Share

Bab 4 Berusaha untuk tetap bahagia.

Pov Serena.

Ternyata Mas Dirga memilih untuk pulang besok dan menambah satu hari libur kerjanya. Ada sedikit rasa kecewa di hatiku terhadap Mas Dirga. Aku kira dia akan langsung pulang menyusul kami. Ternyata aku salah, mungkin dia dan keluarganya lebih bahagia ketika tidak ada aku di sana. Untuk yang kesekian kalinya aku kecewa dengan sikap dan tindakannya.

Kemarin malam Mas Dirga sempat mengirim pesan memberitahu bahwa dia akan langsung berangkat ke kantor tanpa mampir ke rumah terlebih dahulu. Aku hanya membacanya saja tanpa berniat membalas pesannya. Aku sudah tidak lagi peduli dengan apa yang dipikirkan oleh Mas Dirga.

"Ma, Papa gak pulang?" tanya Zena ketika kami duduk di meja makan.

"Tidak sekarang tapi besok Papa pulangnya," jawabku sembari mengelus kepalanya, "Mungkin Papa masih kangen sama Kakung dan Uti. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan aja ke taman? Nanti kita beli eskrim," ajak ku agar tidak membuatnya sedih.

Terlihat wajah Zena berubah sedih, "Kenapa? Sudah kangen Papa?" tanyaku menatap putri kecilku yang hanya menunduk.

Zena mengangkat wajahnya lalu menggeleng, "Kenapa sih Ma, Papa gak pernah belain Zena kalau Zena di rumah Kung?" tanyanya lalu mengacak-acak makanannya.

"Zena, kalau makan tidak boleh seperti itu." Aku menegurnya pelan "Makan nya yang baik ya, Zena kan anak baik. Cantik lagi," pujiku yang membuat putri semata wayang ku itu langsung tersenyum sambil menatapku malu.

"Maaf Ma!" jawabnya dengan malu-malu.

"Iya, tapi gak boleh di ulangi lagi!" pesannku mengetukkan jari telunjukku ke dahinya.

"Siap Mama sayangku," jawabnya sambil nyengir lalu menyuapkan satu sendok nasi goreng ke mulutnya.

"Cepat di habiskan makanannya setelah itu kita pergi ke taman kota," ujar ku yang membuat Zena bersorak gembira.

Aku menghela nafas sepenuh dada, rasanya sedikit lega. Setidaknya aku bisa mengalihkan perhatian Zena dan tidak perlu menjawab pertanyaannya. Karena aku sendiri juga tidak tahu mengapa Mas Dirga tidak pernah membela kami ketika keluarganya menyakiti perasaan anak dan istrinya.

Namun dari semua yang terjadi di hidupku, aku sangat bersyukur memiliki Zena yang sangat pengertian dan mudah untuk membuatnya mengerti dengan situasi dan kondisi kami.

Meskipun begitu aku tahu jika Zena merasa kecewa terhadap Mas Dirga. Bukan hanya Zena, aku sendiri juga sudah sangat kecewa dan menyerah terhadap Mas Dirga. Dia tidak pernah peduli dengan perasaanku juga sangat cuek terhadap Zena padahal Zena adalah darah dagingnya sendiri. Mungkin sudah waktunya untuk aku mulai untuk menerima kenyataan dan berdamai dengan kekecewaanku.

🥀🥀🥀

Sampai jam tujuh malam Mas Dirga belum juga pulang. Dia tidak mengirim pesan atau menelfon. Pesan terakhir yang dia kirim adalah kemarin sore saat memberi tahu jika dia langsung ke kantor setelah dari rumah Ibunya.

Aku sengaja tidak masak apa apa hari ini. Aku berencana akan menyerahkan ATM pemberian nya jika dia marah. Malam ini aku sengaja tidur di kamar Zena setelah memastikan rumah terkunci dengan aman aku segera menyusun Zena di kamarnya.

Mas Dirga memegang kunci sendiri jadi aku tidak perlu repot untuk membukakan pintu. Seperti yang selalu dia katakan dulu, 'Kamu tidak perlu repot-repot membukakan pintu, aku bawa kunci sendiri.' ujarnya saat itu.

Aku juga tidak pernah lagi mengirim pesan bertanya 'Kenapa belum pulang?' seperti permintaannya, 'Tidak perlu lebay bertanya kapan aku pulang? Jika sudah waktunya pulang pasti akan pulang' Kalimatnya masih jelas terpatri di ingatanku. Dan sekarang aku melakukan seperti permintaannya.

Sekitar jam 8 malam terdengar suara mobil memasuki teras rumah setelah sebelumnya terdengar pintu gerbang dibuka. Rumah kami tidak terlalu besar. Rumah tipe 38 dengan 2 kamar, terasnya cukup luas untuk taman kecil dan parkir mobil. Bagian belakang ada sisa tanah yang aku buat taman dan tempat menjemur pakaian.

Terdengar suara langkah Mas Dirga sepertinya menuju ke dapur. Mungkin untuk mengambil minum. Aku tidak yakin dia akan membuka pintu kamar Zena, untuk melihat kami.

Brakkkk....

Dan benar saja terdengar pintu kamar di tutup. Mas Dirga memasuki kamarnya. Aku menghela nafas lalu menutup mataku menyusul Zena yang sudah terlelap dalam dekapan mimpi.

🥀🥀🥀

Paginya, seperti biasa aku menyiapkan sarapan pagi. Aku sama sekali tidak menyentuh sekotak martabak telor yang tergeletak di meja makan. Membukanya pun tidak. Aku yakin itu martabak yang Mas Dirga beli semalam.

Tidak seperti biasanya jika Mas Dirga membawa pulang martabak, aku akan menghangatkannya untuk dimakan saat sarapan. Namun kali ini aku sama sekali tidak berniat menyentuhnya, martabaknya tetap pada posisi awal tanpa sedikitpun bergeser.

Setelah selesai menyiapkan sarapan aku berjalan masuk ke kamarku dan Mas Dirga untuk mengambil pakaian. Aku lihat dia sudah bangun duduk bersandar di sandaran ranjang sambil memeriksa ponselnya. Aku hanya meliriknya tanpa berniat bertanya ataupun menyapa. Aku langsung menuju almari untuk mengambil pakaian lalu menuju meja rias, mengambil peralatan make up ku. Setelahnya aku bergegas keluar, memasuki kamar Zena.

Sekitar 15 menit aku dan Zena sudah siap. Kami keluar kamar menuju meja makan. Aku mendudukkan Zena di kursi meja makan lalu mengambilkan nya nasi goreng dengan telur ceplok kesukaannya.

"Ayo di makan. Sudah jam 6," perintahku yang langsung mendapat anggukan dari Zena.

Aku juga memakan sarapanku, hari ini aku sudah berencana untuk menemui Mas Gibran untuk meminta pekerjaan di kafe miliknya. Sampai kami selesai sarapan, aku tidak melihat Mas Dirga keluar dari kamarnya. Bahkan untuk menyapa Zena saja tidak dia lakukan. Mungkin dia sama sekali tidak merindukan putrinya ini.

Ah,, aku lupa, dari dulu juga seperti itu. Jika aku tidak memintanya untuk berbicara dengan Zena, maka Mas Dirga tidak akan menyapa Zena karena inisiatifnya sendiri.

Tanpa sadar aku menghela nafas panjang. "Ayo berangkat sekarang," ajak ku sambil menggandeng tangan Zena.

"Ma, Papa belum pulang? Yang beli Martabak di meja tadi siapa?" tanya Zena saat kamu berjalan melewati ruang tamu.

"Sudah. Papa masih tidur, capek." Aku membuka pintu rumah, "Itu mobil Papa," Aku menunjuk pada mobil yang berada di teras rumah.

Aku membuka gerbang rumah dan mengeluarkan motor matic milikku, "Ayo Zena. Kita harus berangkat sekolah! Nanti telat," ucapku setelah menyalakan mesin motor.

"Siap Mama," sahut Zena dengan ekspresi gemas.

Aku segera menjalankan motorku setelah Zena naik di depanku. Aku menjalankan motorku dengan kecepatan sedang karena kami tidak lagi di buru waktu. Sepanjang perjalanan aku mengajak Zena bernyanyi supaya dia tidak bertanya tentang Papanya yang tidak menemuinya sejak pulang dari rumah orang tuanya.

Sejak dulu Mas Dirga memang sangat cuek kepada kami. Setiap pulang ke rumah dia akan sibuk dengan ponsel dan pekerjaannya yang di bawanya pulang. Pekerjaan adalah hal paling penting baginya setelah orang tuanya tentunya. Jika untukku dan Zena dia tidak akan meninggalkan pekerjaannya namun berbeda jika untuk orang tuanya, dengan senang hati Mas Dirga akan meninggalkan pekerjaannya.

🥀🥀🥀

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status