Share

Part6

Lagi-lagi ucapan mas Dimas membuat hatiku bagai tersambar petir. Mataku langsung menghangat saat mendengar pengakuannya. Tanpa perasaan dia mengucapkan hal-hal yang tidak masuk akal.  Menganggapku sebagai adik, katanya?

Dia bahkan tak pernah sekali pun membantuku mengerjakan PR. Hanya mama dan papa yang dengan setia dan telaten mengajari mata pelajaran yang tidak aku mengerti. 

Dia bahkan sangat jarang membawaku berkumpul bersama teman-teman yang lain saat mama dan papa berkumpul dengan teman-teman bisnisnya. Mas Dimas tak pernah menganggapku apa pun. Baik sebagai adik, ataupun istrinya.

Dia hanya berpikir bahwa aku anak yatim piatu yang diasuh oleh kedua orang tuanya.

Aku langsung berdiri agar bisa menjauh dari Mas Dimas. Enggan berlama-lama tuk menatap wajahnya yang tengah memelas.

"Baik! Dwi akan turuti keinginan Mas."

Mas Dimas tampak tersenyum mendengar jawabanku.

"Mas tahu kamu gadis yang baik, Dwi." Pria tanpa perasaan itu mencoba menyentuh kepalaku, namun dengan cepat aku mengelak.

"Tapi Dwi punya syarat."

"Syarat apa? Kamu mau sekolah lagi? Dengan senang hati Mas izinkan." Suamiku berkata dengan percaya diri.

Padahal tanpa meminta izin darinya pun aku bisa berusaha mendapatkan beasiswa agar tak membebani keluarga ini lagi dengan biaya pendidikanku.

"Bukan! Ini hanya urusan kita berdua." 

"Bilang aja, Dwi. Mas akan turuti."

"Baik. Pertama Mas Dimas nggak boleh minta apa pun lagi dari Dwi. Apalagi mengurusi semua keperluan Mas. Dan yang kedua, kita jangan lagi saling ikut campur urusan masing-masing. Dwi juga  nggak mau membela Mas kalau mama sedang marah. Kemarahan mama sama sekali nggak ada hubungannya sama Dwi." Aku berucap tegas.

"Dwi?" Mas Dimas menyipit memandangku.

"Kenapa? Mas keberatan? Kalau begitu, ceraikan Dwi sekarang juga!" 

"Oke, oke. Mas mengerti. Maaf kalau selama ini Mas ngerepotin kamu." Mas Dimas menyerah. 

Entah kenapa permintaan maafnya terdengar tulus. Dan ada sedikit rasa sesal di hatiku telah berucap begitu kasar padanya.

"Baik. Kalau begitu mulai malam ini Dwi tidur di kamar lama. Dwi nggak mau mengganggu kalau Mas Dimas mau nelepon selingkuhan Mas!" ucapku ketus.

"Jangan, Dwi. Nanti mama curiga. Kamu harus tetap di kamar kita."

"Jangan egois, Mas. Mas Dimas mau pamer sama Dwi?" Aku bertambah emosi.

Bisa-bisanya aku tidur di samping pria yang terang-terangan sedang mengobrol bersama selingkuhannya.

"Mas nggak akan melakukan itu. Selama ini apa pernah Mas begitu?"

"Jadi yang tadi itu apa?"

"Maaf, Dwi. Tadi Mas terpaksa. Lena marah__."

"Tolong jangan sebut nama itu malam ini, Mas. Itu menyakitkan." Meski kutahan, tetap saja air mata mengalir dari sudut mataku.

Aku langsung membuang pandangan. Tak ingin melihat mas Dimas melihatnya dan salah paham akan perasaanku.

"Maaf. Mas janji kejadian tadi nggak akan terulang lagi."

Saat ini aku bagai memakan buah simalakama. Meski terlihat bodoh, namun aku tak mau melihat mama kecewa. Sikapnya yang keras seperti ini hanya agar putranya sadar dan berubah. 

Sayangnya laki-laki itu tidak punya niatan seperti itu.

*

Sore harinya rumah kami kedatangan tamu. Kulihat mama menangis di pelukan wanita paruh baya yang memeluknya dengan sangat erat. Cukup lama, hingga aku pun menitikkan air mata melihat pertemuan mereka.

"Maaf, Ratih. Kami baru bisa datang sekarang. Saat mendengar mas Hadi meninggal, penerbangan sedang buruk. Hingga aku dan mas Wira tidak bisa langsung pulang ke tanah air." Suara wanita itu terdengar mulai serak.

Tante Sonia dan suaminya adalah sahabat keluarga ini. Papa dan mama berteman baik dengan mereka. Bahkan yang aku dengar, ayah dan ibuku juga salah satu dari sahabat mereka. Hanya saja orang tuaku tak berumur panjang.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status