Tante Sonia dan suaminya sedang berada di luar negeri untuk mengunjungi anaknya yang selama ini kuliah dan langsung bekerja di sana setelah lulus.
"Iya, Sonia. Tidak apa-apa. Terima kasih untuk doanya." Mama seperti merasa punya teman untuk berbagi.Wajah om Wira juga sangat berduka. Merasa hanya dirinya satu-satunya yang tersisa dari tiga sahabat itu.Setelah mereka duduk dan mulai tenang, aku pergi ke dapur untuk membantu bik Siti menyiapkan minuman dan camilan."Biar Dwi bantu, Bik," ucapku pada wanita tua itu."Biar Bibik aja, Mbak Dwi. Mbak Dwi temenin Ibuk aja," sahut bik Siti merasa segan."Nggak papa, Bik. Mama lagi ngobrol. Dwi bawain minumannya, ya?" "Makasih ya, Mbak." Aku tersenyum. Lalu kembali ke ruang tamu.Kulihat mas Dimas sudah kembali dari kantor. Duduk berdekatan dengan laki-laki yang mungkin seusia dengannya. Pria dewasa itu adalah anak Tante Sonia dan om Wira yang ikut pulang dari luar negeri saat mendengar papa meninggal. Aku dan mas Dimas sama-sama melihat, namun aku langsung mengalihkan pandangan. Aku melirik tas kerja yang masih di sampingnya, namun kuabaikan begitu saja. Aku tak mau melayaninya lagi, apalagi di depan para tamu.Setelah meletakkan cangkir-cangkir berisi teh ke atas meja, aku hendak kembali ke dapur. "Di sini aja, Dwi." Mama menahanku.Aku tersenyum menurut dan duduk di samping mama."Jadi ini, Dwi?" Laki-laki yang duduk bersama mas Dimas bertanya padaku. "Mas sampai nggak tanda," ucapnya dengan ramah."Lah, jadi dari tadi kamu nggak tahu?" sahut mama. Wajahnya kini sudah kelihatan berseri. Tak lagi terlalu bersedih seperti tadi."Iya, Tante. Dulu kan masih kecil. Rambutnya aja masih dikepang kayak ekor kuda." Laki-laki itu kembali mengoceh seperti sudah mengenalku.Aku mengernyit. Mengingat-ingat apa aku juga mengenalnya."Itu Arya. Masa kamu lupa?" Mama mencoba mengingatkan.Mas Arya? Aku mencoba kembali mengingat. "Wajarlah kalau Dwi lupa. Arya kan langsung terbang ke luar negeri saat lulus SMA. Saat itu usia Dwi pasti sepuluh tahun. Wajar Kalau dia tidak ingat. Mana Arya nggak pernah pulang." Tante Sonia ikut mengingatkan.Kurasa mereka benar. Hanya saja mungkin memori itu telah hilang. Mungkin juga mas Arya salah satu teman bermain mas Dimas saat ada acara orang tua mereka. Aku jadi tak terlalu mengenal mereka karena tak pernah diajak bermain bersama."Maaf, Mas Arya. Dwi lupa-lupa ingat." Aku tersenyum malu padanya."Kalau Ajeng masih ada, mungkin sudah seusia Dwi ya, Tante?" Aku tertunduk mendengarnya. Ajeng adalah adiknya mas Dimas. Namun meninggal saat masih berusia lima tahun karena leukimia yang dideritanya. Mama kehilangan buah hati yang begitu dicintainya.Itulah sebabnya kini mama begitu mencintaiku sebagai pengganti putrinya. Hingga aku mengerti bagaimana perasaannya jika aku juga pergi meninggalkannya."Kamu benar, Arya. Dwi dan Ajeng sama-sama putri Tante. Anggap aja mereka kembar." Mama sepertinya tak ingin lagi larut dalam kesedihan. Dia menggenggam tanganku dengan erat. Membuatku begitu merasa dihargai."Dwi cantik ya, Pa. Gimana kalau kita besanan aja sama Ratih." Tante Sonia menyeletuk."Betul itu, Ma. Anaknya almarhum Pandu, kan sekarang sudah menjadi anaknya almarhum Hadi. Berarti Dwi harus menikah dengan Arya." Om Wira menyebut-nyebut nama ayahku. "Bukannya perjanjiannya harus saling menikahkan anak-anak kita kalau sudah dewasa?"Aku tertegun. Permintaan papa agar aku menikah dengan mas Dimas tidak sembarangan. Ternyata hal itu memang sudah menjadi rencana di antara ke tiga sahabat itu.Aku melirik ke arah Mas Arya. Takut akan dibenci lagi oleh laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Meski hanya gurauan, aku tahu diri untuk tak disukai oleh salah satu di antara mereka. Bahkan mas Dimas yang sudah sah menjadi suamiku.Lagipula aku dan mas Dimas sudah menikah. Hingga mas Arya tidak perlu repot-repot atau merasa terpaksa menerima perjodohan ini seperti mas Dimas."Wah, jadi Arya boleh ngajak Dwi tinggal di Inggris ya, Tante? Biar ada yang ngurusin." Tanpa diduga mas Arya tersenyum menatapku.Mataku membesar. Pipiku terasa panas dengan ucapan mas Arya. Meski hanya bercanda, namun kata-katanya sukses membuat aku tersipu malu.Tanpa sengaja aku melirik mas Dimas. Wajahnya tampak tegang memandang aku dan mas Arya secara bergantian.Aku tak peduli. Dia pasti merasa senang. Bahkan akan membujuk mama untuk menyerahkan aku pada mas Arya secepatnya agar dia bisa bebas bersama Lena."Ma!" Mas Dimas mulai buka suara.Sudah aku duga. Dia pasti begitu bersemangat untuk menjodohkan aku dengan sahabat baiknya. Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dilempar ke sana ke mari."Mama kenapa nggak bilang kalau Dwi dan Dimas sudah menikah?" Aku dan mama saling menoleh. "Menikah?" Mas Arya menatap mas Dimas dengan bingung."Hem! Dwi itu istriku." ~~~~Aku dan mama kembali saling menoleh. Tak menyangka kalau mas Dimas akan bersikap terus terang seperti itu.Selama ini pernikahan kami memang belum diumumkan pada seluruh keluarga dan sahabat. Masih sibuk mengurus papa yang masih sakit, disusul dengan kepergian papa. Hingga belum ada waktu untuk meresmikan atau mengadakan resepsi.Termasuk keluarga om Wira, sahabat papa dan mama yang paling dekat."Lho, kok bisa begitu?" Tante Sonia juga tak kalah kaget."Maaf, Sonia. Mas Wira dan juga Arya. Kejadiannya terlalu mendadak. Ini adalah keinganan almarhum mas Hadi agar anak-anak ini cepat-cepat dinikahkan." Mama memberi penjelasan."Jadi, Dimas menikahi adiknya sendiri?""Bukan begitu, Sonia. Mereka kan tidak ada hubungan darah. Makanya mas Hadi ingin mereka menikah. Biar ada yang jagain Dwi juga, nanti kalau kami sudah nggak ada." Mama seolah mengerti apa yang tante Sonia maksudkan."Wah, curang ini ya, Pa," ledek tante Sonia lagi. "Dulu kan perjanjiannya anak kita akan menikah dengan adik
Saat aku berjalan menuju dapur, aku mendengar langkah kaki mengikuti dari belakang. Tiba-tiba saja tanganku ditarik hingga membuatku harus berhenti dan menoleh ke belakang."Mas Dimas apa-apaan sih!" Aku menepiskan tangannya."Kok kamu ketus gitu?" Mas Dimas tampak tak terima dengan sikapku."Enggak kok, biasa aja." Aku berpura-pura."Tadi kamu senang banget sama Arya sampai ketawa-ketawa seperti itu. Giliran mas datang muka kamu langsung jutek. Kamu mau, Arya dan keluarganya tahu tentang masalah kita?""Dwi nggak peduli. Mas sendiri, ngapain datang? Udah puas berduaannya sama Lena?" Aku tak dapat menahan diri lagi mengingat ada Lena di luar, dan kemudian mereka berdua menghilang."Le_Lena?" Mas Dimas terdengar gugup. Dia pasti tak menyangka kalau aku mengetahui kecurangannya."I_itu...." "Udahlah, Mas. Mas Dimas nggak perlu menjelaskan apa-apa. Dwi juga udah nggak peduli. Tapi ingat, Mas sendiri yang cari masalah. Kalau sampai ketahuan mama, Dwi nggak akan mau lagi berbohong atau me
Mas Dimas melirik sinis padaku. Saat dalam perjalanan ke rumah mas Arya tadi dia memang bertanya, kenapa kami belum juga pulang.Aku menjawab apa adanya dan mengatakan kalau aku dan mama akan berkunjung ke rumah tante Sonia. Mas Dimas tidak terima.[Ngapain ke sana?] protes mas Dimas saat itu.[Nggak tau.] Aku membalas singkat.[Pulang aja!] [Ngomong sama mama, lah! Dwi kan cuman ngikut.]Setelah aku menyebut nama mama, tak ada lagi balasan pesan darinya.Lalu, kenapa saat ini dia seolah-olah marah padaku? Memangnya sejak kapan dia peduli aku pergi ke mana dan pulang jam berapa. Sikapnya semakin lama semakin aneh dan membuatku tidak tahan lagi."Eh, Dim. Jangan berdiri aja. Ayo duduk!" Mas Arya menyapa sahabatnya dengan antusias sambil menarik kursi di sebelahnya."Iya, Dim. Ayo makan." Om Wira juga memberi kesan ramah. Semua orang tentu saja menerima baik kehadiran mas Dimas."Bik, bawain piring lagi, buat Dimas. Nanti dia pikir kita beneran nggak ngundang dia lagi." Tante Sonia mem
Perusahaan yang sekarang dipegang oleh mas Dimas adalah usaha yang didirikan oleh papa dan juga kedua sahabatnya, termasuk ayahku.Namun saat aku kecil, ibu sakit-sakitan. Ayah membutuhkan banyak biaya dan memiliki banyak hutang. Dengan terpaksa ayah menjual semua sahamnya pada papa. Namun papa dan mama benar-benar manusia berhati malaikat. Nama ayah tak pernah dicoret dari daftar pemegang saham. Membiarkan ayah tetap berada di posisinya. Tak seorang pun yang tahu, termasuk mas Dimas dan juga keluarga om Wira.Sebelum mama mengakui semua itu, aku sudah lebih dulu tahu. Saat ayah masih sakit-sakitan dia terus-terusan mengatakan bahwa aku harus tahu diri. Sebenarnya kami sudah tidak punya apa-apa lagi. Aku harus selalu berbuat baik pada keluarga mama dan papa sebagai balasan atas pertolongan mereka. Bahkan jika mereka memintaku menjadi pekerja di rumah mereka untuk membayar semua hutang-hutang ayah. Tak lama ayah meninggal. Dan tanpa diduga keluarga mas Dimas tak pernah menyinggung
Belum sempat aku bertanya, mas Arya menarik tanganku agar bergeser ke belakangnya. Dia menjadikan tubuh tinggi tegapnya sebagai tameng agar Lena tidak bisa menyentuhku. Lalu mengempaskan tangan wanita angkuh itu begitu saja."Siapa kamu?" bentak Lena. Dia tampak marah pada mas Arya. "Jangan ikut campur urusan orang!""Aku nggak akan ikut campur kalau kamu nggak main kasar. Wanita ini teman baikku." Mas Arya masih memegang tanganku dengan erat.Saskia juga ikut bangkit dan berdiri di sampingku. Dia pasti terheran-heran dengan semua kekacauan yang dia lihat."Teman baik?" Lena tersenyum mengejek. "Maksudnya selingkuhan? Nggak nyangka, ya. Kalau anak pungut yang sok polos kayak kamu ternyata juga hobi selingkuh. Pantas aja Dimas nggak pernah cinta sama kamu dan lebih memilih aku," ucap Lena penuh percaya diri.Mas Arya langsung berbalik ke arahku. Dia pasti ikut terkejut dengan berita yang sudah dibeberkan wanita itu."Dimas selingkuh, Dwi?" Mata mas Arya menyipit menatapku. Aku masih bi
Aku terkejut mendengar ucapan mama. Tadinya aku sempat merasa bingung bagaimana menjelaskan agar mertuaku ini mengerti. Aku sudah tidak tahan dan tidak mau lagi menjadi istri dari anaknya.Tapi sepertinya mama lebih bisa membaca isi hatiku. Tanpa aku perlu membujuk dan meminta izin, mama telah lebih dulu meminta mas Dimas melakukannya."Apa yang mama katakan, Ma?" Mas Dimas terlihat lebih shock lagi."Ceraikan Dwi! Bukannya keputusan ini yang kamu nanti-nantikan?""Enggak, Ma. Dimas nggak mau cerai. Dimas akan jelaskan semuanya." Mas Dimas masih bersikeras."Halah! Kamu pikir mama nggak tau maksud dan tujuan kamu? Kamu nggak mau menceraikan Dwi, karena kamu nggak ingin kehilangan hak waris dan fasilitas dari mama, kan?"Mas Dimas tampak terdiam. Sepertinya dia tak bisa lagi menghindar karena sudah ketahuan."Ayo lakukan! Saat ini juga kamu ceraikan Dwi!" Mama kembali berucap tegas."Mama macam apa yang menyuruh anaknya bercerai, Ma? Mama nggak takut dosa?" Mas Dimas sedikit meninggika
Sore harinya mas Arya datang berkunjung. Aku menemuinya di ruang tamu setelah mas Arya meminta izin sama mama. Awalnya aku tidak mau. Merasa malu atas kejadian kemarin.Tapi kata mama aku tidak boleh seperti itu. Harusnya aku berterima kasih, karena mas Arya, mama jadi tahu kejadian yang sebenarnya dan langsung bisa mengambil keputusan."Gimana keadaan kamu, Dwi?" tanya mas Arya."Dwi nggak papa, Mas. Maaf, kalau kemarin Dwi langsung lari dan nggak sempat ngucapin terima kasih sama Mas Arya.""Jangan khawatir. Mas nggak mempermasalahkan hal itu, kok. Yang penting kamunya bisa tenang.""Makasih ya, Mas." Aku mencoba tersenyum. "Nah, gitu dong. Mas khawatir kamu kenapa-napa. Mas nggak nyangka kalau Dimas seperti itu sama kamu." Dia terlihat tidak senang."Mas Arya nggak usah khawatir. Sebenarnya...." Aku ragu mengucapkannya. "Kenapa, Dwi?""Dwi udah tahu tentang Lena. Mas Dimas udah mengakui semuanya sejak malam ke tiga almarhum papa. Tapi Dwi bertahan karena nggak tega ninggalin mama
Mas Arya pamit pulang. Aku mengantarnya sampai ke halaman depan. Tak lama kulihat mas Dimas baru turun dari gojek. Kami berpapasan saat dia berjalan masuk.Pandangan kami bertemu, lalu pria itu melirik ke arah mas Arya."Hati-hati di jalan ya, Mas Arya." Aku langsung mengucapkan selamat tinggal. Lalu bergegas masuk agar tak berlama-lama bertemu dengan mas Dimas.Malam harinya, aku membaca buku-buku yang aku beli di toko kemarin. Tak lama pintu kamar dibuka. Aku yang sedang bersandar di kepala ranjang menoleh. Mas Dimas sudah ada berdiri di sana dengan wajah masam."Ngapain Arya ke sini?" tanya dia dengan nada ketus."Mas Dimas kan tadi ketemu. Kenapa nggak nanyak orangnya langsung?" Aku juga tak kalah sewot."Sebaiknya kamu jangan dekat-dekat sama dia. Mas udah bilang kalau dia itu playboy." "Mau playboy atau enggak memangnya kenapa? Kenapa Mas Dimas ikut campur?""Dwi! Mas ini suami kamu. Apa pantas kamu berkelakuan seperti itu?""Kelakuan yang mana maksud Mas?" Aku menutup buku dan