Tawa Lydia memecah kesunyian. Tawa lepas itu membuat Lala merasa caranya mengajak sahabatnya itu bahagia ada benarnya. Meski ia tau bagaimana keadaan Lydia jika tanpanya.
"Ly, andai lo cerai sama suami lo apa yang lo lakuin?"
"Kenapa kamu selalu bertanya soal perceraian? Aku tak memikirkan itu karena aku tak ingin anakku tidak memiliki ayah."
Hening.
Lala bergeming mendengar penuturan Lydia yang terdengar cukup masuk akal juga. Karena tak mungkin perempuan seperti Lydia lebih memikirkan dirinya sendiri.
"Pulang aja yuk," ajak Lala diangguki Lydia.
Rasanya bahagia. Hati Lydia bahagia dengan semua belajaan yang ia bawa itu. Semuanya seperti pakaian anak gadis pada umumnya namun, terlihat pas dan lucu ketika Lydia pakai sekalipun sedikit kebesaran.
Setelah sampai dirumah, Lydia langsung memasuki kamar dan mencoba semua baju-baju itu. Ada baju yang sangat minim dan itu membuat Lydia terlihat 2 tahun lebih muda. Kulit putih, bibir pink, rambut hitam legam nan panjang membuat Lydia semakin cantik.
"Lydia, siapkan makanan, saya pul─" ucapan Alan tak selesai karena ia kagum dengan kecantikan istri pertamanya.
"Makanan udah siap, aku mau ke kamar," sela Lydia langsung meninggalkan tempat tersebut dan pergi ke kamar.
Sesampainya dikamar, Lydia meminum obat yang berada diatas nakas dan membaringkan tubuhnya diranjang yang empuk setelah lelah berjalan seharian ini.
Tok..! Tok..! Tok..!
Suara pintu kamar yang diketuk 3 kali dengan cukup kuat itu membuat Lydia terperanjat. Ia tak bisa berpikir jernih setelah memutuskan untuk membuka pintu dan..
Plak!
Satu tamparan dilayangkan dipipi Lydia hingga Lydia tertoleh dan pipinya terasa panas. Yang benar saja, Melati datang hanya untuk menampar Lydia? Kurang kerjaan.
"Gak usah sok polos! Gua tau lo itu busuk, Lydia!" cela Melati membuat Lydia terkejut setengah mati.
"Maksud mbak apa? Aku busuk? Coba mbak lihat cermin," sahut Lydia membuat Melati semakin geram dengannya.
"Woy bocah! Gua lebih tua dan gua lebih tau gimana sifat lo."
"Dan aku yang bocah ini saja bisa berpikir lalu, kenapa mbak ga bisa..? Ah aku lupa. Mbak kan cuma bisa andelin mas Alan biar dibela ya? Yaudah, kali ini ga ada yang bela mbak, jadi..? Keluar sekarang dari kamar ini," ujar Lydia dengan badan yang terpepet tembok.
"LO ITU CUMA SAMPAH, LYDIA!" geram Melati dengan mulai mencekik leher Lydia dengan mata yang memerah.
Lydia? Dia menahan tangan Melati hingga Lydia melawan perempuan gila dihadapannya dengan otaknya yang cerdas. "Ternyata mas Alan cuma nikahin seorang psikopat ya," sindir Lydia dengan berdecih geli.
"Mbak tau gak? Bahkan, anjing aja gamau melawan tuannya, sadar posisi dan sadar diri itu perlu, mbak."
Deg.
Hati Melati seolah tertusuk jarum dan ucapan Lydia itu seolah tanpa dosa. Bagaimana bisa ia begitu berani hingga menghina dan meyamakannya dengan seekor anjing?
"Kepastian dan kemenangan hanyalah akan diperoleh dengan cara murni bukan cara menghina dan menyiksa," tadas Lydia dengan menepis tangan Melati dan meninggalkan Melati dikamar itu sendirian.
"Oh ya, jangan lupa adu dombanya ya mbak? Soalnya kalau misal khasta, aku ratu dan mbak cuma seorang selir yang tak diakui oleh rakyat manapun kecuali AKU."
Lagi dan lagi Melati merasa sangat terhina degan ucapan Lydia itu. Bagaimana bisa Lydia seberani itu kepadanya..?
Esok harinya, Melati mengadu yang tidak-tidak kepada Alan sampai membuat Alan murka. Jelas saja akal licik akan kalah dengan akal cerdas. Karena, Melati hanya ingin menjadikan Lydia pembantunya. "LYDIA!" bentak Alan membuat Lydia memutar bola mata malas. "Apa lagi?" sahut Lydia santai. "Kamu apakan istri saya?!" tanya Alan dengan penuh emosi membuat Lydia sontak menghadapkan selang air tepat didepan Melati. Lydia menyemprot Melati dengan air yang membuat Melati basah kuyup. Jelas saja itu membuat Alan semakin marah! "Kotoran itu harus siram biar bersih." Sial. Lagi dan lagi Melati terkena mulut pedas Lydia. Amelia yang tadinya tengah berdandan juga turut keluar untuk melihat kekacauan itu. Dan dia tertawa lepas saat melihat Melati basah kuyup karena ulah Lydia. "HAHAHA KAYA TIKUS KECEBUR GOT LO SUMPAH, KOCAK!" tawa Amelia membuat Melati menatap Amelia tajam. "Masih mau ngedrama? Aku bukan prosedur indosiar, ngomong-ngomong.. Akting mbak kurang cerdas," sela Lydia lalu
Lydia langsung berdiri dan menghampiri temannya tersebut. "Ada apa dengan mama?!" tanya Lydia cepat. "Mama kamu kecelakaan, Ly.. Dia dilarikan ke Rumah Sakit Pelita." Mendengar itu, Lydia langsung berlari menuju parkiran dan menyetir mobilnya ke rumah sakit yang diinfokan oleh temannya. Pikiran Lydia sudah kacau sedari tadi dan kini bertambah runyam saat mendengar kabar mamanya kecelakaan? Pikirannya seketika buntu. Sesampainya, Lydia langsung turun dari mobil dan menyusuri lorong rumah sakit tersebut hingga Lydia bertemu dengan Adrian. Melihat Adrian yang tertunduk dan menahan tangisnya, Lydia mendekat dan menatap nanar ruang ICCU didepannya. "Ly, dokter lagi tangani mama kamu, nak," lirih Adrian membuat Lydia tak bisa berpikir positive lagi. Satu jam berlalu. Dokter keluar dan kemudian raut wajahnya sendu. Lydia menatap dokter itu nanar dan saat dokter mengisyaratkan bahwa keluarga boleh menemui, Lydia langsung berlari memasuki ruangan tersebut. Tepat dihadapannya, Lydi
Tatapan Lydia tajam. Ia tak ingin disentuh ataupun didekat oleh suaminya sendiri dan bahkan, ia tak menoleh sedikitpun untuk sekedar melihat wajah suaminya. "Gausah sentuh aku." "Jangan pikirkan egomu, hari ini adalah hari duka, Lydia." "Ego? Tutup mulutmu." Pungkas ucapan Lydia membuat Alan langsung terdiam. Kali ini Lydia melangkah 2 kali lebih berani dari biasanya. Setelah selesai proses pemandian dan disholatkan, jenazah Angelica segera dibawa ke tempat peristirahatan terakhirnya. Tempat yang terletak cukup jauh sehingga Lydia tak saggup berjalan dan mengendarai mobil mengikuti rombongan didepannya. "Ly, kalau tidak kuat pulang saja," titah Adrian lembut. "Ga pa, aku mau lihat mama walau ini.. Terakhir kalinya," sahut Lydia dengan tersenyum tipis. Adrian hanya pasrah. Ia juga tak ingin mencegah putrinya ke rumah baru Angelica dan tak ingin membuat Lydia berpikiran buruk lagi. "Yasudah, ikuti saja rombongan ini sampai dimakam, kamu temui papa," ujar Adrian dengan sa
"Kalau emang kamu punya harga diri, seharusnya kamu yang malu karena aku bisa melengserkan Alan kapanpun itu, Mela," tekan Lydia membuat Melati membisu. Semua orang terdiam mendengar pernyataan dari Lydia. Apalagi saat Lydia mengatakan dia bisa melengserkan suaminya dari perusahaan. Itu membuat semua saling pandang. Bahkan, Alan langsung menarik Lydia kasar. "MAKSUD KAMU APA?!" bentak Alan membuat Lydia terkejut hingga jantungnya berdebar-debar dan tangannya gemetar. Dia terkejut setengah mati dengan tingkah suaminya yang nyaris saja membenturkan kepalanya pada dinding. BUGH!! "Aku pernah bilang jangan macam-macam," peringatan Lydia penuh penekanan pada kalimatnya. Jantung Lydia tak beraturan dan kini, Alan membawa sebuah pisau tumpul lalu mendekati Lydia. Memang dasarnya sudah gila. Alan sudah berkali-kali mencoba membunuh Lydia namun, itu selalu gagal juga. Karena itu, kehidupannya selalu kacau. "A FUCK YOU BITCH!" umpat Lydia lalu menatap benci ke arah Alan, bahkan. Mau ba
Keadaan semakin runyam saat Adrian tak dapat menahan emosinya, itulah. Terjadi bencana. Meski berkali-kali semua tau bahwa itu adalah bentuk amarah dari seorang ayah karena anaknya tak diperlakukan dengan adil. Malam harinya, Lydia merasa pusing dan dia tak dapat menginggat apapun setelahnya, ia hanya bersenang-senang dan terdiam saat melihat Adrian dan Alan pulang dalam keadaan babak belur. "Non, tuan berantem sama tuan muda," ujar salah seorang pelayan dengan buru-buru mengambil air hangat dan obat-obatan didalam nakas. "Obati saja, saya mau pergi," sahut Lydia dengan merangkul papanya. "Pa, ayo ke rumah sakit," titahnya penuh kelembutan membuat Alan tak terima. "Suami kamu itu saya!" sergah Alan penuh emosi dan tak terima saat Lydia lebih memilih papanya dibanding dia. "Memang anda siapa?"Deg. Seolah jantung Alan berhenti berdetak. Memang ia ingin Lydia menjauh namun, tidak dengan cara seperti ini. Apalagi sampai tak mengenali dirinya. Itu sudah sangat keterlaluan untuknya!
Apabila perempuan sudah bermain logika maka, lelaki akan takhluk dengan perempuannya. Apalagi saat Lydia menoleh dan mendekati Alan. "Aku hanya akan mendengar sanjungan, bukan celaan dan tindasan," tadas Lydia lalu meninggalkan kamarnya. Memang benar. Rasa sakit hati yang begitu murni itu tak akan dapat membuat semuanya berubah begitu saja. Apalagi saat Lydia mengetahui bahwa suaminya hanya membutuhkannya sebagai pemuas. Tak ada yang bisa memaksa Lydia untuk berada disisi suaminya karena Alan juga selalu menyakiti hati Lydia dengan perbuatannya. Hari menjelang pagi, Lydia mulai bangun dari tempat tidur dan bersiap untuk sarapan. Lydia menyewa pembantu karena ia sudah tak ingin mendapat cacian saat masakannya tak sesuai keinginan kedua istri muda yang sok berkuasa seperti Melati dan Amelia. "Saya sarapan dikantor," ujar Alan dengan memperbaiki dasi dan lengan jasnya. "Yaudah, toh siapa yang nyuruh kamu makan? Kepedean," remeh Lydia santai membuat Melati sangat jengkel. "Cewek c
Alan tengah bersenang-senang didalam kantor. Bercumbu dengan sekertarisnya dan kedua perempuan lainnya yang tengah memijit dan membuat dirinya nyaman. Mengabaikan pekerjaan dan menunggu kontrak datang untuk ditandatangani. "Mas, kamu kapan nikahin aku?" "Aku juga." "Iya mas, kapan nikahin kita?" Kan? Rewel semua selingkuhannya. Ketiga perempuan ingin dinikahi secara bersama karena mereka beranggapan bahwa menjadi istri Alan akan bahagia. Adzan berkumandang dan Lydia memutuskan untuk sholat dimushola terdekat. Lydia tak pernah melupakan kewajibannya sebagai umat muslim dan ia tak juga melupakan bahwa lelaki boleh memiliki lebih dari 2 perempuan asalkan adil. Seusainya, Lydia memutuskan untuk duduk dibangku taman dengan memanjakan janin dalam kandungannya dan Alan, ia masih asik dengan para perempuan-perempuannya sehingga abai dengan Melati dan Amelia yang sudah menghubunginya berkali-kali. Drttt... Drttt... Drttt... Ponsel Lydia bergetar beberapa kali hingga Lydia mengangkat po
Alan juga lama-lama pusing dengan aduan dari kedua istrinya itu. Apalagi saat mendengar itu, Alan juga hanya mengangguk dan menyuruh kedua istrinya itu bebas melakukan apa saja asalkan mereka bahagia. Sedangkan Lydia, Martha dan Surti, mereka bertiga tengah asyik menikmati perjalanan mereka didalam mobil saat menuju ke bandara. Itu juga karena Lydia tengah hamil 3 bulan, jadi ia mulai ngidam. Tidak sulit untuk Lydia mengajak kedua pembantunya karena Lydia menganggap mereka juga sudah sebagai saudaranya. Apalagi saat tau Surti dan Martha ternyata hanya selisih 5 tahun dengannya. Ia sangat bahagia karena selama sekolah juga ia tak memiliki teman akrab. Apalagi masa SMP, itu masa yang paling ingin Lydia lupakan. Surti dan Martha juga tak sulit memahami Lydia, mereka paham dan mengerti bagaimana sifat Lydia dengan sangat cepat. Apalagi mereka juga menelusuri penyakit apa saja yang Lydia idap. Mereka semakin siaga 1 untuk Lydia. Mereka tiba dibandara, bandara yang tidak terlalu pad