tahu diri untuk nggak menuntut apa pun dari Mas."

Mas Dimas terdiam. Dia pasti menyadari kalau aku mendengar pembicaraannya dengan Lena.

Bukannya ingin melawan, tapi terang-terangan menunjukkan perselingkuhannya di hadapanku, tentu saja aku tidak terima. Hal itu terlalu menghina dan melukai harga diriku sebagai seorang istri.

"Kalau Mas masih tetap ingin bercerai, biar Dwi yang keluar dari rumah ini." Aku berjalan menuju meja rias untuk melakukan perawatan malam.

"Kamu mau ke mana? Memangnya punya tujuan? Beha aja masih dibeliin sama mama," sindirnya.

Aku berbalik dan melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia membahas pakaian dalam di saat seperti ini. Walaupun harus kuakui, apa yang dia katakan memang benar. 

Aku jarang sekali keluar bersama teman-teman. Saat membeli pakaian dan keperluan lainnya pun aku merasa lebih nyaman berbelanja bersama mama. Seperti itulah mama selalu memanjakanku.

"Terserah Mas mau ngomong apa. Besok Dwi akan bilang sama mama, Dwi setuju kita bercerai." 

"Jangan, Dwi!" Mas Dimas berjalan mendekatiku. Dia kini berdiri di belakangku. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas dari bayangan cermin.

"Kenapa? Bukannya ini keinginan Mas?" Aku menoleh ke arahnya.

"Tapi kan, Mas udah bilang nggak jadi."

"Mas anggap Dwi ini apa? Tidak jadi menceraikan, tapi Mas selingkuh di luar sana. Mas nggak takut dosa? Dwi nggak mau hidup seperti itu!" Aku meninggikan sedikit suaraku.

Dengan refleks mas Dimas membekap mulutku dengan telapak tangannya. Seketika pandangan kami bertemu dalam jarak sedekat ini.

"Pelan-pelan, Dwi. Nanti mama dengar. Kamu tega melihat Mas dimarahi terus?" 

Aku terdiam. Ini pertama kalinya aku menatap matanya secara langsung. Bola matanya hitam legam. Begitu tajam memandangku. Lalu dengan perlahan dia menurunkan tangannya dari area wajahku.

"Maaf, Dwi. Mas hanya menganggap kamu sebagai adik. Nggak lebih. Tapi Mas nggak bisa menceraikan kamu karena mama. Tolong mengerti. Kamu nggak mau mama terus-terusan marah sama Mas, kan? Kalau mau bercerai, tunggu mama tenang dulu, ya?"

                                 ~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status