Share

Part7

Tante Sonia dan suaminya sedang berada di luar negeri untuk mengunjungi anaknya yang selama ini kuliah dan langsung bekerja di sana setelah lulus.

"Iya, Sonia. Tidak apa-apa. Terima kasih untuk doanya." Mama seperti merasa punya teman untuk berbagi.

Wajah om Wira juga sangat berduka. Merasa hanya dirinya satu-satunya yang tersisa dari tiga sahabat itu.

Setelah mereka duduk dan mulai tenang, aku pergi ke dapur untuk membantu bik Siti menyiapkan minuman dan camilan.

"Biar Dwi bantu, Bik," ucapku pada wanita tua itu.

"Biar Bibik aja, Mbak Dwi. Mbak Dwi temenin Ibuk aja," sahut bik Siti merasa segan.

"Nggak papa, Bik. Mama lagi ngobrol. Dwi bawain minumannya, ya?" 

"Makasih ya, Mbak." Aku tersenyum. Lalu kembali ke ruang tamu.

Kulihat mas Dimas sudah kembali dari kantor. Duduk berdekatan dengan laki-laki yang mungkin seusia dengannya. Pria dewasa itu adalah anak Tante Sonia dan om Wira yang ikut pulang dari luar negeri saat mendengar papa meninggal. 

Aku dan mas Dimas sama-sama melihat, namun aku langsung mengalihkan pandangan. Aku melirik tas kerja yang masih di sampingnya, namun kuabaikan begitu saja. Aku tak mau melayaninya lagi, apalagi di depan para tamu.

Setelah meletakkan cangkir-cangkir berisi teh ke atas meja, aku hendak kembali ke dapur. 

"Di sini aja, Dwi." Mama menahanku.

Aku tersenyum menurut dan duduk di samping mama.

"Jadi ini, Dwi?" Laki-laki yang duduk bersama mas Dimas bertanya padaku. "Mas sampai nggak tanda," ucapnya dengan ramah.

"Lah, jadi dari tadi kamu nggak tahu?" sahut mama. Wajahnya kini sudah kelihatan berseri. Tak lagi terlalu bersedih seperti tadi.

"Iya, Tante. Dulu kan masih kecil. Rambutnya aja masih dikepang kayak ekor kuda." Laki-laki itu kembali mengoceh seperti sudah mengenalku.

Aku mengernyit. Mengingat-ingat apa aku juga mengenalnya.

"Itu Arya. Masa kamu lupa?" Mama mencoba mengingatkan.

Mas Arya? Aku mencoba kembali mengingat. 

"Wajarlah kalau Dwi lupa. Arya kan langsung terbang ke luar negeri saat lulus SMA. Saat itu usia Dwi pasti sepuluh tahun. Wajar Kalau dia tidak ingat. Mana Arya nggak pernah pulang." Tante Sonia ikut mengingatkan.

Kurasa mereka benar. Hanya saja mungkin memori itu telah hilang. Mungkin juga mas Arya salah satu teman bermain mas Dimas saat ada acara orang tua mereka. Aku jadi tak terlalu mengenal mereka karena tak pernah diajak bermain bersama.

"Maaf, Mas Arya. Dwi lupa-lupa ingat." Aku tersenyum malu padanya.

"Kalau Ajeng masih ada, mungkin sudah seusia Dwi ya, Tante?" 

Aku tertunduk mendengarnya. Ajeng adalah adiknya mas Dimas. Namun meninggal saat masih berusia lima tahun karena leukimia yang dideritanya. Mama kehilangan buah hati yang begitu dicintainya.

Itulah sebabnya kini mama begitu mencintaiku sebagai pengganti putrinya. Hingga aku mengerti bagaimana perasaannya jika aku juga pergi meninggalkannya.

"Kamu benar, Arya. Dwi dan Ajeng sama-sama putri Tante. Anggap aja mereka kembar." Mama sepertinya tak ingin lagi larut dalam kesedihan. Dia menggenggam tanganku dengan erat. Membuatku begitu merasa dihargai.

"Dwi cantik ya, Pa. Gimana kalau kita besanan aja sama Ratih." Tante Sonia menyeletuk.

"Betul itu, Ma. Anaknya almarhum Pandu, kan sekarang sudah menjadi anaknya almarhum Hadi. Berarti Dwi harus menikah dengan Arya." Om Wira menyebut-nyebut nama ayahku. "Bukannya perjanjiannya harus saling menikahkan anak-anak kita kalau sudah dewasa?"

Aku tertegun. Permintaan papa agar aku menikah dengan mas Dimas tidak sembarangan. Ternyata hal itu memang sudah menjadi rencana di antara ke tiga sahabat itu.

Aku melirik ke arah Mas Arya. Takut akan dibenci lagi oleh laki-laki yang akan dijodohkan denganku. Meski hanya gurauan, aku tahu diri untuk tak disukai oleh salah satu di antara mereka. Bahkan mas Dimas yang sudah sah menjadi suamiku.

Lagipula aku dan mas Dimas sudah menikah. Hingga mas Arya tidak perlu repot-repot atau merasa terpaksa menerima perjodohan ini seperti mas Dimas.

"Wah, jadi Arya boleh ngajak Dwi tinggal di Inggris ya, Tante? Biar ada yang ngurusin." Tanpa diduga mas Arya tersenyum menatapku.

Mataku membesar. Pipiku terasa panas dengan ucapan mas Arya. Meski hanya bercanda, namun kata-katanya sukses membuat aku tersipu malu.

Tanpa sengaja aku melirik mas Dimas. Wajahnya tampak tegang memandang aku dan mas Arya secara bergantian.

Aku tak peduli. Dia pasti merasa senang. Bahkan akan membujuk mama untuk menyerahkan aku pada mas Arya secepatnya agar dia bisa bebas bersama Lena.

"Ma!" Mas Dimas mulai buka suara.

Sudah aku duga. Dia pasti begitu bersemangat untuk menjodohkan aku dengan sahabat baiknya. Apa dia pikir aku ini barang yang bisa dilempar ke sana ke mari.

"Mama kenapa nggak bilang kalau Dwi dan Dimas sudah menikah?" Aku dan mama saling menoleh. 

"Menikah?" Mas Arya menatap mas Dimas dengan bingung.

"Hem! Dwi itu istriku."

                                ~~~~

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status