"Biarin aja, Dwi. Dimas pasti mau bertemu dengan wanita itu. Mama nggak suka. Kamu yang sabar, ya? Mama benar-benar akan ngasi Dimas pelajaran. Biar jangan kurang ajar jadi suami. Sudah menikah, masih saja kelayapan dengan wanita lain."
Aku terdiam. Di satu sisi mama benar. Dan harusnya aku memang sakit hati. Tapi karena belum ada rasa cinta di antara kami, aku tak lagi peduli apa yang ingin dilakukan suamiku.Bahkan jika dia tetap pada keputusannya ingin bercerai, aku juga sudah siap. Hanya saja perasaan itu tak mungkin aku ungkapkan pada mama.Malaikat hidupku ini pasti akan bersedih. Mama pasti tahu, jika nanti bercerai aku pasti akan meninggalkan rumah ini. Tidak mungkin nantinya aku hidup serumah dengan istri barunya mas Dimas. "Mama jangan mikir yang macam-macam lagi ya, Ma. Dwi nggak mau kalau mama sampai sakit." Aku memeluk mama dengan erat."Makasih ya, Sayang. Kamu memang anak mama yang paling pengertian." Mama mengusap bahuku dengan lembut."Mulai saat ini, kamu yang pegang barang-barang itu. Kembalikan saat suami kamu mau berangkat kerja. Lalu ambil kembali setelah dia pulang."Hah? Ini tugas yang sangat berat. Mas Dimas pasti akan sangat membenciku karena ini.*Mama sudah masuk ke kamar tidurnya setelah meminum teh jahe merah buatan Bik Siti. Aku pun kembali ke kamar karena merasa mata mulai mengantuk. Mas Dimas tak turun lagi sejak kejadian tadi.Aku membuka pintu kamar. Tak kudapati mas Dimas berada di dalamnya. Namun aku melihat pintu balkon sedang terbuka."Nggak usah marah-marah bisa nggak, sih? Aku kan udah minta maaf. Aku akan cari cara biar mama bisa nerima kamu." Terdengar suara mas Dimas sedang membujuk seseorang. Aku yakin itu pasti Lena.Mas Dimas ternyata sudah mulai terang-terangan menunjukkan hubungannya di rumah ini. Biasanya dia tak pernah sekali pun bersikap seperti itu. Ponselnya selalu dia letakkan hingga aku tahu tidak ada orang lain yang mengajaknya mengobrol malam-malam seperti ini.Dan selama ini aku telah tertipu dengan sikap baiknya.Mungkin ini adalah cara dia menunjukkan bahwa dengan sikap mama yang seperti itu, dia akan membalasnya padaku lebih parah lagi.Aku berpura-pura tidak mendengarkan. Lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mencuci muka sebelum tidur.Saat keluar dari kamar mandi, mas Dimas telah duduk di sisi ranjang. Dia pasti sudah menyadari kehadiranku sejak tadi."Dwi__." "Dwi nggak peduli!" Aku menyela ucapannya sebelum selesai. "Lakukan saja apa maunya Mas. Dwi nggak ikut campur. Asal mas tau, Dwi nggak pernah minta mama untuk membela Dwi. Sebagai orang lain, Dwi cukup tahu diri untuk nggak menuntut apa pun dari Mas."Mas Dimas terdiam. Dia pasti menyadari kalau aku mendengar pembicaraannya dengan Lena.Bukannya ingin melawan, tapi terang-terangan menunjukkan perselingkuhannya di hadapanku, tentu saja aku tidak terima. Hal itu terlalu menghina dan melukai harga diriku sebagai seorang istri."Kalau Mas masih tetap ingin bercerai, biar Dwi yang keluar dari rumah ini." Aku berjalan menuju meja rias untuk melakukan perawatan malam."Kamu mau ke mana? Memangnya punya tujuan? Beha aja masih dibeliin sama mama," sindirnya.Aku berbalik dan melotot ke arahnya. Bisa-bisanya dia membahas pakaian dalam di saat seperti ini. Walaupun harus kuakui, apa yang dia katakan memang benar. Aku jarang sekali keluar bersama teman-teman. Saat membeli pakaian dan keperluan lainnya pun aku merasa lebih nyaman berbelanja bersama mama. Seperti itulah mama selalu memanjakanku."Terserah Mas mau ngomong apa. Besok Dwi akan bilang sama mama, Dwi setuju kita bercerai." "Jangan, Dwi!" Mas Dimas berjalan mendekatiku. Dia kini berdiri di belakangku. Aku dapat melihat wajahnya dengan jelas dari bayangan cermin."Kenapa? Bukannya ini keinginan Mas?" Aku menoleh ke arahnya."Tapi kan, Mas udah bilang nggak jadi.""Mas anggap Dwi ini apa? Tidak jadi menceraikan, tapi Mas selingkuh di luar sana. Mas nggak takut dosa? Dwi nggak mau hidup seperti itu!" Aku meninggikan sedikit suaraku.Dengan refleks mas Dimas membekap mulutku dengan telapak tangannya. Seketika pandangan kami bertemu dalam jarak sedekat ini."Pelan-pelan, Dwi. Nanti mama dengar. Kamu tega melihat Mas dimarahi terus?" Aku terdiam. Ini pertama kalinya aku menatap matanya secara langsung. Bola matanya hitam legam. Begitu tajam memandangku. Lalu dengan perlahan dia menurunkan tangannya dari area wajahku."Maaf, Dwi. Mas hanya menganggap kamu sebagai adik. Nggak lebih. Tapi Mas nggak bisa menceraikan kamu karena mama. Tolong mengerti. Kamu nggak mau mama terus-terusan marah sama Mas, kan? Kalau mau bercerai, tunggu mama tenang dulu, ya?" ~~~~"Kenapa Mama pergi, Sayang? Apa mama masih benci sama Mas?" tanya Dimas ketika melihat ibunya langsung pergi begitu dia baru sampai. Tanpa menyapa apalagi bertanya tentang keadaannya terlebih dahulu."Sudah, Mas. Tidak usah dipikirkan. Ayo kita masuk." Dwi langsung menarik lengan suaminya agar ikut masuk dengannya. "Apa Mas sudah sarapan? Mau Dwi buatin kopi, atau apa?""Sebenarnya belum, sih. Tapi ketika melihat kamu, Mas sudah kenyang.""Ilih, Mas Dimas suka gombal, deh. Jangan-jangan sudah dibuatin sarapan sama Lena tadi, iya kan?" Mengingat nama itu sebenarnya hati Dwi terasa perih, namun nama itu tidak akan bisa dia lupakan begitu saja dari dalam hidupnya."Kok ngomongin dia lagi, sih? Apa Dwi belum bisa percaya seutuhnya sama Mas?""Dwi percaya kok sama Mas. Jika Dwi tidak percaya sama Mas Dimas, untuk apa juga Dwi nyuruh Mas pulang." Dwi meralat kembali ucapannya agar suaminya tidak jadi marah."Eh, suasana rumah kok sepi? Bik Siti kemana?" tanya Dimas begitu menyadari tidak ad
"Ibu!" ucap Rangga ketika memasuki ruangan yang ditempati oleh Ratih. Pria itu mencoba untuk mengingat-ingat sesuatu sembari mengacungkan jari telunjuk ke arah wanita paruh baya itu. Raut wajah wanita yang sedang mengenakan busana serba putih itu seperti tidak asing baginya."Kamu mengenal saya?" tanya Ratih dengan penuh tanda tanya. Seingat wanita paruh baya itu, dia tidak pernah mengenal ataupun melihat pemuda yang sedang berada dihadapannya kini."Oh, iya. Saya ingat sekarang. Bukankah Anda itu adalah Bu Ratih, salah satu donatur tetap di Panti Asuhan 'Sahabat Sejati'?" ucap Rangga penuh dengan keyakinan."Benar itu saya. Saya adalah salah satu pemilik dan pengurus yayasan itu. Kamu siapa? Kenapa kamu tahu tentang yayasan itu?" Ratih balik bertanya pada pemuda yang baru saja memasuki ruangannya itu."Oh, perkenalkan. Nama saya Rangga Adiyasa, saya adalah salah satu anak penghuni Panti Asuhan itu tempo dulu. Senang bisa bertemu dengan anda kembali." Dengan ramah, pemuda yang memilik
"Dimas! Dimana kamu? Ayo keluar! Jangan coba-coba sembunyi dariku Dimas!" teriak Lena dari luar sembari menggedor-gedor pintu ruangan yang biasa ditempati oleh Dimas dengan sangat keras. Sudah beberapa hari ini wanita itu datang ke kantor ini untuk mencari keberadaan kekasih hatinya itu dan ingin meminta pertanggung jawaban darinya.Namun sayang, apa yang dia cari tak kunjung ketemu. Bak ditelan bumi, keberadaan Dimas tidak dia ketahui. Yang ada hanya Arya, pemuda yang begitu menyebalkan baginya.Ratih dan Arya yang sedang memeriksa berkas-berkas pekerjaan kantor di dalam ruangan itu sontak terkejut."Siapa itu Arya?" tanya Ratih kepada putra temannya itu."Sepertinya itu suara Lena, Tante.""Kenapa wanita itu bisa bebas berkeliaran di kantor ini?""Dia sudah biasa melakukannya, Tante. Beberapa hari ini saja, dia sudah berkali-kali datang ke sini untuk mencari Dimas.""Kenapa kamu tidak mengusirnya?""Saya sudah mencoba untuk memberinya peringatan, namun wanita itu tidak juga mau meny
Dimas dapat merasakan tentang betapa beratnya kerinduan yang dirasakan oleh istri kecilnya itu. Sebab saat ini Dimas juga merasakan hal yang sama. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak dan segera keluar dari masalah yang sedang menderanya. "Kamu yang sabar ya, Sayang. Mas akan segera membuktikan bahwa Mas tidak pernah berhubungan sejauh yang Lena tuduhkan pada Mas. Kamu percaya kan sama Mas?" Hanya kata-kata itu yang dapat Dimas ucapkan untuk meyakinkan istrinya."Dwi percaya sama Mas Dimas."*Sepanjang malam Dwi tidak bisa tidur memikirkan tentang keadaan suaminya. Sebagai istri, seharusnya saat ini Dwi berada di samping suaminya dan melayani segala kebutuhan Dimas. Dalam hati yang paling dalam, Dwi benar-benar merasa bersalah karena telah menuntut Dimas dengan berlebihan dan memberi sebuah beban yang sangat berat dipundak suaminya itu.Karena tidak bisa tidur, Dwi memutuskan untuk membuat sarapan untuk ibu mertuanya. Dwi harus mencari perhatian dari ibu suaminya itu agar tetap bersi
"Kamu mengenalku?" tanya Dimas heran.Pria yang ada dihadapannya itu tersenyum sinis sembari membuang muka, seperti tak ingin melihat wajah Dimas."Tentu saja aku mengenalmu. Kamu orang yang telah merebut Lena dariku, bukan?"Sontak Dimas terkejut dengan pernyataan pria itu. Dimas merasa khawatir jika akan terjadi selisih paham diantara mereka. Kemudian dia melirik Arya yang berada disampingnya. Dimas curiga bahwa Arya sengaja melakukan semua ini untuk menjebaknya. Agar pria yang tidak dia kenali ini salah sangka dan menghajarnya.'Licik sekali kamu, Arya!' gumam Dimas dalam hati."Tenang saja, Bro. Aku tidak akan berbuat macam-macam terhadapmu. Justru dengan kedatanganmu kesini, akan menguntungkan buatku. Bukankah begitu kawan?" ucap pria itu menatap kearah Arya.Arya tersenyum sembari mengangguk. Membenarkan semua ucapan pria yang bernama Rangga tersebut."Apa maksud kalian?" tanya Dimas semakin tak mengerti. Menatap Arya dan Rangga secara bergantian."Oh, perkenalkan! Saya Rangga,
Dwi yang melihat itu menjadi tak enak hati. Lalu semakin mengeratkan diri dalam pelukan suaminya itu."Dwi cuma bercanda, Sayang. Dwi ke sini sengaja mau ngasi kejutan buat Mas Dimas. Dwi kangen banget sama Mas Dimas," ucap Dwi dengan sangat manja.Hati Dimas terenyuh mendengarnya. Suara manja Dwi membuat wanita itu terlihat begitu menggemaskan."Oh, gitu. Sengaja mau bikin Mas marah, gitu?""Dih. Emang kalau Mas Dimas marah gimana?""Mmm... nantangin, ya?""Emang mau ngapain?"Dimas tersenyum nakal, lalu menarik hidung mancung Dwi dengan gemas."Mas mau ngasi kamu hukuman sampai sore." Dimas langsung menarik tubuh Dwi dan merebahkannya di atas ranjang."Ish, Mas Dimas nakal." Dwi menjerit kecil.Dimas tak peduli, lalu terus mencumbu istrinya dengan semangat."Awas kelewatan, ya. Tepati janji Mas.""Berisik! Pokoknya hukuman kamu sampai sore!"*Sore harinya Dimas dan Dwi turun dari kamar. Setelah menghabiskan waktu seharian, Dwi akhirnya harus pulang. Dimas punya sesuatu untuk dikerj