Tak ada perselingkuhan yang layak dimaafkan. Tak semua orang juga mampu memberikan kesempatan kedua. Lydia memang menikahi Alan karena dijodohkan oleh orang tuanya. Namun, ia tak menyangka bila Alan adalah seorang lelaki yang tak cukup dengan satu atau dua wanita. Saat Lydia mulai mengabaikan sang suami. Apakah pria itu akan menyesal atau justru ia akan bahagia karena akhirnya merasa bebas...?
Узнайте больше"Mas, aku nemu foto kamu sama perempuan lain, tapi bukan yang dulu, siapa dia?" tanya Lydia.
"Kekasih saya," sahut Alan santai.
"Kamu mau sampai kapan kaya gini? Aku tau kita cuma dijodohin, tapi emang harus banget kamu selingkuh sana-sini berkali-kali? Ga cuma sekali, tapi kamu lakuin ini udah lima kali, jangan permainkan wanita karena kelak anakmu yang akan menerima karma, mas," tukas Lydia.
"Anak? Kamu aja mandul," hardik Alan menyakitkan.
Ctak!
"Iya, mandul!" jerit Lydia tersulut emosi.
Tanpa Alan sadari, ia telah memegang sebuah tespack yang tertera garis dua. Menandakan bahwa istrinya itu hamil.
"Sudah saya bilang kan? Kamu cuma perempuan cacat. Menyusahkan saja, seharusnya saya tidak menerima perjodohan itu. Untuk apa saya menikah jika akhirnya saya tidak memiliki anak?" Alan berdalih dan membuang tespack yang dilempar Lydia tanpa melihatnya terlebih dahulu.
"Apa menurut kamu menikah hanya untuk memiliki anak? Pantas saja istri kamu dulu meminta cerai! Ternyata yang dia nikahi adalah lelaki bejat sepertimu," singung Lydia dengan menatap tajam suaminya.
"Apa maksudmu? Tidak usah merasa sok tersakiti seperti ini, bukankah kamu yang gatal dengan saya? Demi saya kamu meninggalkan kekasihmu," imbuh Alan membuat Lydia tak percaya.
Lydia tertawa mendengar penuturan Alan, ia tak menyangka bahwa takdir akan menjadi lelucon untuknya.
"Mas, kisah yang ada diantara kita, perlukah para selingkuhan-selingkuhan kamu tau? Aku gatau hati kamu terbuat dari apa dan entah apa yang merasuk dalam hatimu. Tapi, aku tau kalau kamu itu laki-laki bejat," cela Lydia membuat Alan terdiam.
"Kamu pergi dengannya lalu besoknya lagi beda wanita, besoknya lagi beda, besok dan seterusnya kamu memutar cerita membuatku seolah-olah bersalah dalam kisah ini, kamu mau sampai kapan kaya gini, mas..?" tanya Lydia.
"Kamu tuh ribet. Padahal, kalau saya selingkuh kamu juga dapat jatah bulanan, dapat nafkah. Dasarnya emang kamu aja yang lebay, ga bisa ngertiin perasaan saya!" terang Alan dengan menatap Lydia lekat.
Lydia hanya bisa menghela nafasnya samar. Dia tak percaya apabila ternyata suaminya adalah seorang lelaki yang pintar memutar-balikkan fakta.
"Ribet..? Ga bisa ngertiin..? Bahkan, kalau mama aku tau kamu kaya gini, kamu bisa dibunuh ditempat! Kalau papa aku tau kamu kaya gini.. Kamu bisa digantung mas, tapi karena aku gamau kamu disiksa aku rela nutupin semuanya. Luka yang dulu aja belum sembuh tapi kenapa justru kamu buat sakit ini semakin meradang, mas..?" tanya Lydia lagi.
Skak mat. Alan kehabisan kata-kata untuk menjawab istrinya jadi, ia hanya akan mendengarkan gadis belia itu berceloteh.
"Banyak sekali cara berkhianat namun, mengapa engkau memilih selingkuh itu sebagai jalan pengkhianatan ini? Bahkan, aku bakal rela kalau kamu nikah asal satu. Aku butuh tanggung jawabmu yang gak pernah sama sekali kamu lakuin sebagai suami!" cela Lydia dengan amarah yang membara.
Merana.
Itulah yang Lydia rasakan saat ini. Terluka oleh cinta seorang lelaki yang bersamanya, tak jera sampai disana, karena bagaimanapun obatnya, luka hati Lydia itu sangat teramat dalam.
"Kamu sangat cerewet, wajar saja jika tidak ada laki-laki yang mau bersama denganmu," hina Alan seolah tanpa dosa.
Hening. Bulir-bulir air mata Lydia mengalir tanpa aba-aba. "Setidaknya kamu berkaca sebelum berbicara," sengkal Lydia dengan mata memerah.
Alan terdiam.
"Yaudah, terus mau kamu apa?" tanya Alan menatap Lydia.
"Cerai. Ceraikan aku," pinta Lydia dengan menatap Alan penuh api amarah.
"Gak, saya gamau. Bisa-bisanya kamu dengan mudahnya bilang cerai, kamu pikir pernikahan ini apa, Lydia?" tanya Alan dengan menahan emosinya.
"Pernikahan ini gak ada artinya'kan? Percuma dipertahankan. Sudah jelas kamu yang memilih jalan buntu ini mas. Tidak ada perempuan yang tahan dengan pengkhianatan. Tidak ada satupun perempuan yang tahan dengan laki-laki bejat yang selalu mempermainkan perempuan sepertimu!" tampik Lydia penuh emosi.
Hening.
Alan bergeming. Hingga ia kemudian melihat ke arah Lydia yang tengah menahan tangisnya. Seolah-olah ia tak percaya dengan apa yang diucapkan Lydia sebelumnya. Cerai. Kata yang sangat Alan hindari selama ini akhirnya terucap dari bibir mungil sang istri.
"Buat apa dipertahanin kalau kamu ga pernah anggap aku ada mas? Kalau kamu minta aku hilang dan menjauh dari kehidupanmu, aku bisa lakuin sekarang. Bukannya kamu sangat ingin bersama dengan selingkuhanmu? Silahkan. Kejar dia dan bahagialah bersamanya, aku ini apa? Hanya pembantu gratis dalam kediamanmu. Hanya seorang pengasuh untuk duda sepertimu. Hanya seorang pelacur untukmu. Iya kan..? Memang aku ini ada artinya? Bahkan, untuk menatapmu saja sekarang aku tak sudi," hardik Lydia lalu berjalan pergi dari hadapan suaminya.
Ternyata harapan Lydia dilindas oleh fakta. Harapan memiliki kisah cinta yang membuatnya bahagia seperti putri dalam dongeng ternyata hanya menjadi seorang pengecut yang terjerat cinta Alan, suaminya.
Alan tentu tak membiarkan hal itu. Karena, jika ia kehilangan Lydia, dia juga akan kehilangan segalanya. Juru kunci dalam segala pencapaiannya sekarang adalah bantuan dari orang tua Lydia.
Jelas saja Alan tak membiarkan istrinya begitu saja. Ia langsung menyusul dan menarik pergelangan tangan Lydia dengan cepat saat Lydia hendak meninggalkan kamar itu.
"Jangan pergi. Saya bilang tetap disini, percuma kalau kamu pergi saya bisa membuatmu lebih menderita dari ini," ancaman Alan membuat Lydia terbungkam. Ia takut didera lagi.
Karena Alan itu bukan hanya main mulut namun, ia juga main fisik.
"Kalau aku tetep disini, aku cuma orang bodoh, mas!" bentak Lydia.
"Dan jika kamu pergi.. Saya akan menghabisimu disini Lydia!" serang Alan dengan mulai mendekati Lydia.
Deg.. Deg.. Deg..
Jantung Lydia tak beraturan. Detaknya begitu cepat sampai dadanya terasa sesak.
Lydia mundur beberapa langkah saat Alan mulai melepas melilit gesper ditangan kekarnya dan mendekatinya. Jelas saja Lydia dengan segera mungkin melarikan diri dari sana.
"GAUSAH MACEM-MACEM KAMU, MAS! AKU GAMAU!" jerit Lydia histeris.
Cplash!
Bunyi cambukan terdengar.
Terus begitu, hingga tubuh Lydia lemas dilantai dengan keadaan badan penuh luka cambukan yang memerah. Ia hanya bisa menunduk menahan tangisannya yang membuat Alan bersimpuh dan langsung mencekram dagunya kuat. "Sudah saya bilang jangan macam-macam," pungkas ucapan Alan dengan mulai berdiri dan membanting tubuh istrinya ke ranjang.
"Jangan cerewet. Saya bukan anak kecil yang bisa menerima celotehanmu setiap harinya, diam. Tangisanmu membuat telinga saya sakit!" geram Alan lalu melempar cambuk yang ia genggam ke samping Lydia.
"M─maaf," lirih Lydia.
"Good girl," jawab Alan lalu meninggalkan Lydia.
Lydia meremas kuat seprai ranjangnya. Rasa perih mendominasi disekujur tubuhnya. Entah apa yang akan terjadi apabila Alan menggila lagi pada malam itu. Malam kelabu yang Lydia alami dirasa cukup sampai sini. Bisa atau tidak, berani atau tidak.. Ia harus bisa menyelesaikan semuanya dengan cara cerdik.
Bersama keheningan malam kelabu yang hanya diterangi oleh sebuah lilin di dalam kamar, penderitaan Lydia seolah bertambah berkali-kali lipat.
"Jika cara halus tidak bisa menghentikanmu, maka aku akan menghentikanmu dengan caraku sendiri," geram Lydia dengan mengusap perutnya yang masih rata.
Setelah hari itu, 1 minggu lamanya Lidya baru bisa menerima semua hal yang terjadi. Dia ditinggalkan oleh suaminya tanpa ucapan cerai sama sekali. "Aku pernah percaya sama kamu, tapi sekarang.. Aku gak akan pernah percaya sama laki-laki lagi, dan itu cuma karna kamu, mas."Lydia bergeming. Ia duduk dengan menggegam semua obat yang tak ia telan dan duduk dikursi roda dengan keadaannya yang berantakan. Rambut kusut, tatapan kosong, tawa hambar itu membuat Bayu berusaha untuk menyembuhkannya. Ia melanggar apa yang seharusnya tidak terjadi. ya. Dia mencintai pasiennya sendiri. "Lydia, jalan sama saya ya. Kita jalan-jalan keliling rumah sakit, kita lihat bunga tapi kamu harus didandani dulu."Lydia hanya mengangguk. Setelahnya, Lydia diam dikursi roda dan melihat sekitarnya. Semua bunga yang diberikan oleh Bayu membuat Lydia tersenyum. "Suka?""Suka.. Cantik sekali, semua cantik..""Iya, setelah kamu sembuh, saya janji. Saya akan berikan kamu bunga setiap hari. Bunga yang cantik dan bu
Ratna mengangguk sebagai jawaban. Sedangkan Martha, ia membawa satu teko es teh dan menyediakan makanan ringan lainnya. Lydia merasa nyaman. Ia dihargai. Tidak merasa sepi dan walaupun begitu, Adrean harus kembali ke kota karena pekerjannya tidak bisa ditinggal sama sekali. "Lydia, kamu mikirin apa?" tanya Martha disela-sela lamunan Lydia sembari menatap bintang-bintang dilangit malam itu. "Ah, tidak ada kak.. Hanya merindukan seseorang yang sudah menjadi bintang dilangit." "Siapa?" "Aldo. Dia kekasihku yang sudah meninggal beberapa tahun lamanya tapi.. Aku masih merindukannya." Baiklah. Martha mengerti mengapa Lydia sampai terkena gangguan mental separah itu. Ternyata.. Itu semua karena luka batin masa lampau yang belum selesai. "Mau masuk rumah atau disini aja dulu?" "Aku mau disini dulu saja." Martha menghargai keputusan Lydia. Bagaimanapun apabila masalah rindu, tak ada yang bisa mencegahnya. Sesakit apapun, apabila masalah rindu.. Pasti semua akan terasa berat. "Ra
Lydia hanya terdiam ditempatnya dengan tatapan nanar. Tak ada yang bisa Lydia pikirkan lagi terkecuali satu. Dia gagal menjadi seorang ibu. "Masih sakit?" tanya Martha membuat Lydia menggelengkan kepalanya. Ia binggung apa yang terjadi dan kenapa dia bisa sampai disini. Lydia hanya ingin kedamaian didalam hatinya. Saat Alan hendak mendekat, Lydia memalingkan wajahnya. Ia tak ingin melihat rupa laki-laki yang telah membuatnya seperti ini. Tidak ada yang bisa ia lakukan terkecuali hanya menatap benci ke arah Alan. "Ngapain kamu kesini?" "Saya suami kamu. Saya berhak melakukan apapun." "Termasuk untuk membuat anakku mati. Apakah itu juga hak mu sebagai suami? Mas, kamu harus ingat. Aku masih bisa sambung pendidikanku sampai setinggi mungkin. Tapi aku gak lakuin itu karna aku mau berusaha jadi pasangan yang baik. Tapi.. Kamu hancurin semua ini mas." Lydia mengalihkan pandangannya. Ia mulai menatap Alan dengan sayup. "Jadi begini cara kamu buat nyakitin aku ya, mas..? Begini cara
Cacian Martha terdengar jelas ditelinga Alan. Cacian yang menyakitkan untuk didengar meski ia laki-laki. Bahkan, ucapan sumpah serapah Alan juga dengar dari beberapa kalangan. "Biarkan saja dia mengerti apa yang dimaksud dengan pengecut itu, Ratna!" sergah Martha membuat Ratna langsung melepas gegaman tangan Martha. "Saya tau, saya memang pengecut.""Memang! Kamu juga tidak punya hati, Alan! Sekarang Lydia seperti ini, salah siapa?! Salah siapa?! Untuk kesalahanmu yang sebesar itu, apakah mampu mengembalikan Lydia seperti sedia kala, ha?! Fuck! A fuck you bitch, Ala8n!" maki Martha habis-habisan membuat Alan terdiam. "Martha ─""Bahkan, dari jalang-jalangmu, Lydia yang lebih baik dari apapun! Apakah ada seorang wanita yang mampu menerima perselingkuhan?! Apakah ada seorang wanita yang bisa menerima lelakinya bercumbu dihadapannya?!" tanya Martha dengan tersulut emosi. Ratna bergeming. Bahkan, untuk menjawab pertanyaan dan menyangkal makian dari Martha itu juga tak mungkin. "Tuan k
1 minggu berlalu begitu cepat. Sehingga, Alan harus selalu menemani Lydia meski dirinya sendiri saja binggung dan harus selalu meminum obat-obatan setiap waktu. "Tuan, apakah tuan tidak ada niat untuk membawa nyonya ke suatu rumah sakit yang bisa mengatasi penyakitnya?" tanya Salah seorang staff rumah sakit membuat Alan hanya terkekeh pelan."Untuk apa..? Saya harus membawanya kemana lagi? Kenyataan didepan mata, gelang pada tangannya sudah memberitahukan bagaimana kondisinya.""Gelang apa?" "Gelang pada tangannya. Gelang rumah sakit yang berwarna ungu. Itu sudah jelas menjelaskan bahwa ia tidak memiliki harapan hidup yang panjang. Bahkan, dokter hanya berpasrah kepada Allah. Lantas.. Apakah saya harus mendahului kehendak-Nya?" tanya Alan dengan tertawa hambar. Tak ada yang bisa dibohongi. Wajah Alan menyiratkan rasa kecewa yang mendalam dan bahkan, netra nanar Alan sudah menjelaskan semuanya. "Sayang..," panggil Alan dengan mengenggam jemari mungil istrinya dan menciumi seluruh wa
Alan bergeming kala melihat dokter dihadapannya pergi. Bahkan, langkahnya saja terasa berat. Ikhlas atau tidak, ini semua menyangkut kejiwaan Lydia yang pastinya akan terganggu. "Mas, kenapa aku ga bisa ngerasain gerakan bayi kita..?" tanya Lydia membuat Alan mematung."Sayang.. Ikhlas ya..?" Alan belum menyelesaikan ucapannya namun, Lydia sudah menangkap arti dari ucapan Alan. Apalagi Alan menyampaikan itu sembari memasang wajah muram. "Mas..? Enggak! Gak mungkin anak kita ─" Grep!! Alan menarik Lydia dalam dekapan dan membiarkan Lydia memukul dada bidangnya, membiarkan Lydia menangis sejadi-jadinya hingga suaranya terdengar dari luar. "Lydia.. Sayang... Kita harus terima! Ga semua bisa kita sesali, kita harus terima dengan semua yang sudah ditakdirkan oleh Tuhan..""Ini bukan untuk yang pertama kalinya, mas! Bukan yang pertama kalinya.. Aku selalu jaga anak ini agar bisa tumbuh tapi kenapa?! Kenapa kanker sialan ini harus merengut kebahagiaan yang selama ini membuatku bertahan
Alan terhenyak mendengar ucapan Lydia. Ia mengerinyit binggung sembari mengenggam tangan istrinya, "Maksud kamu apa sayang?" tanya Alan lembut. Lydia tersenyum tipis. Ia mulai mengenggam tangan Alan dan terkekeh pelan. Menatap mata hazel milik suaminya dan mengabaikan apapun yang berlalu. Mendengar suara gemerisik dedaunan dari luar dan menghela nafasnya samar, "Ikat aku ditulang belikatmu, mas.. Izinkan aku merebahkan dan meneduhkan sembari mendengar semua cerita dan engkau mendengarkan ceritaku, tentang apa yang aku lalui.. Tentang semua yang telah menjadi tujuan dan tentang apa yang jadi pengorbanan. Agar aku tau bahwa aku memiliki sebuah tempat untuk berpulang, maaf apabila aku kerap membuatmu kecewa," sahut Lydia dengan tersenyum manis dan menatap sayup manik mata Alan. Alan terdiam. Ia hanya bisa mengulas senyuman lagi dan lagi. Ia tak menyangka dan tak menyadari bahwa ia selama ini melukai gadis belia yang sudah ditinggal oleh kedua orangtuanya. "Lydia.. Kamu tidak perlu memi
Alan bergeming. Ia mulai mengelus lembut tangan Lydia dan mengusap perut Lydia yang sudah buncit karena mengandung anaknya. Paras ayu Lydia tidak pernah pudar. "Kamu ngomong apa? Ayo buka mata kamu dulu," titah Alan dengan suara yang bergetar. "Mataku berat, rasanya sangat berat, mas, biarkan seperti ini dulu.. Temani aku ya," sahut Lydia dengan tersenyum simpul.Alan mengangguk, ia mulai tersenyum tipis, "Iya, saya temani kamu," ucap Alan lembut dengan memangku kepala Lydia dan mengusap rambut Lydia meski selalu rontok. "Kamu gamau kemo? Ayo sembuh sayang," lirih Alan dengan terus mengusap kepala Lydia berharap rasa sakit istrinya mereda. Perlahan, mata Lydia mulai terbuka. Mata sayu itu menatap penuh cinta tanpa adanya kebencian, tangan mungilnya mulai meraih tangan suaminya dan tersenyum tipis, "Mas.. Ga perlu, aku capek banget kalau harus terapi, aku cuma mau kamu sama aku selama 2 tahun ini, hanya itu aja. Setelahnya, kamu bebas mau apapun aku ga akan larang, jagain istri-istr
"Udah aku duga kamu cuma berkedok berubah, padahal kamu ga pernah sadar kalau selama ini kamu salah!" berang Lydia membuat emosi Alan seketika memuncak"Jaga ucapanmu Lydia!""Aku cuma berbicara fakta.""Fakta yang tidak terbukti sama saja dengan rekayasa, Lydia!" "Dan aku bisa mengusut kasus kamu atas dasar pelaporan kekerasan dalam rumah tangga mas."BRAK..!!!Alan membanting meja kayu sehingga membuat jantung Lydia rasanya mau copot. Bahkan, Lydia tak bisa bergerak dan tak habis pikir dengan sifat Alan yang terus menjadi. "Ceraikan aku.""Sekali lagi kau mengucapkan itu.. Jangan harap kamu bisa lepas dari saya, Lydia.""Aku capek, Alan. Aku capek!"Alan hanya mampu menahan dirinya untuk tidak menyakiti istrinya. Hatinya ingin memaki namun, ia hanya bisa ,menahan dirinya agar tidak kasar atau ia akan kehilangan anaknya lagi. Apalagi hanya karena sifat tak masuk akalnya. "Jangan harap kamu bisa lepas dari saya dan jangan harap kamu bisa bahagia apabila kamu memaksa kehendak," anca
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Комментарии