Mas Dimas melirik sinis padaku. Saat dalam perjalanan ke rumah mas Arya tadi dia memang bertanya, kenapa kami belum juga pulang.Aku menjawab apa adanya dan mengatakan kalau aku dan mama akan berkunjung ke rumah tante Sonia. Mas Dimas tidak terima.[Ngapain ke sana?] protes mas Dimas saat itu.[Nggak tau.] Aku membalas singkat.[Pulang aja!] [Ngomong sama mama, lah! Dwi kan cuman ngikut.]Setelah aku menyebut nama mama, tak ada lagi balasan pesan darinya.Lalu, kenapa saat ini dia seolah-olah marah padaku? Memangnya sejak kapan dia peduli aku pergi ke mana dan pulang jam berapa. Sikapnya semakin lama semakin aneh dan membuatku tidak tahan lagi."Eh, Dim. Jangan berdiri aja. Ayo duduk!" Mas Arya menyapa sahabatnya dengan antusias sambil menarik kursi di sebelahnya."Iya, Dim. Ayo makan." Om Wira juga memberi kesan ramah. Semua orang tentu saja menerima baik kehadiran mas Dimas."Bik, bawain piring lagi, buat Dimas. Nanti dia pikir kita beneran nggak ngundang dia lagi." Tante Sonia mem
Perusahaan yang sekarang dipegang oleh mas Dimas adalah usaha yang didirikan oleh papa dan juga kedua sahabatnya, termasuk ayahku.Namun saat aku kecil, ibu sakit-sakitan. Ayah membutuhkan banyak biaya dan memiliki banyak hutang. Dengan terpaksa ayah menjual semua sahamnya pada papa. Namun papa dan mama benar-benar manusia berhati malaikat. Nama ayah tak pernah dicoret dari daftar pemegang saham. Membiarkan ayah tetap berada di posisinya. Tak seorang pun yang tahu, termasuk mas Dimas dan juga keluarga om Wira.Sebelum mama mengakui semua itu, aku sudah lebih dulu tahu. Saat ayah masih sakit-sakitan dia terus-terusan mengatakan bahwa aku harus tahu diri. Sebenarnya kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku harus selalu berbuat baik pada keluarga mama dan papa sebagai balasan atas pertolongan mereka. Bahkan jika mereka memintaku menjadi pekerja di rumah mereka untuk membayar semua hutang-hutang ayah. Tak lama ayah meninggal. Dan tanpa diduga keluarga mas Dimas tak pernah menyinggung
Belum sempat aku bertanya, mas Arya menarik tanganku agar bergeser ke belakangnya. Dia menjadikan tubuh tinggi tegapnya sebagai tameng agar Lena tidak bisa menyentuhku. Lalu mengempaskan tangan wanita angkuh itu begitu saja."Siapa kamu?" bentak Lena. Dia tampak marah pada mas Arya. "Jangan ikut campur urusan orang!""Aku nggak akan ikut campur kalau kamu nggak main kasar. Wanita ini teman baikku." Mas Arya masih memegang tanganku dengan erat.Saskia juga ikut bangkit dan berdiri di sampingku. Dia pasti terheran-heran dengan semua kekacauan yang dia lihat."Teman baik?" Lena tersenyum mengejek. "Maksudnya selingkuhan? Nggak nyangka, ya. Kalau anak pungut yang sok polos kayak kamu ternyata juga hobi selingkuh. Pantas aja Dimas nggak pernah cinta sama kamu dan lebih memilih aku," ucap Lena penuh percaya diri.Mas Arya langsung berbalik ke arahku. Dia pasti ikut terkejut dengan berita yang sudah dibeberkan wanita itu."Dimas selingkuh, Dwi?" Mata mas Arya menyipit menatapku. Aku masih bi
Aku terkejut mendengar ucapan mama. Tadinya aku sempat merasa bingung bagaimana menjelaskan agar mertuaku ini mengerti. Aku sudah tidak tahan dan tidak mau lagi menjadi istri dari anaknya.Tapi sepertinya mama lebih bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku perlu membujuk dan meminta izin, mama telah lebih dulu meminta mas Dimas melakukannya."Apa yang mama katakan, Ma?" Mas Dimas terlihat lebih shock lagi."Ceraikan Dwi! Bukannya keputusan ini yang kamu nanti-nantikan?""Enggak, Ma. Dimas nggak mau cerai. Dimas akan jelaskan semuanya." Mas Dimas masih bersikeras."Halah! Kamu pikir mama nggak tau maksud dan tujuan kamu? Kamu nggak mau menceraikan Dwi, karena kamu nggak ingin kehilangan hak waris dan fasilitas dari mama, kan?"Mas Dimas tampak terdiam. Sepertinya dia tak bisa lagi menghindar karena sudah ketahuan."Ayo lakukan! Saat ini juga kamu ceraikan Dwi!" Mama kembali berucap tegas."Mama macam apa yang menyuruh anaknya bercerai, Ma? Mama nggak takut dosa?" Mas Dimas sedikit meninggika
Sore harinya mas Arya datang berkunjung. Aku menemuinya di ruang tamu setelah mas Arya meminta izin sama mama. Awalnya aku tidak mau. Merasa malu atas kejadian kemarin.Tapi kata mama aku tidak boleh seperti itu. Harusnya aku berterima kasih, karena mas Arya, mama jadi tahu kejadian yang sebenarnya dan langsung bisa mengambil keputusan."Gimana keadaan kamu, Dwi?" tanya mas Arya."Dwi nggak papa, Mas. Maaf, kalau kemarin Dwi langsung lari dan nggak sempat ngucapin terima kasih sama Mas Arya.""Jangan khawatir. Mas nggak mempermasalahkan hal itu, kok. Yang penting kamunya bisa tenang.""Makasih ya, Mas." Aku mencoba tersenyum. "Nah, gitu dong. Mas khawatir kamu kenapa-napa. Mas nggak nyangka kalau Dimas seperti itu sama kamu." Dia terlihat tidak senang."Mas Arya nggak usah khawatir. Sebenarnya...." Aku ragu mengucapkannya. "Kenapa, Dwi?""Dwi udah tahu tentang Lena. Mas Dimas udah mengakui semuanya sejak malam ke tiga almarhum papa. Tapi Dwi bertahan karena nggak tega ninggalin mama
Mas Arya pamit pulang. Aku mengantarnya sampai ke halaman depan. Tak lama kulihat mas Dimas baru turun dari gojek. Kami berpapasan saat dia berjalan masuk.Pandangan kami bertemu, lalu pria itu melirik ke arah mas Arya."Hati-hati di jalan ya, Mas Arya." Aku langsung mengucapkan selamat tinggal. Lalu bergegas masuk agar tak berlama-lama bertemu dengan mas Dimas.Malam harinya, aku membaca buku-buku yang aku beli di toko kemarin. Tak lama pintu kamar dibuka. Aku yang sedang bersandar di kepala ranjang menoleh. Mas Dimas sudah ada berdiri di sana dengan wajah masam."Ngapain Arya ke sini?" tanya dia dengan nada ketus."Mas Dimas kan tadi ketemu. Kenapa nggak nanyak orangnya langsung?" Aku juga tak kalah sewot."Sebaiknya kamu jangan dekat-dekat sama dia. Mas udah bilang kalau dia itu playboy." "Mau playboy atau enggak memangnya kenapa? Kenapa Mas Dimas ikut campur?""Dwi! Mas ini suami kamu. Apa pantas kamu berkelakuan seperti itu?""Kelakuan yang mana maksud Mas?" Aku menutup buku dan
Namun bagaimanapun, aku tidak boleh terlihat lemah. Aku juga harus tegas dalam mengambil keputusan. Aku tak mau dianggap serakah dan tidak tahu diri.Mas Dimas telah memutuskan untuk meninggalkan rumah ini. Itu artinya dia telah memilih Lena. "Baguslah! Berarti proses perceraian kita bisa dipercepat, kan?" ucapku.Mas Dimas langsung terdiam. Dia menatapku dengan tajam. Seolah aku telah melakukan kesalahan."Begitu mengenal Arya, yang kamu bicarakan hanya soal perceraian saja. Kamu sukak sama dia?!" Mas Dimas tampak marah."Sukak atau enggak nggak ada urusannya sama Mas Dimas!" jawabku ketus.Kulihat dia semakin menggeram."Kalau begitu jangan bermimpi! Sampai kapan pun Mas nggak akan menceraikan kamu!""Mas Dimas apa-apaan, sih? Jangan egois jadi orang!" Aku kembali histeris."Egois? Siapa yang egois? Bukankah Mas udah bilang sejak kemarin?" "Perjanjian kita batal! Mama udah tau semuanya. Kita nggak perlu lagi bersandiwara. Mama sama sekali nggak keberatan kalau kita berpisah. Denga
Dimas masih duduk bersandar di kursi kantornya saat jam makan siang. Selera makannya berkurang akhir-akhir ini. Sejak Arya muncul dan terlihat dekat dengan Dwi, pikirannya selalu tidak tenang. Apalagi Arya berencana untuk mengajak wanita yang telah Dimas nikahi untuk ikut serta di perusahaan. Otomatis kedua orang yang baru saling mengenal itu akan bertemu setiap hari.Tengah asyik melamun, tiba-tiba pintu kantornya dibuka dengan paksa. Seorang wanita masuk dengan wajah marah."Apa-apaan kamu, Dimas? Kenapa kamu nggak ngangkat telepon dari aku? Kenapa kamu terus menghindar dari aku?" Wanita itu menatap Dimas dengan tajam."Lena, aku sudah bilang, jangan sembarangan lagi masuk ke kantorku. Kamu nggak dengar?" Dimas juga tak kalah marah. "Aku ini pacar kamu, Dim. Kamu ini kenapa, sih? Kamu berubah tau, nggak!" Wanita yang dandanannya terlihat dewasa itu mencoba bersikap manja. Dia mendekati Dimas dan hendak duduk di pangkuannya."Minggir, Lena." Dimas menepikan tubuh Lena, lalu bangki