Share

Part9

Saat aku berjalan menuju dapur, aku mendengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Tiba-tiba saja tanganku ditarik hingga membuatku harus berhenti dan menoleh ke belakang.

"Mas Dimas apa-apaan sih!" Aku menepiskan tangannya.

"Kok kamu ketus gitu?" Mas Dimas tampak tak terima dengan sikapku.

"Enggak kok, biasa aja." Aku berpura-pura.

"Tadi kamu senang banget sama Arya sampai ketawa-ketawa seperti itu. Giliran mas datang muka kamu langsung jutek. Kamu mau, Arya dan keluarganya tahu tentang masalah kita?"

"Dwi nggak peduli. Mas sendiri, ngapain datang? Udah puas berduaannya sama Lena?" Aku tak dapat menahan diri lagi mengingat ada Lena di luar, dan kemudian mereka berdua menghilang.

"Le_Lena?" Mas Dimas terdengar gugup. Dia pasti tak menyangka kalau aku mengetahui kecurangannya.

"I_itu...." 

"Udahlah, Mas. Mas Dimas nggak perlu menjelaskan apa-apa. Dwi juga udah nggak peduli. Tapi ingat, Mas sendiri yang cari masalah. Kalau sampai ketahuan mama, Dwi nggak akan mau lagi berbohong atau membela mas Dimas!" 

"Dwi! Bukan Mas yang nyuruh Lena datang. Lagipula mas udah nyuruh dia pulang. Kamu jangan salah paham. Mas kan udah janji sama kamu." 

Aku terdiam. Apa benar yang mas Dimas katakan. Apa wanita itu benar-benar datang tanpa diundang? Tidak malu sekali dia. 

"Terserah mas Dimas aja. Dwi akan minta bik Siti nganterin minum buat mas Dimas." Aku langsung berbalik. 

Namun lagi-lagi mas Dimas mengikut dari belakang. 

"Mas Dimas ngapain lagi? Katanya mau ngobrol sama mas Arya. Kalau nggak mau, biar Dwi aja yang nemenin. Kasihan kan, udah jauh-jauh datang dibiarin sendiri." Aku semakin sewot melihat sikapnya yang aneh.

"Iya, iya. Biar mas aja yang nemenin. Kamu nggak usah balik lagi. Temenin mama aja sana!" Wajahnya ditekuk dan langsung berbalik pergi.

*

Hari ini hari Minggu. Mama mengajakku ke makam papa. Kami pergi diantar mang Udin karena mas Dimas menolak untuk ikut. Katanya merasa lelah. Dia bilang saat pulang kerja kemarin, dia sempat singgah untuk berziarah ke makam papa. Makanya tidak apa-apa kalau tidak ikut sore ini.

Aku dan mama sama-sama tidak bisa menyetir. Hingga ke mana-mana kami harus menggantungkan hidup pada orang lain. Mang Udin sudah ikut keluarga mama sejak lama. Bahkan sebelum aku tinggal bersama mereka.

"Kunci mobil sama kartu-kartu lainnya sudah kamu ambil dari Dimas, Dwi?" tanya mama. 

Dia tak lupa mengingatkan tugasku yang satu itu. Padahal setiap pulang kerja, mas Dimas selalu meletakkannya di samping nakas tempat tidur tanpa perlu aku tagih.

"Iya, Ma. Udah Dwi simpan di lemari," sahutku untuk membuatnya merasa puas.

"Bawa aja! Masukin dalam tas. Nanti dia curang. Begitu kita pergi, dia pasti ngobrak-abrik lemari seperti maling."

Aku tertawa geli melihat wajah sewot mama. Wanita yang begitu menyayangiku itu rupanya benar-benar serius dalam menghukum putra kandungnya.

"Iya, Ma. Dwi ambil dulu, ya." Aku pun kembali ke kamar untuk memuaskan hati mama.

*

Usai berziarah ke makam papa, hari sudah mulai gelap. Mama agak lama membacakan yasin untuk papa. Air matanya tak berhenti mengalir saat memegang batu nisan bertuliskan nama suami yang begitu dia cintai. Aku jadi tak berani mengusik, atau mengajaknya pulang.

Barulah setelah mama menerima panggilan dari ponsel, dia mengajakku untuk meninggalkan tempat itu.

"Tante Sonia ya, Ma?" tanyaku saat sudah berada di dalam mobil.

"Iya, Dwi. Sekalian singgah. Tante Sonia mengundang kita untuk makan malam bersama di rumahnya."

"Oh, terserah mama aja." Aku tersenyum melihat wajah mama yang kembali cerah.

Ini pertama kalinya kami keluar dari rumah setelah papa meninggal. Rasanya sedikit terhibur bisa kembali menghirup udara di luar rumah. Melihat kembali jalanan kota yang sudah lebih dari satu minggu tak kami lalui.

Aku tak ingin mama selalu meratap dan bersedih saat berada di rumah. Apa lagi jika sedang menyendiri di kamarnya. Dia pasti menangis.

Kami sampai di rumah tante Sonia. Keluarga itu menyambut baik kedatangan kami. Sebelum makan malam siap, kami mengobrol di ruang tamu sembari menanti adzan maghrib untuk salat bersama.

"Arya sudah balik ke luar negeri, Nia? Kok nggak keliatan?" Mama mewakiliku memberi pertanyaan.

Aku juga ingin bertanya seperti itu. Tapi merasa tidak enak, kalau-kalau semua orang berpikiran yang macam-macam. Apalagi sempat ada ucapan bahwa jika aku belum menikah, mas Arya dan aku pasti akan dijodohkan.

Aku tak mau mereka berpikir kalau aku masih berharap akan hal itu.

"Lagi keluar, Tih. Biasalah, anak muda. Katanya mau ngumpul sama teman-teman lamanya. Kan udah lama nggak ketemu." Tante Sonia menjawab penuh senyuman.

Kali ini om Wira tak banyak bicara. Mungkin karena dia satu-satunya pria. Lagipula, teman yang biasanya banyak ngobrol dengannya sudah tidak ada.

Tak lama suara adzan maghrib berkumandang. Di saat itu mas Arya muncul dari pintu depan.

"Lho, Arya. Katanya pulang malam." Tante Sonia juga ikut terkejut.

"Nggak jadi, Ma. Begitu mama bilang kita kedatangan tamu, Arya langsung pulang. Masak makan malam keluarga seperti ini Arya nggak ikutan." Mas Arya memberi penjelasan.

Aku tersipu saat mas Arya melirikku.

"Dimas mana, Dwi?" Mas Arya tak lupa menanyakan teman baiknya itu.

"Nggak ikut, Mas. Katanya capek," jawabku apa adanya.

"Oh, Mas pikir tadi ikut."

Aku tersenyum kecil. Tentu saja mas Arya pulang karena dia pikir mas Dimas juga ikut. Aku saja yang terlalu ke geeran, kalau mas Arya memutuskan untuk pulang karena ingin bertemu denganku.

'Sadar, Dwi. Sadar. Tidak seorang pun dari kedua pria itu yang menginginkan kamu. Kamu sama sekali tidak dianggap sama mereka.'

Usai salat maghrib berjamaah, kami berkumpul di ruang makan. Aku tak menyangka, kalau mas Arya ternyata bisa menjadi seorang imam. Padahal setelah tinggal di luar negeri, aku pikir kehidupannya benar-benar bebas dan lupa dengan ibadah. Nyatanya bacaan ayatnya begitu bagus.

Ternyata mas Dimas hanya menjelek-jelekkan mas Arya saja di hadapanku.

"Mas Wira, kebetulan kita sedang berkumpul malam ini. Aku ingin membicarakan tentang perusahaan." Mama membuka kembali perbincangan di sela-sela makannya.

Namun sebelum om Wira bertanya lebih lanjut, suara bel berbunyi dari pintu depan. Asisten rumah tangga keluarga mas Arya bergegas membukakan pintu.

"Kalian ngundang tamu lain lagi, Nia?" tanya mama lagi.

"Enggak, kok. Siapa, ya?" tante Sonia ikut bertanya-tanya.

Tak lama seseorang muncul dengan wajah cemberut. Lalu menatap aku dan mama secara bergantian.

"Ada acara begini, kenapa nggak ngajak-ngajak?"

                    ~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status