Share

Part8

Aku dan mama kembali saling menoleh. Tak menyangka kalau mas Dimas akan bersikap terus terang seperti itu.

Selama ini pernikahan kami memang belum diumumkan pada seluruh keluarga dan sahabat. Masih sibuk mengurus papa yang masih sakit, disusul dengan kepergian papa. Hingga belum ada waktu untuk meresmikan atau mengadakan resepsi.

Termasuk keluarga om Wira, sahabat papa dan mama yang paling dekat.

"Lho, kok bisa begitu?" Tante Sonia juga tak kalah kaget.

"Maaf, Sonia. Mas Wira dan juga Arya. Kejadiannya terlalu mendadak. Ini adalah keinganan almarhum mas Hadi agar anak-anak ini cepat-cepat dinikahkan." Mama memberi penjelasan.

"Jadi, Dimas menikahi adiknya sendiri?"

"Bukan begitu, Sonia. Mereka kan tidak ada hubungan darah. Makanya mas Hadi ingin mereka menikah. Biar ada yang jagain Dwi juga, nanti kalau kami sudah nggak ada." Mama seolah mengerti apa yang tante Sonia maksudkan.

"Wah, curang ini ya, Pa," ledek tante Sonia lagi. "Dulu kan perjanjiannya anak kita akan menikah dengan adiknya Dimas."

"Tapi kan Ajeng udah nggak ada, Tante." Mas Dimas seperti membela keputusan orang tuanya. Dan lagi-lagi hal itu membuatku bingung.

Aku hanya terdiam mendengar perdebatan mereka. Sedikit banyak aku bisa menangkap apa yang mereka bicarakan. Tapi tetap saja semua sudah terjadi. Meski nantinya aku dan mas Dimas berpisah, keluarga itu belum tentu menerima status jandaku untuk anak mereka.

Lagipula mana mungkin mas Arya mau menikah dengan mantan istri sahabatnya. Sebaiknya aku tidak memikirkan yang tidak-tidak lagi tentang pernikahan.

*

"Kamu jangan gampang tergoda dengan si Arya itu, Dwi!" ucap mas Dimas saat keluarga itu sudah pulang. "Arya itu playboy. Apalagi selama ini dia tinggal di luar negeri. Kehidupan di sana pasti bebas. Bisa kena penyakit nanti kamu kalau dekat-dekat sama dia."

Aku yang baru saja meletakkan cangkir-cangkir teh bekas tamu tadi heran mendengar ucapannya.

"Mas Dimas nggak usah ikut campur. Ingat perjanjian kita!" sahutku dengan ketus. Lalu berjalan menuju lantai atas untuk mandi.

Langkah kaki mas Dimas mengikuti dari belakang.

"Tadi teh nya kok nggak ditambahi, Dwi? Mas kan belum ada minum." Pria itu masih mengekor di belakangku dengan mengeluh.

"Mas lupa perjanjian kita? Kenapa nggak minta sama bik Siti? Dwi mau mandi. Gerah!" ketusku lagi.

Bukan hanya tubuhku saja yang gerah karena kesorean mandi. Tapi juga hati, melihat sikap mas Dimas yang tak kumengerti.

*

Malam ke tujuh tahlilan almarhum papa, rumah tampak ramai dengan tamu undangan yang ikut membaca doa.

Pemandangan yang tidak mengenakkan membuat diriku seperti sedang dihina. Wanita bernama Lena ada di antara para undangan yang datang.

Dengan kerudung putih yang hanya dia letakkan di kepala, dia duduk di kursi di halaman. Mungkin sengaja tidak masuk karena takut bertemu dengan mama. Mas Dimas pasti sudah memberitahukan pada dia, bahwa mama sudah mengetahui hubungannya dengan mas Dimas.

Selama acara aku lebih memilih duduk di teras belakang. Enggan melihat selingkuhan suamiku yang berani terang-terangan datang meski sudah ketahuan.

"Kok sendirian, Dwi? Dimas mana?" Suara seseorang mengagetkanku.

Aku langsung menoleh dan mendapati mas Arya sedang berdiri di depan pintu.

"Eh, mas Arya datang. Tante sama om ikut?" Aku bertanya dengan ramah.

"Iya. Lagi di depan sama tante Ratih."

"Oh. Dwi nggak lihat tadi."

"Kami baru nyampek. Mas nggak lihat kamu sama Dimas. Makanya Mas cariin ke sini."

Mas Dimas tidak ada? Mungkin sedang berduaan dengan Lena. Pasangan selingkuh itu pasti mencari kesempatan di tengah keramaian untuk berduaan di suatu tempat.

"Oh, mas Dimas mungkin sibuk, Mas. Duduk dulu, mas Arya. Dwi ambilin minum."

Tak lama aku kembali membawa secangkir kopi dan beberapa potong kue dalam piring kecil. Mas Arya menyambutku dengan penuh senyum.

"Kamu udah lulus SMA, ya?" Mas Arya mulai bertanya.

"Iya, Mas. Baru lulus tahun ini."

"Nggak dilanjutin? Katanya dulu mau jadi guru."

Aku tertegun. Aku benar-benar lupa kalau aku pernah mengobrol dengan laki-laki ini.

"Iya, Mas. Mungkin tahun depan. Nunggu tahun ajaran baru." Aku sedikit gugup.

"Iya. Menikah kan bukan halangan untuk mengejar karir."

Aku tersenyum. Mas Arya orangnya sangat demokratis. Sepertinya dia bukan tipe orang yang suka mengekang kebebasan orang lain.

"Mas Arya kapan balik ke luar negeri?"

"Wah. Mas diusir nih. Belum juga seminggu di Indonesia, udah disuruh balik." Mas Arya meledekku dengan nada merajuk.

"Eh, Dwi nggak bermaksud begitu, Mas. Dwi kan cuman bertanya." Aku merasa tidak enak.

Kemudian mas Arya tertawa.

"Iya, iya. Mas bercanda. Masih lama kok. Mas sengaja ambil cuti biar bisa lama di sini."

Aku pun ikut tertawa. Ternyata mas Arya orangnya ramah. Mengobrol dengannya terasa nyaman. Bisa mengurangi kesedihan yang aku alami beberapa hari ini.

"Di sini kamu rupanya!" Mas Dimas tiba-tiba muncul. "Yang lain pada baca doa kamu ketawa-ketawa di sini."

Aku dan mas Arya langsung terdiam. Tidak menyangka bahwa mas Dimas akan bersikap ketus seperti itu.

Mas Dimas langsung duduk dan bergabung bersama kami tanpa ditawari. Matanya melirik ke arah cangkir dan piring kue di dekat mas Arya.

"Bikinin minum, Dwi. Mas udah lama nggak ngobrol sama Arya." Tanpa memikirkan perjanjian kami, dia seenaknya saja memerintahku.

"Bentar. Biar Dwi suruh bik Siti!" Aku tak kalah ketus.

Tak peduli dengan mas Arya yang menatapku dengan pandangan aneh. Mas Dimas langsung melotot saat aku bangkit dan meninggalkan mereka.

~~~~

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status